Rabu, 04 Juli 2018

Common Sense dalam Hal-hal yang Tidak Begitu Umum

Sepekan yang lalu muncul isu mengenai munculnya ikan jenis pirarucu (Arapaima gigas) di aliran Sungai Brantas di Sidoarjo dan Surabaya. Di media, diberitakan ikan ini ditangkap warga bersama suatu lembaga swadaya untuk kemudian dimusnahkan. Membaca komentar pengunjung adalah salah satu hal menarik yang hanya bisa ditawarkan oleh media daring. Beberapa pengunjung menyayangkan ikan yang katanya mahal dan langka itu dibunuh. Ada menyarankan dilepaskan kembali, ada yang menyarankan dipindahkan, ada yang menyarankan dijual, dan sebagainya.

Ikan pirarucu yang ditangkap warga di Surabaya.
Sumber: news.detik.com

Dengan hanya mengandalkan common sense, tanpa pengetahuan teknis sama sekali mengenai topik terkait, barangkali saya juga akan berpikiran serupa. “Ngapain ikannya dibantai?” “Kan sayang?” “Kan kasihan? Nggak dimanfaatkan juga”. Syukurlah saya nyaris selalu melek saat jam pelajaran biologi saat masih duduk di sekolah menengah dulu. Saya masih mengingat topik mengenai rumitnya jalinan dalam suatu ekosistem dan bagaimana spesies invasif dapat merusak keseimbangan ekosistem. Di buku saya dulu ada kolom “Tahukah Kamu?” yang memberikan informasi mengenai invasi bintang laut Pisaster yang merusak koral. Ya, memperkenalkan suatu spesies baru ke dalam suatu lingkungan dapat membawa banyak masalah. Spesies baru ini akan menciptakan jalinan biologis baru di ekosistem barunya seperti predasi, kompetisi, dan penyebaran parasit atau penyakit. Ketika suatu spesies asing dengan kondisi habitat asli yang lebih keras dibawa ke habitat baru yang lebih nyaman, mereka akan dengan mudah menyaingi spesies asli dalam memperoleh makanan. Spesies pendatang juga dapat membawa parasit dari kampung halamannya. Spesies ini sendiri telah memiliki sistem kekebalan hingga tingkat tertentu akibat telah lama hidup bersama sang parasit. Namun, ketika parasit ini menyebar di lingkungan baru, spesies-spesies di daerah itu akan sangat rentan oleh serangan penyakit yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.

Hal semacam ini telah lama dikenal oleh ahli biologi sehingga banyak negara (termasuk Indonesia) telah menerapkan aturan tertentu mengenai pembatasan masuknya spesies asing (fauna maupun flora) ke dalam wilayahnya. Dari sudut pandang ilmu biologi dan hukum positif, pemberantasan predator asing yang mengancam ekosistem lokal dapat dibenarkan. Dalam kasus ini, yang salah adalah pehobi yang gemar memelihara dan mengoleksi spesies eksotis namun enggan mencari literatur yang cukup dan mempelajari hal-hal terkait aturan dalam memelihara spesies yang ingin dipeliharanya. Ketika sudah bosan memelihara atau ukuran peliharaannya sudah terlampau besar untuk diurus, satwa itu dilepasliarkan saja. Atau barangkali hewan itu tidak dipelihara dalam kandang yang sesuai sehingga memungkinkan mereka lepas ke alam.

Maksud saya membahas berita ini (di antara banyaknya berita lain yang lebih penting) semata-mata untuk menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengandalkan common sense dalam hal-hal dengan jalinan teknis yang tidak kita pahami dengan baik. Kadangkala, kesimpulan yang tampaknya begitu wajar ternyata keliru karena esensi dari perkara itu luput dari perhitungan kita.

Sebagai contoh pribadi, saya dulu terbiasa menautkan berkas (seperti gambar) di blog saya langsung dengan menyematkan url aslinya dengan niat menghargai pemiliknya yang sah. Anggapan saya adalah, selain mengakui hak kepemilikan berkas, hal ini juga menjaga riwayat berkas asli dapat ditelusuri dengan mudah. Ternyata hal ini keliru. Aktivitas yang disebut sebagai hotlinking ini berpotensi merugikan pemilik berkas asli karena kita mencuri bandwith mereka. Ketika seseorang mengakses halaman blog saya yang memuat berkas yang di-hotlink, peramban mereka akan memanggil berkas terlampir dari situs host-nya. Jika aksi ini dilakukan banyak orang secara terus-menerus, bisa dibayangkan banyaknya bandwith yang terpakai. Pengunggah berkaslah yang harus membayarnya (jika ia memiliki akun berbayar), bahkan meski mereka tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari lalu lintas jaringan ini (situsnya sendiri tidak dikunjungi). Untuk itulah sebaiknya kita tidak sembarangan melakukan hotlinking, kecuali pemilik asli berkas mempersilakannya atau bahkan memberikan fitur pemuatan khusus untuk keperluan itu (seperti pada Scribd atau Youtube). Jika berkas yang ingin Anda gunakan memiliki atribut bebas-pakai, unggahlah kembali di akun Anda sendiri. Jika hak cipta berkasnya dilindungi, ya jangan diunggah lagi. Arahkan saja pembaca Anda ke situs sumber.

Saya juga pernah berdebat mengenai teori relativitas khusus dengan seorang pengajar yang mengklaim TRK keliru, postulatnya tidak valid dan memberikan konsekuensi yang inkonsisten berdasarkan common sense. Ia menyodorkan paradoks kembar sebagai argumentasi. Sebenarnya paradoks kembar tidak lagi bersifat paradoks jika dianalisa secara teliti. Dua orang saudara kembar A dan B; si A yang diam di Bumi dan si B yang dibawa ke dalam perjalanan antariksa ke suatu sistem bintang X pulang balik tidak memiliki kerangka yang simetri. Betul bahwa ketika B telah bergerak dengan kelajuan konstan, kerangka keduanya sama-sama inersial dan masing-masing dapat mengklaim saudaranyalah yang bergerak. Namun, ketika B berangkat dan berbalik arah kembali ke Bumi, ia harus melakukan percepatan untuk mengubah kecepatannya dari \(0\) ke \(v\) dan dari \(v\) ke \(–v\) berturut-turut. Hal ini menyebabkan kerangka si B tidak inersial dalam keseluruhan durasi perjalanan. Dengan memperhitungkan transformasi kerangka B pada kedua momen ini, perhitungan berdasarkan kerangka A maupun B akan konsisten: B akan lebih muda daripada A. Hal inilah yang tidak dipahami (dan tidak mau dipahami) oleh orang pintar yang berdebat dengan saya tadi.

Yah, membangun pendapat awal atau praduga atas suatu masalah atau isu yang kita dengar adalah hal yang wajar (bahkan seringkali perlu). Namun, dugaan haruslah diperlakukan sebagai dugaan. Selalu uji dan pertanyakan pendapat awal kita. Kita harus menginsafi bahwa common sense kita terkadang tidak cukup dalam memahami hal-hal kompleks yang sarat akan hal-hal teknis. Sebagai seorang intelek, sebaiknya kita menyatakan pendapat awal (tentang hal-hal yang bukan bidang kita) kita secara rendah hati dan bertanya pada pakar di bidangnya atau mendiskusikannya dengan orang lain. Dengan begitu, kita membuka pintu untuk mendapatkan pengetahuan baru yang berharga. Menyatakan pandangan kita atas suatu hal dengan penuh percaya diri tanpa dilandasi dengan pemahaman mengenai topik terkait hanya akan membuat kita terlihat bodoh. Anda dan saya tentu tidak mau terlihat bodoh.


Selengkapnya...

Selasa, 26 Juni 2018

Tutorial MathJax Untuk Blogger

Untuk menuliskan persamaan Matematika dalam website atau blog Anda, Anda dapat menggunakan bantuan MathJax. Mathjax bekerja dengan menerjemahkan input berbasis \(\TeX{}\) menjadi Javascript yang kemudian ditampilkan oleh peramban Anda sebagai persamaan matematika yang apik. Pada postingan kali ini, saya akan sedikit membahas cara mengintegrasikan MathJax dengan blog berplatform Blogger.



Mula-mula, Anda perlu memasang konfigurasi MathJax ke dalam template blog Anda. Untuk mengedit template, klik menu "Tema" pada dashboard akun blogger Anda, kemudian plih "Edit HTML" pada menu drop down. Selanjutnya, salin dan tempel kode berikut ini setelah tag <head> dan sebelum segmen "skin" (sederhananya, tempel saja tepat di bawah tag <head>).

Setelah itu, klik "Simpan Tema". Sekarang, Anda telah dapat menampilkan persamaan matematika di blog Anda. Untuk menuliskan kode persamaan matematika, selalu lakukan dalam mode edit "HTML". Anjuran dari saya, kalau Anda selalu menulis dalam mode "Compose", mulailah membiasakan diri untuk menulis dalam mode "HTML" untuk ragam tulisan apapun. Tulisan Anda akan tampak lebih rapi dan konsisten.

Untuk menulis persamaan matematika dalam baris kalimat, Anda harus menuliskan kode \(\TeX{}\) persamaan diantara tanda dan . Semisal akan ditampilkan sebagai \(\nabla^2 \Phi = 4 \pi G \rho\). Adapun untuk menuliskan persamaan dalam baris khusus, tuliskan kode persamaan Anda di antara tag dan . Berikut ini contohnya.


yang akan ditampilkan menjadi:

$$\sin^2(x) + \cos^2(x) = 1$$

Untuk menuliskan persamaan dengan fitur yang lebih lengkap, gunakan kode seperti berikut.

akan ditampilkan sebagai,

\begin{align} F_{12} = -F_{21} = \frac{G m_1 m_2}{r^2} \label{F1} \end{align}

Ingat bahwa untuk menulis subskrip atau superskrip dengan lebih dari satu karakter, Anda harus menuliskannya dalam kurung kurawal seperti "U_{rad}" atau "T^{16}". Dengan menggunakan label, Anda dapat memberikan nomor referensi yang dapat ditautkan pada persamaan Anda semisal (\ref{F1}). Untuk melakukannya, tuliskan dan ganti "..." menjadi label dari persamaan yang dimaksud. Perhatikan agar tidak memberikan label yang identik untuk dua atau lebih persamaan. Bila Anda tidak ingin memberikan nomor referensi pada persamaan, ganti elemen dengan tepat setelah persamaan. Bila ingin menuliskan set persamaan yang terdiri atas dua baris atau lebih, gunakan untuk membuat baris baru. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut.


Hasilnya,
\begin{align} \int_{0}^{V_s} P \: dV &= \int_{0}^{\mathcal{N}} \frac{\rho kT}{nm} \: dN = \mathcal{N} kT \nonumber \\
&= \frac{2}{3} U_{\mathrm{in}} \label{p5} \end{align}

Pada contoh di atas, gunakan "&=" alih-alih "=" untuk membuat tanda "=" pada setiap baris sejajar. Kode "\mathcal{}" digunakan untuk menuliskan huruf bergaya/kaligrafi (script) sedangkan kode "\mathrm{}" digunakan untuk menuliskan huruf tegak. Beberapa variasi stye lainnya diberikan dalam tabel berikut.

Fungsi Sintaks Tampilan
math bold \(\mathbf{A}\)
math blackboard \(\mathbb{Z}\)
math fraktur \(\mathfrak{R}\)
vector \(\vec{F}\)
hat \(\hat{r}\)
overline \(\overline{PQ}\)
tilde \(\tilde{x}\)
dot \(\dot{x}\)
double dot \(\ddot{x}\)

Jika Anda masih belum akrab dengan menuliskan persamaan matematika dalam format \(\TeX{}\), Anda dapat mempelajarinya dengan berlatih di https://www.codecogs.com/latex/eqneditor.php. Di sana, Anda dapat menulis persamaan matematika dengan alat UI dan melihat sintaks Latex untuk persamaan yang Anda tulis. Sebenarnya, equation pada MS Word juga mendukung format penulisan serupa dan langsung diterjemahkan setelah Anda memencet spasi. Untuk kemudahan, beberapa sintaks yang sering digunakan saya cantumkan dalam spoiler di bawah ini.

Contoh Sintaks:

Tanda Kurung dan Matriks

Sintaks Tampilan
\(\left ( \frac{A}{B} \right )\)
\(\left [ \frac{A}{B} \right ]\)
\(\left \{ \frac{A}{B} \right \}\)
\(\left | \frac{A}{B} \right |\)
\(\left \| \frac{A}{B} \right \|\)
\(\left [ 0, \infty \right )\)
\(\left. \frac{A}{B} \right |\)
\(\left \langle \Psi | \Psi \right \rangle\)
$$ A=\begin{pmatrix} a & b & c\\ d & e & f\\ g & h & i \end{pmatrix} $$
$$ x=\left\{\begin{matrix} 1 & ;\: i=j\\ 0 & ;\: i \neq j \end{matrix}\right. $$

Untuk matriks dalam kurung siku, ganti tag "{pmatrix}" menjadi "{bmatrix}"; untuk matriks dalam kurung kurawal ganti menjadi "{Bmatrix}"; untuk matriks dalam kurung mutlak ganti menjadi "{vmatrix}"; dan untuk matriks dalam kurung mutlak ganda menjadi "{Vmatrix}".


Karakter Khusus

Sintaks Tampilan Sintaks Tampilan Sintaks Tampilan
\(\: \) \(\rightarrow\) \(\Rightarrow\)
\(\longrightarrow\) \(^\circ\) \(\times\)
\(\bullet\) \(\bigtriangleup\) \(\cdot\)
\(\cdots\) \(\pm\) \(\mp\)
\(\angle\) \(\perp\) \(\parallel\)
\(\approx\) \(\equiv\) \(\neq\)
\(\leq\) \(\geq\) \(\exists\)
\(\forall\) \(\cap\) \(\cup\)
\(\in\) \(\varnothing\) \(\partial\)
\(\nabla\) \(\infty\) \(\sum_{}^{}\)
\(\prod_{}^{}\) \(\int_{}^{}\) \(\lim_{x \to a}\)

Selanjutnya, jika Anda telah selesai menulis dan mengirim postingan, ceklah tampilan blog Anda melalui peramban pada perangkat desktop dan seluler. Bila persamaan matematikanya tidak muncul pada perangkat seluler, masuk ke pengaturan tema Blogger. Pilih tema seluler "Khusus" dan simpan pengaturan. Anda bisa juga menonaktifkan tema seluler sehingga tampilan blog Anda di perangkat seluler tetap sama seperti pada perangkat desktop.


Referensi:
https://www.mathjax.org/
http://holdenweb.blogspot.com/2011/11/blogging-mathematics.html
http://irrep.blogspot.com/2011/07/mathjax-in-blogger-ii.html

Selengkapnya...

Standar Busana dan Potensi Serangan Seksual

Tulisan ini saya buat berdasarkan diskusi daring dengan beberapa kenalan mengenai hijab bagi wanita beberapa waktu lalu. Pembicaraan kami dimulai dari argumen kekecewaan kenalan beliau atas larangan berhijab bagi wanita di beberapa perusahaan/instansi yang dulu pernah menjadi topik hangat dan kemudian berlanjut ke berbagai hal yang berkaitan.

Saya, sebagai seorang humanis, selalu mendukung tiap orang untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri berdasarkan selera atau preferensinya (dengan latar ideologi atau apa pun) selama tidak melanggar hak atau berpotensi merugikan orang lain. Jadi, pada dasarnya saya sependapat dengan kenalan saya itu. Ia pun membahas mengenai keuntungan wanita mengenakan hijab untuk menghindari perbuatan tidak diinginkan dari pria mesum. Hal ini menarik saya untuk menggalinya lebih jauh.


Ilustrasi pelecehan seksual

Di lingkungan saya sekarang ini (dan saya rasa, kurang lebih sama dengan rata-rata masyarakat di negeri ini), umumnya standar berpakaian wajar bagi wanita di ruang publik ialah bawahan setidaknya sampai ke lutut dan atasan menutup perut, dada dan pangkal lengan. Karena kelaziman ini, umumnya pria tidak berpikiran tidak-tidak jika melihat wanita dengan pakaian semacam itu (tentu bisa jadi berbeda jika ada gerakan sensual atau semacamnya, tapi kita membatasi pembahasan ini dari aspek busana saja). Tentunya, pasti ada pria mesum yang tetap saja terangsang jika melihat wanita dengan pakaian yang masih tergolong wajar semacam itu (apalagi bila wanita itu cantik), dan kalau moralitasnya hanya sebesar spora mungkin ia terpicu untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji.

Di sisi lain, meskipun kelaziman busana wanita seperti yang disebutkan di atas, tidak sedikit pula wanita yang berbusana lebih minim daripada itu. Dalam kasus ini, pria yang tidak terhitung mesum pun bisa berpikiran kotor bila melihatnya. Oleh karenanya, berbusana sopan dan wajar dapat menghindarkan wanita dari potensi serangan “binatang buas”.

Sekarang mari kita tinjau daerah lain, dengan standar kewajaran berbeda. Di Bali, Sulut dan Papua misalnya, standar busana wajar bagi wanita tidak seketat itu. Oleh karenanya, pria papua umumnya tidak merasakan dorongan khusus jika melihat wanita berbusana yang terhitung superminim bagi kita. Mereka merasa biasa-biasa saja. Dari sini kita bisa melihat bahwa faktor yang dapat memicu dorongan seksual pada pria (saya sebut faktor S) bergantung pada kondisi sehari-hari lingkungan mereka.

Tentunya, dengan memakai busana yang lebih tertutup daripada standar wajar (seperti mengenakan hijab) secara signifikan dapat mereduksi potensi wanita mendapatkan serangan seksual. Lagi pula, katanya, daripada laki-laki repot-repot berlatih mengendalikan nafsunya, lebih baik wanita yang mencegah dengan membungkus dirinya. Hmpff….

Selanjutnya muncul pertanyaan, apa yang terjadi ketika berhijab mulai menjadi kelaziman di suatu lingkungan? Jawaban saya adalah, standar faktor S pun bergeser menyesuaikan. Jika dulu pria normal tidak berpikiran negatif ketika melihat betis wanita (ceteris paribus), kini menjadi mulai berpikiran negatif semenjak semakin jarang ia bisa melihat betis wanita. Ini bukan hal yang di luar dugaan. Di lingkungan saya tinggal, mengenakan hijab tampaknya tidak menghasilkan faktor repulsif bagi birahi kebanyakan laki-laki. Eksterimnya, cukup banyak orang yang saya ketahui yang justru memiliki semacam fetish pada wanita berhijab. Kalau Anda pernah tersesat (ataukah mampir secara berkala) ke situs-situs web dengan konten dewasa, Anda mungkin menemukan member atau utas khusus “hijab lovers” di sana.

Pada akhirnya, saya memperoleh kesimpulan atas pernyataan kenalan saya. Wajar saja seseorang mengenakan hijab semata-mata dengan alasan karena itu perintah agamanya. Hanya saja, kalau Anda beranggapan mengenakan hijab bisa secara signifikan menghindarkan Anda dari serangan seksual, itu hanya berlaku selama sebagian besar wanita di lingkungan Anda tidak mengenakannya. Mohon tidak menganggap tulisan ini berupaya mendemoralisasi wanita yang aktif mengenakan hijab, niqab, dan sejenisnya. Tulisan ini semata-mata mengkritik anggapan dan pandangan pria bejat serta pria (bahkan wanita) yang terlampau suci yang justru menyalahkan wanita yang menjadi korban serangan seksual karena memiliki preferensi berbusana yang berbeda dari mereka. Entah sejauh apa wanita menutup dirinya, pola pikir laki-laki akan beradaptasi dengan lingkungannya. Serangan seksual terhadap wanita tidak dapat dihentikan kecuali semua pria berlatih meningkatkan kualitas moralnya dan berhenti menyalahkan wanita karena memancing nafsu mereka. Seseorang membangun rumah mewah bukan agar pencuri lebih tertarik untuk menyatroninya, kecuali si empunya rumah sendiri secara eksplisit menyatakan undangan atau tantangannya. Tentu saja, sebagaimana Anda, saya berharap tidak ada hak-hak orang yang terampas akibat nafsu orang lain.


Selengkapnya...

Kamis, 21 Juni 2018

Teori, Hukum, dan Hipotesa

Teori evolusi? Teori relativitas umum? Ah, itukan cuma teori! Pernah dengar ungkapan seperti itu dari seorang “pakar” yang berbicara tentang sains? Ya, katanya teori itu belum tentu benar; kalau sudah pasti benar mestinya disebut hukum. Pemahaman saya dulu pun juga seperti itu, karena guru saya mengajarkan demikian. Sebenarnya, pemahaman ini keliru. Tulisan ini adalah upaya saya untuk meluruskan miskonsepsi ini.

Penyebab utama kebingungan ini adalah dalam dunia ilmiah, teori memiliki pengertian yang agak berbeda dari pengertian umum yang digunakan sehari-hari. Berikut ini definisi teori menurut KBBI.

  1. (n) pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi
  2. (n) penyelidikan eksperimental yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi, argumentasi: -- tentang kejadian bumi; -- tentang pembentukan negara
  3. (n) asas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan: -- mengendarai mobil; -- karang-mengarang; -- hitung dagang
  4. (n) pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan sesuatu: --nya memang mudah, tetapi praktiknya sukar

Definisi (1) dan (2) merujuk pada definisi teori ilmiah sedangkan definisi (4) adalah definisi teori secara umum. Di sini, kita akan bahas satu per satu dari hukum alam, hipotesa, teori ilmiah, dan level pembuktian suatu teori ilmiah.

Hukum Alam

Hukum alam adalah suatu pernyataan yang memberikan deskripsi dan jalinan objek atau peristiwa di alam didasarkan pada observasi atau eksperimen yang dilakukan secara berulang. Hukum alam mendeskripsikan suatu sistem dan memberikan jalinan antara dua atau lebih parameter dalam sistem itu dalam keadaan tertentu dan lazimnya dinyatakan dalam bentuk matematis. Misalnya sistem A didefinisikan oleh parameter v, w, x, y, dan z. Bila dalam eksperimen nilai x digandakan dan v, w, dan y dijaga tetap menyebabkan z berubah menjadi setengahnya maka dipenuhi jalinan

$$ z = \frac{x}{2} $$

Jalinan di atas sudah dapat disebut hukum bila dapat direduplikasi dan selalu memberikan hasil yang sama. Hukum alam juga dapat memberikan jalinan antarparameter pada sistem yang terdiri dari dua atau lebih objek yang berinteraksi. Bagaimanapun, hukum alam tidak memberikan penjelasan ataupun deskripsi mengenai mekanisme yang berlangsung di belakangnya. Nilai-nilai parameter dalam satu sistem serta jalinannya satu sama lain dapat diamati, diubah, dan diukur dengan relatif mudah serta dapat diuji berkali-kali. Namun, mengetahui mengapa jalinannya seperti itu dan bagaimana mekanismenya bukanlah sesuatu yang bisal diukur secara langsung. Penjelasan semacam itu dapat diperoleh melalui inferensi atau penalaran berdasarkan hukum yang telah diketahui. Produk dari upaya inilah yang disebut sebagai teori ilmiah.

Hipotesa dan Teori ilmiah

Dalam proses merumuskan suatu teori ilmiah umumnya diperlukan suatu hipotesa. Hipotesa adalah asumsi sementara atau dugaan awal berdasarkan data awal yang terbatas yang digunakan sebagai patokan dalam membangun argumen atau teori atas suatu perkara (problem). Dalam pengertian teori secara umum, hipotesa termasuk teori, namun hipotesa tidak sama dengan teori ilmiah. Hipotesa adalah kerangka dalam proses pembangunan teori ilmiah. Dalam proses membangun suatu teori dari hipotesa, kesahihan suatu hipotesa diuji secara logis (apakah self consistent) maupun secara empiris (apakah menghasilkankan suatu konsekuensi yang bertentangan dengan fakta empiris). Jika ternyata hipotesa itu tidak lulus uji maka kita mesti membuang bagian tertentu atau bahkan keseluruhan hipotesa tadi dan kembali merumuskan teori berdasarkan hipotesa yang baru.

Salah satu aspek umum dalam membangun hipotesa adalah penerapan asas atau postulat. Seperti yang kita tahu, asas (dalam disiplin ilmu apapun) berlaku pada ranah tertentu. Bila kita menganalisa suatu sistem (perkara) yang belum dikenal dengan baik, seringkali kita belum dapat memastikan apakah sistem tadi termasuk dalam ranah yang tunduk pada asas tadi. Dalam hal ini, untuk sementara kita dapat mengasumsikan suatu sistem tunduk pada asas tertentu bila bukti-bukti terbatas yang ada menuntun demikian. Dalam pemodelan suatu sistem seringkali pula dilakukan proses idealisasi, yang mana akan dibahas kemudian. Bila asumsi yang digunakan pertama kali ternyata keliru juga tidak apa-apa, karena hipotesa akan melewati pengujian yang telah disebutkan di atas.

Teori ilmiah adalah penjelasan mengenai aspek-aspek tertentu di alam (objek atau peristiwa) yang dibangun secara sistematis berdasarkan kriteria dan metodologi ilmiah. Suatu teori ilmiah otomatis memuat hukum. Agar suatu teori dapat disebut sebagai teori ilmiah, teori itu harus logis, dapat diuji secara empiris, dan memiliki prediksi yang falsifiabel. Cara paling ampuh dalam merumuskan teori ilmiah adalah menggunakan metodologi ilmiah. Secara ringkas, metodologi ilmiah adalah rangkaian kerja berupa perumusan masalah, melakukan kajian latar belakang, membangun hipotesa, melakukan eksperimen atau observasi lanjut, menganalisa data, dan mengambil kesimpulan. Kesimpulan yang diperoleh selanjutnya dapat menjadi fondasi bagi teori baru atau menjadi bagian atau sanggahan dari suatu teori yang sudah ada.


Bagan metodologi ilmiah.
Sumber: https://www.sciencebuddies.org/science-fair-projects/science-fair/steps-of-the-scientific-method

Suatu teori dapat disebut teori ilmiah selama memenuhi syarat yang disebutkan di atas. Hal ini berarti teori ilmiah bisa benar bisa juga salah, yang penting memenuhi syarat ilmiah. Di sinilah fungsi testabilitas dan falsifiabilitas dari teori ilmiah. Teori yang prediksinya terbukti salah oleh eksperimen/observasi lebih lanjut mestilah dikoreksi atau bahkan diabaikan. Adapun teori ilmiah yang prediksi-prediksinya telah terbukti disebut teori yang telah diverifikasi (verified theory). Teori yang telah diverifikasi, tidak pernah terbukti keliru selama bertahun-tahun serta telah menjadi landasan dari teori lain yang juga telah diverifikasi dikenal sebagai sebagai teori mapan (well established theory). Jadi, hanya karena dua teori sama-sama berpredikat sebagai teori ilmiah tidak berarti derajad kebenarannya juga sepantaran.

Berikut ini diberikan contoh proses konstruksi hukum alam dan teori ilmiah. Penyelidikan/investigasi mengenai sifat-sifat termodinamika gas bermula dari eksperimen untuk mengetahui jalinan antarparameter pada gas. Karakteristik fisis suatu gas umumnya diberikan oleh jumlah molekul (\(n\)), volume (\(V\)), tekanan (\(P\)), dan temperatur (\(T\)). Dari berbagai eksperimen yang dilakukan oleh para ilmuwan dan telah jutaan kali direplikasi, ditemukanlah hukum-hukum yang dikenal sebagai berikut.

  • Hukum Avogadro: \(V \propto n\)
  • Hukum Gay-Lussac: \(P \propto T\)
  • Hukum Charles: \(V \propto T\)
  • Hukum Boyle: \(P \propto 1/V\)

Tentunya, temuan itu tidak didapatkan sekali waktu. Setelah semuanya diketahui, kita dapat mengabungkan semua hukum tadi sebagai hukum gas ideal,

$$ PV = nkT $$

Hukum gas ideal memberikan jalinan lengkap mengenai parameter-parameter fisis gas ideal. Bagaimanapun, sampai di situ saja kita tidak akan mengetahui detail proses dan mekanisme yang terjadi dalam gas. Jika dibahasakan secara keren: pertanyaan ‘mengapa’ belum terjawab. Untuk itulah ilmuwan berupaya menemukan atau membangun teori yang bisa menjelaskan fakta-fakta di atas. Teori ini dikenal sebagai teori kinetik gas. Teori kinetik gas dibangun atas asumsi-asumsi sebagai berikut.

  1. Gas terdiri atas molekul yang berukuran sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak rerata antarmolekul (syarat kesahihan: tekanan cukup rendah).
  2. Gas terdiri atas molekul yang sangat banyak sehingga dapat dilakukan pendekatan statistik.
  3. Molekul-molekul gas bergerak secara acak.
  4. Bila molekul bergerak sangat cepat, energi kinetik reratanya cukup tinggi sehingga interaksi antarmolekul selain melalui tumbukan dapat diabaikan (syarat kesahihan: temperatur cukup tinggi).

Teori kinetik gas menjelaskan secara kuantitatif proses yang terjadi pada gas (dalam batas kondisi tertentu sejauh yang diberikan dalam asumsi). Teori ini memberikan prediksi berupa distribusi energi dan momentum molekul-molekul dalam gas yang ternyata konsisten dengan hukum gas ideal.

Falsifiabilitas

Konsep falsifiabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Karl Popper sebagai suatu kriteria ilmiah mengingat keterbatasan testabilitas dalam proses induksi. Suatu pernyataan disebut falsifiabel bila terdapat suatu cara untuk menyanggah pernyataan itu atau membuktikan bahwa pernyataan itu keliru. Contoh yang populer ialah pernyataan “Semua angsa berwarna putih” memenuhi syarat falsifiabilitas karena secara praktis (atau syarat yang lebih longgar: secara teoritis) dimungkinkan suatu cara untuk menyanggah klaim tersebut, dalam hal ini menunjukkan angsa yang memiliki warna selain putih. Semenjak angsa hitam telah ditemukan hidup di Australia, pernyataan tadi bernilai salah. Contoh pernyataan yang tidak falsifiabel secara praktis semisal “Sebuah teko teh mengorbit Matahari dalam orbit di antara orbit Bumi dan Mars”. Contoh ini dikenal sebagai Russell’s teapot, dinamakan menurut pengarangnya, Bertrand Russell. Secara praktis, mustahil mengecek ada teko teh (yang kita ketahui hanya dibuat oleh manusia) mengorbit Matahari pada jarak sejauh itu. Semenjak klaim itu tampaknya tidak memungkinkan (meskipun bisa jadi benar) dan tidak mempunyai manfaat apa-apa maka berdasarkan asas skeptisme tidak ada gunanya mempercayai pernyataan tadi . Adapun pernyataan “hujan di suatu lokasi di Bumi disebabkan oleh dewa hujan di surga yang bersin ke arah tertentu” adalah pernyataan yang tidak falsifiabel bahkan secara teoritis. Di mana surga dan dewa hujan itu? Bagaimana caranya mengecek hujan dapat terjadi meskipun dewa hujan tidak sedang bersin? Karena alasan itu, pernyataan semacam ini jelas jauh dari ranah ilmiah.

Ruang Lingkup Suatu Hukum dan Teori

Dalam membangun sebuah teori seringkali dilakukan idealisasi. Idealisasi adalah pembatasan suatu sistem pada kondisi tertentu saja, mengabaikan faktor-faktor yang tidak memiliki pengaruh besar (dalam level realitas tertentu) yang akan membuat tinjauan menjadi sangat kompleks. Artinya, dengan mengabaikan faktor-faktor minor, kita dapat membuat model yang lebih sederhana tanpa banyak mengorbankan akurasi teori atau model yang dibuat. Tentu saja, faktor yang diabaikan ini tidak berarti dilupakan. Suatu teori digunakan dengan tetap mengingat asumsi-asumsi yang mendasarinya. Bila ditemukan suatu sistem dengan perkara serupa namun berada di luar batas asumsi, permasalahan mesti diselesaikan dengan memperhitungkan faktor yang sebelumnya diabaikan.

Pembatasan inilah yang perlu dikenali saat menggunakan atau menguji suatu teori. Teori hanya ‘bertanggung jawab’ menjelaskan objek atau fenomena dalam cakupan yang didefinisikan oleh teori itu sendiri. Menyangkal teori kinetik gas dengan memberikan counterexample fenomena pada kondensat tentu saja konyol. Teori kinetik gas telah memberikan batasan hanya berlaku pada gas ideal sejak awal sehingga hanya memberikan hampiran yang bagus untuk gas yang mendekati gas ideal.

Kadangkala, hukum dan teori mapan pun bisa salah meskipun mustahil sepenuhnya salah. Kesalahan yang mungkin dialami oleh hukum dan teori mapan adalah bahwa cakupannya tidak seluas yang dikira sebelumnya. Hal ini mungkin terjadi karena dalam perumusannya, suatu faktor yang terkait dengan sistem benar-benar tidak teramati atau luput dalam level pengamatan yang dilakukan sebelumnya. Contoh populer dalam hal ini adalah hukum gravitasi Newton dan teori evolusi Darwin.

Hukum gravitasi Newton dirumuskan oleh Isaac Newton memberikan jalinan dinamis antara massa dan potensial gravitasi yang diciptakannya. Dalam hukum gravitasi Newton, interaksi gravitasi memenuhi jalinan

$$ \nabla^2 \Phi = 4πG\rho $$

Dengan \(\Phi\) adalah potensial gravitasi, \(G\) tetapan gravitasi universal, dan \(\rho\) adalah kerapatan massa per volume. Adapun gerak benda dalam pengaruh medan gravitasi dapat diberikan menggunakan ketiga hukum gerak Newton.

Ketika Einstein merumuskan teori gravitasinya, ia menggunakan tiga postulat: asas kesetaraan, asas kovariansi. Teorinya itu memuat jalinan antara potensial gravitasi dan materi-energi yang hadir dalam ruang.

$$ R_{\mu\nu} - \frac{1}{2} g_{\mu\nu} R = \frac{8πG}{c^4} T_{\mu\nu} $$

Kita dapat menyebut jalinan di atas sebagai hukum gravitasi Einstein, meskipun ungkapan itu jarang digunakan (jalinan di atas umumnya disebut persamaan medan Einstein). Sebagaimana mekanika Newtonian gagal dalam kasus benda dengan kelajuan mendekati kelajuan cahaya maka hukum gravitasi Newton juga gagal dalam kondisi itu. Teori relativitas umum (TRU) dirumuskan agar kompatibel dengan teori relativitas khusus (TRK), yang mana valid untuk sembarang nilai kelajuan. Berdasarkan teori relativitas umum, gravitasi adalah efek kelengkungan ruang yang diakibatkan oleh distribusi massa dan energi di dalamnya. Jadi, menurut TRU, sembarang bentuk energi juga memiliki potensial gravitasi! Hal ini luput di mata ilmuwan sebelumnya karena kesetaraan massa dan energi terkait dengan faktor yang sangat besar: kelajuan cahaya kuadrat. Oleh karenanya, efek gravitasi dari level energi yang umum teramati sehari-hari tidak ada apa-apanya dibandingkan efek gravitasi dari satu kilogram massa. Perbedaan postulat ini menyebabkan TRU memprediksi fenomena yang tidak sesuai dengan hukum gravitasi Newton dalam level kelajuan tinggi dan medan yang sangat kuat. Prediksi TRU sejauh ini telah banyak terbukti (pergeseran merah gravitasi, pelengkungan cahaya, presesi orbit planet, gelombang gravitasi) dan teori ini belum pernah terbukti salah. Meskipun demikian, kita tidak dapat mengatakan hukum gravitasi Newton sepenuhnya salah. Kita hanya perlu merevisi cakupannya: hukum gravitasi Newton valid dalam sistem nonrelativistik.

Pun demikian halnya dengan teori evolusi Darwin (TED). Meskipun teori ini memiliki banyak missing link, TED terbukti sukses menjelaskan variasi spesies di Bumi. Esensi dari TED: variasi acak, seleksi alam, dan survival of the fittest tetap kokoh melewati ujian. Perkembangan teori genetika dan teknologi biomolekuler memberikan pemahaman baru mengenai mekanisme yang berperan dalam variasi dan pewarisan sifat makhluk hidup. Berhubung teori evolusi Darwin adalah teori, bukan hukum, kita justru dapat terus merevisinya alih-alih membatasi cakupannya, selama pondasinya tidak tumbang. Teori evolusi Darwin pun kini juga berevolusi menjadi teori evolusi modern dan merupakan teori mapan dalam disiplin ilmu Biologi.


Selengkapnya...

Sabtu, 09 Juni 2018

Kekedapan Optik: Mengapa Kaca Transparan?

Barangkali Anda pernah bertanya-tanya, mengapa sebagian benda transparan dan sebagian lainnya tidak. Suatu benda tampak transparan bila benda itu meneruskan sebagian besar radiasi yang diterimanya. Sebaliknya, benda disebut keruh atau kedap cahaya bila menyerap sebagian besar, kalau tidak semua, cahaya yang diterimanya. Tentunya sangat mudah mengamati bahwa semakin tebal suatu benda/medium maka semakin sedikit pula cahaya yang diteruskannya. Namun, jelas ada sifat intrinsik material terkait masalah tranparansi atau kekedapan; berbagai macam material dengan ketebalan yang sama dapat memiliki kekedapan optis yang berbeda-beda. Balok kaca setebal 10 cm bahkan jauh lebih transparan daripada kertas setebal 0,1 mm. Apakah ini semata-mata dipengaruhi oleh kerapatan molekul material? Tapi kaca jelas memiliki kerapatan massa lebih besar daripada kayu. Marmer dan berlian juga memiliki kerapatan lebih besar daripada aluminium. Jadi, mekanisme apa yang menyebabkan sebagian material lebih transparan dibandingkan sebagian lainnya? Mari kita bahas perlahan-lahan.

Kristal quartz.
Sumber: http://crystalhealingindonesia.com/index.php?route=pavblog/blog&id=28

Pelemahan Intensitas

Jika suatu radiasi merambat dalam medium, partikel dalam medium dapat menyerap atau menghamburkan radiasi tadi. Akibatnya, intensitas radiasi semakin melemah seiring panjang lintasan yang ditempuh dalam medium. Patut diingat bahwa pelemahan intensitas ini berbeda dari efek pemancaran divergen; berkas radiasi paralel pun akan terlemahkan bila merambat dalam medium. Fenomena pelemahan semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada radiasi, namun juga pada sembarang gelombang atau rambatan energi. Dengan menamakan \(I_0\) adalah intensitas sumber (sebelum melewati medium) dan \(I(s)\) intensitas yang diteruskan pada jarak \(s\), pelemahan intensitas secara umum dapat dinyatakan dalam fungsi eksponensial menurun,

\begin{align} I(s)=I_0 e^{-\tau(s)}=I_0 e^{-s/l}=I_0 e^{-Ks} \label{I} \end{align}

Dengan \(s\) adalah jarak tempuh dalam medium, \(\tau\) adalah ketebalan optis (optical depth) medium pada arah perambatan, \(l\) adalah mean free path foton (jarak rata-rata yang ditempuh foton sebelum berinteraksi dengan partikel dalam material), dan \(K=1/l\) adalah koefisien pelemahan (extinction coefficien atau attenuation coefficient, sering pula disimbolkan dengan \(α\), \(A\) atau \(\mu\)).

Semakin kecil mean free path foton (semakin besar koefisien pelemahan) dibandingkan dengan jarak tempuh, semakin sedikit foton yang dapat menembus medium sehingga medium akan nampak kedap cahaya (opaque). Sebaliknya, semakin besar mean free path foton dibandingkan jarak tempuh maka medium akan tampak semakin transparan.

Bila cahaya merambat melalui medium, sebagian foton berinteraksi dengan partikel dalam medium (diserap atau dihamburkan). Hal ini menyebabkan intensitas cahaya berkurang seiring jarak tempuh radiasi, s.

Besarnya koefisien pelemahan bergantung terhadap jenis medium (komposisi kimia), temperatur, dan kerapatan medium perambatan. Semakin rapat molekul-molekul medium, semakin sering pula foton berinteraksi dengan medium sehingga koefisien pelemahannya pun semakin besar. Rasio antara koefisien pelemahan dengan kerapatan massa material/medium disebut kekedapan (opacity). Untuk material dengan kerapatan massa seragam, \(\rho\) dapat dituliskan

\begin{align} \kappa = \frac{K}{\rho} = \frac{1}{\rho l} \label{kappa} \end{align}

Dengan demikian, persamaan (\ref{I}) dapat pula ditulis sebagai,

\begin{align} I(s) = I_0 e^{-\kappa \rho s} \label{I2} \end{align}

Umumnya, intensitas radiasi pada tiap panjang gelombang tidak seragam (seperti halnya spektrum pancaran benda hitam). Besarnya mean free path foton atau koefisien pelemahan dalam suatu material juga berbeda-beda untuk tiap panjang gelombang. Oleh karena itu, besarnya pelemahan dapat dihitung secara spesifik berdasarkan panjang gelombang atau frekuensi cahaya. Bila kerapatan dan kekedapan medium juga tidak seragam, besar intensitas spesifik untuk panjang gelombang \(\lambda\) yang diteruskan pada jarak \(s\) dapat ditulis secara umum sebagai,

\begin{align} I_\lambda(s) = I_{\lambda 0} e^{-\int K_\lambda ds} = I_{\lambda 0} e^{-\int \kappa_\lambda \rho ds} \label{I3} \end{align}

dengan \(K_\lambda\) dan \(\kappa_\lambda\) masing-masing adalah koefisien pelemahan dan kekedapan spesifik pada panjang gelombang \(\lambda\). Nilai \(\kappa_\lambda\) (atau \(\kappa\) secara umum) ini bergantung pada jenis material dan nilainya dipengaruhi oleh satu atau beberapa mekanisme yang akan dijelaskan kemudian.


Sumber Penyerapan

Sebelumnya telah disebutkan tidak semua foton yang merambat melalui material diteruskan melalui elemen jarak tertentu. Sebagian foton-foton dengan panjang gelombang tertentu itu diserap atau dihamburkan oleh atom dalam materi, yang mana dapat dinyatakan dalam kekedapan, \(\kappa_\lambda\). Penyerapan dan hamburan foton itu dapat diklasifikasikan setidaknya dalam empat kategori, yaitu:

  1. Penyerapan terikat-terikat (bound-bound adsorbtion)
    Yang dimaksud penyerapan terikat-terikat adalah penyerapan foton dalam proses eksitasi elektron. Mekanisme ini dinamakan demikian karena elektron yang menyerap foton hanya berpindah ke tingkat energi yang lebih tinggi namun tetap terikat oleh inti. Koefisien kekedapan penyerapan terikat-terikat sangat bervariasi, bergantung pada keadaan eksitasi yang terjadi. Penyerapan terikat-terikat signifikan pada suhu \(T \leq 10^6\) K.
  2. Penyerapan terikat-lepas (bound-free adsorbtion)
    Yang dimaksud penyerapan terikat-lepas adalah penyerapan foton dalam proses ionisasi. Mekanisme ini dinamakan demikian karena elektron yang menyerap foton terlepas dari tarikan inti atom. Penyerapan terikat-lepas memiliki profil kekedapan \(\bar{\kappa} \propto \rho T^{-7/2}\).
  3. Penyerapan lepas-lepas (free-free adsorbtion)
    Yang termasuk dalam penyebaran lepas-lepas antara lain adalah efek Compton, bremm-strahlung, atau synchrotron. Elektron bebas tidak dapat menyerap foton dalam keadaan bebas karena hal itu melanggar kekekalan energi dan momentum. Namun, jika elektron berada dalam pengaruh medan listrik (semisal dari ion di dekatnya), penyerapan dapat terjadi akibat pasangan elektromagnetik antara elektron dan ion.
  4. Hamburan (scattering)
    Terdapat dua macam mekanisme hamburan yang berperan dalam kekedapan material yaitu hamburan Thomson dan Rayleigh. Gelombang elektromagnetik yang merambat di dekat partikel bermuatan akan dibelokkan ke arah lain. Fenomena hamburan merupakan penyebab dominan pelemahan intensitas pada medium gas.

Penyerapan Terikat-terikat

Sifat transparansi/kekedapan material yang diamati dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar dipengaruhi oleh penyerapan terikat-terikat dalam daerah visual spektrum elektromagnetik. Dalam proses eksitasi elektron, elektron hanya dapat menyerap foton dengan energi yang tepat sama dengan selisih energi keadaan foton mula-mula dengan keadaan-keadaan energi yang lebih tinggi yang dibolehkan. Perbedaan tingkat energi ini disebut energy gap. Untuk tinjauan suatu atom yang terisolir, eksitasi elektron dari kulit \(n_0\) ke kulit \(n' \gt n_0\), diperlukan energi sebesar

\begin{align} \Delta E = E_{n'}-E_{n_0} = -\frac{e^2 Z^2}{8\pi\epsilon_0 a_0} \left( \frac{1}{n'^2} - \frac{1}{n_0^2} \right) \label{E} \end{align}

dengan \(e\) muatan elementer, \(Z\) nomor atom, \(\epsilon_0\) emitivitas vakum, dan \(a_0\) radius Bohr. Dalam kasus material yang tersusun atas molekul dan campuran, perhitungannya menjadi lebih kompleks. Namun mekanisme yang terjadi pada dasarnya sama. Berdasarkan teori kuantum cahaya, energi foton berkaitan secara langsung dengan frekuensi (\(\nu\)) atau panjang gelombang (\(\lambda\)) radiasinya,

\begin{align} \epsilon = h \nu = \frac{hc}{\lambda} \label{epsilon} \end{align}

dengan \(h\) tetapan Planck. Jika panjang gelombang gelombang cahaya sesuai dengan salah satu energy gap material, sebagian fotonnya dapat diserap. Semakin banyak foton yang diserap (terkait dengan kerapatan dan ketebalan material), material itu akan semakin kedap cahaya pada panjang gelombang terkait. Adapun foton dengan energi lebih rendah daripada energy gap terendah (\(\epsilon \lt E_{\mathrm{min}}\)) praktis tak dapat diserap. Dengan demikian, radiasi pada panjang gelombang terkait diteruskan saja melewati material (kecuali mengalami mekanisme hamburan). Semakin banyak radiasi dalam daerah visual yang dilewatkan oleh material maka material itu akan nampak semakin transparan. Dari syarat di atas, jelaslah bahwa radiasi dengan energi yang sangat rendah (panjang gelombangnya sangat besar) maupun sangat tinggi (panjang gelombangnya sangat pendek) memiliki kemungkinan diserap lebih kecil dalam penyerapan terikat–terikat.

Sebagian material yang kita kenal tidak sepenuhnya kedap cahaya dan tidak sepenuhnya transparan. Hal ini dikarenakan tidak semua cahaya diserap oleh material meskipun panjang gelombangnya dapat diserap. Berdasarkan persamaan (\ref{I}), semakin besar nilai \(I_0\) dan semakin kecil nilai \(s\) maka semakin banyak intensitas yang diteruskan. Dengan memperbesar intensitas sumber, benda yang sangat keruh sekalipun dapat saja melewatkan sedikit cahaya. Misalnya bila Anda menempelkan cahaya flash kamera pada telapak tangan Anda, sebagian cahaya dapat diteruskan pada permukaan di baliknya. Demikian pula, semakin tipis suatu material maka material itu akan tampak semakin transparan.

Pada sebagian material seperti kaca murni, energy gap terendahnya sangat tinggi, lebih tinggi daripada cahaya ungu. Oleh karena itu, nyaris semua cahaya pada daerah visual diteruskan. Kaca murni juga tidak banyak menghamburkan radiasi dalam daerah visual (proporsi yang dihamburkan juga nyaris seragam ). Tentunya, kaca dapat ditambahkan dengan suatu pengotor dalam proses pembuatannya untuk menghasilkan kaca berwarna. Pengotor ini berperan menghamburkan radiasi pada panjang gelombang tertentu (warna yang diinginkan) dan melewatkan/menyerap radiasi pada panjang gelombang lainnya.


Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.