Tampilkan postingan dengan label cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita. Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 April 2018

Kisah Seorang Pemuda yang Hendak Melamar Wanita Pujaannya

Di suatu kota kecil, hiduplah seorang pemuda yang ulet. Ketika ia baru berusia sepuluh tahun, ayahnya pergi dari rumah bersama wanita lain, meninggalkan ia dan ibunya. Ibunya yang sudah lama sakit-sakitan pun baru saja meninggal dua pekan lalu. Sebelum kepergiannya, sang ibu kerap menanyakan kapan anaknya itu akan menikah. Ia ingin melihat anaknya menikah dan hidup bahagia sebelum dirinya tutup usia. Ibunya pernah beberapa kali mengajukan anak kenalannya kepada puteranya, berharap puteranya itu tertarik. Namun, si pemuda dengan berat hati selalu menolak tawaran sang ibu. Ia sudah memiliki seorang wanita idaman. Wanita itu ia kenal ketika ia berkuliah di kota. Mereka satu angkatan, satu fakultas, namun berbeda jurusan. Meskipun sudah lama jatuh hati, pemuda ini tidak pernah berani menyatakan perasaannya. Pujaan hatinya itu berasal dari keluarga berada dan terpandang.

Keinginan ibunya itu semakin terngiang-ngiang di benak pemuda itu setelah beliau meninggal. Merasa menyesal tidak bisa memenuhi keinginan terakhir ibunya, paling tidak ia harus memenuhi harapan ibunya agar bisa membangung keluarga yang bahagia. Ia pun memantapkan hati menemui pujaan hatinya dan manyatakan perasaannya. Dina, wanita pujaan hati pemuda itu, adalah gadis baik-baik yang cerdas. Ia mengenal pemuda itu sebaagai anak yang ramah dan tekun. Namun, ia tidak memiliki perasaan lebih pada pemuda itu. Karena enggan menolak permintaan pemuda itu mentah-mentah, iapun berkilah dengan dalih latar belakang keluarga mereka. Tak mungkin keluarganya menyetujui hubungan mereka sehingga lebih baik mereka berteman saja.

Sumber: https://pixabay.com/id/permainan-kartu-bermain-kartu-joker-941430/

Beberapa hari kemudian, si pemuda — menyangka bahwa restu keluarga adalah satu-satunya faktor ditolaknya cintanya — pergi menemui orang tua Dina. Pemuda itu pun bertemu dengan seorang pria tua, ayah Dina, dan menyatakan niatnya untuk mempersunting putri Pak tua itu. Setelah memperhatikan penampilan dan menanyakan latar belakang si pemuda, ayah Dina nampaknya kurang berkenan menerimanya sebagai menantu. Karena merasa tidak enak untuk langsung menolak pemuda itu, ayah Dina memberikan suatu tantangan, jika pemuda mampu memenuhinya, ia akan mengizinkan pemuda itu menikahi putrinya. Ayah Dina meminta pemuda itu menuliskan semua rangkaian permutasi satu dek kartu remi (daftar semua urutan kartu yang mungkin). Ketika pemuda itu menyelesaikannya, ia harus menyerahkan hasilnya dan barulah ia boleh menikahi putrinya. Merasa hal itu bukan pekerjaan yang terlalu sulit, si pemuda pun menyanggupi kesepakatan itu.

Hari, pekan, dan bulan berganti. Si pemuda itu tak pernah kembali menghadap orangtua Dina. Dina, yang telah mendengar perkara ini dari ayahnya, bagaimanapun menjadi penasaran. Ia memang seorang anak dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Dengan mengingat materi matematika yang ia pelajari saat SMA, ia pun mulai menghitung.

Dina mula-mula mengambil contoh sederhana menggunakan tiga buah kartu, kartu merah (M), kuning (K), dan hijau (H). Ada enam kemungkinan mengurutkan ketiga kartu itu (permutasinya adalah 6). Ia menuliskan daftar permutasinya di buku catatan,

HP: {(M,K,H), (K,H,M), (H,M,K), (H,K,M), (M,H,K), (K,M,H)}

Nampaknya, permutasi tiga kartu adalah pekerjaan yang sangat mudah. Selanjutnya, Dina melakukan generalisasi untuk satu dek kartu remi. Karena terdapat 52 kartu yang unik dalam satu dek kartu remi (tidak termasuk joker), terdapat 52 pilihan mengambil kartu urutan pertama. Setelah kartu urutan pertama diambil, tersisa 51 kartu sehingga kemungkinan pilihan kartu urutan kedua tinggal 51. Demikian seterusnya hingga mengambil kartu urutan ke-52. Dengan begitu, banyaknya kemungkinan urutan 52 kartu yang dipilih dari 52 kartu ialah,

P(52,52) = 52 × 51 × 50 × … × 2 × 1 = 52!

Jadi, terdapat 52! ≈ 8,07⋅1067 kemungkinan urutan kartu. Dina berasumsi jika menuliskan satu rangkaian urutan memakan waktu 1 menit maka untuk menuliskan seluruh rangkaian urutan yang mungkin akan memakan waktu sekitar 1069 detik. Berdasarkan artikel sains yang dibacanya di internet, umur alam semesta ialah 13,8 milyar tahun atau sekitar 4,35⋅1017 detik. Jadi, pemuda itu membutuhkan waktu 1052 kali usia alam semesta untuk menyelesaikan tugasnya.

Lebih jauh, Dina menghitung jumlah kertas yang diperlukan untuk menuliskan seluruh rangkaian urutan yang mungkin. Untuk menuliskan satu rangkaian urutan, ia membutuhkan sekitar 5 cm2 kertas. Kertas yang sangat tipis sekalipun memiliki ketebalan sekitar 0,02 mm. Artinya, diperlukan 1059 m3 material untuk menuliskan semua rangkaian urutan yang mungkin. Volume Bumi adalah 1,08⋅1021 m3. Jadi, pemuda itu setidaknya membutuhkan bahan sebesar 1038 kali planet Bumi untuk dijadikan bahan untuk menuliskan jawabannya.

Jelaslah tantangan dari ayah Dina mustahil diselesaikan. Si pemuda menyadari hal ini dua pekan yang lalu. Ia pun putus asa. Tak mampu menahan frustasi, ia memutuskan untuk menggantung dirinya di rumahnya.


Makassar, April 2018


Sunkar E. Gautama


Selengkapnya...

Jumat, 03 Februari 2017

Kisah Si Kloset

Sebuah kloset baru saja dibongkar dari kamar mandi sebuah rumah mewah. Sang pemilik menggantinya dengan kloset varian termutakhir. Kloset yang lama kemudian dibuang begitu saja ke pembuangan sampah.


Sudah beberapa hari berlalu sejak Si Kloset terpuruk di tempat pembuangan akhir. Di tengah malam ia terduduk lemas. Ia sendirian, kedinginan, kelaparan, tak punya apa–apa, dan tak tahu harus ke mana. Gerimis turun di tengah dingin yang menusuk, ia pun tak kuasa lagi menahan tangisannya.

Si Tinja baru saja pulang dari les. Dalam perjalanan pulang, sayup–sayup ia mendengar suara tangis. Setelah dicari, ternyata suara tangis itu berasal dari kloset yang terduduk sendiri di pembuangan sampah. Si Tinja pun menghampiri lalu menanyakan identitasnya. Tak ada jawaban, Si Kloset terus saja menangis. Si Tinja berusaha menghiburnya, menepuk pundaknya, menyanyikan lagu yang memotivasi, namun Kloset tetap saja menangis. Si Tinja kini hanya bisa berdiri di sampingnya dalam diam. Tiba–tiba si Kloset bertanya, memecah kebekuan di antara mereka. “Maukah kamu membantuku?” tanya Si Kloset. Si Tinja tersenyum dan membalas, “Tentu saja, apa yang bisa kulakukan untukmu?”. Kloset pun memeluk Si Tinja, membuka mulutnya, lalu menelannya.

...

Tangis Kloset berhenti. Sekarang perasaannya jadi lebih baik.



Makassar, 25 Oktober 2016
Selengkapnya...

Sabtu, 19 Mei 2012

Batik

Saat kau didekatku
kuanggap kau tak ada
Seperti sudah semestinya kau di sini, sebagai kewajaran
Saat kau menjauh
berada di dekat dirinya
Barulah kusadari,
betapa berartinya kau
bagi diriku…


Lho, sejak kapan blog ini berisikan puisi romantis? Ya sejak kini. Jangan khawatir saudara-saudara, blog ini akan tetap berisi tulisan-tulisan tentang fisika, matematika, paradoks, dan problema kehidupan sosial yang mengandung nilai paradoksal dan kontradiksi atau sekedar keanehan realita.

Sudah cukup lama terjadi perubahan yang cukup kentara pada teman-teman kuliah saya. Sebagian dari mereka mulai pakai batik! Oke, sayangnya saya belum termasuk dalam golongan mas-mas atau mbak-mbak batik itu, berhubung satu-satunya kain batik yang pernah saya punya dan saya sukai cuma sepotong sarung kucel. Itu pun sudah jadi kain lap dan kini telah raib ditelan masa. Ada sih, baju kontingen waktu ikut OSN masa SMA dulu, tapi selain kekecilan warnanya pun norak habis. Ogah saya pakai. Nantilah kalau ada uang lebih, tak belikan kemeja batik yang keren (meski biasanya habis duluan dipakai beli buku).

Lalu apa? Ya itu tadi, dengan menyimpulkan puisi dan narasi yang saya tuliskan, terlepas dari sisi negatif klaim batik oleh negeri tetangga, tanpa grusa-grusu koar-koar sana sini, dengan tulus saya mengucapkan terima kasih untuk Malaysia. Sekarang orang Indonesia kembali mulai melirik budaya nasionalnya.

Ngomong-ngomong tentang budaya nasional, saya harap ada negara tetangga yang mau mengklaim perahu pinisi dan pisang epe, dengan maksud yang saya kira sudah bisa Anda baca. Supaya Indonesia tak terlihat sekedar Jawa, Sumatera, dan Bali saja.



Selengkapnya...

Masalah Perdebatan

Alkisah pada zaman dahulu kala, tepatnya waktu saya kelas satu atau dua SD, mungkin juga tiga, saya tidak mengikuti mata pelajaran kertakes alias kertasen, alias KTK, alias SBK (istilah ini nggak ada waktu saya SD dulu kayaknya). Waktu itu bu guru (mungkin pak guru, saya lupa) menginformasikan pelajaran untuk minggu depan adalah kerajinan lipat-melipat kertas alias origami – tapi nggak pakai kertas origami. Waktu itu nggak jaman pakai kertas origami, kita pakai yang lebih besar: kertas marmer, bisa dipotong seenak perut. Teman saya memberi informasi untuk membawa kertas marmer yang sudah dipotong dengan ukuran panjang 10 cm dan lebar 20 cm saat kelas minggu depan. Berhubung nggak ada uang lagi untuk beli kertas marmer berwarna-warni, terpaksa sampul buku saya jadi korban (jaman SD dulu buku catetan mesti disampul segala dengan kertas marmer sampai kelas enam, mungkin bapak/ibu guru menyangka kita terlalu bodoh membedakan buku catetan sendiri ;).

Oke, jadilah saya membuat potongan-potongan kertas origami sesuai ukuran yang dikatakan teman saya itu, panjang 10 cm dan lebar 20 cm. Sehari sebelum kelas kertasen berikutnya saya mendapatkan informasi yang menggemparkan kehidupan bersekolah saya saat itu dari seorang teman lain. Katanya ukuran kertas lipatnya panjang 20 cm dan lebar 10 cm. Tentu saja saya berang bukan kepalang pada teman saya yang memberikan informasi sesat itu, mengingat sampul buku sudah jadi korban.

Saya    :“Kata teman-teman yang lain ukurannya panjang 20 senti lebar 10 senti, yang kamu bilang keliru Jack”.
(karena nggak ingat namanya saya sebut saja Jack)
Jack:“Lho, memang betul. Panjangnya 10 senti lebarnya yang 20 senti”.

Saya lalu memanggil salah satu teman saya yang memberikan informasi yang berbeda dari Jack, sebut saja namanya McCarthy.

McCarthy:“Aiih… salahko Jack”.
”Bu guru (mungkin pak guru) bilang panjangnya yang 20 senti, bukan lebarnya”

Maklum anak kecil (saya juga sih), mereka pun mengeluarkan kertas lipatnya sebagai bukti argumen. Ternyata saudara-saudara, kertas lipat Jack warnanya biru sedang punyanya McCarthy warna merah! Oke, maksud saya kertas lipat keduanya ukurannya persis sama. Perdebatan pun berhenti, namun mulai saat itu saya, Jack dan McCarthy mulai menyelami misteri tentang panjang dan lebar. Silakan tertawa, saya sekarang juga menertawakan diri saya dulu, masa bisa-bisanya nggak tahu keduanya itu sama? Ya, namanya juga masih lugu dan polos.

Well, maaf kalau ceritanya kurang berkesan atau terkesan garing. Cuma sekedar teringat betapa sering saya dan orang-orang di sekeliling saya terlibat perdebatan yang sebenarnya tak perlu. Hanyalah kedangkalan pikiran yang membuat kita memperdebatkan dua hal yang sebenarnya sama namun kemasannya saja yang berbeda. Hanyalah ego yang membuat kita memperdebatkan selera. Tak perlu lagi kita meributkan inkonsistensi dialektis, kaidah linguistik, artistik, lipstik, diskotik, Patrick, dan tetek bengek lainnya. Kita mesti tahu, perdebatan ini cukup sampai di sini saja.



Gambar 1.1. Patrick.


Selengkapnya...

Sabtu, 05 Mei 2012

Cerpen: Jagung dan Ubi

Hanya sekedar ingin berbagi cerita yang didasarkan dari kenyataan yang biasa terjadi, kadang nampak tak masuk akal karena dunia memang aneh. Begitulah kenyataan.


Jagung dan Ubi

Di suatu negeri antah berantah, hiduplah dua orang makhluk yang hidup di tempat yang terpisah (walaupun tidak begitu jauh) dan tidak saling mengenal. Mereka bernama Ubi dan Jagung. Nasib Ubi dan Jagung, entah hanya kebetulan, mirip sekali. Ubi dan Jagung adalah anak yatim, ayahnya sudah meninggal dunia dan mereka adalah anak tunggal. Selain mereka dan ibunya masing-masing, mereka tak punya siapa-siapa lagi. Ubi bekerja sebagai pemulung sampah sedangkan Jagung seorang tukang becak. Penghasilan mereka pas-pasan untuk sekedar makan. Mereka berdua belum menikah, maklum usianya baru menginjak dua puluh satu tahun.

Ubi adalah pekerja giat, biasanya delapan belas jam sehari ia bekerja memulung sampah dan menjualnya ke pengumpul. Penghasilannya rata-rata delapan ribu rupiah sehari. Dengan uang itu ia bisa makan cukup dengan ibunya, Bu Ubi. Ubi bukanlah seorang pemimpi, walaupun kadang agak jarang ia juga menghayalkan punya kehidupan yang lebih baik, namun ia tak punya obsesi besar untuk meraihnya. Maklum, ia sadar kemampuannya tidak ada. Ia bersekolah hanya sampai kelas tiga Sekolah Dasar Palawija. Walaupun hidupnya pas-pasan, ia tatap bersyukur pada Tuhan atas yang ia dapatkan tiap harinya, walaupun ia tidak pernah meminta lebih.

Sedikit berbeda dengan Jagung, ia adalah seorang tukang becak yang rajin dan ulet, namun ia saja yang memang selalu sial. Kadang ia narik penumpang, setelah tujuan dekat penumpangnya kabur lompat dari becak, ada yang pura-pura kencing dan tidak kembali, ada bayar kurang langsung kabur, ada pula yang membayar pakai golok. Penghasilannya rata-rata empat puluh ribu sehari, tapi itu belum setoran sama yang punya becak, lima puluh persen. Belum lagi uang ini itu, pajak ini itu, dan ini itu. Jagung adalah orang (orang tanaman, bukan manusia) yang taat dan sabar. Tapi walaupun sabar, ia memang tetap mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Sering ia berdoa pada Tuhan minta diberikan rezeki yang berlimpah, tapi tak kunjung juga rezeki itu datang. Jangankan berlimpah, tambahan secuil pun nyaris tidak ada, mungkin belum waktunya.

Suatu hari, kejadian serupa menimpa keduanya. Ibu mereka jatuh sakit. Sakitnya sangat parah dan harus segera dioperasi. Ubi dan Jagung kalang kabut tak kentut-kentut. Operasi kan biayanya mahal, dari mana mereka dapat uang, makan saja pas-pasan. Ubi dan jagung pusing sekali. Seraya memeras kain pel, mereka memeras otak bagaimana cara mendapat banyak uang sesegera mungkin.

Malamnya, saat mereka tertidur, Setan Terong Panjang masuk dalam mimpi mereka. Dalam mimpi Ubi dan Jagung, Terong Panjang berkata, “Hei, kamu mau dapat uang banyak kan, hahahaha....” “Curilah kerbau milik Pak Kencur, lalu jual biar bisa operasi ibumu. Curilah besok malam, karena besok malam ia akan keluar. Jangan takut, asalkan tidak tertangkap basah kamu pasti tidak akan di curigai, hahahaha....!”

Esok paginya, saat Ubi dan Jagung terbangun, mereka memikirkan mimpinya semalam. Jagung ingin sekali menolong ibunya. Ia ingin agar ibunya sembuh, ia tak mau kehilangan ibunya. Setelah pertimbangan panjang, ia akhirnya pergi ke rumah Pak Kencur, mencuri kerbau. Dilihatnya banyak kerbau di sana. Kalau dicuri satu pasti tidak ketahuan, pikir jagung. Lalu diambilnya kerbau yang bokongnya belang putih, lalu dijualnya. Kerbau itu dihargai sepuluh juta, cukup untuk biaya operasi. Namun secara tak sengaja, Jagungwati, pacarnya jagung melihat Jagung. Ia tahu Jagung tidak punya kerbau. Pasti ada yang tidak beres. Ia pun mengamati dan membuntuti Jagung. Setelah Jagung keluar pasar dan ke jalan setapak yang agak sepi, Jagungwati menghampiri Jagung. Jagung kaget, ia ketakutan.

“Kulihat tadi kamu jual kerbau, kerbau siapa itu, Gung?” Jagung hanya diam ketakutan, melihat tingkah Jagung, Jagungwati makin yakin. “Kenapa diam, Gung? Ayo jawab! Kerbau itu punya siapa?!”

Jagung manjawab gelagapan, “I, i, i.....tu kerbau......”

Jagungwati membentak, “Kerbau siapa! Kamu nyuri kan? Ayo jawab!”

Jagung yang sebelumnya belum pernah mencuri itu ketakutan dua pertiga mati. Ia tidak tahu harus bilang apa, lalu tiba-tiba Jagungwati kembali membentak, “Kamu nyuri kan?”

Dengan ragu Jagung mengiyakan. Jagungwati lalu berkhotbah, “Aku tahu ibumu sakit dan butuh biaya yang mahal. Tapi kamu harus tetap tabah, tidak boleh berbuat dosa. Kamu harus mencari uang yang halal untuk menolong ibu kamu. Ini hanya cobaan dari Tuhan, Gung. Jangan karena cobaan kamu malah berbuat dosa. Kalau kamu mau berusaha keras dan berdoa, aku yakin kamu dapat menolong ibu kamu. Aku akan membantu kamu mencari uang, kalau kita mau sabar, Tuhan pasti akan memberikan jalan keluarnya. Sekarang cepat kembalikan kerbau itu ke pemilikinya.”

Jagung sadar, yang diperbuatnya salah. Ia lalu memeluk Jagungwati dan berterima kasih. Mereka berdua tersenyum. Jagung lalu membeli kembali kerbau itu, dengan ongkos tambah, lalu diam-diam ia mengembalikan kerbau itu di umah Pak Kencur. Jagung bekerja giat mencari uang secara halal. Dua puluh empat jam sehari ia mengayuh becak, untuk menolong ibunya. Jagungwati kerja sambilan jadi tukang cuci di rumah orang, untuk membantu jagung mencari uang.

Di lain sisi lain sudut, Ubi masih terduduk berpikir. Kemudian ia kentut, kentutnya bau sekali, ia saja sampai mau muntah, tapi rasanya jadi lega kalau sudah keluar. Ubi lalu tersentak, kentut, bau, lega lalu bau hilang seolah membawa ilham baginya. Segera ia berpikir. Apakah ia betul-betul mencintai ibunya. Apakah dirinya tidak rela menanggung dosa demi menolong ibunya? Apakah dirinya lebih mementingkan amalnya daripada nyawa ibunya? Jika ia memang sangat mencintai ibunya, ia harus mendapatkan uang. Setidaknya jika ia mencuri kerbau, ibunya bisa sembuh dan ia bisa semangat bekerja lagi. Jika uangnya sudah cukup, ia akan mengganti kerbau yang dicurinya, dan dengan ikhlas menerima hinaan dari Pak Kencur, asal hal ini tidak diketahui ibunya, agar tidak menambah beban ibunya. Ataukah ini memang skenario Tuhan? Ya, pasti begitu, pikir Ubi.

Ubi pun membulatkan tekadnya, ia pergi mencuri kerbau di rumah Pak Kencur, diambilnya kerbau yang bokongnya belang putih, lalu dijual. Kemudian ia meminta pada pihak rumah sakit untuk segera mengoperasi ibunya. Nyawa ibunya tertolong. Di lain pihak, Jagung yang semangat mengumpulkan uang tiba-tiba kaget sewaktu menjenguk ibunya. Ia terlambat mencari uang, ibunya telah tiada. Ia menangis sejadi-jadinya. Besoknya terdengar kabar Jagungwati jadi gila setelah diperkosa ramai-ramai oleh anak-anak dan ponakan-ponakan majikannya. Ia tambah sedih, tambah stress. Ia hanya bisa menangis.

Setelah ibunya sembuh, Ubi bekerja giat mengumpulkan sampah. lalu tiba-tiba muncul ide membuat kerajinan dari batang-barang bekas. Akhirnya Ubi dan ibunya membuka usaha pembuatan kerajinan dari limbah. Usahanya sangat maju. Empat bulan kemudian, Ubi telah memiliki cukup uang untuk mengganti kerbau Pak Kencur. Dibelinya kerbau montok dan dibawa ke rumah Pak Kencur, ia siap menerima cacian dari Pak Kencur. Ternyata dugaannya salah, Pak Kencur tidak marah, ia justru menagis mendengar cerita Ubi. Ia menerima kerbau itu dengan senang hati dan memaafkan Ubi setulus hati. Ubi tersentuh, ternyata Pak Kencur orangnya baik. Ternyata jalan pikirannya dulu tidak salah, atau, memang benarkah ini skenario Tuhan? Ia bersyukur, begitu bersyukur, tak lupa juga ia berterima kasih pada Terong Panjang. Kini usaha Ubi semakin besar, ia telah mempekerjakan delapan orang, karena orderannya semakin besar. Ia telah menikah dengan seorang Ubi yang cantik yang bernama Miyubi. Ubi dan keluarganya hidup bahagia.

Di sana, Jagung terduduk sendiri.......



Skaga
Blitar, 29-08-2008



Mengapa kita sering terlalu menyalahkan pencuri? Lalu kapan kita menyalahkan diri kita sendiri, kok mau-maunya jadi korban pencurian? Pencuri kan biasanya mencuri karena "diundang"? Tidak perlu takut akan nasib buruk, tetapi selalulah takut melakukan sebab yang dapat memberikan akibat buruk. Kita tak akan mendapatkan apapun yang bukan nasib kita. Bukankah begitu?


Selengkapnya...

Minggu, 29 April 2012

Gagasan

Sebuah kisah untuk Anda..

Alkisah dua orang sahabat yang merantau, sebut A dan B pergi ke suatu desa mencari barang yang berharga. Saat mereka dalam perjalanan, mereka menemukan tumpukan rami yang telah dibuang (rami adalah jenis serat tumbuhan yang dapat dipintal menjadi benang rami, yang kemudian dapat dibuat menjadi tali atau kain). Si A berkata, “Ini adalah tumpukan rami, kau buat seikat dan aku buat seikat lalu kita akan membawanya pulang.” Jadilah mereka berdua membawa tumpukan rami itu. Kemudian saat mereka sampai ke jalan desa lain, mereka menemukan setumpuk besar benang rami yang teronggok begitu saja, maka berkatalah si A, “Benang rami ini adalah apa yang kita butuhkan dari tumpukan rami ini. Mari kita buang rami ini dan melanjutkan perjalanan dengan membawa benang rami ini.” Tetapi si B menjawab, “Aku sudah menempuh perjalanan jauh dengan rami ini, lagipula ia sudah terikat dengan rapi. Aku sudah cukup dengan rami ini, kau lakukan saja apa yang kau suka.” Maka si A membuang tumpukan raminya dan membawa tumpukan benang rami yang baru ditemukannya. Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanannya.

Nah, apa pendapat Anda mengenai si A dan si B? Pikirkanlah terlebih dahulu lalu melanjutkan membaca.

Sampai di jalan desa lain, mereka berdua menemukan lagi kain rami yang telah dibuang. Berkatalah lagi si A, “Kain rami ini adalah apa yang kita butuhkan dari rami dan benang rami ini, mari kita buang saja beban yang kita bawa lalu kita ambil kain rami ini.” Tetapi si B menjawab seperti jawabannya yang tadi. Setelah si A mengangkut kain rami itu, mereka melanjutkan perjalanannya. Di desa lain mereka menemukan tumpukan batang linen, di desa lainnya lagi benang linen, lalu kain linen, kapas, benang katun, kain katun, besi, tembaga, perak, dan terakhir emas. Seperti sebelum-sebelumnya si A pun berkata, “Tumpukan emas ini adalah apa yang kita perlukan dari rami, benang rami, kain rami, batang linen, benang linen, kain linen, kapas, benang katun, kain katun, besi, tembaga, dan perak. Kau buanglah tumpukan rami itu dan akan kubuang beban perak yang kubawa, lalu mari kita membawa tumpukan emas ini.” Demikian juga si B menjawab, seperti sebelum-sebelumnya, “Aku sudah menempuh perjalanan jauh dengan rami ini, lagipula ia sudah terikat dengan rapi. Aku sudah cukup dengan rami ini, kau lakukan saja apa yang kau suka.” Maka si A membuang tumpukan peraknya dan mengangkut tumpukan emas itu.

Kemudian mereka pulang ke desa mereka. Di sana, si B tidak membawa kesenangan bagi orang tua, istri, dan anak-anaknya. Tidak pula bagi dirinya sendiri. Tetapi si A pulang dengan membawa kesenangan bagi orang tua, istri, anak, dan bagi dirinya sendiri.

Bagaimana? Mungkin, sebagian dari Anda sebelum menyelesaikan membaca cerita ini malah memberikan apresiasi pada si A, entah perihal “oknum yang sudah cukup bersyukur”, ataukah “kesetiaan yang picik terhadap ‘gagasan pertama’”. Jikalau demikian, Anda tidak perlu merasa aneh, itu sikap yang cukup wajar dalam masyarakat umum, itu adalah sikap skeptisme dogmatis. Kita cenderung mempertahankan pandangan/dogma kita atas dasar cinta buta, enggan mempertimbangkan pandangan lain meski pandangan yang baru ini lebih benar dan lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kita. Kita menutup mata terhadap hal-hal lain yang lebih mencerahkan dan membahagiakan, enggan untuk sekedar menguji pandangan baru itu, hanya karena ingin mempertahankan keyakinan awal kita karena sudah merasa nyaman bahkan meskipun kita tahu bahwa itu keliru.

Ya, begitulah manusia pada umumnya, dan begitu pulalah para ilmuwan. Anda dapat dengan mudah menemukan teori-teori yang cenderung dipertahankan oleh para ilmuwan, mempertahankan gagasan-gagasan lama meskipun telah dibuktikan tidak sesuai dengan data dan fakta. Kita tidak benar-benar ingin berubah. Padahal, meskipun berubah tidak menjamin hasil yang lebih baik, tetapi hasil yang lebih baik hanya mungkin diperoleh dengan melakukan perubahan.



Catatan:
Judul sebenarnya dari artikel ini “Skeptisme Dogmatis”, kisah di atas saya sadur dari Digha Nikaya 23.29.

Selengkapnya...

Selasa, 27 Desember 2011

Alkisah P di Negara I

Alkisah kemelut yang terjadi di Negara I.
Pihak X: “Hoi, kamu jangan melawan ya! Duduk tenang saja di sana, bos kami lagi sibuk merampas kekayaan alammu. Jangan melawan, kalau melawan kau kutembak!”
Pihak P: “Kenapa kau nembak? Kita kan satu bangsa?”
Pihak X: “Masa bodoh, kalau bos kami kenyang rampok kekayaan alammu, kami konco-konconya pun ikut kebagian hasilnya. Ha..ha..ha… (tertawa)”
Pihak P: “Lihatlah hidup kami bung! Sumber daya alam kami kalian jual ke pihak asing dan hasilnya tidak kami nikmati! Apa kami hidup makmur? Apa kami hidup layak? Apa kita sama-sama hidup di negara merdeka, atau cuma Anda yang merdeka?”
Pihak X: “Persetan!!! Hak..hak..hak… (tertawa ngakak nyaris keselek)”
Pihak P: “Ayo kawan-kawan, kita lawan!!!”

Reporter TV: “Para gerombolan P tadi pagi menyerang pihak X.”
(Pihak P nampak di latar belakang berteriak “Kami ingin merdeka!”)
K (pemirsa): “Napa sih, pihak P itu? Anarkis mulu, mau merdeka pula. Kita ini kan satu negara. Apa mereka tidak memikirkan jerih payah para pahlawan kita dulu yang berusaha menyatukan negara ini?”
Bos X: “Ha..ha… (tertawa) Kaya kita ini. Biar pun kita jual murah kekayaan alamnya pihak P, tapi kalau banyak ya kita untung juga. Kita bisa memperkaya diri, sisanya untuk bangun ibukota dengan proyek-proyek prestisius.”
Pihak X: “Iya bos… Anda senang kami juga senang.”
Pihak A: (Dengan bahasanya sendiri) “Negara I itu bodoh sekali ya, mereka maunya kita kibulin, jual murah barang kayak gini. Negara kita jadi kaya nih. Gya..hya..hya… (tertawa dalam bahasanya)”
Reporter TV: “Hari ini pihak P kembali berorasi menuntut kemerdekaan…”
D (pemirsa): “Lagi-lagi pihak P bikin rusuh. Apa sih, yang ada di kepalanya?”
R (seorang dari pihak P): “Mak, kok kita belum makan dari pagi ya?”
Ibunya R: “Sabar nak, kita lagi nggak punya uang.”
Y (seorang dari pihak X): “Hmmm… Enaknya cheese cake ini…”
D (pemirsa): “Bisa nggak sih, pihak P tenang-tenang sedikit?”
S (seorang dari pihak P): “Lho, buku saya basah. Bu guru, kok sekolah kita kayak nggak ada atapnya aja ya?
G (bu guru): "……………"
W (awam): “NKI (Negara Kesatuan I) harga mati!!!”
Pihak P: “Uhh.. kami hampir mati…”



Skaga, 2011




Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.