Tampilkan postingan dengan label filosofi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label filosofi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Juni 2018

Teori, Hukum, dan Hipotesa

Teori evolusi? Teori relativitas umum? Ah, itukan cuma teori! Pernah dengar ungkapan seperti itu dari seorang “pakar” yang berbicara tentang sains? Ya, katanya teori itu belum tentu benar; kalau sudah pasti benar mestinya disebut hukum. Pemahaman saya dulu pun juga seperti itu, karena guru saya mengajarkan demikian. Sebenarnya, pemahaman ini keliru. Tulisan ini adalah upaya saya untuk meluruskan miskonsepsi ini.

Penyebab utama kebingungan ini adalah dalam dunia ilmiah, teori memiliki pengertian yang agak berbeda dari pengertian umum yang digunakan sehari-hari. Berikut ini definisi teori menurut KBBI.

  1. (n) pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi
  2. (n) penyelidikan eksperimental yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi, argumentasi: -- tentang kejadian bumi; -- tentang pembentukan negara
  3. (n) asas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan: -- mengendarai mobil; -- karang-mengarang; -- hitung dagang
  4. (n) pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan sesuatu: --nya memang mudah, tetapi praktiknya sukar

Definisi (1) dan (2) merujuk pada definisi teori ilmiah sedangkan definisi (4) adalah definisi teori secara umum. Di sini, kita akan bahas satu per satu dari hukum alam, hipotesa, teori ilmiah, dan level pembuktian suatu teori ilmiah.

Hukum Alam

Hukum alam adalah suatu pernyataan yang memberikan deskripsi dan jalinan objek atau peristiwa di alam didasarkan pada observasi atau eksperimen yang dilakukan secara berulang. Hukum alam mendeskripsikan suatu sistem dan memberikan jalinan antara dua atau lebih parameter dalam sistem itu dalam keadaan tertentu dan lazimnya dinyatakan dalam bentuk matematis. Misalnya sistem A didefinisikan oleh parameter v, w, x, y, dan z. Bila dalam eksperimen nilai x digandakan dan v, w, dan y dijaga tetap menyebabkan z berubah menjadi setengahnya maka dipenuhi jalinan

$$ z = \frac{x}{2} $$

Jalinan di atas sudah dapat disebut hukum bila dapat direduplikasi dan selalu memberikan hasil yang sama. Hukum alam juga dapat memberikan jalinan antarparameter pada sistem yang terdiri dari dua atau lebih objek yang berinteraksi. Bagaimanapun, hukum alam tidak memberikan penjelasan ataupun deskripsi mengenai mekanisme yang berlangsung di belakangnya. Nilai-nilai parameter dalam satu sistem serta jalinannya satu sama lain dapat diamati, diubah, dan diukur dengan relatif mudah serta dapat diuji berkali-kali. Namun, mengetahui mengapa jalinannya seperti itu dan bagaimana mekanismenya bukanlah sesuatu yang bisal diukur secara langsung. Penjelasan semacam itu dapat diperoleh melalui inferensi atau penalaran berdasarkan hukum yang telah diketahui. Produk dari upaya inilah yang disebut sebagai teori ilmiah.

Hipotesa dan Teori ilmiah

Dalam proses merumuskan suatu teori ilmiah umumnya diperlukan suatu hipotesa. Hipotesa adalah asumsi sementara atau dugaan awal berdasarkan data awal yang terbatas yang digunakan sebagai patokan dalam membangun argumen atau teori atas suatu perkara (problem). Dalam pengertian teori secara umum, hipotesa termasuk teori, namun hipotesa tidak sama dengan teori ilmiah. Hipotesa adalah kerangka dalam proses pembangunan teori ilmiah. Dalam proses membangun suatu teori dari hipotesa, kesahihan suatu hipotesa diuji secara logis (apakah self consistent) maupun secara empiris (apakah menghasilkankan suatu konsekuensi yang bertentangan dengan fakta empiris). Jika ternyata hipotesa itu tidak lulus uji maka kita mesti membuang bagian tertentu atau bahkan keseluruhan hipotesa tadi dan kembali merumuskan teori berdasarkan hipotesa yang baru.

Salah satu aspek umum dalam membangun hipotesa adalah penerapan asas atau postulat. Seperti yang kita tahu, asas (dalam disiplin ilmu apapun) berlaku pada ranah tertentu. Bila kita menganalisa suatu sistem (perkara) yang belum dikenal dengan baik, seringkali kita belum dapat memastikan apakah sistem tadi termasuk dalam ranah yang tunduk pada asas tadi. Dalam hal ini, untuk sementara kita dapat mengasumsikan suatu sistem tunduk pada asas tertentu bila bukti-bukti terbatas yang ada menuntun demikian. Dalam pemodelan suatu sistem seringkali pula dilakukan proses idealisasi, yang mana akan dibahas kemudian. Bila asumsi yang digunakan pertama kali ternyata keliru juga tidak apa-apa, karena hipotesa akan melewati pengujian yang telah disebutkan di atas.

Teori ilmiah adalah penjelasan mengenai aspek-aspek tertentu di alam (objek atau peristiwa) yang dibangun secara sistematis berdasarkan kriteria dan metodologi ilmiah. Suatu teori ilmiah otomatis memuat hukum. Agar suatu teori dapat disebut sebagai teori ilmiah, teori itu harus logis, dapat diuji secara empiris, dan memiliki prediksi yang falsifiabel. Cara paling ampuh dalam merumuskan teori ilmiah adalah menggunakan metodologi ilmiah. Secara ringkas, metodologi ilmiah adalah rangkaian kerja berupa perumusan masalah, melakukan kajian latar belakang, membangun hipotesa, melakukan eksperimen atau observasi lanjut, menganalisa data, dan mengambil kesimpulan. Kesimpulan yang diperoleh selanjutnya dapat menjadi fondasi bagi teori baru atau menjadi bagian atau sanggahan dari suatu teori yang sudah ada.


Bagan metodologi ilmiah.
Sumber: https://www.sciencebuddies.org/science-fair-projects/science-fair/steps-of-the-scientific-method

Suatu teori dapat disebut teori ilmiah selama memenuhi syarat yang disebutkan di atas. Hal ini berarti teori ilmiah bisa benar bisa juga salah, yang penting memenuhi syarat ilmiah. Di sinilah fungsi testabilitas dan falsifiabilitas dari teori ilmiah. Teori yang prediksinya terbukti salah oleh eksperimen/observasi lebih lanjut mestilah dikoreksi atau bahkan diabaikan. Adapun teori ilmiah yang prediksi-prediksinya telah terbukti disebut teori yang telah diverifikasi (verified theory). Teori yang telah diverifikasi, tidak pernah terbukti keliru selama bertahun-tahun serta telah menjadi landasan dari teori lain yang juga telah diverifikasi dikenal sebagai sebagai teori mapan (well established theory). Jadi, hanya karena dua teori sama-sama berpredikat sebagai teori ilmiah tidak berarti derajad kebenarannya juga sepantaran.

Berikut ini diberikan contoh proses konstruksi hukum alam dan teori ilmiah. Penyelidikan/investigasi mengenai sifat-sifat termodinamika gas bermula dari eksperimen untuk mengetahui jalinan antarparameter pada gas. Karakteristik fisis suatu gas umumnya diberikan oleh jumlah molekul (\(n\)), volume (\(V\)), tekanan (\(P\)), dan temperatur (\(T\)). Dari berbagai eksperimen yang dilakukan oleh para ilmuwan dan telah jutaan kali direplikasi, ditemukanlah hukum-hukum yang dikenal sebagai berikut.

  • Hukum Avogadro: \(V \propto n\)
  • Hukum Gay-Lussac: \(P \propto T\)
  • Hukum Charles: \(V \propto T\)
  • Hukum Boyle: \(P \propto 1/V\)

Tentunya, temuan itu tidak didapatkan sekali waktu. Setelah semuanya diketahui, kita dapat mengabungkan semua hukum tadi sebagai hukum gas ideal,

$$ PV = nkT $$

Hukum gas ideal memberikan jalinan lengkap mengenai parameter-parameter fisis gas ideal. Bagaimanapun, sampai di situ saja kita tidak akan mengetahui detail proses dan mekanisme yang terjadi dalam gas. Jika dibahasakan secara keren: pertanyaan ‘mengapa’ belum terjawab. Untuk itulah ilmuwan berupaya menemukan atau membangun teori yang bisa menjelaskan fakta-fakta di atas. Teori ini dikenal sebagai teori kinetik gas. Teori kinetik gas dibangun atas asumsi-asumsi sebagai berikut.

  1. Gas terdiri atas molekul yang berukuran sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak rerata antarmolekul (syarat kesahihan: tekanan cukup rendah).
  2. Gas terdiri atas molekul yang sangat banyak sehingga dapat dilakukan pendekatan statistik.
  3. Molekul-molekul gas bergerak secara acak.
  4. Bila molekul bergerak sangat cepat, energi kinetik reratanya cukup tinggi sehingga interaksi antarmolekul selain melalui tumbukan dapat diabaikan (syarat kesahihan: temperatur cukup tinggi).

Teori kinetik gas menjelaskan secara kuantitatif proses yang terjadi pada gas (dalam batas kondisi tertentu sejauh yang diberikan dalam asumsi). Teori ini memberikan prediksi berupa distribusi energi dan momentum molekul-molekul dalam gas yang ternyata konsisten dengan hukum gas ideal.

Falsifiabilitas

Konsep falsifiabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Karl Popper sebagai suatu kriteria ilmiah mengingat keterbatasan testabilitas dalam proses induksi. Suatu pernyataan disebut falsifiabel bila terdapat suatu cara untuk menyanggah pernyataan itu atau membuktikan bahwa pernyataan itu keliru. Contoh yang populer ialah pernyataan “Semua angsa berwarna putih” memenuhi syarat falsifiabilitas karena secara praktis (atau syarat yang lebih longgar: secara teoritis) dimungkinkan suatu cara untuk menyanggah klaim tersebut, dalam hal ini menunjukkan angsa yang memiliki warna selain putih. Semenjak angsa hitam telah ditemukan hidup di Australia, pernyataan tadi bernilai salah. Contoh pernyataan yang tidak falsifiabel secara praktis semisal “Sebuah teko teh mengorbit Matahari dalam orbit di antara orbit Bumi dan Mars”. Contoh ini dikenal sebagai Russell’s teapot, dinamakan menurut pengarangnya, Bertrand Russell. Secara praktis, mustahil mengecek ada teko teh (yang kita ketahui hanya dibuat oleh manusia) mengorbit Matahari pada jarak sejauh itu. Semenjak klaim itu tampaknya tidak memungkinkan (meskipun bisa jadi benar) dan tidak mempunyai manfaat apa-apa maka berdasarkan asas skeptisme tidak ada gunanya mempercayai pernyataan tadi . Adapun pernyataan “hujan di suatu lokasi di Bumi disebabkan oleh dewa hujan di surga yang bersin ke arah tertentu” adalah pernyataan yang tidak falsifiabel bahkan secara teoritis. Di mana surga dan dewa hujan itu? Bagaimana caranya mengecek hujan dapat terjadi meskipun dewa hujan tidak sedang bersin? Karena alasan itu, pernyataan semacam ini jelas jauh dari ranah ilmiah.

Ruang Lingkup Suatu Hukum dan Teori

Dalam membangun sebuah teori seringkali dilakukan idealisasi. Idealisasi adalah pembatasan suatu sistem pada kondisi tertentu saja, mengabaikan faktor-faktor yang tidak memiliki pengaruh besar (dalam level realitas tertentu) yang akan membuat tinjauan menjadi sangat kompleks. Artinya, dengan mengabaikan faktor-faktor minor, kita dapat membuat model yang lebih sederhana tanpa banyak mengorbankan akurasi teori atau model yang dibuat. Tentu saja, faktor yang diabaikan ini tidak berarti dilupakan. Suatu teori digunakan dengan tetap mengingat asumsi-asumsi yang mendasarinya. Bila ditemukan suatu sistem dengan perkara serupa namun berada di luar batas asumsi, permasalahan mesti diselesaikan dengan memperhitungkan faktor yang sebelumnya diabaikan.

Pembatasan inilah yang perlu dikenali saat menggunakan atau menguji suatu teori. Teori hanya ‘bertanggung jawab’ menjelaskan objek atau fenomena dalam cakupan yang didefinisikan oleh teori itu sendiri. Menyangkal teori kinetik gas dengan memberikan counterexample fenomena pada kondensat tentu saja konyol. Teori kinetik gas telah memberikan batasan hanya berlaku pada gas ideal sejak awal sehingga hanya memberikan hampiran yang bagus untuk gas yang mendekati gas ideal.

Kadangkala, hukum dan teori mapan pun bisa salah meskipun mustahil sepenuhnya salah. Kesalahan yang mungkin dialami oleh hukum dan teori mapan adalah bahwa cakupannya tidak seluas yang dikira sebelumnya. Hal ini mungkin terjadi karena dalam perumusannya, suatu faktor yang terkait dengan sistem benar-benar tidak teramati atau luput dalam level pengamatan yang dilakukan sebelumnya. Contoh populer dalam hal ini adalah hukum gravitasi Newton dan teori evolusi Darwin.

Hukum gravitasi Newton dirumuskan oleh Isaac Newton memberikan jalinan dinamis antara massa dan potensial gravitasi yang diciptakannya. Dalam hukum gravitasi Newton, interaksi gravitasi memenuhi jalinan

$$ \nabla^2 \Phi = 4πG\rho $$

Dengan \(\Phi\) adalah potensial gravitasi, \(G\) tetapan gravitasi universal, dan \(\rho\) adalah kerapatan massa per volume. Adapun gerak benda dalam pengaruh medan gravitasi dapat diberikan menggunakan ketiga hukum gerak Newton.

Ketika Einstein merumuskan teori gravitasinya, ia menggunakan tiga postulat: asas kesetaraan, asas kovariansi. Teorinya itu memuat jalinan antara potensial gravitasi dan materi-energi yang hadir dalam ruang.

$$ R_{\mu\nu} - \frac{1}{2} g_{\mu\nu} R = \frac{8πG}{c^4} T_{\mu\nu} $$

Kita dapat menyebut jalinan di atas sebagai hukum gravitasi Einstein, meskipun ungkapan itu jarang digunakan (jalinan di atas umumnya disebut persamaan medan Einstein). Sebagaimana mekanika Newtonian gagal dalam kasus benda dengan kelajuan mendekati kelajuan cahaya maka hukum gravitasi Newton juga gagal dalam kondisi itu. Teori relativitas umum (TRU) dirumuskan agar kompatibel dengan teori relativitas khusus (TRK), yang mana valid untuk sembarang nilai kelajuan. Berdasarkan teori relativitas umum, gravitasi adalah efek kelengkungan ruang yang diakibatkan oleh distribusi massa dan energi di dalamnya. Jadi, menurut TRU, sembarang bentuk energi juga memiliki potensial gravitasi! Hal ini luput di mata ilmuwan sebelumnya karena kesetaraan massa dan energi terkait dengan faktor yang sangat besar: kelajuan cahaya kuadrat. Oleh karenanya, efek gravitasi dari level energi yang umum teramati sehari-hari tidak ada apa-apanya dibandingkan efek gravitasi dari satu kilogram massa. Perbedaan postulat ini menyebabkan TRU memprediksi fenomena yang tidak sesuai dengan hukum gravitasi Newton dalam level kelajuan tinggi dan medan yang sangat kuat. Prediksi TRU sejauh ini telah banyak terbukti (pergeseran merah gravitasi, pelengkungan cahaya, presesi orbit planet, gelombang gravitasi) dan teori ini belum pernah terbukti salah. Meskipun demikian, kita tidak dapat mengatakan hukum gravitasi Newton sepenuhnya salah. Kita hanya perlu merevisi cakupannya: hukum gravitasi Newton valid dalam sistem nonrelativistik.

Pun demikian halnya dengan teori evolusi Darwin (TED). Meskipun teori ini memiliki banyak missing link, TED terbukti sukses menjelaskan variasi spesies di Bumi. Esensi dari TED: variasi acak, seleksi alam, dan survival of the fittest tetap kokoh melewati ujian. Perkembangan teori genetika dan teknologi biomolekuler memberikan pemahaman baru mengenai mekanisme yang berperan dalam variasi dan pewarisan sifat makhluk hidup. Berhubung teori evolusi Darwin adalah teori, bukan hukum, kita justru dapat terus merevisinya alih-alih membatasi cakupannya, selama pondasinya tidak tumbang. Teori evolusi Darwin pun kini juga berevolusi menjadi teori evolusi modern dan merupakan teori mapan dalam disiplin ilmu Biologi.


Selengkapnya...

Selasa, 26 Maret 2013

Buku Baru!!!

Akhirnya selesai juga buku ke-3 saya yang berjudul "Konsep Berpikir Dari SIstematika Filsafat hingga Loggika Matematika".

Buku ini garis besarnya berisi antara lain

  1. Dasar sistematika filsafat
  2. Proses berpikir
  3. Logika Matematika
  4. Pemecahan Masalah
  5. Aksiologi dan Pluralisme

Untuk lengkapnya silakan dibaca di bawah ini atau download di sini.


Konsep Berpikir - edisi cetak.pdf by Sunkar E. Gautama

Selengkapnya...

Selasa, 05 Februari 2013

Paradoks Epimenides: Epimenides Berbohong!

Pada postingan sebelumnya mengenai paradoks Epimenides atau liar paradox, dituliskan adanya keadaan kontraintuitif dari pernyataan:

Epimenides seorang Kreta memberikan pernyataan, “Semua orang Kreta adalah pembohong”.

Tentunya kita akan mengambil kondisi ideal dengan menganggap “pembohong” berarti “selalu berkata bohong”, karena jika tidak maka paradoks tadi tidak lagi menjadi paradoks. Potongan kisah Epimenides saya kutip di bawah ini*:

They fashioned a tomb for three, O holy and high one
The Cretans, always liar, evil beast, idle belliest
But thou art not dead: thou livest and abidest forefer
For in three we live and move and have our being
—Epimenides, Cretica

Jadi, asumsi kita mendeskripsikan “pembohong” sebagai “selalu berkata bohong” tidaklah keliru.

Kita telah mencoba memecahkan paradoks ini sebelumnya. Jika Epimenides berkata jujur, maka berarti yang dikatakannya benar yakni orang Kreta selalu berkata bohong. Tentunya ini kontradiksi dengan pernyataan awal (ingat Epimenides juga orang Kreta), Epimenides berkata jujur. Jika Epimenides berkata bohong, artinya “semua orang Kreta selalu bebohong” tidak benar. Nah, kalau kita menggunakan logika yang dangkal, kita akan melihat jika “semua orang Kreta selalu berbohong” tidaklah benar, berarti semua orang Kreta jujur, yang bertentangan dengan asumsi sebelumnya, Epimenides berbohong. Ternyata, jika kita menggunakan logika matematika, akan jelas bahwa Epimenides sebenarnya berbohong—tanpa kontradiksi!

Misalkan nilai kebenaran pernyataan Epimenides kita simbolkan sebagai \(A\) jika benar dan \(\neg A\) jika salah (kebohongan). Orang Kreta kita simbolkan sebagai \(x\), dan selalu berkata bohong sebagai \(\neg P(x)\) (anggap selalu berkata jujur sebagai \(P(x)\)). Jadi, pernyataan di atas dapat kita tuliskan dalam notasi:

“Epimenides berkata jujur jika dan hanya jika semua orang Kreta selalu berkata bohong”.

$$ A \Leftrightarrow \forall (x)(\neg P(x)) $$ dan ingkarannya:

“Epimenides berbohong jika dan hanya jika tidak benar bahwa ‘semua orang Kreta selalu berkata bohong’”.

$$ \neg A\Leftrightarrow \neg \left [\forall(x)\: (\neg P(x)) \right ] $$

Menggunakan hukum ingkaran dari pernyataan berkuantitas, diperoleh

$$ \neg A\Leftrightarrow \exists (x)\: (\neg (\neg P(x)))) $$ $$ \neg A\Leftrightarrow \exists (x)\: P(x) $$

Jadi, pernyataan “Epimenides berbohong jika dan hanya jika tidak benar bahwa ‘semua orang Kreta selalu berkata bohong’ ” setara dengan “Epimenides berbohong jika dan hanya jika ada orang Kreta yang selalu berkata jujur”. Jadi, jika Epimenides berbohong, artinya ada orang Kreta yang selalu berkata jujur. Lihat, tidak ada kontradiksi di sini. Ada orang Kreta yang selalu berkata jujur tidak harus berarti semuanya selalu berkata jujur, mungkin saja ada yang pernah berbohong—dan salah satunya ialah Epimenides.

Oke, tadi kita mendefinisikan \(P(x)\) sebagai selalu berkata jujur. Pun bila kita mendefinisikan \(P(x)\) sebagai tidak selalu berkata bohong, tetap tidak akan muncul kontradiksi bila Epimenides berbohong. Jika Epimenides berbohong, artinya ada orang Kreta yang tidak selalu berkata bohong. Lihat, tidak ada kontradiksi juga di sini. Orang Kreta tidak selalu berkata bohong bisa saja berarti terkadang mereka berbohong dan ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa Epimenides baru saja berbohong.

Kesimpulannya: Epimenides berbohong. Paradoks Epimenides terselesaikan.



* https://en.wikipedia.org/wiki/Epimenides_paradox

Baca juga:

Paradoks Epimenides
Paradoks tukang cukur
Paradoks tahanan
Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.