Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Agustus 2018

Ulat dan Kupu-kupu

Belakangan ini, media (utamanya media sosial) semakin ramai dengan berbagai kritik, makian, hingga fitnah. Well, tidak ada pembenaran bagi fitnah dan berita hoax, tapi memaki-maki itu tidak bisa disalahkan selama didasarkan pada data faktual dan dinalar secara rasional. Pemerintah memang inkompeten, tidak amanah, zalim. Parlemen bangsatnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Hati mereka tidak berpihak pada rakyat, tidak membuat hidup kita menjadi lebih nyaman dan sejahtera. Oposisi juga sama brengseknya, segala aksinya didasarkan pada kepentingan golongannya sendiri. Tapi, tunggu dulu.... Mereka asalnya dari mana? Apakah mereka datang dari luar angkasa, menumpang asteroid lalu mendarat di Republik ini? Ataukah kita mengimpornya dari pasar loak di negara antah-berantah? Bagi yang lupa, ini jawabannya: mereka adalah rakyat Indonesia juga, dipilih oleh rakyat sendiri secara demokratis.

Ilustrasi ulat.
Kredit: Didier Descouens - Own work, CC BY-SA 4.0,
https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=10996793

Tiap orang tentunya memiliki kepribadian dan karakter sendiri-sendiri, namun umumnya terdapat kesamaan karakter pada orang-orang yang hidup di lingkungan berdekatan. Hal ini dikarenakan pola pikir dan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat di mana dia hidup dan dibesarkan. Kesamaan karakter yang umum ini masih akan tampak ketika kita memperluas lingkup masyarakat yang ditinjau, meskipun jumlah kesamaan itu akan semakin sedikit. Kita bisa melihat karakter masyarakat dalam etnis hingga negara tertentu. Sekali lagi, yang kita bahas adalah kualitas umum yang dominan dalam distribusi karena tentu saja terdapat variasi hingga anomali.

Tentu saja kita berhak, bisa, atau bahkan selayaknya mengkritik pemerintah atau anggota dewan, yang mana mengemban amanat dari rakyat. Tapi, acapkali orang yang mengkritik terlalu asyik hingga lupa bahwa kualitas pejabat negara adalah presentasi dari kualitas rakyat negara itu. Ya, kualitas kita, rakyat biasa, dan pemerintah itu sebelas-dua belas. Apalagi di negeri yang masih banyak rakyatnya memilih pemimpin atas dasar kesamaan jenis di atas kualitas dan kompetensi. Rata-rata kita memiliki pola pikir dan sikap seperti ini, ya rata-rata mereka juga begitu. Bedanya, rakyat biasa hidup di kolam kecil, makannya sedikit. Mereka yang hidup di kolam besar ya makannya banyak juga. Mereka semata-mata memiliki lebih banyak jalan, fasilitas dan keleluasaan dalam melakukan gaya hidupnya.

Memangnya, bagaimana sih karakter rata-rata orang Indonesia? Kalau pengamatan saya tidak salah, kita cenderung malas dan sering datang telat jika tidak ada paksaan. Saat sekolah kadangkala bolos, tidur di kelas, menggosip sambil berbisik dengan teman, atau main game sembunyi-sembunyi. Banyak dari kita malas mengerjakan pekerjaan rumah sebagaimana mestinya. Begitu hari p.r. dikumpulkan, pagi harinya barulah kita sibuk mencari satu-dua teman rajin yang telah menyelesaikan pekerjaan rumahnya untuk disalin. Kita baru bersemangat saat lonceng tanda istirahat berbunyi atau dosen tidak masuk kelas. Jika kita beruntung jadi pejabat pemerintah atau anggota parlemen, kita membawa kebiasaan kerja malas-malasan pula. Masuk kantor telat, suka bolos atau tidur saat rapat, kerja ala kadarnya. Begitu kunjungan kerja ke luar negeri baru bersemangat.

Kita tidak jujur, suka berbuat curang. Saat masih sekolah, kita suka mencontek saat ujian, menitip absen pada teman. Kita kurang amanah. Saat meminjam uang atau barang dari teman, enggan mengembalikan kalau tidak ditagih. Kadangkala barang yang kita pinjam dipinjamkan lagi ke orang lain. Kalau kita beruntung jadi pejabat, kebiasaan ini bisa diterapkan ketika mengurus keuangan negara. Mark-up anggaran, korupsi, kolusi, ingkar dari janji kampanye. Hei, kebanyakan kita juga hobi menyuap. Siapa yang lebih suka ditilang daripada mengambil jalan damai ketika melanggar peraturan lalu-lintas? Kalau ada uang lebih, beri “uang rokok” pada pegawai kantor kecamatan agar berkas-berkas cepat selesai? Sayang sekali kita belum berkesempatan menjadi pengusaha besar yang bisa terlibat dalam proyek-proyek pemerintah. Kalau nanti jadi, hobi kita bisa disalurkan untuk menyuap pejabat.

Kita tidak peduli lingkungan. Sebagian besar karena kita jauh lebih mementingkan kemudahan jangka pendek daripada konsekuensi jangka panjang. Berapa banyak perokok dari rakyat jelata yang selalu mencari tempat sampah untuk membuang puntung rokoknya? Siapa yang anti buang sampah sembarangan? Pernah lihat ruang kelasmu bebas dari tisu dan kemasan makanan/minuman setelah kuliah selesai? Kita terbiasa buang sampah di jalan, pelataran ruang publik, hingga sungai. Setelah banjir baru menyesal, tapi tiga hari setelah banjir surut penyesalannya dilupakan kembali. Nanti kalau sudah jadi pejabat, bakat tidak mempedulikan lingkungan ini dilanjutkan. Proyek yang merusak lingkungan tanpa manfaat jangka panjang yang signifikan lebih besar diizinkan. Yang penting ada keuntungan bagi kita saat ini, konsekuensinya pada orang lain dan generasi masa depan ya urusan belakangan.

Kita tidak taat aturan. Sewaktu masih mahasiswa, aturan kampus dilanggar. Properti kampus dicorat-coret dan dirusak. Di jalan aturan lalu lintas dilanggar. Naik motor melawan arus hanya untuk memotong perjalanan beberapa puluh meter. Belum lagi trotoar pun dilintasi atau dijadikan tempat parkir. Lampu merah diterobos kalau jalan di depan sepi. Dinding terminal, prasarana publik atau prasaran kampus dijadikan objek vandalisme. Bahu jalan hingga sebagian jalan raya dan trotoar dijadikan lapak jualan.

Gila kuasa dan penghormatan? O..ho..ho.... Siapa yang tak senang menyuruh-nyuruh junior ketika di kampus? Memaksa mereka melakukan hal konyol hingga absurd? Hm, kita baru saja mendapat status sebagai mahasiswa senior, saatnya memanfaatkan status ini semaksimal mungkin. Tunggu..., jangan berpikiran buruk dulu. Kita melakukan hal itu pada adik-adik (gratis, tanpa wewenang dan tanpa diminta, barangkali dengan sedikit memaksa) untuk melatih mental mereka, karena kita peduli. Dengan begitu mental mereka jadi lebih kuat sehingga tahun-tahun depan telah memiliki keterampilan untuk merundung yang lebih lemah juga. Nah! Nanti kalau sudah jadi pejabat, kita juga harus melatih mental masyarakat kecil.

Hal-hal yang saya tulis di atas adalah suatu keumuman lho. Belum termasuk hal-hal yang lumayan jarang atau langka seperti pencurian bagian dari sarana umum untuk dijual kiloan. Belum termasuk sentimen pada kelompok suku, etnis, atau umat agama lain. Belum termasuk kebiasaan menyebar fitnah atas dasar kebencian (Well, meskipun belakangan ini semakin kerap). Belum termasuk aksi perundungan atau kekerasan atas motif agama dan politik.

Tentu saja opini ini sekedar opini receh dari saya saja. Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mematikan semangat kepedulian kita kepada masyarakat, bangsa dan negara melalui kritik kepada pihak yang berwenang dan bertanggung jawab. Ini cuma ungkapan kejenuhan dengan yang sudah-sudah. Barangkali juga suatu sudut pandang pesimis melihat kubu-kubu yang mempromosikan balon pemimpin yang katanya sanggup merubah masa depan negeri ini menjadi jauh lebih baik. Pemerintah, parlemen, dan tokoh-tokoh nasional itu pantas menerima kritik hingga makian kita, meskipun sebagian besar dari mereka tak suka dikritik oleh yang lebih muda sebagaimana sebagian besar dari kita juga demikian. Jadi, tidak perlu pura-pura kaget. Kita sudah punya gambaran mengenai pemimpin baru kita nanti. Karena mereka adalah kupu-kupu. Kita ulatnya, dari spesies yang sama.


Selengkapnya...

Rabu, 04 Juli 2018

Common Sense dalam Hal-hal yang Tidak Begitu Umum

Sepekan yang lalu muncul isu mengenai munculnya ikan jenis pirarucu (Arapaima gigas) di aliran Sungai Brantas di Sidoarjo dan Surabaya. Di media, diberitakan ikan ini ditangkap warga bersama suatu lembaga swadaya untuk kemudian dimusnahkan. Membaca komentar pengunjung adalah salah satu hal menarik yang hanya bisa ditawarkan oleh media daring. Beberapa pengunjung menyayangkan ikan yang katanya mahal dan langka itu dibunuh. Ada menyarankan dilepaskan kembali, ada yang menyarankan dipindahkan, ada yang menyarankan dijual, dan sebagainya.

Ikan pirarucu yang ditangkap warga di Surabaya.
Sumber: news.detik.com

Dengan hanya mengandalkan common sense, tanpa pengetahuan teknis sama sekali mengenai topik terkait, barangkali saya juga akan berpikiran serupa. “Ngapain ikannya dibantai?” “Kan sayang?” “Kan kasihan? Nggak dimanfaatkan juga”. Syukurlah saya nyaris selalu melek saat jam pelajaran biologi saat masih duduk di sekolah menengah dulu. Saya masih mengingat topik mengenai rumitnya jalinan dalam suatu ekosistem dan bagaimana spesies invasif dapat merusak keseimbangan ekosistem. Di buku saya dulu ada kolom “Tahukah Kamu?” yang memberikan informasi mengenai invasi bintang laut Pisaster yang merusak koral. Ya, memperkenalkan suatu spesies baru ke dalam suatu lingkungan dapat membawa banyak masalah. Spesies baru ini akan menciptakan jalinan biologis baru di ekosistem barunya seperti predasi, kompetisi, dan penyebaran parasit atau penyakit. Ketika suatu spesies asing dengan kondisi habitat asli yang lebih keras dibawa ke habitat baru yang lebih nyaman, mereka akan dengan mudah menyaingi spesies asli dalam memperoleh makanan. Spesies pendatang juga dapat membawa parasit dari kampung halamannya. Spesies ini sendiri telah memiliki sistem kekebalan hingga tingkat tertentu akibat telah lama hidup bersama sang parasit. Namun, ketika parasit ini menyebar di lingkungan baru, spesies-spesies di daerah itu akan sangat rentan oleh serangan penyakit yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.

Hal semacam ini telah lama dikenal oleh ahli biologi sehingga banyak negara (termasuk Indonesia) telah menerapkan aturan tertentu mengenai pembatasan masuknya spesies asing (fauna maupun flora) ke dalam wilayahnya. Dari sudut pandang ilmu biologi dan hukum positif, pemberantasan predator asing yang mengancam ekosistem lokal dapat dibenarkan. Dalam kasus ini, yang salah adalah pehobi yang gemar memelihara dan mengoleksi spesies eksotis namun enggan mencari literatur yang cukup dan mempelajari hal-hal terkait aturan dalam memelihara spesies yang ingin dipeliharanya. Ketika sudah bosan memelihara atau ukuran peliharaannya sudah terlampau besar untuk diurus, satwa itu dilepasliarkan saja. Atau barangkali hewan itu tidak dipelihara dalam kandang yang sesuai sehingga memungkinkan mereka lepas ke alam.

Maksud saya membahas berita ini (di antara banyaknya berita lain yang lebih penting) semata-mata untuk menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengandalkan common sense dalam hal-hal dengan jalinan teknis yang tidak kita pahami dengan baik. Kadangkala, kesimpulan yang tampaknya begitu wajar ternyata keliru karena esensi dari perkara itu luput dari perhitungan kita.

Sebagai contoh pribadi, saya dulu terbiasa menautkan berkas (seperti gambar) di blog saya langsung dengan menyematkan url aslinya dengan niat menghargai pemiliknya yang sah. Anggapan saya adalah, selain mengakui hak kepemilikan berkas, hal ini juga menjaga riwayat berkas asli dapat ditelusuri dengan mudah. Ternyata hal ini keliru. Aktivitas yang disebut sebagai hotlinking ini berpotensi merugikan pemilik berkas asli karena kita mencuri bandwith mereka. Ketika seseorang mengakses halaman blog saya yang memuat berkas yang di-hotlink, peramban mereka akan memanggil berkas terlampir dari situs host-nya. Jika aksi ini dilakukan banyak orang secara terus-menerus, bisa dibayangkan banyaknya bandwith yang terpakai. Pengunggah berkaslah yang harus membayarnya (jika ia memiliki akun berbayar), bahkan meski mereka tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari lalu lintas jaringan ini (situsnya sendiri tidak dikunjungi). Untuk itulah sebaiknya kita tidak sembarangan melakukan hotlinking, kecuali pemilik asli berkas mempersilakannya atau bahkan memberikan fitur pemuatan khusus untuk keperluan itu (seperti pada Scribd atau Youtube). Jika berkas yang ingin Anda gunakan memiliki atribut bebas-pakai, unggahlah kembali di akun Anda sendiri. Jika hak cipta berkasnya dilindungi, ya jangan diunggah lagi. Arahkan saja pembaca Anda ke situs sumber.

Saya juga pernah berdebat mengenai teori relativitas khusus dengan seorang pengajar yang mengklaim TRK keliru, postulatnya tidak valid dan memberikan konsekuensi yang inkonsisten berdasarkan common sense. Ia menyodorkan paradoks kembar sebagai argumentasi. Sebenarnya paradoks kembar tidak lagi bersifat paradoks jika dianalisa secara teliti. Dua orang saudara kembar A dan B; si A yang diam di Bumi dan si B yang dibawa ke dalam perjalanan antariksa ke suatu sistem bintang X pulang balik tidak memiliki kerangka yang simetri. Betul bahwa ketika B telah bergerak dengan kelajuan konstan, kerangka keduanya sama-sama inersial dan masing-masing dapat mengklaim saudaranyalah yang bergerak. Namun, ketika B berangkat dan berbalik arah kembali ke Bumi, ia harus melakukan percepatan untuk mengubah kecepatannya dari \(0\) ke \(v\) dan dari \(v\) ke \(–v\) berturut-turut. Hal ini menyebabkan kerangka si B tidak inersial dalam keseluruhan durasi perjalanan. Dengan memperhitungkan transformasi kerangka B pada kedua momen ini, perhitungan berdasarkan kerangka A maupun B akan konsisten: B akan lebih muda daripada A. Hal inilah yang tidak dipahami (dan tidak mau dipahami) oleh orang pintar yang berdebat dengan saya tadi.

Yah, membangun pendapat awal atau praduga atas suatu masalah atau isu yang kita dengar adalah hal yang wajar (bahkan seringkali perlu). Namun, dugaan haruslah diperlakukan sebagai dugaan. Selalu uji dan pertanyakan pendapat awal kita. Kita harus menginsafi bahwa common sense kita terkadang tidak cukup dalam memahami hal-hal kompleks yang sarat akan hal-hal teknis. Sebagai seorang intelek, sebaiknya kita menyatakan pendapat awal (tentang hal-hal yang bukan bidang kita) kita secara rendah hati dan bertanya pada pakar di bidangnya atau mendiskusikannya dengan orang lain. Dengan begitu, kita membuka pintu untuk mendapatkan pengetahuan baru yang berharga. Menyatakan pandangan kita atas suatu hal dengan penuh percaya diri tanpa dilandasi dengan pemahaman mengenai topik terkait hanya akan membuat kita terlihat bodoh. Anda dan saya tentu tidak mau terlihat bodoh.


Selengkapnya...

Selasa, 26 Juni 2018

Standar Busana dan Potensi Serangan Seksual

Tulisan ini saya buat berdasarkan diskusi daring dengan beberapa kenalan mengenai hijab bagi wanita beberapa waktu lalu. Pembicaraan kami dimulai dari argumen kekecewaan kenalan beliau atas larangan berhijab bagi wanita di beberapa perusahaan/instansi yang dulu pernah menjadi topik hangat dan kemudian berlanjut ke berbagai hal yang berkaitan.

Saya, sebagai seorang humanis, selalu mendukung tiap orang untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri berdasarkan selera atau preferensinya (dengan latar ideologi atau apa pun) selama tidak melanggar hak atau berpotensi merugikan orang lain. Jadi, pada dasarnya saya sependapat dengan kenalan saya itu. Ia pun membahas mengenai keuntungan wanita mengenakan hijab untuk menghindari perbuatan tidak diinginkan dari pria mesum. Hal ini menarik saya untuk menggalinya lebih jauh.


Ilustrasi pelecehan seksual

Di lingkungan saya sekarang ini (dan saya rasa, kurang lebih sama dengan rata-rata masyarakat di negeri ini), umumnya standar berpakaian wajar bagi wanita di ruang publik ialah bawahan setidaknya sampai ke lutut dan atasan menutup perut, dada dan pangkal lengan. Karena kelaziman ini, umumnya pria tidak berpikiran tidak-tidak jika melihat wanita dengan pakaian semacam itu (tentu bisa jadi berbeda jika ada gerakan sensual atau semacamnya, tapi kita membatasi pembahasan ini dari aspek busana saja). Tentunya, pasti ada pria mesum yang tetap saja terangsang jika melihat wanita dengan pakaian yang masih tergolong wajar semacam itu (apalagi bila wanita itu cantik), dan kalau moralitasnya hanya sebesar spora mungkin ia terpicu untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji.

Di sisi lain, meskipun kelaziman busana wanita seperti yang disebutkan di atas, tidak sedikit pula wanita yang berbusana lebih minim daripada itu. Dalam kasus ini, pria yang tidak terhitung mesum pun bisa berpikiran kotor bila melihatnya. Oleh karenanya, berbusana sopan dan wajar dapat menghindarkan wanita dari potensi serangan “binatang buas”.

Sekarang mari kita tinjau daerah lain, dengan standar kewajaran berbeda. Di Bali, Sulut dan Papua misalnya, standar busana wajar bagi wanita tidak seketat itu. Oleh karenanya, pria papua umumnya tidak merasakan dorongan khusus jika melihat wanita berbusana yang terhitung superminim bagi kita. Mereka merasa biasa-biasa saja. Dari sini kita bisa melihat bahwa faktor yang dapat memicu dorongan seksual pada pria (saya sebut faktor S) bergantung pada kondisi sehari-hari lingkungan mereka.

Tentunya, dengan memakai busana yang lebih tertutup daripada standar wajar (seperti mengenakan hijab) secara signifikan dapat mereduksi potensi wanita mendapatkan serangan seksual. Lagi pula, katanya, daripada laki-laki repot-repot berlatih mengendalikan nafsunya, lebih baik wanita yang mencegah dengan membungkus dirinya. Hmpff….

Selanjutnya muncul pertanyaan, apa yang terjadi ketika berhijab mulai menjadi kelaziman di suatu lingkungan? Jawaban saya adalah, standar faktor S pun bergeser menyesuaikan. Jika dulu pria normal tidak berpikiran negatif ketika melihat betis wanita (ceteris paribus), kini menjadi mulai berpikiran negatif semenjak semakin jarang ia bisa melihat betis wanita. Ini bukan hal yang di luar dugaan. Di lingkungan saya tinggal, mengenakan hijab tampaknya tidak menghasilkan faktor repulsif bagi birahi kebanyakan laki-laki. Eksterimnya, cukup banyak orang yang saya ketahui yang justru memiliki semacam fetish pada wanita berhijab. Kalau Anda pernah tersesat (ataukah mampir secara berkala) ke situs-situs web dengan konten dewasa, Anda mungkin menemukan member atau utas khusus “hijab lovers” di sana.

Pada akhirnya, saya memperoleh kesimpulan atas pernyataan kenalan saya. Wajar saja seseorang mengenakan hijab semata-mata dengan alasan karena itu perintah agamanya. Hanya saja, kalau Anda beranggapan mengenakan hijab bisa secara signifikan menghindarkan Anda dari serangan seksual, itu hanya berlaku selama sebagian besar wanita di lingkungan Anda tidak mengenakannya. Mohon tidak menganggap tulisan ini berupaya mendemoralisasi wanita yang aktif mengenakan hijab, niqab, dan sejenisnya. Tulisan ini semata-mata mengkritik anggapan dan pandangan pria bejat serta pria (bahkan wanita) yang terlampau suci yang justru menyalahkan wanita yang menjadi korban serangan seksual karena memiliki preferensi berbusana yang berbeda dari mereka. Entah sejauh apa wanita menutup dirinya, pola pikir laki-laki akan beradaptasi dengan lingkungannya. Serangan seksual terhadap wanita tidak dapat dihentikan kecuali semua pria berlatih meningkatkan kualitas moralnya dan berhenti menyalahkan wanita karena memancing nafsu mereka. Seseorang membangun rumah mewah bukan agar pencuri lebih tertarik untuk menyatroninya, kecuali si empunya rumah sendiri secara eksplisit menyatakan undangan atau tantangannya. Tentu saja, sebagaimana Anda, saya berharap tidak ada hak-hak orang yang terampas akibat nafsu orang lain.


Selengkapnya...

Selasa, 15 Mei 2018

Terorisme dan Penyangkalan

Aksi terorisme kembali melanda Indonesia. Pada Minggu, 13 Mei 2018 bom bunuh diri terjadi di tiga gereja di Surabaya, 13 korban tewas (6 diantaranya pelaku) dan 43 korban luka. Keesokan harinya, 14 Mei 2018 aksi bom bunuh diri kembali terjadi di Polrestabes Surabaya. Korban tewas berjumlah empat orang, yang semuanya adalah pelaku aksi, dan 10 orang terluka. Kedua aksi ini masing-masing dilakukan oleh satu keluarga, termasuk anak kecil.

Dari media massa, kita bisa menyaksikan tingkah elit politik yang kekanak-kanakan. Kita juga bisa melihat reaksi dan tanggapan orang-orang dengan membaca komentar di media daring serta kiriman dan komentar warganet di media sosial. Sebagian orang menganggap bahwa peristiwa semacam ini hanya rekayasa polisi dan pemerintah sebagai pengalihan isu ini dan itu, sebagaimana yang terjadi pasca bom Thamrin Jakarta pada 2016 silam. Kejadiannya di saat seperti itulah, mayatnya hanya bonekalah, dan sebagainya. Well, tidak ada lagi yang bisa saya tanggapi dari orang-orang dari jenis ini. Kebencian sudah menutup hati dan pikirannya.

Bom bunuh diri di Surabaya, 13 Mei 2018.
Sumber: https://www.viva.co.id/berita/nasional/1035769-jasad-bocah-kecil-ledakan-bom-surabaya-ternyata-evan

Sebagian orang lagi tidak menyangkal sampai sejauh itu, namun berkelit dengan menyatakan aksi teror itu adalah konspirasi, skenario pihak Zionis, Amerika Serikat, komunis, Syiah atau apalah yang ingin menjatuhkan citra Islam. Sebagian di antara jenis ini bahkan begitu menghayati menjadi korban sampai-sampai tidak menunjukkan rasa simpati terhadap keluarga korban. Barangkali memang ada pihak lain yang turut diuntungkan atas aksi teror ini, namun para pelaku teror di Indonesia jelaslah bukan zionis, komunis, simpatisan Amerika dan semacamnya. Apa mereka tidak pernah menonton berita dan melihat bagaimana para terpidana teroris dengan bangga mengaku muslim serta meneriakkan takbir saat di pengadilan atau kesempatan lainnya? Apa mereka tak pernah melihat tersangka teroris begitu berapi-api menyampaikan cita-citanya tentang Islam dan pandangannya tentang jihad? Apa mereka tidak pernah melihat orang-orang yang menyambut jenazah terpidana teroris sebagai mujahid di berita? Silakan cek wawancara mantan napi terorisme yang bertobat. Simpulkan sendiri dengan akal Anda apakah mereka menjalankan rencana dari Amerika dan Zionis ataukah justru Amerika dan Zionis adalah musuh mereka.

Sebagian kelompok lagi yang masih punya nurani jelas mengutuk aksi teror semacam itu. Namun, mereka sepertinya tidak mampu menerima kenyataan bahwa tindakan terorisme itu dilakukan oleh saudara seimannya dengah motif agama. Pernyataan “teroris tidak punya agama”, “teroris itu ateis”, “terorisme tidak ada kaitan sama sekali dengan Islam”, dan sebagainya pun dilontarkan. Lha, kenapa malah ateis yang disalahkan? Bagaimanapun saya cukup memaklumi, mungkin pernyataan yang melempar beban ke pihak lain itu respon dari rasa kecewa, minder, atau rasa bersalah terhadap “diri” sendiri. Tapi coba dipikirkan lagi. Sampai saat ini, saya percaya bahwa aksi terorisme itu tidak ada dalam AJARAN Islam. Namun, ajaran dapat ditafsirkan dengan cukup bervariasi. Penafsiran dan pandangan ekstrem yang pro terhadap terorisme itu tidak bisa disangkal tumbuh dalam sebagian komunitas muslim (yang barang tentu tak boleh digeneralisasikan). Benar-tidaknya penafsiran mereka terhadap al Quran dan Hadits ya silakan Anda yang muslim nilai sendiri. Jika Anda sepakat bahwa penafsiran semacam itu menyimpang maka tolong disebarkan. Andalah yang dapat menekan penyebaran paham yang dapat mencoreng citra agama kalian sendiri.

Tentu saja, ekstremisme bisa dilatarbelakangi oleh agama apa saja, Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya. Barangkali, sebagian agama punya kecenderungan menjadi medium yang lebih subur bagi perkembangan paham ekstremis dibandingkan agama lainnya. Namun, kita memerlukan data untuk menyimpulkan hal semacam ini. Adapun di Republik ini, faktanya aksi terorisme yang terjadi sebagian besar dilakukan atas nama Islam (kemungkinan semata-mata karena muslim adalah mayoritas di Indonesia). Anda bisa menyangkal bahwa aksi ekstremisme dan terorisme diajarkan dalam Islam, tapi bagaimana Anda menyangkal bahwa paham semacam itu nyata-nyata ada dalam dakwah Islam? Suatu praktik yang dilakukan suatu kelompok dalam Islam?

Saya menduga motif agama berperan sangat kecil bagi sebagian besar elit pusat jaringan teroris internasional. Namun semakin ke bawah, ke elit regional, perancang aksi, sampai ke eksekutor, motif agama itu memiliki peran yang samakin besar. Siapa yang mau bergabung dengan jaringan terorisme kalau tidak diiming-imingi dengan sesuatu? Dan apa iming-iming terbaik kalau tidak terkait harta atau agama? Saya teringat dengan wawancara dengan trio bomber bali di tahun 2002. Beberapa wawancara dengan napi terorisme lain dengan mudah Anda temui di internet (video atau transkrip). Silakan disimak, apakah mereka melaksanakan aksinya karena motif agama atau bukan. Yang jelas, penyangkalan atas fakta tidak akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik.



Video wawancara Imam Samudra, Amrozi, Ali Ghufron,
https://www.youtube.com/watch?v=Kk_TOI5b0tk
https://www.youtube.com/watch?v=KegO56itXDY
https://www.youtube.com/watch?v=vXQ44ykASwE

Dian Yulia Novi dan Nur Solihin, rencana bom istana 2016
https://www.youtube.com/watch?v=_OVvkjd1be0
https://www.youtube.com/watch?v=WMzRgv9XkVo

Penyambutan jenazah Santoso
https://www.youtube.com/watch?v=6NJ75RntI5A

Wawancara dengan Abu Bakar Ba’asyir
https://www.youtube.com/watch?v=byZqJwMQ5OA
https://www.youtube.com/watch?v=KWEhhlaQDHc

Wawancara dengan Khoirul Ghazali
https://www.youtube.com/watch?v=ZQhx9EGnleQ

Wawancara dengan Ali Imron
https://www.youtube.com/watch?v=0wt61XonrBQ


Selengkapnya...

Kamis, 26 Januari 2017

Drama Pilkada DKI Jakarta

Pilkada DKI 2017 benar-benar diliputi berbagai drama kelas nasional. Postingan ini penulis buat untuk membahas secara ala kadarnya mengenai drama kolosal yang telah berjangsung cukup lama ini. Sebelumnya perlu saya nyatakan bahwa saya bukan penduduk Jakarta (menginjakkan kaki di sana saja Cuma beberapa hari), bukan simpatisan parpol tertentu, bukan “orang hukum”, serta tidak beragama Islam maupun Kristen.

Ilustrasi.
Sumber: http://news.liputan6.com/read/2133192/ahok-vs-fpi-siapa-menang

1) Penolakan Ahok sebagai Gubernur

Sejatinya penolakan terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sudah terjadi semenjak pilkada 2012 ketika beliau berpasangan dengan Joko Widodo. Bahkan, di luar panggung Jakarta, Ahok telah mengunyah penolakan-penolakan semacam itu ketika menjadi bupati Belitung Timur. Penolakan kelompok masyarakat ini didasarkan atas tiga hal; yang jika diurut dari yang paling utama; yaitu: Ahok non-muslim, keturunan Tionghoa, dan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos. Aksi penolakan ini diejawantahkan dalam ceramah, spanduk, dan demonstrasi agar masyarakat tidak memilih Ahok sebagai gubernur.

Tanggapan:

Well, memilih cagub adalah hak tiap individu pemilih. Mau memilih calon atas dasar kekerabatan, keimanannya, moralitas, ideologi, kapabilitas, pengalaman, almameter, huruf depan namanya, terserah. Tiap orang juga berhak sekedar membagi ide dan pendapatnya kepada orang lain. Ya, perang pengaruh ini bisa menggunakan beragam cara, dan salah satu amunisi terbesar yang bisa digunakan kepada Ahok adalah agamanya. Tidak masalah seorang pemilih mempengaruhi kawannya untuk memilih si-A, jangan memilih si-B. Namun, jika ajakannya disertai ancaman maka itu merupakan tindakan yang tidak benar. Nah, bagaimana dengan ucapan seperti ini: “Jangan pilih kafir jadi gubernur, nanti kamu masuk neraka”? Apa itu termasuk ancaman? Ya, silakan pembaca berpendapat sendiri. Menurut saya, itu tindakan yang kurang pantas, namun bagaimanapun tidak bisa dilarang.

Saya kira tidak ada orang yang akalnya masih rasional yang mengatakan meneriakkan (atau lewat tulisan) kafir di tempat umum adalah hal yang wajar-wajar saja. Silakan menyindir kafir dalam majelis keagamaan kalian, tapi jika diumbar ke umum ya itu tidak patut/pantas/elok. Misal, per definisi, adalah fakta bahwa penulis termasuk golongan kafir, tapi kalau situ meneriaki saya kafir di jalan ya saya sedikit keki juga. Saya bisa memberi contoh yang sama kepada Anda, tak dapat Anda sangkal kebenarannya tapi Anda jengkel juga kalau dengar. Tapi! Meskipun tidak pantas dan membuat orang lain tersinggung, tindakan itu bukan juga sesuatu yang melawan hukum. Tindakan seseorang mencerminkan pemahamannya (atau mazhabnya memang begitu). Kalau tidak suka ya kritik balik saja. Silakan adu argumen. Sayangnya, ada sebagian orang berpendapat lain. Boleh memaki orang lain kafir sesukanya, tapi kalau ada yang kritik atau tanggapi, bakal dilaporkan ke polisi.

2) Drama Cagub-Cawagub DKI Jakarta

Selanjutnya adalah drama politik dalam mengusung pasangan cagub-cawagub. Ahok yang telah terlebih dahulu didukung oleh Nasdem, Hanura, dan Golkar akhirnya mendapat restu PDI-P untuk maju berpasangan dengan Djarot. Yah, karena berdasarkan beberapa survei, elektabilitas Ahok sangat tinggi, kubu politik anti-Ahok harus membuat koalisi kuat dan mengusung calon yang tak kalah populer. Untuk itu Gerindra, PKS, PPP, PAN, PKB, dan Partai Demokrat merapat. Dua di antara nama balon yang populer adalah Sandiaga Uno (kader Gerindera) dan Anies Baswedan (non-partisan). Meskipun Anies termasuk orang yang kontra Gerindra pada pemilu lalu, elektabilitasnya yang tinggi (berpotensi menyaingi petahana) dianggap lebih berharga dibandingkan seteru di masa lalu. Sayangnya, di detik-detik terakhir, Demokrat, PPP, PAN dan PKB mengambil jalan sendiri dengan mengusung putra sulung dari SBY, Agus Harimurti Yudhoyono. Tentu, awam pun bisa mengetahui hal ini sangat merugikan koalisi Gerindra - PKS, karena dengan naiknya kompetitor tambahan, suara pemilih dari golongan anti-Ahok bakal terpecah. Begitu pula SBY, yang entah karena alasan apa, mempertaruhkan karir militer putranya untuk menjadi cawagub. Apakah mimpi membangun dinasti politik? Well, bagaimanapun, Agus memiliki kelemahan yang signifikan: tak punya pengalaman sama sekali dalam politik. Sylviana murni, yang pernah menjabat sebagai walikota dan kepala dinas provinsi, lebih tua dan lebih berpengalaman. Namun, karena bapaknya Sylviana bukan mantan presiden bukan pula pembina partai, wajarlah beliau diplot sebagai cawagub. Tentu, baik kubu Gerindra cs dan Demokrat cs harus memeras keringat memikirkan dan menjalankan strategi untuk mendapatkan suara pemilih. Kalau Ahok malah terganjal menjadi cagub – karena suatu alasan – tentulah bakal menjadi keuntungan besar bagi kedua kubu.

Tanggapan:

Entah apa yang dipikirkan oleh SBY, beliau telah melakukan pertaruhan besar. Jika Agus tidak terpilih menjadi gubernur, karirnya di militer tak dapat disambung kembali. Well, mantan presiden yang terlalu sering bercuit tentang politik dalam negeri memang kurang pantas. Tapi jika dipikir-pikir dengan sudut pandang kecintaan ayah terhadap anaknya, bisa dimaklumi jika SBY mati-matian bekerja (di atas maupun di bawah permukaan) untuk menaikkan citra Agus dan menjatuhkan citra pesaingnya.

3) Pidato Ahok di Kepulauan Seribu

Nampaknya, skenario untuk menjatuhkan Ahok telah menemukan titik terangnya. Sederhananya: menunggangi isu agama. Ya, pidato Ahok di Kepulauan seribu menjadi viral karena ucapan beliau: “Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan? Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu.”. Potongan pidato Ahok yang ditambahkan transkrip editan yang diunggah oleh saudara Buni Yani memancing berbagai elemen masyarakat melaporkan Ahok ke polisi. MUI pun mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kalimat Ahok menista agama Islam. Ratusan ribu elemen masyarakat dengan berbegai motivasi: semangat persaudaran muslim, semangat politik, dan semangat apatis mencari untung turun ke jalan dalam aksi yang tak bisa disangkal merupakan aksi yang luar biasa. Kelompok yang menamakan diri Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) jelas bukan gerakan sporadis. Mereka terstruktur dan punya perencanaan matang, mampu merangkul jutaan orang dari berbagai latar belakang melakukan aksi menekan pemerintah dan kepolisian untuk memenjarakan Ahok. Aksi yang disebut Aksi Bela Islam ini telah terlaksana beberapa jilid (14/10, 4/11, dan 2/12 2016) dengan modus yang bervariasi sehingga dapat menarik simpati masyarakat kontra-Ahok yang memiliki perbedaan pola pikir. Rentetan aksi yang digadang-gadang aksi damai itu memang berjalan cukup damai. Angin dari aksi damai ini juga menghasilkan ekses berupa isu-isu lain seperti boikot ini-itu serta penarikan uang dari bank.

Tanggapan:

Tidak bisa dinafikan bahwa Aksi Bela Islam itu diboncengi (kalau tidak didasari) oleh motif politik. Nyatanya, pernyataan Ahok dalam bukunya “Merubah Indonesia” terbitan tahun 2008 yang serupa baru kembali diperkarakan saat ini. Tidak bisa dinafikan bahwa totoh-tokoh politik jelas ambil bagian dalam aksi itu, seperti beberapa anggota DPR yang turut hadir dalam aksi. Tidak bisa dinafikan bahwa ada sebagian pelaku aksi datang hanya untuk meramaikan dan mendapat bayaran saja. Tidak pula dapat dinafikan sebagian pelaku aksi memang datang semata-mata dengan semangat keagamaannya karena merasa Ahok telah menista agama Islam, dan turun aksi adalah berjuang di jalan Allah.

Well, dari kalimat Ahok yang dipersoalkan, ada beberapa penafsiran dari beberapa kubu, diantaranya sebagai berikut:

  1. Ahok jelas menista agama, mau ada kata “dipakai” atau tidak, menyandingkan kata/ayat dalam Al Quran dengan kata “bohong” otomatis adalah kalimat yang menistakan agama.
  2. Kata dipakai memang penting dalam penafsiran. Jika tafsiran Al Maidah yang dimaksud Ahok (yakni memilih gubernur di negara hukum melalui pemilihan umum termasuk dalam konteks yang dimaksud dalam Al Maidah 51) memang tidak tepat maka Ahok tidak menista agama, karena memang ayat ybs digunakan di luar konteksnya oleh oknum tertentu. Namun, jika tafsiran yang dimaksudkan Ahok memang sudah tepat, otomatis Ahok menyatakan Al Maidah 51 memang berisi kebohongan.

Well, mereka yang mengikuti pola pikir (a), tidak perlulah dibahas. Nah, bagi yang mengikuti pola pikir (b) pun memang terpecah menjadi dua. Baik masyarakat awam maupun ulama, ada yang beranggapan pernyataan Ahok menista Al Quran dan ada yang mengatakan tidak. Ada yang menganalisa ayat yang dimaksud secara kontekstual, ada yang secara tekstual. Ada yang mengkaji asbabun nuzul-nya ada yang lihat diksinya saja. Ada yang mempertimbangkan niat/motif Ahok ada yang tidak peduli. Well, yang mana pendapat pembaca itu hak Anda, saya tidak berniat mencampuri atau mempengaruhi.

Saya sendiri berpandangan UU penistaan dan pencemaran nama baik adalah sebuah kekonyolan. Bagaimana mungkin seseorang dipidana karena beropini? Perlu saya tegaskan lagi mengenai fitnah. Mesti dibedakan antara kalimat tertutup (yaitu yang hanya dapat bernilai benar saja atau salah saja) dan kalimat terbuka (bergantung pada variabel, dalam kasus ini, persepsi subjeknya). Jika saya mengklaim “Acok mencuri celana dalam saya”; dan bahwasanya itu tidak benar; maka pernyataan saya adalah suatu fitnah. Adapun jika saya mengatakan “Budi itu bodoh dan mesum” itu tak bisa digolongkan sebagai fitnah, karena kalimat itu adalah penilaian pribadi. Bodoh dan mesum adalah kualitas yang tidak memiliki standar universal.

Kembali ke ketidaksepahaman saya terhadap UU penistaan. Berbeda dari tindakan seperti pencurian, pembunuhan, penganiayaan, pelecehan, yang jelas definisinya. Ucapan seseorang membutuhkan penafsiran untuk mengetahui maksudnya. Jika A menikam B yang menyebabkan B mati, tidak ada perdebatan tentang benar tidaknya A membunuh B. Adapun ucapan seseorang bisa ditangkap berbeda dari orang-orang berbeda. Jadi, kalau opini bisa dipidanakan, persepsinya siapa yang mau digunakan sebagai standar dalam pengadilan? Yang punya massa untuk menekan?

4) Uang NKRI

Ya, siapapun orang rasional tidak habis pikir bahwa drama ini bisa sampai ke cetakan uang. Episode ini merupakan kisah sampingan dari plot utama pilkada DKI. Ada dua kisah utama, yantu klaim Habib Rizieq mengenai lambang palu arit pada uang kertas Rupiah. Padahal, gambar itu adalah logo BI yang di-recto verso. Apa yang diklaim Habib Rizieq sebenarnya efek pareidolia, dipicu waham beliau mengenai bahaya laten komunis. Mungkin pembaca juga pernah mengalami pareidolia. Namun, sepertinya Habib Rizieq terlalu bersemangat hingga melayangkan laporan nyeleneh yang didasarkan pada imajinasi beliau semata kepada polisi, serta menuntut yang tidak-tidak kepada BI dan Kemenkeu.

Kisah kedua ialah mengenai cuitan seorang kader PKS, Dwi Estiningsih, mengenai uang kertas baru yang banyak menampilkan “pahlawan kafir”. Beliau menyatakan ketidaksukaannya karena di negeri yang mayoritas muslim ini, 5 dari 11 pahlawan yang ditampilkan adalah non-muslim.

Tanggapan:

Ya, perbandingan muslim dan non-muslim di Indonesia hampir 7:1. Pertanyaannya, berapa perbandingangan presiden muslim dan non-muslim di Indonesia? Apa sekitar 7:1? Okelah kalau sekelas presiden itu berlebihan, bagaimana dengan wakil presiden, menteri, kepala daerah, anggota dewan, rumah ibadah, gambar di uang seri lama, anggaran APBN untuk direktorat agama, dll? Apa sesuai rasio? Apakah yang non-muslim mengeluh? Ternyata, cuitan Dwi berbuntut pelaporan beliau ke polisi oleh Forkapri. Ini konyol lagi. Memang benar pernyataan beliau itu kurang elok, tapi kan hak beliau untuk berpendapat? Melaporkan seseorang karena berbeda pendapat itu justru lebih konyol daripada sekedar melontarkan argumen konyol.

5) Ceramah Habib Rizieq Shihab

Selanjutnya, ada ceramah Habib Rizieq mengenai keyakinan umat Katolik bahwa Yesus adalah anak tuhan serta ejekan lain terhadap kepercayaan umat katolik. Atas ceramah Habib Rizieq itu, beliau dipolisikan oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia. Ini merupakan serangan balik signifikan pertama yang ditujukan kepada Habib Rizieq, tokoh utama (protagonis/antagonis, tergantung situ berdiri di mana) dalam "pertempuran" ini. Berbagai kampanye yang sarat kekeliruan logis semakin marak dilakukan ketiga kubu. Publik sepertinya hendak dipolarisasi dengan pelabelan seperti "kontra-Rizieq = anti Islam", "kontra Ahok = anti pluralisme", "pro-Rizieq = anti Pancasila", "pro-Ahok = musyrik", dan lain sebagainya.

Tanggapan:

Ini sama konyolnya! Yang bukan penganut agama X tidak punya kewajiban untuk mengimani, sepaham, atau setuju dengan ajaran dalam agama X. Kalau umat lain menyatakan pendapat yang bertentangan ya di mana salahnya? Apalagi Habib Rizieq berceramah di depan umatnya sendiri, meskipun videonya diunggah ke Youtube. Kalau tidak suka ya silakan dibalas dengan komentar. Saya heran dengan orang-orang beragama yang ingin sekali agamanya dihormati oleh umat lain juga, baperan jika agamanya disinggung. Apapun agamanya! Yang tidak boleh adalah jika orang itu menghalangi umat lain menjalankan agamanya. Atau jika seseorang datang ke rumah/rumah ibadah/tempat kegiatan keagamaan umat lain lalu melemparkan sindiran di sana, baru dia pantas digebuk dilaporkan ke polisi.

6) Pidato Megawati

Nah, yang ini mengenai pidoto Megawati di HUT PDI-P, yang disebut-sebut melecehkan Islam dan melukai perasaan umat muslim. Habib Rizieq, yang belakangan namanya naik karena ketiga seri Aksi Bela Islam dan efek dikriminalisasinya, sepertinya terlalu percaya diri dan kurang sabar. Beliau melakukan blunder dengan terlalu cepat melakukan konfrontasi baru kepada Megawati, ketua umum parpol penguasa. Akhirnya, Habib Rizieq terpaksa sedikit melempem, menawarkan mediasi.

Tanggapan:

Sama saja dengan sebelumnya. Menurut saya adalah konyol melaporkan orang lain karena opininya. Drama ini sekarang sudah jadi perlombaan lapor-melapor saja, tidak peduli rasionalitas dari substansi laporannya.

7) Habib Rizieq vs Sukmawati

Selanjutnya, kini Sukmawati Soekarnoputri yang melaporkan Habib Rizieq karena tidak suka dengan ucapan Habib Rizieq yang melecehkan Pancasila. Ucapan beliau itu sebenarnya dilontarkan beliau sudah cukup lama, namun sepertinya sekarang lagi momen-momen tepat untuk memberondong Habib Rizieq. Tesis Habib Rizieq pun dipermasalahkan, padahal tesis adalah produk ilmiah yang; jika ada pro-kontra; semestinya dikaji oleh otoritas keilmiahan pula.

8) FPI vs GMBI

Pelaporan Habib Rizieq oleh Sukmawati berbuntut pemanggilan beliau ke Polda Jabar. Sebagaimana kebiasaan FPI, beliau didampingi oleh massa FPI. Di sana, massa FPI terlibat bentrok dengan massa GMBI. Menurut versi FPI, GMBI yang lebih dahulu memulai, sedangkan menurut GMBI, FPI yang lebih dahulu memulai. Belum saya ketahui versi mana yang benar. Yang jelas, bentrokan itu berujung pembakaran kantor GMBI. Habib Rizieq kemudian melemparkan isu bahwa GMBI sengaja dihadapkan pada FPI oleh polisi, mengingat salah satu dewan pembina GMBI adalah kapolda Jabar, Anton Charliyan. Kisah selanjutnya berujung pada gesekan FPI, didukung politikus oposisi di DPR, dengan kepolisian, utamanya Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jabar.


Yah, di satu pihak, nama Habib Rizieq semakin besar di kalangan muslim yang radikal dan puritan. Di sisi lain, golongan liberal dan sekuler justru makin tidak menyukai beliau. Adapun golongan muslim moderat dan nasionalis terpecah. Tuntutan sebagian elemen masyarakat untuk membubarkan FPI dan memenjarakan Habib Rizieq makin mencuat. Beberapa motor penggerak Aksi Bela Islam dituding menyisipkan agenda makar, syukurlah petinggi FPI tidak termasuk dalam list. Kalau diingat, cukup sering kita dengar oknum FPI yang melakukan tindak kekerasan. FPI juga rutin melakukan razia ini-itu; yang mana secara hukum bukan kewenangannya; yang meresahkan sebagian masyarakat. Selama itu, Habib Rizieq seperti nyaris tak tersentuh dan FPI terus langgeng. Anehnya, sekarang beliau justru diberondong dengan laporan yang tidak rasional dan dibuat-buat — suatu tindakan yang justru dipopulerkan oleh dirinya sendiri untuk mengganjal Ahok. Hmmm... ini seperti trolley dilemma dengan sedikit twist pada identitas orang-orangnya.

Persidangan Ahok juga masih bergulir hingga saat ini. Saksi-saksi yang dihadirkan oleh jaksa hampir semuanya adalah pelapor atau saksi ahli dari pihak kontra. Justru saksi faktanya tidak memberikan kesaksian yang memberatkan terdakwa. Selain itu, muncul lagi skandal korupsi dana bansos dan pembanguan mesjid yang menyeret Sylviana Murni. Entah apa lagi nanti yang terjadi di episode selanjutnya. Sebagai penutup, mari kita ikuti perkembangan drama ini. Bagaimanapun, apa yang diputuskan dan dicapai dalam runtutan perkara-perkara ini akan menjadi preseden bagi penyelesaian kasus-kasus serupa di masa depan. Oleh karena itu, meskipun drama ini mengenai Pilkada DKI, seluruh masyarakat Indonesia ikut memperhatikan dan berharap semua permasalahan berakhir sesuai seleranya masing-masing.


Selengkapnya...

Rabu, 28 November 2012

Keindahan Pantai Losari

Keindahan Pantai Losari di bawah ini saya ambil sekitar sebulan lalu, mungkin lebih. Fotonya menumpuk di draf, lupa kupublish. Keindahan Pantai Losari ini saya ambil dari salah satu kamar di Rumah Sakit Stella Maris beberapa jam setelah konser musik di anjungan. Well, kebijakan Pemkot Makassar mengijinkan adanya konser musik di anjungan Pantai Losari hanya beberapa meter dari rumah sakit ajaibnya tidak begitu dipusingi oleh masyarakat. Protes cuma berasal dari pihak rumah sakit dan keluarga pasien saja. Suara musik yang keluar dari sound system pada malam hari kerasnya bukan main. Mungkin, diharapkan supaya penderitaan pasien rumah sakit Stella Maris cepat berakhir.




Selengkapnya...

Minggu, 09 September 2012

Olimpiade Sains Nasional 2012 dan Cerminan Pendidikan di Indonesia

Bulan lalu saya diberi kepercayaan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan untuk mengajar peserta pembinaan OSN bidang astronomi. Pesertanya ialah siswa-siswi yang lolos seleksi provinsi yang kemudian akan melanjutkan kompetisisi di tingkat nasional. Karena itu, murid bimbingan saya cuma ada dua, tetapi salah satunya lebih memilih pelatihan dari bimbel khusus OSN. Praktis, terciptalah kelas romantis antara saya dan murid saya dari SMAN 17 Makassar, Arham Zainal Junaid. Puji syukur, ternyata murid sayalah yang berhasil memperoleh medali, yakni medali perunggu. Saat murid saya mengirimkan pesan singkat bahwa dia memperoleh medali, tentunya perasaan saya senang dan terharu. Tak puas, saya pun mengecek pengumuman resminya di http://siswapsma.org, dan saya menemukan hasil rekapitulasi perolehan medali tiap-tiap provinsi.



Lihat? Bagi yang mau hitung, silakan hitung standar deviasinya. Terlihat jelas ukuran penyebaran datanya sangat besar, sangat tidak merata. Tentunya sering kita mendengar berita mengenai sekolah-sekolah miskin di Indonesia. Tapi sekolah miskin ini ada di mana saja, dari Jakarta sampai Papua Barat. Tapi ini bukan masalah sekolah miskin, ini masalah kualitas pendidikan! Tentu sangat jelas bahwa yang dikirim oleh tiap-tiap provinsi adalah siswa terbaik, yang telah diberikan fasilitas pembinaan terbaik oleh dinas pendidikan setempat, dan beginilah hasilnya. Data yang tak terelakkan ini menunjukkan kesenjangan kualitas pendidikan (baik pendidik, fasilitas, maupun informasi pengetahuan) yang begitu besar antara daerah Jawa, Sumatera, dan Bali (kecuali Bengkulu, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau) dengan daerah di wilayah timur (lihat Sulteng, Sultra, Sulbar, Gorontalo, Kalsel, Kalbar, NTT, Maluku Utara, Papua Barat). Tidaklah aneh jika memang kualtas di daerah pusat lebih tinggi dari daerah timur, tapi ini sudah ironis namanya.



Selengkapnya...

Kamis, 21 Juni 2012

Menkes dan Masalah Kondom

Belakangan ramai terdengar kabar bahwa Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang baru-baru ini dilantik mensosialisasikan penggunaan kondom bagi pelaku seks remaja atau yang bukan pasangan resminya untuk mengurangi tingkat penularan penyakit menular seksual (pms) dan maraknya praktik aborsi siswi/mahasiswi yang semestinya mengerjakan pr fisikanya. Sontak, ramai komentar yang bernada mengkritik sampai mencemooh dan menghujat ditumpahkan ke media, utamanya media online.


kondom: ada merah ada kuning ada hijau (kayak pelangi saja..)

Komentar-komentar yang bersifat menghujat itu semuanya kurang lebih berisikan:

Apa? Kok menteri melegalkan seks bebas?

Bukan begini cara mengurangi penyebaran pms.

Ibu itu bukan menkes, melainkan menkon (menteri urusan kondom).

Ueedannn!!!

dan

Astagfirullah!

Saya mencoba mengamati fenomena ini dengan kacamata saya sendiri dan, hei, apa sih yang Anda harapkan dari seorang menteri kesehatan? Memangnya siapa sih orang sehat yang mendukung seks bebas? Tentunya ibu menkes sudah memberikan keterangan, dan memang seks bebas itu adalah hal yang harus dihindari, apalagi bagi remaja yang masih usia sekolah. Tapi, itukan bukan tugas formal menteri kesehatan. Iya tidak? Ibu menteri dan juga saya tahu betapa sulitnya mengatasi pola hidup ala barat itu. Bukan saja melanggar etika sosial dan agama, tetapi juga dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan semisal HIV dan pms lainnya, serta kehamilan di luar nikah yang ujung-ujungnya aborsi. Nah, tugas menteri kesehatan itulah menangani dampak-dampak buruk terhadap kesehatan. Moral masyarakat memang urusan kita semua, demikian juga ibu menkes telah memberikan himbauan pencegahan utama penyebaran pms adalah dengan menghindari seks bebas. Tapi lebih jauh beliaukan bertanggung jawab formal pada urusan kesehatan, itu saja. Mau apa lagi?

Bagi teman-teman yang mengkritik (hati-hati, berita itu sangat mungkin sudah dilebih-lebihkan) dan mengatakan langkah menganjurkan penggunaan kondom saat sudah demikian sulitnya mengatasi seks bebas adalah tindakan gila, semestinya moral manusianya yang dibenahi, bukan kelaminnya yang diselimuti, ya mari kita lakukan sama-sama. Itu tanggung jawab kita semua, dan di tingkat kementrian itu urusan menteri pendidikan dan kebudayaan dan menteri agama, buka urusan menkes. Ibarat perilaku seks bebas dengan dampak buruk bagi kesehatannya itu berarti kecolongan tiga angka, ya kalau dampak buruk kesehatannya itu bisa dicegah (dengan kondom) berarti kecolongan dua angka. Kan lebih baik kecolongan dua angka daripada tiga angka. Bagaimana supaya tidak kecolongan sama sekali saya pikir itu langkah panjang yang butuh kerja keras yang bersinergi dari semua elemen masyarakat. Bukan cuma hujatan atau omongan astagfirullah tanpa melakukan langkah nyata meski sekecil apapun.

Saya setuju membagikan dan memberi akses kondom memang tidak akan menyelesaikan masalah moral di Indonesia, tapi setidaknya masih berdampak positif bagi kesehatan. Urus dulu moral sendiri, baru kita bergerak mengurus moral bangsa.



Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.