Kamis, 26 Januari 2017

Drama Pilkada DKI Jakarta

Pilkada DKI 2017 benar-benar diliputi berbagai drama kelas nasional. Postingan ini penulis buat untuk membahas secara ala kadarnya mengenai drama kolosal yang telah berjangsung cukup lama ini. Sebelumnya perlu saya nyatakan bahwa saya bukan penduduk Jakarta (menginjakkan kaki di sana saja Cuma beberapa hari), bukan simpatisan parpol tertentu, bukan “orang hukum”, serta tidak beragama Islam maupun Kristen.

Ilustrasi.
Sumber: http://news.liputan6.com/read/2133192/ahok-vs-fpi-siapa-menang

1) Penolakan Ahok sebagai Gubernur

Sejatinya penolakan terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sudah terjadi semenjak pilkada 2012 ketika beliau berpasangan dengan Joko Widodo. Bahkan, di luar panggung Jakarta, Ahok telah mengunyah penolakan-penolakan semacam itu ketika menjadi bupati Belitung Timur. Penolakan kelompok masyarakat ini didasarkan atas tiga hal; yang jika diurut dari yang paling utama; yaitu: Ahok non-muslim, keturunan Tionghoa, dan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos. Aksi penolakan ini diejawantahkan dalam ceramah, spanduk, dan demonstrasi agar masyarakat tidak memilih Ahok sebagai gubernur.

Tanggapan:

Well, memilih cagub adalah hak tiap individu pemilih. Mau memilih calon atas dasar kekerabatan, keimanannya, moralitas, ideologi, kapabilitas, pengalaman, almameter, huruf depan namanya, terserah. Tiap orang juga berhak sekedar membagi ide dan pendapatnya kepada orang lain. Ya, perang pengaruh ini bisa menggunakan beragam cara, dan salah satu amunisi terbesar yang bisa digunakan kepada Ahok adalah agamanya. Tidak masalah seorang pemilih mempengaruhi kawannya untuk memilih si-A, jangan memilih si-B. Namun, jika ajakannya disertai ancaman maka itu merupakan tindakan yang tidak benar. Nah, bagaimana dengan ucapan seperti ini: “Jangan pilih kafir jadi gubernur, nanti kamu masuk neraka”? Apa itu termasuk ancaman? Ya, silakan pembaca berpendapat sendiri. Menurut saya, itu tindakan yang kurang pantas, namun bagaimanapun tidak bisa dilarang.

Saya kira tidak ada orang yang akalnya masih rasional yang mengatakan meneriakkan (atau lewat tulisan) kafir di tempat umum adalah hal yang wajar-wajar saja. Silakan menyindir kafir dalam majelis keagamaan kalian, tapi jika diumbar ke umum ya itu tidak patut/pantas/elok. Misal, per definisi, adalah fakta bahwa penulis termasuk golongan kafir, tapi kalau situ meneriaki saya kafir di jalan ya saya sedikit keki juga. Saya bisa memberi contoh yang sama kepada Anda, tak dapat Anda sangkal kebenarannya tapi Anda jengkel juga kalau dengar. Tapi! Meskipun tidak pantas dan membuat orang lain tersinggung, tindakan itu bukan juga sesuatu yang melawan hukum. Tindakan seseorang mencerminkan pemahamannya (atau mazhabnya memang begitu). Kalau tidak suka ya kritik balik saja. Silakan adu argumen. Sayangnya, ada sebagian orang berpendapat lain. Boleh memaki orang lain kafir sesukanya, tapi kalau ada yang kritik atau tanggapi, bakal dilaporkan ke polisi.

2) Drama Cagub-Cawagub DKI Jakarta

Selanjutnya adalah drama politik dalam mengusung pasangan cagub-cawagub. Ahok yang telah terlebih dahulu didukung oleh Nasdem, Hanura, dan Golkar akhirnya mendapat restu PDI-P untuk maju berpasangan dengan Djarot. Yah, karena berdasarkan beberapa survei, elektabilitas Ahok sangat tinggi, kubu politik anti-Ahok harus membuat koalisi kuat dan mengusung calon yang tak kalah populer. Untuk itu Gerindra, PKS, PPP, PAN, PKB, dan Partai Demokrat merapat. Dua di antara nama balon yang populer adalah Sandiaga Uno (kader Gerindera) dan Anies Baswedan (non-partisan). Meskipun Anies termasuk orang yang kontra Gerindra pada pemilu lalu, elektabilitasnya yang tinggi (berpotensi menyaingi petahana) dianggap lebih berharga dibandingkan seteru di masa lalu. Sayangnya, di detik-detik terakhir, Demokrat, PPP, PAN dan PKB mengambil jalan sendiri dengan mengusung putra sulung dari SBY, Agus Harimurti Yudhoyono. Tentu, awam pun bisa mengetahui hal ini sangat merugikan koalisi Gerindra - PKS, karena dengan naiknya kompetitor tambahan, suara pemilih dari golongan anti-Ahok bakal terpecah. Begitu pula SBY, yang entah karena alasan apa, mempertaruhkan karir militer putranya untuk menjadi cawagub. Apakah mimpi membangun dinasti politik? Well, bagaimanapun, Agus memiliki kelemahan yang signifikan: tak punya pengalaman sama sekali dalam politik. Sylviana murni, yang pernah menjabat sebagai walikota dan kepala dinas provinsi, lebih tua dan lebih berpengalaman. Namun, karena bapaknya Sylviana bukan mantan presiden bukan pula pembina partai, wajarlah beliau diplot sebagai cawagub. Tentu, baik kubu Gerindra cs dan Demokrat cs harus memeras keringat memikirkan dan menjalankan strategi untuk mendapatkan suara pemilih. Kalau Ahok malah terganjal menjadi cagub – karena suatu alasan – tentulah bakal menjadi keuntungan besar bagi kedua kubu.

Tanggapan:

Entah apa yang dipikirkan oleh SBY, beliau telah melakukan pertaruhan besar. Jika Agus tidak terpilih menjadi gubernur, karirnya di militer tak dapat disambung kembali. Well, mantan presiden yang terlalu sering bercuit tentang politik dalam negeri memang kurang pantas. Tapi jika dipikir-pikir dengan sudut pandang kecintaan ayah terhadap anaknya, bisa dimaklumi jika SBY mati-matian bekerja (di atas maupun di bawah permukaan) untuk menaikkan citra Agus dan menjatuhkan citra pesaingnya.

3) Pidato Ahok di Kepulauan Seribu

Nampaknya, skenario untuk menjatuhkan Ahok telah menemukan titik terangnya. Sederhananya: menunggangi isu agama. Ya, pidato Ahok di Kepulauan seribu menjadi viral karena ucapan beliau: “Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan? Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu.”. Potongan pidato Ahok yang ditambahkan transkrip editan yang diunggah oleh saudara Buni Yani memancing berbagai elemen masyarakat melaporkan Ahok ke polisi. MUI pun mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kalimat Ahok menista agama Islam. Ratusan ribu elemen masyarakat dengan berbegai motivasi: semangat persaudaran muslim, semangat politik, dan semangat apatis mencari untung turun ke jalan dalam aksi yang tak bisa disangkal merupakan aksi yang luar biasa. Kelompok yang menamakan diri Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) jelas bukan gerakan sporadis. Mereka terstruktur dan punya perencanaan matang, mampu merangkul jutaan orang dari berbagai latar belakang melakukan aksi menekan pemerintah dan kepolisian untuk memenjarakan Ahok. Aksi yang disebut Aksi Bela Islam ini telah terlaksana beberapa jilid (14/10, 4/11, dan 2/12 2016) dengan modus yang bervariasi sehingga dapat menarik simpati masyarakat kontra-Ahok yang memiliki perbedaan pola pikir. Rentetan aksi yang digadang-gadang aksi damai itu memang berjalan cukup damai. Angin dari aksi damai ini juga menghasilkan ekses berupa isu-isu lain seperti boikot ini-itu serta penarikan uang dari bank.

Tanggapan:

Tidak bisa dinafikan bahwa Aksi Bela Islam itu diboncengi (kalau tidak didasari) oleh motif politik. Nyatanya, pernyataan Ahok dalam bukunya “Merubah Indonesia” terbitan tahun 2008 yang serupa baru kembali diperkarakan saat ini. Tidak bisa dinafikan bahwa totoh-tokoh politik jelas ambil bagian dalam aksi itu, seperti beberapa anggota DPR yang turut hadir dalam aksi. Tidak bisa dinafikan bahwa ada sebagian pelaku aksi datang hanya untuk meramaikan dan mendapat bayaran saja. Tidak pula dapat dinafikan sebagian pelaku aksi memang datang semata-mata dengan semangat keagamaannya karena merasa Ahok telah menista agama Islam, dan turun aksi adalah berjuang di jalan Allah.

Well, dari kalimat Ahok yang dipersoalkan, ada beberapa penafsiran dari beberapa kubu, diantaranya sebagai berikut:

  1. Ahok jelas menista agama, mau ada kata “dipakai” atau tidak, menyandingkan kata/ayat dalam Al Quran dengan kata “bohong” otomatis adalah kalimat yang menistakan agama.
  2. Kata dipakai memang penting dalam penafsiran. Jika tafsiran Al Maidah yang dimaksud Ahok (yakni memilih gubernur di negara hukum melalui pemilihan umum termasuk dalam konteks yang dimaksud dalam Al Maidah 51) memang tidak tepat maka Ahok tidak menista agama, karena memang ayat ybs digunakan di luar konteksnya oleh oknum tertentu. Namun, jika tafsiran yang dimaksudkan Ahok memang sudah tepat, otomatis Ahok menyatakan Al Maidah 51 memang berisi kebohongan.

Well, mereka yang mengikuti pola pikir (a), tidak perlulah dibahas. Nah, bagi yang mengikuti pola pikir (b) pun memang terpecah menjadi dua. Baik masyarakat awam maupun ulama, ada yang beranggapan pernyataan Ahok menista Al Quran dan ada yang mengatakan tidak. Ada yang menganalisa ayat yang dimaksud secara kontekstual, ada yang secara tekstual. Ada yang mengkaji asbabun nuzul-nya ada yang lihat diksinya saja. Ada yang mempertimbangkan niat/motif Ahok ada yang tidak peduli. Well, yang mana pendapat pembaca itu hak Anda, saya tidak berniat mencampuri atau mempengaruhi.

Saya sendiri berpandangan UU penistaan dan pencemaran nama baik adalah sebuah kekonyolan. Bagaimana mungkin seseorang dipidana karena beropini? Perlu saya tegaskan lagi mengenai fitnah. Mesti dibedakan antara kalimat tertutup (yaitu yang hanya dapat bernilai benar saja atau salah saja) dan kalimat terbuka (bergantung pada variabel, dalam kasus ini, persepsi subjeknya). Jika saya mengklaim “Acok mencuri celana dalam saya”; dan bahwasanya itu tidak benar; maka pernyataan saya adalah suatu fitnah. Adapun jika saya mengatakan “Budi itu bodoh dan mesum” itu tak bisa digolongkan sebagai fitnah, karena kalimat itu adalah penilaian pribadi. Bodoh dan mesum adalah kualitas yang tidak memiliki standar universal.

Kembali ke ketidaksepahaman saya terhadap UU penistaan. Berbeda dari tindakan seperti pencurian, pembunuhan, penganiayaan, pelecehan, yang jelas definisinya. Ucapan seseorang membutuhkan penafsiran untuk mengetahui maksudnya. Jika A menikam B yang menyebabkan B mati, tidak ada perdebatan tentang benar tidaknya A membunuh B. Adapun ucapan seseorang bisa ditangkap berbeda dari orang-orang berbeda. Jadi, kalau opini bisa dipidanakan, persepsinya siapa yang mau digunakan sebagai standar dalam pengadilan? Yang punya massa untuk menekan?

4) Uang NKRI

Ya, siapapun orang rasional tidak habis pikir bahwa drama ini bisa sampai ke cetakan uang. Episode ini merupakan kisah sampingan dari plot utama pilkada DKI. Ada dua kisah utama, yantu klaim Habib Rizieq mengenai lambang palu arit pada uang kertas Rupiah. Padahal, gambar itu adalah logo BI yang di-recto verso. Apa yang diklaim Habib Rizieq sebenarnya efek pareidolia, dipicu waham beliau mengenai bahaya laten komunis. Mungkin pembaca juga pernah mengalami pareidolia. Namun, sepertinya Habib Rizieq terlalu bersemangat hingga melayangkan laporan nyeleneh yang didasarkan pada imajinasi beliau semata kepada polisi, serta menuntut yang tidak-tidak kepada BI dan Kemenkeu.

Kisah kedua ialah mengenai cuitan seorang kader PKS, Dwi Estiningsih, mengenai uang kertas baru yang banyak menampilkan “pahlawan kafir”. Beliau menyatakan ketidaksukaannya karena di negeri yang mayoritas muslim ini, 5 dari 11 pahlawan yang ditampilkan adalah non-muslim.

Tanggapan:

Ya, perbandingan muslim dan non-muslim di Indonesia hampir 7:1. Pertanyaannya, berapa perbandingangan presiden muslim dan non-muslim di Indonesia? Apa sekitar 7:1? Okelah kalau sekelas presiden itu berlebihan, bagaimana dengan wakil presiden, menteri, kepala daerah, anggota dewan, rumah ibadah, gambar di uang seri lama, anggaran APBN untuk direktorat agama, dll? Apa sesuai rasio? Apakah yang non-muslim mengeluh? Ternyata, cuitan Dwi berbuntut pelaporan beliau ke polisi oleh Forkapri. Ini konyol lagi. Memang benar pernyataan beliau itu kurang elok, tapi kan hak beliau untuk berpendapat? Melaporkan seseorang karena berbeda pendapat itu justru lebih konyol daripada sekedar melontarkan argumen konyol.

5) Ceramah Habib Rizieq Shihab

Selanjutnya, ada ceramah Habib Rizieq mengenai keyakinan umat Katolik bahwa Yesus adalah anak tuhan serta ejekan lain terhadap kepercayaan umat katolik. Atas ceramah Habib Rizieq itu, beliau dipolisikan oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia. Ini merupakan serangan balik signifikan pertama yang ditujukan kepada Habib Rizieq, tokoh utama (protagonis/antagonis, tergantung situ berdiri di mana) dalam "pertempuran" ini. Berbagai kampanye yang sarat kekeliruan logis semakin marak dilakukan ketiga kubu. Publik sepertinya hendak dipolarisasi dengan pelabelan seperti "kontra-Rizieq = anti Islam", "kontra Ahok = anti pluralisme", "pro-Rizieq = anti Pancasila", "pro-Ahok = musyrik", dan lain sebagainya.

Tanggapan:

Ini sama konyolnya! Yang bukan penganut agama X tidak punya kewajiban untuk mengimani, sepaham, atau setuju dengan ajaran dalam agama X. Kalau umat lain menyatakan pendapat yang bertentangan ya di mana salahnya? Apalagi Habib Rizieq berceramah di depan umatnya sendiri, meskipun videonya diunggah ke Youtube. Kalau tidak suka ya silakan dibalas dengan komentar. Saya heran dengan orang-orang beragama yang ingin sekali agamanya dihormati oleh umat lain juga, baperan jika agamanya disinggung. Apapun agamanya! Yang tidak boleh adalah jika orang itu menghalangi umat lain menjalankan agamanya. Atau jika seseorang datang ke rumah/rumah ibadah/tempat kegiatan keagamaan umat lain lalu melemparkan sindiran di sana, baru dia pantas digebuk dilaporkan ke polisi.

6) Pidato Megawati

Nah, yang ini mengenai pidoto Megawati di HUT PDI-P, yang disebut-sebut melecehkan Islam dan melukai perasaan umat muslim. Habib Rizieq, yang belakangan namanya naik karena ketiga seri Aksi Bela Islam dan efek dikriminalisasinya, sepertinya terlalu percaya diri dan kurang sabar. Beliau melakukan blunder dengan terlalu cepat melakukan konfrontasi baru kepada Megawati, ketua umum parpol penguasa. Akhirnya, Habib Rizieq terpaksa sedikit melempem, menawarkan mediasi.

Tanggapan:

Sama saja dengan sebelumnya. Menurut saya adalah konyol melaporkan orang lain karena opininya. Drama ini sekarang sudah jadi perlombaan lapor-melapor saja, tidak peduli rasionalitas dari substansi laporannya.

7) Habib Rizieq vs Sukmawati

Selanjutnya, kini Sukmawati Soekarnoputri yang melaporkan Habib Rizieq karena tidak suka dengan ucapan Habib Rizieq yang melecehkan Pancasila. Ucapan beliau itu sebenarnya dilontarkan beliau sudah cukup lama, namun sepertinya sekarang lagi momen-momen tepat untuk memberondong Habib Rizieq. Tesis Habib Rizieq pun dipermasalahkan, padahal tesis adalah produk ilmiah yang; jika ada pro-kontra; semestinya dikaji oleh otoritas keilmiahan pula.

8) FPI vs GMBI

Pelaporan Habib Rizieq oleh Sukmawati berbuntut pemanggilan beliau ke Polda Jabar. Sebagaimana kebiasaan FPI, beliau didampingi oleh massa FPI. Di sana, massa FPI terlibat bentrok dengan massa GMBI. Menurut versi FPI, GMBI yang lebih dahulu memulai, sedangkan menurut GMBI, FPI yang lebih dahulu memulai. Belum saya ketahui versi mana yang benar. Yang jelas, bentrokan itu berujung pembakaran kantor GMBI. Habib Rizieq kemudian melemparkan isu bahwa GMBI sengaja dihadapkan pada FPI oleh polisi, mengingat salah satu dewan pembina GMBI adalah kapolda Jabar, Anton Charliyan. Kisah selanjutnya berujung pada gesekan FPI, didukung politikus oposisi di DPR, dengan kepolisian, utamanya Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jabar.


Yah, di satu pihak, nama Habib Rizieq semakin besar di kalangan muslim yang radikal dan puritan. Di sisi lain, golongan liberal dan sekuler justru makin tidak menyukai beliau. Adapun golongan muslim moderat dan nasionalis terpecah. Tuntutan sebagian elemen masyarakat untuk membubarkan FPI dan memenjarakan Habib Rizieq makin mencuat. Beberapa motor penggerak Aksi Bela Islam dituding menyisipkan agenda makar, syukurlah petinggi FPI tidak termasuk dalam list. Kalau diingat, cukup sering kita dengar oknum FPI yang melakukan tindak kekerasan. FPI juga rutin melakukan razia ini-itu; yang mana secara hukum bukan kewenangannya; yang meresahkan sebagian masyarakat. Selama itu, Habib Rizieq seperti nyaris tak tersentuh dan FPI terus langgeng. Anehnya, sekarang beliau justru diberondong dengan laporan yang tidak rasional dan dibuat-buat — suatu tindakan yang justru dipopulerkan oleh dirinya sendiri untuk mengganjal Ahok. Hmmm... ini seperti trolley dilemma dengan sedikit twist pada identitas orang-orangnya.

Persidangan Ahok juga masih bergulir hingga saat ini. Saksi-saksi yang dihadirkan oleh jaksa hampir semuanya adalah pelapor atau saksi ahli dari pihak kontra. Justru saksi faktanya tidak memberikan kesaksian yang memberatkan terdakwa. Selain itu, muncul lagi skandal korupsi dana bansos dan pembanguan mesjid yang menyeret Sylviana Murni. Entah apa lagi nanti yang terjadi di episode selanjutnya. Sebagai penutup, mari kita ikuti perkembangan drama ini. Bagaimanapun, apa yang diputuskan dan dicapai dalam runtutan perkara-perkara ini akan menjadi preseden bagi penyelesaian kasus-kasus serupa di masa depan. Oleh karena itu, meskipun drama ini mengenai Pilkada DKI, seluruh masyarakat Indonesia ikut memperhatikan dan berharap semua permasalahan berakhir sesuai seleranya masing-masing.


2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.