Tampilkan postingan dengan label isu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label isu. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Januari 2020

Bumi Datar: Bantahan dalam Aspek Geometri

Gerakan kampanye Bumi Datar (Flat Earth, FE) kontemporer sudah mulai berkembang pesat di Indonesia setidak-tidaknya sejak tahun 2015. Mereka mengkampanyekan paham Bumi datar melalui berbagai media, mulai dari forum dan blog web, kanal Youtube, media sosial, buku, hingga ceramah (yang kebanyakan menggunakan pendekatan keagamaan). Sebelumnya saya pernah sekali memberikan presentasi mengenai paham Bumi datar disertai bantahan terhadap model tersebut di kampus. Di luar itu, saya sangat jarang meladeni para pengikut Bumi datar di dunia nyata maupun maya. Saya pikir, hal itu buang-buang waktu serta paham tersebut perlahan-lahan akan kehilangan pamornya. Ternyata saya keliru. Mereka masih rajin mengkampanyekan teori-teori konyol mereka di sana-sini hingga saat ini. Beberapa hari lalu saya temui, mereka bahkan telah banyak mengisi forum-forum keilmuwan di internet; sesuatu yang membuat saya cukup gerah.

Sebenarnya, saya tidak menyarankan Anda untuk gampang terlibat perdebatan dengan mereka. Kemungkinan besar Anda akan buang-buang waktu semenjak sebagian besar penganut paham Bumi datar menerima paham itu sebagai bagian dari keimanan. Mereka tidak akan menggunakan nalarnya untuk mencerna dan mempelajari data dan argumen yang kita berikan. Padahal, paham Bumi datar sendiri bahkan tidak memiliki model yang jelas. Jika Anda menemukan penganut paham Bumi datar yang mengajak debat atau mencoba merekrut Anda, mintalah mereka memberikan model mereka secara rinci. Berapa ukuran Bumi, Matahari, Bulan, planet-planet, dan kubah langit berdasarkan model mereka? Berapa jarak benda-benda langit tersebut dari Bumi? Berapa periode peredaran Matahari, Bulan, dan planet-planet? Berapa massa Matahari dan berapa daya radiasinya? Jika mereka tidak mampu memberikan keterangan kuantitatif mengenai model yang mereka sendiri anut, acuhkan saja mereka.

Sejauh yang saya ketahui setelah mengakses sumber-sumber internal paham Bumi datar, mereka bahkan tidak memiliki model yang sistematis, rinci, dan konsisten. Parameter model mereka yang cukup konsisten ialah Bumi berbentuk piringan dengan diameter sekitar 40.000 km (sama dengan keliling Bumi) dan ketinggian Matahari dari permukaan Bumi sekitar 6.000 km. Angka ketinggian Matahari mereka dapatkan menggunakan metode triangulasi, tentunya dengan mengasumsikan bahwa Bumi berbentuk datar. Selain itu, mereka tidak mampu memberikan data-data lainnya. Dalam tulisan kali ini, saya akan sedikit menunjukkan ketidakkonsistenan model Bumi datar dengan realita dalam aspek geometri atau yang berkaitan dengan geometri.

Gambar 1  Posisi matahari pada saat tengah hari, senja, dan tengah malam bagi pengamat di ekuator berdasarkan model bumi datar. Pada saat tengah malam, Matahari diklaim tidak tampak karena jaraknya jauh, padahal bintang-bintang pada arah yang sama masih dapat diamati.

Mula-mula, kita gambarkan model alam semesta Bumi datar seperti pada Gambar 1. Karena kita berada di Indonesia, dipilih pengamat terletak di dekat katulistiwa. Jadi, jarak Matahari dari pengamat pada saat tengah hari (pukul 12) ialah sekitar 6.000 km, jarak Matahari pada saat fajar/senja (pukul 06/18) ialah \(\sqrt{6.000^2+(10.000\sqrt{2})^2}=15.400\) km, dan jarak Matahari pada saat tengah malam (pukul 00) ialah \(\sqrt{6.000^2+20.000^2} = 20.900\) km. Jadi, pada saat Matahari baru terbit/menjelang terbenam, jaraknya dari pengamat sekitar 2,6 kali dibandingkan saat tengah hari. Dengan demikian, diameter sudut Matahari yang teramati pada saat tengah hari mestinya 2,6 kali lebih besar dibandingkan saat fajar/senja hari! Apakah penganut paham Bumi datar mengamati bahwa ukuran Matahari berubah sedemikian dramatis setiap hari? Selanjutnya, perhatikan pula Gambar 2. Tampak jelas bahwa bagi pengamat di sekitar katulistiwa, Matahari “terbit” dari arah timur laut, berbelok menuju zenit (titik di langit tepat di atas kepala), dan kemudian berbelok lagi hingga “terbenam” di barat laut. Apakah penganut Bumi datar melihat faktanya seperti itu?

Gambar 2  Pada model Bumi datar, Matahari selalu terbit dari arah timur laut dan terbenam di arah barat laut bagi pengamat di sekitar katulistiwa.

Kekonyolan lain model Bumi datar yang telah umum menjadi guyonan orang-orang bernalar adalah sorotan cahaya Matahari dalam model tersebut tidak wajar serta Matahari semestinya tidak akan pernah terbenam bagi semua pengamat di muka Bumi. Penganut Bumi datar mencoba berkilah dengan menggunakan argumen yang tidak masuk akal, seperti efek atmosfer, elektromagnetisme, dan sebagainya. Jika kita lihat berdasarkan model Bumi datar seperti pada Gambar 1, jelaslah ketinggian Matahari pada pukul 6 dan pukul 18 waktu lokal ialah

$$ a_{06} = a_{18} = \tan^{-1}⁡ \left ( \frac{y}{x} \right ) = \tan^{-1}⁡ \left ( \frac{6.000}{10.000 \sqrt{2}} \right ) = 23^\circ $$

Sedangkan ketinggian Matahari pada saat tengah malam ialah

$$ a_{00} = \tan^{-1}⁡ \left ( \frac{6.000}{20.000} \right ) = 16,7^\circ $$

Jika kita mengamati realitas, jelaslah bahwa pada saat pukul 6 atau pukul 18, ketinggian Matahari dari horizon sekitar 0°, makanya disebut terbit dan terbenam. Apakah penganut Bumi datar melihat ketinggian Matahari sekitar 23° pada saat fajar/senja dan 17° pada saat tengah malam? Lalu mereka mengklaim efek refraksi membuat posisi Matahari yang teramati menjadi berubah. Padahal, indeks bias udara di dekat permukaan Bumi cukup kecil, sekitar 1,0003 (indeks bias vakum tepat bernilai 1), sehingga tidak akan memberikan perubahan yang sedemikian drastis. Dengan menggunakan hukum Snell yang dapat dengan mudah dibuktikan di laboratorium sekolah, pergeseran posisi tampak Matahari dapat dihitung. Pada saat ketinggian Matahari sesungguhnya \(a_0=16,7^\circ\), jarak zenitnya ialah \(\zeta_0 = 90^\circ-16,7^\circ = 73,3^\circ\). Dengan demikian, jarak zenit Matahari yang tampak ialah

$$ \zeta' = \sin^{-1}⁡ \left ( \frac {n_0 \cdot \sin⁡ \zeta_0}{n'} \right ) = \sin^{-1} \left [ \frac {\sin⁡(73,3^\circ)}{1,0003} \right ] = 73,2^\circ $$

Atau \(a'= 90^\circ - \zeta' = 16,8^\circ \). Diperoleh bahwa refraksi semestinya justru membuat ketinggian Matahari menjadi tampak lebih tinggi!

Gambar 3  Perbandingan lintasan Matahari sepanjang hari pada bola langit bagi pengamat di katulistiwa saat ekuinoks berdasarkan model Bumi bola dan Bumi datar. Lingkaran abu-abu merupakan horizon pengamat. Noktah diberikan untuk menandai posisi Matahari pada pukul 06 dan pukul 18 waktu lokal.

Penganut Bumi datar juga mengklaim bahwa meskipun Matahari tetap di atas Bumi pada malam hari, jaraknya yang semakin jauh membuah cahayanya lebih redup sehingga malam akan tampak lebih gelap. Padahal, berdasarkan hukum pancaran, intensitas radiasi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Berdasarkan model Bumi datar di atas, diketahui jarak Matahari saat tengah malam sekitar 3,5 kali dari jaraknya saat tengah hari. Dengan demikian, intensitasnya semestinya berkurang menjadi seperduabelasnya. Kenyataannya, pada saat tengah malam, langit gelap total bila Bulan tidak muncul. Lagipula, bila argumen mereka itu benar, lantas mengapa kita masih dapat melihat bintang saat tengah malam pada posisi Matahari semestinya (arah utara, 17° dari horizon) atau bahkan lebih rendah? Bukankah berdasarkan model mereka, bintang-bintang juga lebih jauh dan redup dibandingkan Matahari?

Gambar 4  Sorotan cahaya Matahari pada model Bumi datar yang tidak realistis.

Model Bumi datar juga menghasilkan distorsi geodesik. Distorsi ini semakin signifikan pada belahan Bumi selatan (ukurannya semakin membesar dibandingkan ukuran sesungguhnya). Sebagai contoh, lebar benua Australiah (timur–barat) ialah sekitar 4.000 km, sedangkan jarak terpendek dari Lisbon (Portugal) ke Naukan (ujung timur Rusia) ialah sekitar 8.200 km. Padahal, pada model Bumi datar, jarak keduanya terlihat hampir sama (lihat Gambar 2).

Satu tambahan lagi, dalam model Bumi datar, setiap pengamat di Bumi, di manapun dia berada, semestinya dapat melihat seluruh rasi bintang dalam rentang satu tahun. Pada kenyataanya, hanya pengamat di ekuator saja yang dapat melihat seluruh rasi bintang. Pengamat di dekat kutub utara maupun selatan hanya dapat mengamati setengah bagian langit yang bersesuaian (belahan langit utara/selatan). Hal ini dikarenakan belahan Bumi selatan berada di balik belahan Bumi utara dan Bumi berotasi dari barat ke timur. Sebagai contoh, pengamat di pulau Jawa tidak akan pernah dapat mengamati bintang Polaris. Demikian pula pengamat di benua Eropa, Amerika Utara, dan sebagian besar Asia tidak akan dapat melihat rasi Crux dan Alpha Centauri terbit di langit. Di era globalisasi dan kemudahan akses komunikasi saat ini, sebenarnya tidaklah sulit bagi penganut Bumi datar untuk bertanya pada rekan mereka di belahan dunia lain untuk membuktikan ketidaksesuaian model Bumi datar dengan realita.

Tentunya masih banyak lagi inkonsistensi model Bumi datar dengan realita, namun saya kira penjelasan di atas sudah cukup untuk tulisan ini. Jika Anda tertarik untuk mendapatkan informasi lebih jauh, silakan kunjungi https://bumidatar.id.

Gambar 5  Rasi bintang Crux (berbentuk seperti salib di tengah gambar), Rigel Kentaurus (α Centauri, bintang paling terang pada gambar), dan Hadar (β Centauri, sebelah kanan atas Rigel Kentaurus) hanya dapat dilihat oleh pengamat pada belahan Bumi selatan dan di sekitar katulistiwa. Bintang-bintang tersebut dijadikan simbol belahan Bumi selatan seperti dalam bendera Australia dan Selandia baru.
Sumber: http://cs.astronomy.com/asy/m/starclusters/490720.aspx


Selengkapnya...

Rabu, 04 Juli 2018

Common Sense dalam Hal-hal yang Tidak Begitu Umum

Sepekan yang lalu muncul isu mengenai munculnya ikan jenis pirarucu (Arapaima gigas) di aliran Sungai Brantas di Sidoarjo dan Surabaya. Di media, diberitakan ikan ini ditangkap warga bersama suatu lembaga swadaya untuk kemudian dimusnahkan. Membaca komentar pengunjung adalah salah satu hal menarik yang hanya bisa ditawarkan oleh media daring. Beberapa pengunjung menyayangkan ikan yang katanya mahal dan langka itu dibunuh. Ada menyarankan dilepaskan kembali, ada yang menyarankan dipindahkan, ada yang menyarankan dijual, dan sebagainya.

Ikan pirarucu yang ditangkap warga di Surabaya.
Sumber: news.detik.com

Dengan hanya mengandalkan common sense, tanpa pengetahuan teknis sama sekali mengenai topik terkait, barangkali saya juga akan berpikiran serupa. “Ngapain ikannya dibantai?” “Kan sayang?” “Kan kasihan? Nggak dimanfaatkan juga”. Syukurlah saya nyaris selalu melek saat jam pelajaran biologi saat masih duduk di sekolah menengah dulu. Saya masih mengingat topik mengenai rumitnya jalinan dalam suatu ekosistem dan bagaimana spesies invasif dapat merusak keseimbangan ekosistem. Di buku saya dulu ada kolom “Tahukah Kamu?” yang memberikan informasi mengenai invasi bintang laut Pisaster yang merusak koral. Ya, memperkenalkan suatu spesies baru ke dalam suatu lingkungan dapat membawa banyak masalah. Spesies baru ini akan menciptakan jalinan biologis baru di ekosistem barunya seperti predasi, kompetisi, dan penyebaran parasit atau penyakit. Ketika suatu spesies asing dengan kondisi habitat asli yang lebih keras dibawa ke habitat baru yang lebih nyaman, mereka akan dengan mudah menyaingi spesies asli dalam memperoleh makanan. Spesies pendatang juga dapat membawa parasit dari kampung halamannya. Spesies ini sendiri telah memiliki sistem kekebalan hingga tingkat tertentu akibat telah lama hidup bersama sang parasit. Namun, ketika parasit ini menyebar di lingkungan baru, spesies-spesies di daerah itu akan sangat rentan oleh serangan penyakit yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.

Hal semacam ini telah lama dikenal oleh ahli biologi sehingga banyak negara (termasuk Indonesia) telah menerapkan aturan tertentu mengenai pembatasan masuknya spesies asing (fauna maupun flora) ke dalam wilayahnya. Dari sudut pandang ilmu biologi dan hukum positif, pemberantasan predator asing yang mengancam ekosistem lokal dapat dibenarkan. Dalam kasus ini, yang salah adalah pehobi yang gemar memelihara dan mengoleksi spesies eksotis namun enggan mencari literatur yang cukup dan mempelajari hal-hal terkait aturan dalam memelihara spesies yang ingin dipeliharanya. Ketika sudah bosan memelihara atau ukuran peliharaannya sudah terlampau besar untuk diurus, satwa itu dilepasliarkan saja. Atau barangkali hewan itu tidak dipelihara dalam kandang yang sesuai sehingga memungkinkan mereka lepas ke alam.

Maksud saya membahas berita ini (di antara banyaknya berita lain yang lebih penting) semata-mata untuk menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengandalkan common sense dalam hal-hal dengan jalinan teknis yang tidak kita pahami dengan baik. Kadangkala, kesimpulan yang tampaknya begitu wajar ternyata keliru karena esensi dari perkara itu luput dari perhitungan kita.

Sebagai contoh pribadi, saya dulu terbiasa menautkan berkas (seperti gambar) di blog saya langsung dengan menyematkan url aslinya dengan niat menghargai pemiliknya yang sah. Anggapan saya adalah, selain mengakui hak kepemilikan berkas, hal ini juga menjaga riwayat berkas asli dapat ditelusuri dengan mudah. Ternyata hal ini keliru. Aktivitas yang disebut sebagai hotlinking ini berpotensi merugikan pemilik berkas asli karena kita mencuri bandwith mereka. Ketika seseorang mengakses halaman blog saya yang memuat berkas yang di-hotlink, peramban mereka akan memanggil berkas terlampir dari situs host-nya. Jika aksi ini dilakukan banyak orang secara terus-menerus, bisa dibayangkan banyaknya bandwith yang terpakai. Pengunggah berkaslah yang harus membayarnya (jika ia memiliki akun berbayar), bahkan meski mereka tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari lalu lintas jaringan ini (situsnya sendiri tidak dikunjungi). Untuk itulah sebaiknya kita tidak sembarangan melakukan hotlinking, kecuali pemilik asli berkas mempersilakannya atau bahkan memberikan fitur pemuatan khusus untuk keperluan itu (seperti pada Scribd atau Youtube). Jika berkas yang ingin Anda gunakan memiliki atribut bebas-pakai, unggahlah kembali di akun Anda sendiri. Jika hak cipta berkasnya dilindungi, ya jangan diunggah lagi. Arahkan saja pembaca Anda ke situs sumber.

Saya juga pernah berdebat mengenai teori relativitas khusus dengan seorang pengajar yang mengklaim TRK keliru, postulatnya tidak valid dan memberikan konsekuensi yang inkonsisten berdasarkan common sense. Ia menyodorkan paradoks kembar sebagai argumentasi. Sebenarnya paradoks kembar tidak lagi bersifat paradoks jika dianalisa secara teliti. Dua orang saudara kembar A dan B; si A yang diam di Bumi dan si B yang dibawa ke dalam perjalanan antariksa ke suatu sistem bintang X pulang balik tidak memiliki kerangka yang simetri. Betul bahwa ketika B telah bergerak dengan kelajuan konstan, kerangka keduanya sama-sama inersial dan masing-masing dapat mengklaim saudaranyalah yang bergerak. Namun, ketika B berangkat dan berbalik arah kembali ke Bumi, ia harus melakukan percepatan untuk mengubah kecepatannya dari \(0\) ke \(v\) dan dari \(v\) ke \(–v\) berturut-turut. Hal ini menyebabkan kerangka si B tidak inersial dalam keseluruhan durasi perjalanan. Dengan memperhitungkan transformasi kerangka B pada kedua momen ini, perhitungan berdasarkan kerangka A maupun B akan konsisten: B akan lebih muda daripada A. Hal inilah yang tidak dipahami (dan tidak mau dipahami) oleh orang pintar yang berdebat dengan saya tadi.

Yah, membangun pendapat awal atau praduga atas suatu masalah atau isu yang kita dengar adalah hal yang wajar (bahkan seringkali perlu). Namun, dugaan haruslah diperlakukan sebagai dugaan. Selalu uji dan pertanyakan pendapat awal kita. Kita harus menginsafi bahwa common sense kita terkadang tidak cukup dalam memahami hal-hal kompleks yang sarat akan hal-hal teknis. Sebagai seorang intelek, sebaiknya kita menyatakan pendapat awal (tentang hal-hal yang bukan bidang kita) kita secara rendah hati dan bertanya pada pakar di bidangnya atau mendiskusikannya dengan orang lain. Dengan begitu, kita membuka pintu untuk mendapatkan pengetahuan baru yang berharga. Menyatakan pandangan kita atas suatu hal dengan penuh percaya diri tanpa dilandasi dengan pemahaman mengenai topik terkait hanya akan membuat kita terlihat bodoh. Anda dan saya tentu tidak mau terlihat bodoh.


Selengkapnya...

Selasa, 26 Juni 2018

Standar Busana dan Potensi Serangan Seksual

Tulisan ini saya buat berdasarkan diskusi daring dengan beberapa kenalan mengenai hijab bagi wanita beberapa waktu lalu. Pembicaraan kami dimulai dari argumen kekecewaan kenalan beliau atas larangan berhijab bagi wanita di beberapa perusahaan/instansi yang dulu pernah menjadi topik hangat dan kemudian berlanjut ke berbagai hal yang berkaitan.

Saya, sebagai seorang humanis, selalu mendukung tiap orang untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri berdasarkan selera atau preferensinya (dengan latar ideologi atau apa pun) selama tidak melanggar hak atau berpotensi merugikan orang lain. Jadi, pada dasarnya saya sependapat dengan kenalan saya itu. Ia pun membahas mengenai keuntungan wanita mengenakan hijab untuk menghindari perbuatan tidak diinginkan dari pria mesum. Hal ini menarik saya untuk menggalinya lebih jauh.


Ilustrasi pelecehan seksual

Di lingkungan saya sekarang ini (dan saya rasa, kurang lebih sama dengan rata-rata masyarakat di negeri ini), umumnya standar berpakaian wajar bagi wanita di ruang publik ialah bawahan setidaknya sampai ke lutut dan atasan menutup perut, dada dan pangkal lengan. Karena kelaziman ini, umumnya pria tidak berpikiran tidak-tidak jika melihat wanita dengan pakaian semacam itu (tentu bisa jadi berbeda jika ada gerakan sensual atau semacamnya, tapi kita membatasi pembahasan ini dari aspek busana saja). Tentunya, pasti ada pria mesum yang tetap saja terangsang jika melihat wanita dengan pakaian yang masih tergolong wajar semacam itu (apalagi bila wanita itu cantik), dan kalau moralitasnya hanya sebesar spora mungkin ia terpicu untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji.

Di sisi lain, meskipun kelaziman busana wanita seperti yang disebutkan di atas, tidak sedikit pula wanita yang berbusana lebih minim daripada itu. Dalam kasus ini, pria yang tidak terhitung mesum pun bisa berpikiran kotor bila melihatnya. Oleh karenanya, berbusana sopan dan wajar dapat menghindarkan wanita dari potensi serangan “binatang buas”.

Sekarang mari kita tinjau daerah lain, dengan standar kewajaran berbeda. Di Bali, Sulut dan Papua misalnya, standar busana wajar bagi wanita tidak seketat itu. Oleh karenanya, pria papua umumnya tidak merasakan dorongan khusus jika melihat wanita berbusana yang terhitung superminim bagi kita. Mereka merasa biasa-biasa saja. Dari sini kita bisa melihat bahwa faktor yang dapat memicu dorongan seksual pada pria (saya sebut faktor S) bergantung pada kondisi sehari-hari lingkungan mereka.

Tentunya, dengan memakai busana yang lebih tertutup daripada standar wajar (seperti mengenakan hijab) secara signifikan dapat mereduksi potensi wanita mendapatkan serangan seksual. Lagi pula, katanya, daripada laki-laki repot-repot berlatih mengendalikan nafsunya, lebih baik wanita yang mencegah dengan membungkus dirinya. Hmpff….

Selanjutnya muncul pertanyaan, apa yang terjadi ketika berhijab mulai menjadi kelaziman di suatu lingkungan? Jawaban saya adalah, standar faktor S pun bergeser menyesuaikan. Jika dulu pria normal tidak berpikiran negatif ketika melihat betis wanita (ceteris paribus), kini menjadi mulai berpikiran negatif semenjak semakin jarang ia bisa melihat betis wanita. Ini bukan hal yang di luar dugaan. Di lingkungan saya tinggal, mengenakan hijab tampaknya tidak menghasilkan faktor repulsif bagi birahi kebanyakan laki-laki. Eksterimnya, cukup banyak orang yang saya ketahui yang justru memiliki semacam fetish pada wanita berhijab. Kalau Anda pernah tersesat (ataukah mampir secara berkala) ke situs-situs web dengan konten dewasa, Anda mungkin menemukan member atau utas khusus “hijab lovers” di sana.

Pada akhirnya, saya memperoleh kesimpulan atas pernyataan kenalan saya. Wajar saja seseorang mengenakan hijab semata-mata dengan alasan karena itu perintah agamanya. Hanya saja, kalau Anda beranggapan mengenakan hijab bisa secara signifikan menghindarkan Anda dari serangan seksual, itu hanya berlaku selama sebagian besar wanita di lingkungan Anda tidak mengenakannya. Mohon tidak menganggap tulisan ini berupaya mendemoralisasi wanita yang aktif mengenakan hijab, niqab, dan sejenisnya. Tulisan ini semata-mata mengkritik anggapan dan pandangan pria bejat serta pria (bahkan wanita) yang terlampau suci yang justru menyalahkan wanita yang menjadi korban serangan seksual karena memiliki preferensi berbusana yang berbeda dari mereka. Entah sejauh apa wanita menutup dirinya, pola pikir laki-laki akan beradaptasi dengan lingkungannya. Serangan seksual terhadap wanita tidak dapat dihentikan kecuali semua pria berlatih meningkatkan kualitas moralnya dan berhenti menyalahkan wanita karena memancing nafsu mereka. Seseorang membangun rumah mewah bukan agar pencuri lebih tertarik untuk menyatroninya, kecuali si empunya rumah sendiri secara eksplisit menyatakan undangan atau tantangannya. Tentu saja, sebagaimana Anda, saya berharap tidak ada hak-hak orang yang terampas akibat nafsu orang lain.


Selengkapnya...

Selasa, 15 Mei 2018

Terorisme dan Penyangkalan

Aksi terorisme kembali melanda Indonesia. Pada Minggu, 13 Mei 2018 bom bunuh diri terjadi di tiga gereja di Surabaya, 13 korban tewas (6 diantaranya pelaku) dan 43 korban luka. Keesokan harinya, 14 Mei 2018 aksi bom bunuh diri kembali terjadi di Polrestabes Surabaya. Korban tewas berjumlah empat orang, yang semuanya adalah pelaku aksi, dan 10 orang terluka. Kedua aksi ini masing-masing dilakukan oleh satu keluarga, termasuk anak kecil.

Dari media massa, kita bisa menyaksikan tingkah elit politik yang kekanak-kanakan. Kita juga bisa melihat reaksi dan tanggapan orang-orang dengan membaca komentar di media daring serta kiriman dan komentar warganet di media sosial. Sebagian orang menganggap bahwa peristiwa semacam ini hanya rekayasa polisi dan pemerintah sebagai pengalihan isu ini dan itu, sebagaimana yang terjadi pasca bom Thamrin Jakarta pada 2016 silam. Kejadiannya di saat seperti itulah, mayatnya hanya bonekalah, dan sebagainya. Well, tidak ada lagi yang bisa saya tanggapi dari orang-orang dari jenis ini. Kebencian sudah menutup hati dan pikirannya.

Bom bunuh diri di Surabaya, 13 Mei 2018.
Sumber: https://www.viva.co.id/berita/nasional/1035769-jasad-bocah-kecil-ledakan-bom-surabaya-ternyata-evan

Sebagian orang lagi tidak menyangkal sampai sejauh itu, namun berkelit dengan menyatakan aksi teror itu adalah konspirasi, skenario pihak Zionis, Amerika Serikat, komunis, Syiah atau apalah yang ingin menjatuhkan citra Islam. Sebagian di antara jenis ini bahkan begitu menghayati menjadi korban sampai-sampai tidak menunjukkan rasa simpati terhadap keluarga korban. Barangkali memang ada pihak lain yang turut diuntungkan atas aksi teror ini, namun para pelaku teror di Indonesia jelaslah bukan zionis, komunis, simpatisan Amerika dan semacamnya. Apa mereka tidak pernah menonton berita dan melihat bagaimana para terpidana teroris dengan bangga mengaku muslim serta meneriakkan takbir saat di pengadilan atau kesempatan lainnya? Apa mereka tak pernah melihat tersangka teroris begitu berapi-api menyampaikan cita-citanya tentang Islam dan pandangannya tentang jihad? Apa mereka tidak pernah melihat orang-orang yang menyambut jenazah terpidana teroris sebagai mujahid di berita? Silakan cek wawancara mantan napi terorisme yang bertobat. Simpulkan sendiri dengan akal Anda apakah mereka menjalankan rencana dari Amerika dan Zionis ataukah justru Amerika dan Zionis adalah musuh mereka.

Sebagian kelompok lagi yang masih punya nurani jelas mengutuk aksi teror semacam itu. Namun, mereka sepertinya tidak mampu menerima kenyataan bahwa tindakan terorisme itu dilakukan oleh saudara seimannya dengah motif agama. Pernyataan “teroris tidak punya agama”, “teroris itu ateis”, “terorisme tidak ada kaitan sama sekali dengan Islam”, dan sebagainya pun dilontarkan. Lha, kenapa malah ateis yang disalahkan? Bagaimanapun saya cukup memaklumi, mungkin pernyataan yang melempar beban ke pihak lain itu respon dari rasa kecewa, minder, atau rasa bersalah terhadap “diri” sendiri. Tapi coba dipikirkan lagi. Sampai saat ini, saya percaya bahwa aksi terorisme itu tidak ada dalam AJARAN Islam. Namun, ajaran dapat ditafsirkan dengan cukup bervariasi. Penafsiran dan pandangan ekstrem yang pro terhadap terorisme itu tidak bisa disangkal tumbuh dalam sebagian komunitas muslim (yang barang tentu tak boleh digeneralisasikan). Benar-tidaknya penafsiran mereka terhadap al Quran dan Hadits ya silakan Anda yang muslim nilai sendiri. Jika Anda sepakat bahwa penafsiran semacam itu menyimpang maka tolong disebarkan. Andalah yang dapat menekan penyebaran paham yang dapat mencoreng citra agama kalian sendiri.

Tentu saja, ekstremisme bisa dilatarbelakangi oleh agama apa saja, Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya. Barangkali, sebagian agama punya kecenderungan menjadi medium yang lebih subur bagi perkembangan paham ekstremis dibandingkan agama lainnya. Namun, kita memerlukan data untuk menyimpulkan hal semacam ini. Adapun di Republik ini, faktanya aksi terorisme yang terjadi sebagian besar dilakukan atas nama Islam (kemungkinan semata-mata karena muslim adalah mayoritas di Indonesia). Anda bisa menyangkal bahwa aksi ekstremisme dan terorisme diajarkan dalam Islam, tapi bagaimana Anda menyangkal bahwa paham semacam itu nyata-nyata ada dalam dakwah Islam? Suatu praktik yang dilakukan suatu kelompok dalam Islam?

Saya menduga motif agama berperan sangat kecil bagi sebagian besar elit pusat jaringan teroris internasional. Namun semakin ke bawah, ke elit regional, perancang aksi, sampai ke eksekutor, motif agama itu memiliki peran yang samakin besar. Siapa yang mau bergabung dengan jaringan terorisme kalau tidak diiming-imingi dengan sesuatu? Dan apa iming-iming terbaik kalau tidak terkait harta atau agama? Saya teringat dengan wawancara dengan trio bomber bali di tahun 2002. Beberapa wawancara dengan napi terorisme lain dengan mudah Anda temui di internet (video atau transkrip). Silakan disimak, apakah mereka melaksanakan aksinya karena motif agama atau bukan. Yang jelas, penyangkalan atas fakta tidak akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik.



Video wawancara Imam Samudra, Amrozi, Ali Ghufron,
https://www.youtube.com/watch?v=Kk_TOI5b0tk
https://www.youtube.com/watch?v=KegO56itXDY
https://www.youtube.com/watch?v=vXQ44ykASwE

Dian Yulia Novi dan Nur Solihin, rencana bom istana 2016
https://www.youtube.com/watch?v=_OVvkjd1be0
https://www.youtube.com/watch?v=WMzRgv9XkVo

Penyambutan jenazah Santoso
https://www.youtube.com/watch?v=6NJ75RntI5A

Wawancara dengan Abu Bakar Ba’asyir
https://www.youtube.com/watch?v=byZqJwMQ5OA
https://www.youtube.com/watch?v=KWEhhlaQDHc

Wawancara dengan Khoirul Ghazali
https://www.youtube.com/watch?v=ZQhx9EGnleQ

Wawancara dengan Ali Imron
https://www.youtube.com/watch?v=0wt61XonrBQ


Selengkapnya...

Kamis, 26 Januari 2017

Drama Pilkada DKI Jakarta

Pilkada DKI 2017 benar-benar diliputi berbagai drama kelas nasional. Postingan ini penulis buat untuk membahas secara ala kadarnya mengenai drama kolosal yang telah berjangsung cukup lama ini. Sebelumnya perlu saya nyatakan bahwa saya bukan penduduk Jakarta (menginjakkan kaki di sana saja Cuma beberapa hari), bukan simpatisan parpol tertentu, bukan “orang hukum”, serta tidak beragama Islam maupun Kristen.

Ilustrasi.
Sumber: http://news.liputan6.com/read/2133192/ahok-vs-fpi-siapa-menang

1) Penolakan Ahok sebagai Gubernur

Sejatinya penolakan terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sudah terjadi semenjak pilkada 2012 ketika beliau berpasangan dengan Joko Widodo. Bahkan, di luar panggung Jakarta, Ahok telah mengunyah penolakan-penolakan semacam itu ketika menjadi bupati Belitung Timur. Penolakan kelompok masyarakat ini didasarkan atas tiga hal; yang jika diurut dari yang paling utama; yaitu: Ahok non-muslim, keturunan Tionghoa, dan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos. Aksi penolakan ini diejawantahkan dalam ceramah, spanduk, dan demonstrasi agar masyarakat tidak memilih Ahok sebagai gubernur.

Tanggapan:

Well, memilih cagub adalah hak tiap individu pemilih. Mau memilih calon atas dasar kekerabatan, keimanannya, moralitas, ideologi, kapabilitas, pengalaman, almameter, huruf depan namanya, terserah. Tiap orang juga berhak sekedar membagi ide dan pendapatnya kepada orang lain. Ya, perang pengaruh ini bisa menggunakan beragam cara, dan salah satu amunisi terbesar yang bisa digunakan kepada Ahok adalah agamanya. Tidak masalah seorang pemilih mempengaruhi kawannya untuk memilih si-A, jangan memilih si-B. Namun, jika ajakannya disertai ancaman maka itu merupakan tindakan yang tidak benar. Nah, bagaimana dengan ucapan seperti ini: “Jangan pilih kafir jadi gubernur, nanti kamu masuk neraka”? Apa itu termasuk ancaman? Ya, silakan pembaca berpendapat sendiri. Menurut saya, itu tindakan yang kurang pantas, namun bagaimanapun tidak bisa dilarang.

Saya kira tidak ada orang yang akalnya masih rasional yang mengatakan meneriakkan (atau lewat tulisan) kafir di tempat umum adalah hal yang wajar-wajar saja. Silakan menyindir kafir dalam majelis keagamaan kalian, tapi jika diumbar ke umum ya itu tidak patut/pantas/elok. Misal, per definisi, adalah fakta bahwa penulis termasuk golongan kafir, tapi kalau situ meneriaki saya kafir di jalan ya saya sedikit keki juga. Saya bisa memberi contoh yang sama kepada Anda, tak dapat Anda sangkal kebenarannya tapi Anda jengkel juga kalau dengar. Tapi! Meskipun tidak pantas dan membuat orang lain tersinggung, tindakan itu bukan juga sesuatu yang melawan hukum. Tindakan seseorang mencerminkan pemahamannya (atau mazhabnya memang begitu). Kalau tidak suka ya kritik balik saja. Silakan adu argumen. Sayangnya, ada sebagian orang berpendapat lain. Boleh memaki orang lain kafir sesukanya, tapi kalau ada yang kritik atau tanggapi, bakal dilaporkan ke polisi.

2) Drama Cagub-Cawagub DKI Jakarta

Selanjutnya adalah drama politik dalam mengusung pasangan cagub-cawagub. Ahok yang telah terlebih dahulu didukung oleh Nasdem, Hanura, dan Golkar akhirnya mendapat restu PDI-P untuk maju berpasangan dengan Djarot. Yah, karena berdasarkan beberapa survei, elektabilitas Ahok sangat tinggi, kubu politik anti-Ahok harus membuat koalisi kuat dan mengusung calon yang tak kalah populer. Untuk itu Gerindra, PKS, PPP, PAN, PKB, dan Partai Demokrat merapat. Dua di antara nama balon yang populer adalah Sandiaga Uno (kader Gerindera) dan Anies Baswedan (non-partisan). Meskipun Anies termasuk orang yang kontra Gerindra pada pemilu lalu, elektabilitasnya yang tinggi (berpotensi menyaingi petahana) dianggap lebih berharga dibandingkan seteru di masa lalu. Sayangnya, di detik-detik terakhir, Demokrat, PPP, PAN dan PKB mengambil jalan sendiri dengan mengusung putra sulung dari SBY, Agus Harimurti Yudhoyono. Tentu, awam pun bisa mengetahui hal ini sangat merugikan koalisi Gerindra - PKS, karena dengan naiknya kompetitor tambahan, suara pemilih dari golongan anti-Ahok bakal terpecah. Begitu pula SBY, yang entah karena alasan apa, mempertaruhkan karir militer putranya untuk menjadi cawagub. Apakah mimpi membangun dinasti politik? Well, bagaimanapun, Agus memiliki kelemahan yang signifikan: tak punya pengalaman sama sekali dalam politik. Sylviana murni, yang pernah menjabat sebagai walikota dan kepala dinas provinsi, lebih tua dan lebih berpengalaman. Namun, karena bapaknya Sylviana bukan mantan presiden bukan pula pembina partai, wajarlah beliau diplot sebagai cawagub. Tentu, baik kubu Gerindra cs dan Demokrat cs harus memeras keringat memikirkan dan menjalankan strategi untuk mendapatkan suara pemilih. Kalau Ahok malah terganjal menjadi cagub – karena suatu alasan – tentulah bakal menjadi keuntungan besar bagi kedua kubu.

Tanggapan:

Entah apa yang dipikirkan oleh SBY, beliau telah melakukan pertaruhan besar. Jika Agus tidak terpilih menjadi gubernur, karirnya di militer tak dapat disambung kembali. Well, mantan presiden yang terlalu sering bercuit tentang politik dalam negeri memang kurang pantas. Tapi jika dipikir-pikir dengan sudut pandang kecintaan ayah terhadap anaknya, bisa dimaklumi jika SBY mati-matian bekerja (di atas maupun di bawah permukaan) untuk menaikkan citra Agus dan menjatuhkan citra pesaingnya.

3) Pidato Ahok di Kepulauan Seribu

Nampaknya, skenario untuk menjatuhkan Ahok telah menemukan titik terangnya. Sederhananya: menunggangi isu agama. Ya, pidato Ahok di Kepulauan seribu menjadi viral karena ucapan beliau: “Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan? Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu.”. Potongan pidato Ahok yang ditambahkan transkrip editan yang diunggah oleh saudara Buni Yani memancing berbagai elemen masyarakat melaporkan Ahok ke polisi. MUI pun mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kalimat Ahok menista agama Islam. Ratusan ribu elemen masyarakat dengan berbegai motivasi: semangat persaudaran muslim, semangat politik, dan semangat apatis mencari untung turun ke jalan dalam aksi yang tak bisa disangkal merupakan aksi yang luar biasa. Kelompok yang menamakan diri Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) jelas bukan gerakan sporadis. Mereka terstruktur dan punya perencanaan matang, mampu merangkul jutaan orang dari berbagai latar belakang melakukan aksi menekan pemerintah dan kepolisian untuk memenjarakan Ahok. Aksi yang disebut Aksi Bela Islam ini telah terlaksana beberapa jilid (14/10, 4/11, dan 2/12 2016) dengan modus yang bervariasi sehingga dapat menarik simpati masyarakat kontra-Ahok yang memiliki perbedaan pola pikir. Rentetan aksi yang digadang-gadang aksi damai itu memang berjalan cukup damai. Angin dari aksi damai ini juga menghasilkan ekses berupa isu-isu lain seperti boikot ini-itu serta penarikan uang dari bank.

Tanggapan:

Tidak bisa dinafikan bahwa Aksi Bela Islam itu diboncengi (kalau tidak didasari) oleh motif politik. Nyatanya, pernyataan Ahok dalam bukunya “Merubah Indonesia” terbitan tahun 2008 yang serupa baru kembali diperkarakan saat ini. Tidak bisa dinafikan bahwa totoh-tokoh politik jelas ambil bagian dalam aksi itu, seperti beberapa anggota DPR yang turut hadir dalam aksi. Tidak bisa dinafikan bahwa ada sebagian pelaku aksi datang hanya untuk meramaikan dan mendapat bayaran saja. Tidak pula dapat dinafikan sebagian pelaku aksi memang datang semata-mata dengan semangat keagamaannya karena merasa Ahok telah menista agama Islam, dan turun aksi adalah berjuang di jalan Allah.

Well, dari kalimat Ahok yang dipersoalkan, ada beberapa penafsiran dari beberapa kubu, diantaranya sebagai berikut:

  1. Ahok jelas menista agama, mau ada kata “dipakai” atau tidak, menyandingkan kata/ayat dalam Al Quran dengan kata “bohong” otomatis adalah kalimat yang menistakan agama.
  2. Kata dipakai memang penting dalam penafsiran. Jika tafsiran Al Maidah yang dimaksud Ahok (yakni memilih gubernur di negara hukum melalui pemilihan umum termasuk dalam konteks yang dimaksud dalam Al Maidah 51) memang tidak tepat maka Ahok tidak menista agama, karena memang ayat ybs digunakan di luar konteksnya oleh oknum tertentu. Namun, jika tafsiran yang dimaksudkan Ahok memang sudah tepat, otomatis Ahok menyatakan Al Maidah 51 memang berisi kebohongan.

Well, mereka yang mengikuti pola pikir (a), tidak perlulah dibahas. Nah, bagi yang mengikuti pola pikir (b) pun memang terpecah menjadi dua. Baik masyarakat awam maupun ulama, ada yang beranggapan pernyataan Ahok menista Al Quran dan ada yang mengatakan tidak. Ada yang menganalisa ayat yang dimaksud secara kontekstual, ada yang secara tekstual. Ada yang mengkaji asbabun nuzul-nya ada yang lihat diksinya saja. Ada yang mempertimbangkan niat/motif Ahok ada yang tidak peduli. Well, yang mana pendapat pembaca itu hak Anda, saya tidak berniat mencampuri atau mempengaruhi.

Saya sendiri berpandangan UU penistaan dan pencemaran nama baik adalah sebuah kekonyolan. Bagaimana mungkin seseorang dipidana karena beropini? Perlu saya tegaskan lagi mengenai fitnah. Mesti dibedakan antara kalimat tertutup (yaitu yang hanya dapat bernilai benar saja atau salah saja) dan kalimat terbuka (bergantung pada variabel, dalam kasus ini, persepsi subjeknya). Jika saya mengklaim “Acok mencuri celana dalam saya”; dan bahwasanya itu tidak benar; maka pernyataan saya adalah suatu fitnah. Adapun jika saya mengatakan “Budi itu bodoh dan mesum” itu tak bisa digolongkan sebagai fitnah, karena kalimat itu adalah penilaian pribadi. Bodoh dan mesum adalah kualitas yang tidak memiliki standar universal.

Kembali ke ketidaksepahaman saya terhadap UU penistaan. Berbeda dari tindakan seperti pencurian, pembunuhan, penganiayaan, pelecehan, yang jelas definisinya. Ucapan seseorang membutuhkan penafsiran untuk mengetahui maksudnya. Jika A menikam B yang menyebabkan B mati, tidak ada perdebatan tentang benar tidaknya A membunuh B. Adapun ucapan seseorang bisa ditangkap berbeda dari orang-orang berbeda. Jadi, kalau opini bisa dipidanakan, persepsinya siapa yang mau digunakan sebagai standar dalam pengadilan? Yang punya massa untuk menekan?

4) Uang NKRI

Ya, siapapun orang rasional tidak habis pikir bahwa drama ini bisa sampai ke cetakan uang. Episode ini merupakan kisah sampingan dari plot utama pilkada DKI. Ada dua kisah utama, yantu klaim Habib Rizieq mengenai lambang palu arit pada uang kertas Rupiah. Padahal, gambar itu adalah logo BI yang di-recto verso. Apa yang diklaim Habib Rizieq sebenarnya efek pareidolia, dipicu waham beliau mengenai bahaya laten komunis. Mungkin pembaca juga pernah mengalami pareidolia. Namun, sepertinya Habib Rizieq terlalu bersemangat hingga melayangkan laporan nyeleneh yang didasarkan pada imajinasi beliau semata kepada polisi, serta menuntut yang tidak-tidak kepada BI dan Kemenkeu.

Kisah kedua ialah mengenai cuitan seorang kader PKS, Dwi Estiningsih, mengenai uang kertas baru yang banyak menampilkan “pahlawan kafir”. Beliau menyatakan ketidaksukaannya karena di negeri yang mayoritas muslim ini, 5 dari 11 pahlawan yang ditampilkan adalah non-muslim.

Tanggapan:

Ya, perbandingan muslim dan non-muslim di Indonesia hampir 7:1. Pertanyaannya, berapa perbandingangan presiden muslim dan non-muslim di Indonesia? Apa sekitar 7:1? Okelah kalau sekelas presiden itu berlebihan, bagaimana dengan wakil presiden, menteri, kepala daerah, anggota dewan, rumah ibadah, gambar di uang seri lama, anggaran APBN untuk direktorat agama, dll? Apa sesuai rasio? Apakah yang non-muslim mengeluh? Ternyata, cuitan Dwi berbuntut pelaporan beliau ke polisi oleh Forkapri. Ini konyol lagi. Memang benar pernyataan beliau itu kurang elok, tapi kan hak beliau untuk berpendapat? Melaporkan seseorang karena berbeda pendapat itu justru lebih konyol daripada sekedar melontarkan argumen konyol.

5) Ceramah Habib Rizieq Shihab

Selanjutnya, ada ceramah Habib Rizieq mengenai keyakinan umat Katolik bahwa Yesus adalah anak tuhan serta ejekan lain terhadap kepercayaan umat katolik. Atas ceramah Habib Rizieq itu, beliau dipolisikan oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia. Ini merupakan serangan balik signifikan pertama yang ditujukan kepada Habib Rizieq, tokoh utama (protagonis/antagonis, tergantung situ berdiri di mana) dalam "pertempuran" ini. Berbagai kampanye yang sarat kekeliruan logis semakin marak dilakukan ketiga kubu. Publik sepertinya hendak dipolarisasi dengan pelabelan seperti "kontra-Rizieq = anti Islam", "kontra Ahok = anti pluralisme", "pro-Rizieq = anti Pancasila", "pro-Ahok = musyrik", dan lain sebagainya.

Tanggapan:

Ini sama konyolnya! Yang bukan penganut agama X tidak punya kewajiban untuk mengimani, sepaham, atau setuju dengan ajaran dalam agama X. Kalau umat lain menyatakan pendapat yang bertentangan ya di mana salahnya? Apalagi Habib Rizieq berceramah di depan umatnya sendiri, meskipun videonya diunggah ke Youtube. Kalau tidak suka ya silakan dibalas dengan komentar. Saya heran dengan orang-orang beragama yang ingin sekali agamanya dihormati oleh umat lain juga, baperan jika agamanya disinggung. Apapun agamanya! Yang tidak boleh adalah jika orang itu menghalangi umat lain menjalankan agamanya. Atau jika seseorang datang ke rumah/rumah ibadah/tempat kegiatan keagamaan umat lain lalu melemparkan sindiran di sana, baru dia pantas digebuk dilaporkan ke polisi.

6) Pidato Megawati

Nah, yang ini mengenai pidoto Megawati di HUT PDI-P, yang disebut-sebut melecehkan Islam dan melukai perasaan umat muslim. Habib Rizieq, yang belakangan namanya naik karena ketiga seri Aksi Bela Islam dan efek dikriminalisasinya, sepertinya terlalu percaya diri dan kurang sabar. Beliau melakukan blunder dengan terlalu cepat melakukan konfrontasi baru kepada Megawati, ketua umum parpol penguasa. Akhirnya, Habib Rizieq terpaksa sedikit melempem, menawarkan mediasi.

Tanggapan:

Sama saja dengan sebelumnya. Menurut saya adalah konyol melaporkan orang lain karena opininya. Drama ini sekarang sudah jadi perlombaan lapor-melapor saja, tidak peduli rasionalitas dari substansi laporannya.

7) Habib Rizieq vs Sukmawati

Selanjutnya, kini Sukmawati Soekarnoputri yang melaporkan Habib Rizieq karena tidak suka dengan ucapan Habib Rizieq yang melecehkan Pancasila. Ucapan beliau itu sebenarnya dilontarkan beliau sudah cukup lama, namun sepertinya sekarang lagi momen-momen tepat untuk memberondong Habib Rizieq. Tesis Habib Rizieq pun dipermasalahkan, padahal tesis adalah produk ilmiah yang; jika ada pro-kontra; semestinya dikaji oleh otoritas keilmiahan pula.

8) FPI vs GMBI

Pelaporan Habib Rizieq oleh Sukmawati berbuntut pemanggilan beliau ke Polda Jabar. Sebagaimana kebiasaan FPI, beliau didampingi oleh massa FPI. Di sana, massa FPI terlibat bentrok dengan massa GMBI. Menurut versi FPI, GMBI yang lebih dahulu memulai, sedangkan menurut GMBI, FPI yang lebih dahulu memulai. Belum saya ketahui versi mana yang benar. Yang jelas, bentrokan itu berujung pembakaran kantor GMBI. Habib Rizieq kemudian melemparkan isu bahwa GMBI sengaja dihadapkan pada FPI oleh polisi, mengingat salah satu dewan pembina GMBI adalah kapolda Jabar, Anton Charliyan. Kisah selanjutnya berujung pada gesekan FPI, didukung politikus oposisi di DPR, dengan kepolisian, utamanya Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jabar.


Yah, di satu pihak, nama Habib Rizieq semakin besar di kalangan muslim yang radikal dan puritan. Di sisi lain, golongan liberal dan sekuler justru makin tidak menyukai beliau. Adapun golongan muslim moderat dan nasionalis terpecah. Tuntutan sebagian elemen masyarakat untuk membubarkan FPI dan memenjarakan Habib Rizieq makin mencuat. Beberapa motor penggerak Aksi Bela Islam dituding menyisipkan agenda makar, syukurlah petinggi FPI tidak termasuk dalam list. Kalau diingat, cukup sering kita dengar oknum FPI yang melakukan tindak kekerasan. FPI juga rutin melakukan razia ini-itu; yang mana secara hukum bukan kewenangannya; yang meresahkan sebagian masyarakat. Selama itu, Habib Rizieq seperti nyaris tak tersentuh dan FPI terus langgeng. Anehnya, sekarang beliau justru diberondong dengan laporan yang tidak rasional dan dibuat-buat — suatu tindakan yang justru dipopulerkan oleh dirinya sendiri untuk mengganjal Ahok. Hmmm... ini seperti trolley dilemma dengan sedikit twist pada identitas orang-orangnya.

Persidangan Ahok juga masih bergulir hingga saat ini. Saksi-saksi yang dihadirkan oleh jaksa hampir semuanya adalah pelapor atau saksi ahli dari pihak kontra. Justru saksi faktanya tidak memberikan kesaksian yang memberatkan terdakwa. Selain itu, muncul lagi skandal korupsi dana bansos dan pembanguan mesjid yang menyeret Sylviana Murni. Entah apa lagi nanti yang terjadi di episode selanjutnya. Sebagai penutup, mari kita ikuti perkembangan drama ini. Bagaimanapun, apa yang diputuskan dan dicapai dalam runtutan perkara-perkara ini akan menjadi preseden bagi penyelesaian kasus-kasus serupa di masa depan. Oleh karena itu, meskipun drama ini mengenai Pilkada DKI, seluruh masyarakat Indonesia ikut memperhatikan dan berharap semua permasalahan berakhir sesuai seleranya masing-masing.


Selengkapnya...

Kamis, 21 Juni 2012

Menkes dan Masalah Kondom

Belakangan ramai terdengar kabar bahwa Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang baru-baru ini dilantik mensosialisasikan penggunaan kondom bagi pelaku seks remaja atau yang bukan pasangan resminya untuk mengurangi tingkat penularan penyakit menular seksual (pms) dan maraknya praktik aborsi siswi/mahasiswi yang semestinya mengerjakan pr fisikanya. Sontak, ramai komentar yang bernada mengkritik sampai mencemooh dan menghujat ditumpahkan ke media, utamanya media online.


kondom: ada merah ada kuning ada hijau (kayak pelangi saja..)

Komentar-komentar yang bersifat menghujat itu semuanya kurang lebih berisikan:

Apa? Kok menteri melegalkan seks bebas?

Bukan begini cara mengurangi penyebaran pms.

Ibu itu bukan menkes, melainkan menkon (menteri urusan kondom).

Ueedannn!!!

dan

Astagfirullah!

Saya mencoba mengamati fenomena ini dengan kacamata saya sendiri dan, hei, apa sih yang Anda harapkan dari seorang menteri kesehatan? Memangnya siapa sih orang sehat yang mendukung seks bebas? Tentunya ibu menkes sudah memberikan keterangan, dan memang seks bebas itu adalah hal yang harus dihindari, apalagi bagi remaja yang masih usia sekolah. Tapi, itukan bukan tugas formal menteri kesehatan. Iya tidak? Ibu menteri dan juga saya tahu betapa sulitnya mengatasi pola hidup ala barat itu. Bukan saja melanggar etika sosial dan agama, tetapi juga dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan semisal HIV dan pms lainnya, serta kehamilan di luar nikah yang ujung-ujungnya aborsi. Nah, tugas menteri kesehatan itulah menangani dampak-dampak buruk terhadap kesehatan. Moral masyarakat memang urusan kita semua, demikian juga ibu menkes telah memberikan himbauan pencegahan utama penyebaran pms adalah dengan menghindari seks bebas. Tapi lebih jauh beliaukan bertanggung jawab formal pada urusan kesehatan, itu saja. Mau apa lagi?

Bagi teman-teman yang mengkritik (hati-hati, berita itu sangat mungkin sudah dilebih-lebihkan) dan mengatakan langkah menganjurkan penggunaan kondom saat sudah demikian sulitnya mengatasi seks bebas adalah tindakan gila, semestinya moral manusianya yang dibenahi, bukan kelaminnya yang diselimuti, ya mari kita lakukan sama-sama. Itu tanggung jawab kita semua, dan di tingkat kementrian itu urusan menteri pendidikan dan kebudayaan dan menteri agama, buka urusan menkes. Ibarat perilaku seks bebas dengan dampak buruk bagi kesehatannya itu berarti kecolongan tiga angka, ya kalau dampak buruk kesehatannya itu bisa dicegah (dengan kondom) berarti kecolongan dua angka. Kan lebih baik kecolongan dua angka daripada tiga angka. Bagaimana supaya tidak kecolongan sama sekali saya pikir itu langkah panjang yang butuh kerja keras yang bersinergi dari semua elemen masyarakat. Bukan cuma hujatan atau omongan astagfirullah tanpa melakukan langkah nyata meski sekecil apapun.

Saya setuju membagikan dan memberi akses kondom memang tidak akan menyelesaikan masalah moral di Indonesia, tapi setidaknya masih berdampak positif bagi kesehatan. Urus dulu moral sendiri, baru kita bergerak mengurus moral bangsa.



Selengkapnya...

Sabtu, 02 Juni 2012

Die Religion ist das Opium des Volkes

Beberapa minggu yang lalu saat pulang kampus naik angkutan kota sempat mendangar lagu Tuhan Palsu diputar oleh pak sopir. Sepertinya sih dari kaset atau semacamnya, bukan dari radio. Setelah googling sebentar katanya lagu itu dinyanyikan oleh Dajjal band (???). Entahlah, yang jelas berikut lirik lagunya.


Lirik Tuhan Palsu:
Bagi kalian semua yang masih punya tuhan
Dan sampai saat ini masih percaya akan adanya Tuhan
Dengerin lagu Gua!
Siapin aja kuping lu!
Panas-panas tuh kuping!

Yuk ah!

Apa elu tega
Ama tuhan yang gak pake baju?
Dingin dong
Awas ah masuk angin

Apa elu tega
Ama tuhan yang cuma pake kolor?
Gak malu tuh
Kayak orang gila dong?

Apa elu bener-bener tega
Ama tuhan yang nempel di Salib?
Udah gak pake baju
Cuma pake kolor
Kayak di film-film Porno

Emang muka Bokep
Lu lagi yang masih percaya
Mikir dong mikir
Lu kan udah gede
Belegug sia!

Apa lu gak salah?
Pilih tuhan kok kepalanya botak
Tekek wae kadinya!

Di tipe-x an deui
Buleud-buleud genep siki
Kasiga kartu gapleh!

Apa lu gak salah?
Pilih tuhan yang telinganya melar
Alah, sigana dijeweran wae eta baheulana ku kolotna euy

Apa lu juga gak salah?
Pilih tuhan yang tampangnya aneh
Udah kepalanya botak, telinganya melar, kayak...
Siga naon euy?
Ah ancur pokonamah, ancur bangget, hirup deui geus ancur teh

Kumaha, panas can?
Deui, deui?
Deui atuh ah!
Lagi

Apa elu gila?
Punya tuhan kok lu anggap sapi
Mooooo
Gung, gung, gung

Apa elu gila?
Sapi aja kok lu anggap tuhan

Eh, sarua wae nya?
Bae lah, eweuh deui text na, bae nya?
Bae lah
Deui ah

Apa lu bener bener gila?
Punya tuhan kok lu anggap sapi
Sapi lu anggap tuhan
Tuhan lu anggap sapi
Sapinya juga nganggap elu

Siga sapi bengeut sia mah sih
Hehehe
Mooo, Mooo, Mooo
Tah, sia siga sapi

Apa lu nggak stress?
Punya tuhan kok nyangkut di Salib?
Meuni watir
Dipoe wae kitu maneh?
Buru di angkat
Kaburu hujan

Apa lu nggak Stress?
Punya tuhan kok kepalanya gundul
Serab tah euy kana panon, meuni mencang
Tisoledat aing jigana mah lamun urang nincak huluna

Apa lu bener bener stress?
Punya tuhan yang kagak waras
Yang satu di Salib
Yang satunya botak
Yang satunya lagi...
Apa apa?
Sapiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
Moo, Moo, Moooo

Geus nya?

Untuk tuhan yang tidak disebut
Mohon jangan iri hati
Dan juga jangan kecewa ya
Sesama trayek
Dilarang mendahului

TERIMAKASIH


Saat mendengarnya, saya cuma senyum-senyum sendiri nyaris seperti orang gila. Penulis lagu tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang disindirnya. Kebanyakan lirik lagunya merupakan anggapan keliru sang penulis lagu terhadap agama yang beliau sindir, jadi wajar kalau saya tertawa. Misalkan ada seorang dari pedalaman melihat Anda menelepon menggunakan ponsel lalu berkata sambil tertawa, “Kamu gila? Masa bicara sendiri sambil nempelin kotak di pelipis?” Saya kira jika itu bakal terjadi Anda pasti bakal senyum-senyum juga, malah bisa-bisa tertawa terbahak-bahak. Well, saya harap orang-orang (yang pernah dengar lagu ini) yang Tuhannya dimaksudkan dalam lagu itu tetap sabar dan tersenyum, anggap saja itu adalah hiburan dalam bentuk tantangan menjalani agama kita masing-masing.

Lalu, setelah berpikir sejenak, dua jenak, tiga jenak, saya teringat kata-kata dari Karl Marx, sang bapak komunis dunia. Beliau memang fenomenal, baik bagi orang yang bermazhab komunis-sosialis sampai liberalis-kapitalis. Dari orang yang menyukai paham komunis minus konsep ketuhanannya hingga yang benar-benar membenci komunis tanpa tahu apa sebenarnya komunis itu. Sederhananya (menurut saya) komunis itu berarti komunal, bersama-sama. Paham untuk mencapai kesejahteraan bersama-sama, dengan memperjuangkan nasib kalangan buruh dan kalangan rendah lainnya. Menolak kesewenang-wenangan, penguasaan, monopoli oleh kaum ber-ada, yakni borjuis liberal. Entah mengapa banyak yang anti komunis tanpa tahu barang sedikit saja tentang komunis, mungkin salah satu kalimat Marx (yang menjadi judul tulisan ini) yang menjadi penyebabnya.


Karl Marx

Banyak orang-orang menerjemahkan kalimat Marx tadi sebagai “Agama adalah candu”. Saya rasa itu tidak benar-benar tepat, oleh karena itu saya sajikan kalimat versi Marx sendiri.

Die religion… ist das Opium des Volkes”.

Berikut pengertian dari kata-kata berbahasa Jerman di atas.

  • Religion : agama, bisa juga berarti keyakinan/kepercayaan spiritual, tapi umumnya ditujukan untuk agama. Agama = keyakinan + ibadah + aturan (akidah).
  • Opium : ganja, obat-obatan yang berasal dari daun tumbuhan yang bersifat psiktotropik, dapat digunakan sebagai obat bius/penenang, tetapi bisa disalahgunakan sehingga menimbulkan kecanduan.
  • Volkes : orang-orang (peoples), kaum, bisa juga berarti masyarakat atau bangsa.

Saya kira… pendapat Karl Marx di atas memang benar sebatas apa yang termaktub dalam kalimat itu (ndak tau dengan kalimatnya yang lain).

Misalkan saya berkata “Bertani adalah pekerjaan bagi manusia”. Tentunya tidak ada orang “sehat” yang akan mengatakan kalimat saya tadi tidak benar. Tetapi penting meskipun bertani adalah pekerjaan manusia, tetapi tidak berarti semua orang adalah petani. Jadi seperti itulah kita harus mencerna kalimatnya Marx, tidak dikurang-kurangi juga tidak dilebih-lebihkan.

“Kecanduan” seperti itulah yang kiranya dialami oleh sang pembuat lagu. Kecanduan ini umumnya — menurut saya, dialami oleh orang-orang yang belum begitu mendalami ajaran agamanya dengan baik ditambah dengan arogansi dan egoisme kekanak-kanakan, atau mungkin baru mulai mempelajari agama dengan begitu semangatnya. Namun jika kita melihat maestro-maestro berbagai agama, sebut saja Gandhi dan Gus Dur, yang demikian bijaksananya, saya kira agama tidak lagi menjadi candu yang berbahaya, tapi malah menjadi sebuah obat hati, ketenangan yang membahagiakan bagi diri sendiri dan makhluk lain.

Bagaimana dengan kita? Ya, mari memilih.



Selengkapnya...

Sabtu, 05 Mei 2012

Problema Ujian Nasional

Ramai terdengar di acara berita beberapa minggu lalu (sampai sekarang juga masih ada) mengenai pelaksanaan ujian nasional alias UN. Tentu saja ini adalah problema yang terus muncul dari tahun ke tahun. Masalahnya ialah:

  1. Sulitnya (mungkin mustahil) menyelenggarakan ujian nasional yang jujur dan bersih di seluruh Indonesia.
  2. Ada siswa yang tergolong cerdas tetapi tidak lulus ujian nasional sedemikian sehingga ia tidak dapat lulus dari sekolah.

Masalah yang membuat masalah ini menjadi "masalah" ialah tidak mungkin mengatasi dua masalah tadi. Yang pertama, bagaimana mungkin membuat ujian nasional yang bersih baik pada pihak penyelenggara maupun pihak peserta dan pihak lain yang terlibat? Bagaimana cara mengatasi pihak pembuat atau penanggung jawab penyimpanan soal tak menjual soal demi mendapatkan duit agar bisa hidup lebih makmur? Bagaimana cara membuat seluruh siswa tidak panik dan tidak berupaya mencari kunci jawaban? Bagaimana cara menghentikan oknum jahil yang senang menerbitkan kunci jawaban palsu untuk dijual dengan harga murah atau sekedar iseng saja? Bagaimana caranya membuat semua guru kehilangan belas kasihannya kepada murid-muridnya dan kehilangan tanggung jawabnya kepada atasan untuk meningkatkan citra sekolah?

Kita bisa cukup yakin pembuat soal bisa bersikap jujur bila semesta kondisi mendukung, tetapi bagaimana misalnya seorang oknum pembuat soal anaknya tiba-tiba sakit dan memerlukan biaya pengobatan besar sehingga ia tergiur untuk menjual naskah soal? Ya! dalam mencari pemecahan suatu masalah kita tidak boleh mengutamakan berpikir ideal (orang-orang sering ngomong harus selalu berpikir ideal dalam konteks masalah kehidupan, sebenarnya itu palsu), tetapi kita harus berpikir realistis. Kita harus mempertimbangkan keadaan, emosi, dan kecenderungan psikis orang lain yang terlibat. Cukup sulit untuk menjamin pembuat soal tidak membocorkan soal kecuali dengan memberikan honor yang tinggi serta menjaga independensi dan kerahasiaan tim pembuat soal.

Nah, sekarang menurut perspektif siswa. Siapa yang mau tidak lulus? Siapa yang tidak berminat menambah peluang (meskipun ia sudah cukup berpeluang) untuk lulus ujian nasional mengingat ujian nasionallah yang menentukan lulus tidaknya kita dari jenjang pendidikan terkait? Saya pun dulu meskipun yakin 90% lulus ujian nasional, tapi kalau berpikir menggunakan kunci jawaban bisa meningkatkan peluang itu barang 5% tentu bakal saya lakukan (tentu saja asalkan bisa diminta gratis dari teman atau paling tidak seharga uang saku), mengingat ujian nasional merupakan syarat tunggal kelulusan (masa kita sekolah selama tiga tahun ditentukan dalam beberapa hari saja). Saya tidak sportif? Oke, saya terima, saya orang realistis, bukan orang idealis. Lulus UN dulu baru jadi idealis, jangan idealis dulu baru mau lulus UN, he..he... Saya kan cuma peserta, bukan pembuat soal atau pihak apa pun yang memikul tanggung jawab. Jika saya adalah pihak yang memikul tanggung jawab, tentu saja saya akan bersikap lebih jujur (meskipun saya tidak sangat yakin iman ini tidak goyah kalau berhadapan dengan uang satu milyar misalnya). Jadi, kita tidak perlu menyalahkan siswa jika mereka berusaha mencari kunci jawaban. Mereka kan cuma ingin lulus, apa sih salahnya? Kemampuan otak orang kan berbeda-beda, mungkin sebagian bisa menghapal pelajaran kelas satu sampai kelas tiga (untuk SMP dan SMA) tetapi sebagian lainnya kan tidak bisa. Ada tipe orang yang sebanyak apa pun mereka belajar tidak akan bisa masuk semuanya. Karena kemampuan otak yang memang terbatas dari sononya ataukah penyesalan yang datang terlambat, mereka lalu mencari kunci jawaban menurut saya sangat manusiawi. Mencari kunci jawaban itu juga usaha, ya tidak? Masa yang punya otak encer saja yang boleh lulus UN? Lagi pula saya kira jumlah siswa yang menjadikan kunci sebagai modal sampingan disamping tetap belajar sangat mungkin masih lebih banyak dibanding siswa yang semata-mata mengandalkan kunci jawaban dan enggan belajar. Malah mungkin pihak sekolah perlu mengadakan seminar tentang bagaimana cara menggunakan kunci jawaban dengan bijak (jangan lupa dibuatkan sertifikat). Cari versi kunci jawaban sebanyak-banyaknya sambil juga belajar keras. Saat ujian kerjakan dulu soal yang bisa dikerjakan, kalau sudah tidak ada cocokkanlah jawaban yang sudah dikerjakan dengan jawaban dari beragam versi kunci. Mana yang paling sesuai berarti itu yang cukup dapat diandalkan untuk mengisi soal-soal yang tak bisa dikerjakan.

Berikutnya dari sudut pandang pihak sekolah. Tentu banyak dari kita tahu bahwa sekolah yang lulusannya bagus-bagus akan mendapat rating yang juga bagus. Kepala sekolah tentunya akan berupaya agar semua muridnya lulus, kalau bisa dengan nilai bagus semuanya. Kalau banyak yang tidak lulus, bukan hanya rating sekolah yang bakal turun, jabatan juga bisa dicopot. Maka diberikanlah mandat kepada guru-guru. Mendapat mandat dari kepala sekolah, dan juga "kasih sayang" buta kepada murid-muridnya, diupayakanlah cara-cara kurang sportif demi kelulusan murid. Caranya tidak jujur memang, tetapi lagi-lagi itu kan manusiawi. Guru dituntut untuk tidak sekedar mengajar, tapi juga mendidik. Dan mendidik itu artinya jika memang tidak/belum mampu ya jangan diluluskan. Tetapi jika banyak yang tidak lulus jabatan mereka taruhannya. Apa sih, maunya dunia?

Begitu pula lembaga bimbingan belajar. Mereka juga berupaya menjaga nama baiknya, demi kelancaran uang masuk kantong. Itu kan juga manusiawi, mengingat pelaksanaan UN juga bukan tanggung jawab mereka. Orang bilang memang tidak ada tanggung jawab secara etis, tetapi ada tanggung jawab moril terhadap mental generasi muda Indonesia. Tetapi jangan lupa, mereka juga punya kewajiban dan tanggung jawab menjaga asap dapurnya tetap mengepul.

Sekarang poin ke-dua. Ada juga siswa yang pintar tetapi tidak lulus karena ketidakberuntungan. Mungkin kesalahan teknis pengerjaan, mungkin pensilnya pensil abal-abalan, atau mungkin prediksi soalnya meleset. Ya memang kita bisa katakan memang begitulah nasibnya, tetapi jika kita bisa menghindari kemungkinan itu dengan meniadakan saja ujian nasional, mengapa tidak dipertimbangkan metode penggantinya? Jika memang kecenderungan siswa-siswi mencari kunci jawaban yang notabene tak bisa dihindari dikecam, mengapa tidak cari syarat kelulusan lain? Syukurlah tahun ini katanya nilai rapor juga dipertimbangkan dalam kelulusan siswa-siswi selain nilai UN, meskipun memang mencegah lebih baik daripada mengobati.



Selengkapnya...

Sabtu, 19 November 2011

Mahasiswa Vandalis, Mahasiswa kontra-Revolusioner

Unhas, satu kata itu saya kira sudah cukup untuk menjelaskan judul postingan kali ini, kecuali bagi saudara yang kurang beruntung tidak punya TV dan tak sempat baca koran. Tawuran alias perang zaman batu yang terjadi beberapa hari ini terbilang cukup menjengkelkan bagi mahasiswa teladan macam saya*. Dari kabar yang terdengar, puluhan motor dibakar berderetan seperti sate saja. Mobil dihancurkan, dan bola daging yang terletak di atas leher dilempari batu. Mereka mahasiswa**, tapi saya tak percaya mereka betul-betul layak disebut mahasiswa. Sifat-sifat vandal: benci akan keindahan dan ketertiban terlihat jelas di Unhas. Menghancurkan sarana dan prasarana kampus untuk bersenang-senang. Well, meskipun fakultas saya, FMIPA tak ambil bagian dalam chaos itu, tetap saja beberapa jendela ruangan pecah, beberapa bahkan di ruang kuliah saya saat kuliah tengah berlangsung. Inilah yang saya sebut vandal. Sifat vandal biasanya muncul bagi remaja yang baru puber sebagai efek samping pencarian jati diri, keangkuhan untuk menunjukkan pada dunia luar bahwa dia orang yang kuat dan patut disegani atau malah ditakuti. Ini memang wajar bagi remaja yang beru puber, tapi mahasiswa Unhas mungkin banyak yang pubernya nggak selesai-selesai, terus bertingkah seperti anak-anak.


Lalu, mengapa saya sebut kontra-revolusioner? Seperti kata Bung Karno, revolusi belum selesai. Reformasi pemerintahan yang disuarakan mahasiswa hanyalah jalan kecil dari revolusi. Lantas, dimanakah kekuatan mahasiswa sebagai social control, moral force, dan agent of change? Social control padahal mudah terbawa arus social issue, moral force padahal justru masyarakat yang geleng-geleng kepala melihat tingkah mahasiswa, agent of change -- ini baru benar! Let's change this garden become a jungle!
Tidak akan ada reformasi saat mahasiswa tak mau bersatu, hanya berkutat pada urusan nafsu kekanakannya saja. Mungkin saja isu-isu pemecah ini dibuat oleh kelompok tertentu untuk memecah kekuatan mahasiswa, atau mungkin memang terjadi secara kebetulan namun sengaja dibesarkan oleh pihak tertentu. Sangat mungkin malah. Dan mereka menang, kini mahasiswa (khususnya di Unhas) tak hirau lagi pada tekad kemahasiswaan. Mungkin, sejarah tentang gerakan mahasiswa yang menumbangkan rezim yang berkuasa tak akan terulang lagi. Well, kita lihat saja...


Catatan:
* bohong
** saya juga mahasiswa, Yoko mahasiswa abal-abal, dan Aldy 68% mahasiswa

Selengkapnya...

Selasa, 19 April 2011

Beri Judul Sendiri

          Sebenarnya saat membuat blog ini saya tidak ingin memuat postingan macam postingan ini, tapi apa lacur, rasanya sudah makin gemes, nggak tau mau marah-marah sama siapa. Toh, ada kaitannya dengan paradoks juga, dalam kisah nyata.

          Seorang bapak punya tiga orang anak, duanya sebodoh bapaknya, tapi si bungsu entah mengapa cerdas luar biasa, mungkin karena kehendak pembuat cerita ini. Sang ayah menyadari betul bakat anaknya ini, ia mempercayakan masa depan dan nama baik keluarganya pada si bungsu. Si bungsu rajin belajar, dan belajar memerlukan fasilitas. Apa pun fasilitas yang diinginkan oleh si bungsu, sebisa mungkin dikabulkan bapaknya, meskipun si bapak bukan orang kaya. Tak ayal dari buku, blackberry, laptop, motor, dan lain-lain dikucurkan, demi sang anak, demi masa depan keluarga. Ketika si bungsu lulus sma, dia kepingin kuliah di luar negeri. Bapaknya, karena yakin anaknya bakal lebih cerdas jika menuntut ilmu di luar negeri (uh.. kasian ptn kita), mengabulkannya. Tak cukup sampai di situ, sang anak nggak mau tinggalnya di kost, maunya di apartemen, apartemen yang diminta pun biaya sewanya selangit. Si bapak punya uang sih, tapi kalau mengabulkan keinginan anaknya, maka keperluan lain, keperluan anaknya yang lain, tidak akan terpenuhi. Alhasil si bapak menolak karena anaknya yang lain nggak setuju, tapi si bungsu ngambek, nuntut, berdalih ini untuk maksimalisasi studinya. 
          Pertanyaannya, haruskah si bapak mengabulkan keinginan anaknya?

          Oke, itulah gambarannya, si bapak dan kedua anaknya ialah kita, apartemen mewah ialah gedung satu koma sekian trillyun, dan si bungsu... Anda tahu sendiri.
Kasihan negeri kita..
Selengkapnya...

Senin, 24 Januari 2011

Paradoks Gayus

Sudah dengar pledoi yang dibacakan Gayus Tambunan dalam sidangnya yang lalu?  Gayus mengatakan ingin dijadikan staf ahli kepolisisan, kejaksaan, atau ketua KPK. Gayus ingin memberantas para koruptor, bukan hanya kelas kakap, tetapi juga kelas hiu dan paus. Maaf, mungkin ini agak basi, tapi baru tadi saya kepikiran ini sebenarnya mirip dengan paradoks tukang cukur seperti postingan saya yang lalu.

Sebagai pemberantas koruptor, Gayus, dan juga institusi lain harus memberantas segala koruptor dan tidak boleh menghambat kinerja pihak-pihak yang juga memberantas koruptor. Jadi, ada dua syarat penting di sini:
1.   Gayus memberantas semua koruptor, tapi Gayus dan institusi pemberantas koruptor tidak menghambat kerja pemberantas koruptor lainnya.
2.   Gayus juga merupakan koruptor.


Nah, pertanyaannya, siapakah yang akan menagkap Gayus?
Selengkapnya...

Minggu, 05 Desember 2010

Infotaiment vs Keilmuan

Belakangan ini ramai sekali terdengar isu mengenai alien, dilatarbelakangi isu konferensi pers NASA mengenai kehidipan ekstraterrestrial (ET). Ngg.. saya pun bengong dengan omongan dari infotaiment yang kentara sekali daya jual beritanya. Dan yah, namanya juga infotaiment, minta pendapat dari para selebritis yang tidak kompeten.


Sayang sekali isi konferensi pers NASA jauh dari harapan para ufolog dan kaum pro alien yang senang nonton sci-fi. NASA ternyata cuma memberitakan bentuk kehidupan unik di Bumi yang merubah total pandangan ilmuwan mengenai bentuk alien yang selama ini mirip manusia atau hewan pada umumnya. Yah, mungkin mereka bernapas dengan H2S dan minum asam sulfat.

Banyak berita-berita hoax dan konspirasi yang beredar di dunia internasional (khususnya Amerika) yang tidak begitu ditanggapi serius oleh masyarakat mereka, malah heboh di sini. Ck..ck…

Yah, Indonesia merupakan negara yang terbelakang, sangat terbelakang dari segi ilmu pengetahuan. Ini tidak berarti tidak ada orang Indonesia yang pintar, justru beberapa orang Indonesia yang cerdas malah sangat cerdas, sebut saja Johny Setiawan, astronom asal Indonesia, B.J. Habiebie, dan Yohanes Surya. Tapi sayang sekali sebagian besar masyarakat awam sama sekali tidak dapat membedakan mana kajian ilmu dan mana fiksi. infotaiment pun mendukung pembodohan itu. Sebut saja fenomena hujan merah, sun dog, fenomena tanggal 26, dan gletser merah di antartika yang dibahas dengan penuh unsur mistis dan agamis. Tidak ada yang melarang kita untuk menjadi agamis, tapi patutkah kita mengembalikan pemahaman mengenai semua fenomena alam kepada-Nya, tanpa mencoba menganalisis sedikit pun? Justru kalau kita menganalisis fenomena alam ini dengan benar dan mendapati semuanya bersesuaian dengan hukum alam, justru kita mendapatkan kesadaran bahwa hukum alam itu luar biasa agung, tiada yang menyimpang daripadanya, yang kemudian bagi yang agamis menambah pemahaman mengenai kebesaran Pencipta.

Tapi sepertinya masyarakat justru senang mendengar dan membahas cerita-cerita macam begitu. Ironis…

Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.