Jumat, 24 Januari 2020

Bumi Datar: Bantahan dalam Aspek Geometri

Gerakan kampanye Bumi Datar (Flat Earth, FE) kontemporer sudah mulai berkembang pesat di Indonesia setidak-tidaknya sejak tahun 2015. Mereka mengkampanyekan paham Bumi datar melalui berbagai media, mulai dari forum dan blog web, kanal Youtube, media sosial, buku, hingga ceramah (yang kebanyakan menggunakan pendekatan keagamaan). Sebelumnya saya pernah sekali memberikan presentasi mengenai paham Bumi datar disertai bantahan terhadap model tersebut di kampus. Di luar itu, saya sangat jarang meladeni para pengikut Bumi datar di dunia nyata maupun maya. Saya pikir, hal itu buang-buang waktu serta paham tersebut perlahan-lahan akan kehilangan pamornya. Ternyata saya keliru. Mereka masih rajin mengkampanyekan teori-teori konyol mereka di sana-sini hingga saat ini. Beberapa hari lalu saya temui, mereka bahkan telah banyak mengisi forum-forum keilmuwan di internet; sesuatu yang membuat saya cukup gerah.

Sebenarnya, saya tidak menyarankan Anda untuk gampang terlibat perdebatan dengan mereka. Kemungkinan besar Anda akan buang-buang waktu semenjak sebagian besar penganut paham Bumi datar menerima paham itu sebagai bagian dari keimanan. Mereka tidak akan menggunakan nalarnya untuk mencerna dan mempelajari data dan argumen yang kita berikan. Padahal, paham Bumi datar sendiri bahkan tidak memiliki model yang jelas. Jika Anda menemukan penganut paham Bumi datar yang mengajak debat atau mencoba merekrut Anda, mintalah mereka memberikan model mereka secara rinci. Berapa ukuran Bumi, Matahari, Bulan, planet-planet, dan kubah langit berdasarkan model mereka? Berapa jarak benda-benda langit tersebut dari Bumi? Berapa periode peredaran Matahari, Bulan, dan planet-planet? Berapa massa Matahari dan berapa daya radiasinya? Jika mereka tidak mampu memberikan keterangan kuantitatif mengenai model yang mereka sendiri anut, acuhkan saja mereka.

Sejauh yang saya ketahui setelah mengakses sumber-sumber internal paham Bumi datar, mereka bahkan tidak memiliki model yang sistematis, rinci, dan konsisten. Parameter model mereka yang cukup konsisten ialah Bumi berbentuk piringan dengan diameter sekitar 40.000 km (sama dengan keliling Bumi) dan ketinggian Matahari dari permukaan Bumi sekitar 6.000 km. Angka ketinggian Matahari mereka dapatkan menggunakan metode triangulasi, tentunya dengan mengasumsikan bahwa Bumi berbentuk datar. Selain itu, mereka tidak mampu memberikan data-data lainnya. Dalam tulisan kali ini, saya akan sedikit menunjukkan ketidakkonsistenan model Bumi datar dengan realita dalam aspek geometri atau yang berkaitan dengan geometri.

Gambar 1  Posisi matahari pada saat tengah hari, senja, dan tengah malam bagi pengamat di ekuator berdasarkan model bumi datar. Pada saat tengah malam, Matahari diklaim tidak tampak karena jaraknya jauh, padahal bintang-bintang pada arah yang sama masih dapat diamati.

Mula-mula, kita gambarkan model alam semesta Bumi datar seperti pada Gambar 1. Karena kita berada di Indonesia, dipilih pengamat terletak di dekat katulistiwa. Jadi, jarak Matahari dari pengamat pada saat tengah hari (pukul 12) ialah sekitar 6.000 km, jarak Matahari pada saat fajar/senja (pukul 06/18) ialah \(\sqrt{6.000^2+(10.000\sqrt{2})^2}=15.400\) km, dan jarak Matahari pada saat tengah malam (pukul 00) ialah \(\sqrt{6.000^2+20.000^2} = 20.900\) km. Jadi, pada saat Matahari baru terbit/menjelang terbenam, jaraknya dari pengamat sekitar 2,6 kali dibandingkan saat tengah hari. Dengan demikian, diameter sudut Matahari yang teramati pada saat tengah hari mestinya 2,6 kali lebih besar dibandingkan saat fajar/senja hari! Apakah penganut paham Bumi datar mengamati bahwa ukuran Matahari berubah sedemikian dramatis setiap hari? Selanjutnya, perhatikan pula Gambar 2. Tampak jelas bahwa bagi pengamat di sekitar katulistiwa, Matahari “terbit” dari arah timur laut, berbelok menuju zenit (titik di langit tepat di atas kepala), dan kemudian berbelok lagi hingga “terbenam” di barat laut. Apakah penganut Bumi datar melihat faktanya seperti itu?

Gambar 2  Pada model Bumi datar, Matahari selalu terbit dari arah timur laut dan terbenam di arah barat laut bagi pengamat di sekitar katulistiwa.

Kekonyolan lain model Bumi datar yang telah umum menjadi guyonan orang-orang bernalar adalah sorotan cahaya Matahari dalam model tersebut tidak wajar serta Matahari semestinya tidak akan pernah terbenam bagi semua pengamat di muka Bumi. Penganut Bumi datar mencoba berkilah dengan menggunakan argumen yang tidak masuk akal, seperti efek atmosfer, elektromagnetisme, dan sebagainya. Jika kita lihat berdasarkan model Bumi datar seperti pada Gambar 1, jelaslah ketinggian Matahari pada pukul 6 dan pukul 18 waktu lokal ialah

$$ a_{06} = a_{18} = \tan^{-1}⁡ \left ( \frac{y}{x} \right ) = \tan^{-1}⁡ \left ( \frac{6.000}{10.000 \sqrt{2}} \right ) = 23^\circ $$

Sedangkan ketinggian Matahari pada saat tengah malam ialah

$$ a_{00} = \tan^{-1}⁡ \left ( \frac{6.000}{20.000} \right ) = 16,7^\circ $$

Jika kita mengamati realitas, jelaslah bahwa pada saat pukul 6 atau pukul 18, ketinggian Matahari dari horizon sekitar 0°, makanya disebut terbit dan terbenam. Apakah penganut Bumi datar melihat ketinggian Matahari sekitar 23° pada saat fajar/senja dan 17° pada saat tengah malam? Lalu mereka mengklaim efek refraksi membuat posisi Matahari yang teramati menjadi berubah. Padahal, indeks bias udara di dekat permukaan Bumi cukup kecil, sekitar 1,0003 (indeks bias vakum tepat bernilai 1), sehingga tidak akan memberikan perubahan yang sedemikian drastis. Dengan menggunakan hukum Snell yang dapat dengan mudah dibuktikan di laboratorium sekolah, pergeseran posisi tampak Matahari dapat dihitung. Pada saat ketinggian Matahari sesungguhnya \(a_0=16,7^\circ\), jarak zenitnya ialah \(\zeta_0 = 90^\circ-16,7^\circ = 73,3^\circ\). Dengan demikian, jarak zenit Matahari yang tampak ialah

$$ \zeta' = \sin^{-1}⁡ \left ( \frac {n_0 \cdot \sin⁡ \zeta_0}{n'} \right ) = \sin^{-1} \left [ \frac {\sin⁡(73,3^\circ)}{1,0003} \right ] = 73,2^\circ $$

Atau \(a'= 90^\circ - \zeta' = 16,8^\circ \). Diperoleh bahwa refraksi semestinya justru membuat ketinggian Matahari menjadi tampak lebih tinggi!

Gambar 3  Perbandingan lintasan Matahari sepanjang hari pada bola langit bagi pengamat di katulistiwa saat ekuinoks berdasarkan model Bumi bola dan Bumi datar. Lingkaran abu-abu merupakan horizon pengamat. Noktah diberikan untuk menandai posisi Matahari pada pukul 06 dan pukul 18 waktu lokal.

Penganut Bumi datar juga mengklaim bahwa meskipun Matahari tetap di atas Bumi pada malam hari, jaraknya yang semakin jauh membuah cahayanya lebih redup sehingga malam akan tampak lebih gelap. Padahal, berdasarkan hukum pancaran, intensitas radiasi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Berdasarkan model Bumi datar di atas, diketahui jarak Matahari saat tengah malam sekitar 3,5 kali dari jaraknya saat tengah hari. Dengan demikian, intensitasnya semestinya berkurang menjadi seperduabelasnya. Kenyataannya, pada saat tengah malam, langit gelap total bila Bulan tidak muncul. Lagipula, bila argumen mereka itu benar, lantas mengapa kita masih dapat melihat bintang saat tengah malam pada posisi Matahari semestinya (arah utara, 17° dari horizon) atau bahkan lebih rendah? Bukankah berdasarkan model mereka, bintang-bintang juga lebih jauh dan redup dibandingkan Matahari?

Gambar 4  Sorotan cahaya Matahari pada model Bumi datar yang tidak realistis.

Model Bumi datar juga menghasilkan distorsi geodesik. Distorsi ini semakin signifikan pada belahan Bumi selatan (ukurannya semakin membesar dibandingkan ukuran sesungguhnya). Sebagai contoh, lebar benua Australiah (timur–barat) ialah sekitar 4.000 km, sedangkan jarak terpendek dari Lisbon (Portugal) ke Naukan (ujung timur Rusia) ialah sekitar 8.200 km. Padahal, pada model Bumi datar, jarak keduanya terlihat hampir sama (lihat Gambar 2).

Satu tambahan lagi, dalam model Bumi datar, setiap pengamat di Bumi, di manapun dia berada, semestinya dapat melihat seluruh rasi bintang dalam rentang satu tahun. Pada kenyataanya, hanya pengamat di ekuator saja yang dapat melihat seluruh rasi bintang. Pengamat di dekat kutub utara maupun selatan hanya dapat mengamati setengah bagian langit yang bersesuaian (belahan langit utara/selatan). Hal ini dikarenakan belahan Bumi selatan berada di balik belahan Bumi utara dan Bumi berotasi dari barat ke timur. Sebagai contoh, pengamat di pulau Jawa tidak akan pernah dapat mengamati bintang Polaris. Demikian pula pengamat di benua Eropa, Amerika Utara, dan sebagian besar Asia tidak akan dapat melihat rasi Crux dan Alpha Centauri terbit di langit. Di era globalisasi dan kemudahan akses komunikasi saat ini, sebenarnya tidaklah sulit bagi penganut Bumi datar untuk bertanya pada rekan mereka di belahan dunia lain untuk membuktikan ketidaksesuaian model Bumi datar dengan realita.

Tentunya masih banyak lagi inkonsistensi model Bumi datar dengan realita, namun saya kira penjelasan di atas sudah cukup untuk tulisan ini. Jika Anda tertarik untuk mendapatkan informasi lebih jauh, silakan kunjungi https://bumidatar.id.

Gambar 5  Rasi bintang Crux (berbentuk seperti salib di tengah gambar), Rigel Kentaurus (α Centauri, bintang paling terang pada gambar), dan Hadar (β Centauri, sebelah kanan atas Rigel Kentaurus) hanya dapat dilihat oleh pengamat pada belahan Bumi selatan dan di sekitar katulistiwa. Bintang-bintang tersebut dijadikan simbol belahan Bumi selatan seperti dalam bendera Australia dan Selandia baru.
Sumber: http://cs.astronomy.com/asy/m/starclusters/490720.aspx


1 komentar:

  1. Bang kok udah jarang ngepost sih bang, selalu ditunggu loh karya karyanya :(

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.