Tampilkan postingan dengan label paradoks sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label paradoks sosial. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 Mei 2012

Pengetahuan dan Pikiran

Pengetahuan dan pikiran: tahukah Anda perbedaannya? Kita semua tahu memperluas pengetahuan dan mengembangkan pikiran itu tujuan utamanya satu, yakni senjata untuk menghadapi masalah dalam kehidupan. Beberapa orang dengan bangganya memamerkan pengetahuannya, dan mengajarkan pengetahuannnya kepada orang lain dengan anggapan bahwa pengetahuan menjamin bahwa kita akan semakin ahli dalam memecahkan masalah-masalah yang menghampiri atau menciptakan inovasi-inovasi baru. Tahukah Anda bahwa pengetahuan itu “berbahaya”, seperti pedang bermata dua? Ya, pengetahuan hanya akan berguna untuk kebaikan jika digunakan dengan bijak. Di sini saya tidak membahas hal-hal seperti pemanfaatan pengetahuan untuk membuat piranti-piranti jahat atau proyek-proyek bejat lainnya, melainkan tentang hal kecil yang sering teracuhkan yakni dalam memecahkan masalah.

Pengetahuan bisa saja membutakan kita dari jalan yang benar.

Umpamakanlah si A dan si B sama-sama disuruh gurunya memasang sebuah pigura di dinding kelas dan mereka sama-sama punya bahan untuk itu: paku. Masalahnya ialah bagaimana cara memaku dinding agar pigura dapat terpasang? Tentu saja pakunya perlu dipalu, dan mereka tak punya palu. Si A, yang menggunakan pikiran jernih untuk memecahkan masalah itu keluar sejenak, dan mendapatkan batu untuk memukul paku hingga menancap di dinding. Si B, dengan pengetahuannya, memutuskan ia memerlukan palu untuk memalu paku tadi. Pergilah si B mencari palu ke bagian perlengkapan sekolah, kantin, sampai ke rumah warga. Ia tak mengindahkan berbagai hal yang sebenarnya dapat digunakan untuk memecahkan masalah itu. Ia mencoba meminjam palu dari satu tempat ke tempat lain sampai dapat.

Si A adalah orang yang menggunakan pengetahuan dan pikirannya secara bijak. Ia adalah orang yang mendahulukan kemurnian pikiran daripada pengetahuan. Yang diperlukan ialah menancapkan paku ke dinding, maka dengan pikiran yang benar ia mencari cara untuk menancapkan paku. Si B adalah orang yang kurang bijak menggunakan pengetahuan dan pikirannya. Ia membiarkan pengetahuannya menutupi jalan keluar yang sebenarnya ada di dekatnya. Yang ia perlukan adalah palu, maka ia mengabaikan batu-batu dan benda lainnya (yang sebenarnya dapat digunakan) dan mencari jalan panjang dan memakan waktu untuk menyelesaikan masalah itu sesuai dengan pengetahuannya. Si B membiarkan pengetahuannya menutupi jalan keluar. Si A dengan mudah dan cepat menyelesaikan masalah, sedangkan si B mencari jalan yang rumit dan memakan waktu (malah mungkin tidak berhasil) karena beranggapan bahwa solusi hanya mungkin jika sesuai dengan pengetahuan.

Jangan biarkan pengetahuan menutupi jalan kebenaran. Kita harus menggunakan pengetahuan yang kita miliki secara bijak.



Selengkapnya...

Minggu, 29 April 2012

Gagasan

Sebuah kisah untuk Anda..

Alkisah dua orang sahabat yang merantau, sebut A dan B pergi ke suatu desa mencari barang yang berharga. Saat mereka dalam perjalanan, mereka menemukan tumpukan rami yang telah dibuang (rami adalah jenis serat tumbuhan yang dapat dipintal menjadi benang rami, yang kemudian dapat dibuat menjadi tali atau kain). Si A berkata, “Ini adalah tumpukan rami, kau buat seikat dan aku buat seikat lalu kita akan membawanya pulang.” Jadilah mereka berdua membawa tumpukan rami itu. Kemudian saat mereka sampai ke jalan desa lain, mereka menemukan setumpuk besar benang rami yang teronggok begitu saja, maka berkatalah si A, “Benang rami ini adalah apa yang kita butuhkan dari tumpukan rami ini. Mari kita buang rami ini dan melanjutkan perjalanan dengan membawa benang rami ini.” Tetapi si B menjawab, “Aku sudah menempuh perjalanan jauh dengan rami ini, lagipula ia sudah terikat dengan rapi. Aku sudah cukup dengan rami ini, kau lakukan saja apa yang kau suka.” Maka si A membuang tumpukan raminya dan membawa tumpukan benang rami yang baru ditemukannya. Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanannya.

Nah, apa pendapat Anda mengenai si A dan si B? Pikirkanlah terlebih dahulu lalu melanjutkan membaca.

Sampai di jalan desa lain, mereka berdua menemukan lagi kain rami yang telah dibuang. Berkatalah lagi si A, “Kain rami ini adalah apa yang kita butuhkan dari rami dan benang rami ini, mari kita buang saja beban yang kita bawa lalu kita ambil kain rami ini.” Tetapi si B menjawab seperti jawabannya yang tadi. Setelah si A mengangkut kain rami itu, mereka melanjutkan perjalanannya. Di desa lain mereka menemukan tumpukan batang linen, di desa lainnya lagi benang linen, lalu kain linen, kapas, benang katun, kain katun, besi, tembaga, perak, dan terakhir emas. Seperti sebelum-sebelumnya si A pun berkata, “Tumpukan emas ini adalah apa yang kita perlukan dari rami, benang rami, kain rami, batang linen, benang linen, kain linen, kapas, benang katun, kain katun, besi, tembaga, dan perak. Kau buanglah tumpukan rami itu dan akan kubuang beban perak yang kubawa, lalu mari kita membawa tumpukan emas ini.” Demikian juga si B menjawab, seperti sebelum-sebelumnya, “Aku sudah menempuh perjalanan jauh dengan rami ini, lagipula ia sudah terikat dengan rapi. Aku sudah cukup dengan rami ini, kau lakukan saja apa yang kau suka.” Maka si A membuang tumpukan peraknya dan mengangkut tumpukan emas itu.

Kemudian mereka pulang ke desa mereka. Di sana, si B tidak membawa kesenangan bagi orang tua, istri, dan anak-anaknya. Tidak pula bagi dirinya sendiri. Tetapi si A pulang dengan membawa kesenangan bagi orang tua, istri, anak, dan bagi dirinya sendiri.

Bagaimana? Mungkin, sebagian dari Anda sebelum menyelesaikan membaca cerita ini malah memberikan apresiasi pada si A, entah perihal “oknum yang sudah cukup bersyukur”, ataukah “kesetiaan yang picik terhadap ‘gagasan pertama’”. Jikalau demikian, Anda tidak perlu merasa aneh, itu sikap yang cukup wajar dalam masyarakat umum, itu adalah sikap skeptisme dogmatis. Kita cenderung mempertahankan pandangan/dogma kita atas dasar cinta buta, enggan mempertimbangkan pandangan lain meski pandangan yang baru ini lebih benar dan lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kita. Kita menutup mata terhadap hal-hal lain yang lebih mencerahkan dan membahagiakan, enggan untuk sekedar menguji pandangan baru itu, hanya karena ingin mempertahankan keyakinan awal kita karena sudah merasa nyaman bahkan meskipun kita tahu bahwa itu keliru.

Ya, begitulah manusia pada umumnya, dan begitu pulalah para ilmuwan. Anda dapat dengan mudah menemukan teori-teori yang cenderung dipertahankan oleh para ilmuwan, mempertahankan gagasan-gagasan lama meskipun telah dibuktikan tidak sesuai dengan data dan fakta. Kita tidak benar-benar ingin berubah. Padahal, meskipun berubah tidak menjamin hasil yang lebih baik, tetapi hasil yang lebih baik hanya mungkin diperoleh dengan melakukan perubahan.



Catatan:
Judul sebenarnya dari artikel ini “Skeptisme Dogmatis”, kisah di atas saya sadur dari Digha Nikaya 23.29.

Selengkapnya...

Sabtu, 19 November 2011

Mahasiswa Vandalis, Mahasiswa kontra-Revolusioner

Unhas, satu kata itu saya kira sudah cukup untuk menjelaskan judul postingan kali ini, kecuali bagi saudara yang kurang beruntung tidak punya TV dan tak sempat baca koran. Tawuran alias perang zaman batu yang terjadi beberapa hari ini terbilang cukup menjengkelkan bagi mahasiswa teladan macam saya*. Dari kabar yang terdengar, puluhan motor dibakar berderetan seperti sate saja. Mobil dihancurkan, dan bola daging yang terletak di atas leher dilempari batu. Mereka mahasiswa**, tapi saya tak percaya mereka betul-betul layak disebut mahasiswa. Sifat-sifat vandal: benci akan keindahan dan ketertiban terlihat jelas di Unhas. Menghancurkan sarana dan prasarana kampus untuk bersenang-senang. Well, meskipun fakultas saya, FMIPA tak ambil bagian dalam chaos itu, tetap saja beberapa jendela ruangan pecah, beberapa bahkan di ruang kuliah saya saat kuliah tengah berlangsung. Inilah yang saya sebut vandal. Sifat vandal biasanya muncul bagi remaja yang baru puber sebagai efek samping pencarian jati diri, keangkuhan untuk menunjukkan pada dunia luar bahwa dia orang yang kuat dan patut disegani atau malah ditakuti. Ini memang wajar bagi remaja yang beru puber, tapi mahasiswa Unhas mungkin banyak yang pubernya nggak selesai-selesai, terus bertingkah seperti anak-anak.


Lalu, mengapa saya sebut kontra-revolusioner? Seperti kata Bung Karno, revolusi belum selesai. Reformasi pemerintahan yang disuarakan mahasiswa hanyalah jalan kecil dari revolusi. Lantas, dimanakah kekuatan mahasiswa sebagai social control, moral force, dan agent of change? Social control padahal mudah terbawa arus social issue, moral force padahal justru masyarakat yang geleng-geleng kepala melihat tingkah mahasiswa, agent of change -- ini baru benar! Let's change this garden become a jungle!
Tidak akan ada reformasi saat mahasiswa tak mau bersatu, hanya berkutat pada urusan nafsu kekanakannya saja. Mungkin saja isu-isu pemecah ini dibuat oleh kelompok tertentu untuk memecah kekuatan mahasiswa, atau mungkin memang terjadi secara kebetulan namun sengaja dibesarkan oleh pihak tertentu. Sangat mungkin malah. Dan mereka menang, kini mahasiswa (khususnya di Unhas) tak hirau lagi pada tekad kemahasiswaan. Mungkin, sejarah tentang gerakan mahasiswa yang menumbangkan rezim yang berkuasa tak akan terulang lagi. Well, kita lihat saja...


Catatan:
* bohong
** saya juga mahasiswa, Yoko mahasiswa abal-abal, dan Aldy 68% mahasiswa

Selengkapnya...

Kamis, 01 September 2011

Demokrasi = Voting? Suatu Paradoks Sosial

Banyak kawan-kawan mungkin belum begitu paham apa itu demokrasi sebenarnya, pun begitu dengan saya. Namun sering saya melihat dalam lingkup sekeliling saya, suatu demokrasi disederhanakan sedemikian ekstrimnya hingga menjadi sama dengan voting saja. Dalam beberapa hal mungkin bisa, seperti mekanika Newtonian (penyederhanaan mekanika relativistik untuk kelajuan rendah) bisa dipakai dalam kasus tertentu. Menggelitik memang, karena dalam musyawarah jika ditemui jalan buntu, maka senjata pamungkasnya adalah pemungutan suara alias voting, yang sering dipandang sebagai prosedur posterior.

Perumpaan menggelitik mengenai hal ini dinyatakan oleh Benyamin Franklin: “Demokrasi seperti dua ekor serigala dan seekor domba yang memutuskan siapa yang akan dijadikan santap siang hari itu”. Bagaimana jika voting dijadikan pamungkas untuk keadaan seperti ini? Tentu saja domba yang malang akan menjadi korban demokrasi keblingernya kita.

Inti dari demokrasi yang diadopsi oleh negara kita ialah Preambule UUD 1945, yang memuat falsafah negara, Pancasila. Demokrasi bukan persoalan piece of cake, tetapi kompleks. Dari kelima sila itu saya ambil saja sila keempat dan lima: musyawarah mufakat untuk mencapai KEADILAN. Ini penting sekali sebab untuk mencapai suatu keputusan yang adil, musyawarah harus melihat situasi yang ada. Jika dalam perumpamaannya Franklin tadi musyawarah mandeg (jelas) dan dilakukan voting, tentu saja hasilnya domba yang akan menjadi barbekiu: Apakah domba harus menerimanya? Tidak, minoritas mestinya berhak menolak hasil voting jika ia dirugikan oleh keadaan dan mufakat bisa ditangguhkan, dan harus mencari jalan lain hingga keadilan dapat tercapai, setidaknya mendekati. Jadi kita jangan sempit pikiran dengan menjadikan voting sebagai ikon demokrasi, jika demikian tentunya demokrasi bakal ada di mana-mana, mengingat hampir semua orang bisa aritmatika yang sekedar ngitung-ngitung suara.

Bagaimana kita tahu adanya minoritas yang tidak diuntungkan oleh keadaan? Lihat saja jika dalam suatu voting (saat musyawarah telah mandeg) satu pihak mendapatkan lebih dari 80% suara dan pihak lainnya kurang dari 20%, kemungkinan ada minoritas yang tidak diuntungkan oleh keadaan. Mufakat hanya bisa diambil jika kita cukup yakin – kalau tidak benar-benar yakin – tidak ada pihak yang tidak diuntungkan oleh keadaan, kedua pihak berada pada kondisi yang kurang lebih sama. Bagaimana batasannya kurang lebih sama? Itu kembali pada hal yang disebut common sense, nurani kita. Memang benar begitu, abu-abu, saya sendiri tidak percaya semua hal dalam realita dapat di-dikotomi-kan. Orang komputasi tahu benar ini, karena mereka memodelkan realita dalam suatu paket fungsi matematis yang dikenal sebagai logika fuzzy. Sering teman saya bilang, kalau hitam jadilah hitam kalau putih jadilah putih, jangan jadi abu-abu. Ini jelas keliru, abu-abu itu ada, merah, kuning, biru, hijau dan lain-lain pun ada. Bayangkan jika Bung Karno kiri yang betul-betul kiri atau kanan yang betul-betul kanan, kita mungkin takkan mengaguminya seperti saat ini.

Persoalan seperti perumpamaan tadi tak jarang terjadi dalam realita, sebut saja NII-nya Kartosuwiryo yang bertahan sampai sekarang. Kalau dilakukan voting dan tiap orang berdiri atas keangkuhannya, jadilah NII itu. Lantas, kenapa itu belum terjadi? Bersyukurlah karena nurani bangsa ini tak seburuk yang kita kira. Terwujudnya demokrasi yang ideal? Harapan jelas masih ada.

Selengkapnya...

Selasa, 19 April 2011

Beri Judul Sendiri

          Sebenarnya saat membuat blog ini saya tidak ingin memuat postingan macam postingan ini, tapi apa lacur, rasanya sudah makin gemes, nggak tau mau marah-marah sama siapa. Toh, ada kaitannya dengan paradoks juga, dalam kisah nyata.

          Seorang bapak punya tiga orang anak, duanya sebodoh bapaknya, tapi si bungsu entah mengapa cerdas luar biasa, mungkin karena kehendak pembuat cerita ini. Sang ayah menyadari betul bakat anaknya ini, ia mempercayakan masa depan dan nama baik keluarganya pada si bungsu. Si bungsu rajin belajar, dan belajar memerlukan fasilitas. Apa pun fasilitas yang diinginkan oleh si bungsu, sebisa mungkin dikabulkan bapaknya, meskipun si bapak bukan orang kaya. Tak ayal dari buku, blackberry, laptop, motor, dan lain-lain dikucurkan, demi sang anak, demi masa depan keluarga. Ketika si bungsu lulus sma, dia kepingin kuliah di luar negeri. Bapaknya, karena yakin anaknya bakal lebih cerdas jika menuntut ilmu di luar negeri (uh.. kasian ptn kita), mengabulkannya. Tak cukup sampai di situ, sang anak nggak mau tinggalnya di kost, maunya di apartemen, apartemen yang diminta pun biaya sewanya selangit. Si bapak punya uang sih, tapi kalau mengabulkan keinginan anaknya, maka keperluan lain, keperluan anaknya yang lain, tidak akan terpenuhi. Alhasil si bapak menolak karena anaknya yang lain nggak setuju, tapi si bungsu ngambek, nuntut, berdalih ini untuk maksimalisasi studinya. 
          Pertanyaannya, haruskah si bapak mengabulkan keinginan anaknya?

          Oke, itulah gambarannya, si bapak dan kedua anaknya ialah kita, apartemen mewah ialah gedung satu koma sekian trillyun, dan si bungsu... Anda tahu sendiri.
Kasihan negeri kita..
Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.