Tampilkan postingan dengan label problem. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label problem. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 Oktober 2018

Prinsip Fermat dan Hukum Snell

Pada suatu hari Muin berjalan-jalan ke pantai bersama kekasihnya. Saat tengah berenang, ia melihat sebuah batu berbentuk seperti tinja di dasar laut. Muin pun berbalik ke arah pantai, hendak menunjukkan batu berbentuk unik itu kepada kekasihnya yang sedang berjemur di pantai. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang pria mencurigakan yang cukup keren duduk di samping kekasihnya. Pria bernama Syahrul itu kemudian terlihat menggenggam pergelangan tangan kekasih Muin, seperti hendak membawanya ke suatu tempat. Berang, Muin berniat segera menghampiri Syahrul sesegera mungkin. Ia menyadari kelajuan maksimalnya di air lebih lambat daripada kelajuan maksimalnya di darat. Jika posisi Muin mula-mula di \(A\) dan posisi kekasihnya dan Syahrul di \(B\) (lihat Gambar 1), seperti apakah lintasan yang harus ditempuh Muin agar bisa mendamprat Syahrul sesegera mungkin?

Gambar 1: Masalah Muin.

Tentunya, bila kelajuan Muin selalu tetap sepanjang perjalanan (medium tempat ia berjalan seragam), lintasan berbentuk garis lurus memberikan waktu tempuh tersingkat. Hal ini dikarenakan garis lurus memberikan jarak terpendek (geodesik) antara dua titik; bila kelajuan selalu seragam otomatis jarak terpendek memberikan waktu tempuh tersingkat. Nah, untuk gerak dalam dua medium berbeda ini, apakah garis lurus juga memberikan waktu tempuh tersingkat?

Untuk memecahkan masalah pertama yang dihadapi Muin, mari kita gambarkan ulang posisi keduanya dan batas kedua medium dalam suatu sistem koordinat. Di sini, kita asumsikan garis batas medium berbentuk garis lurus yang berimpit dengan sumbu-X. Koordinat titik \(A\) diberikan sebagai \((0,y_A)\) dan koordinat titik \(B\) ialah \((x_B,y_B)\) sebagaimana diberikan pada gambar berikut.

Gambar 2: Skema perjalanan dari A ke B dengan waktu tempuh tersingkat.

Semenjak Muin bergerak dari medium 1 menuju medium 2, maka lintasannya pastilah berpotongan dengan garis batas di suatu titik, namakan titik itu sebagai \(M\). Kita belum tahu posisi titik M pada sumbu X, jadi kita gambarkan saja secara sembarangan. Perhatikan bahwa bagian pertama lintasan (dari \(A\) ke \(M\)) seluruhnya berada pada satu medium (medium 1). Oleh karena itu, kelajuan pada potongan lintasan itu seragam. Berdasarkan teorema sebelumnya, lintasan dengan waktu tempuh terpendek dari \(A\) ke \(M\) mestilah garis lurus. Hal serupa berlaku untuk bagian kedua lintasan (dari \(M\) ke \(B\)) yang juga berbentuk garis lurus. Dengan demikian, pertanyaannya sekarang adalah di manakah posisi titik \(M\)?

Waktu tempuh dari \(A\) ke \(B\) dapat dituliskan sebagai jumlahan dari waktu tempuh dari \(A\) ke \(M\) (medium 1) dengan waktu tempuh dari \(M\) ke \(B\) (medium 2).

\begin{align} T=t_1+t_2 \label{T} \end{align}

dengan waktu tempuh pada tiap medium adalah panjang lintasan dibagi dengan kelajuannya,

\begin{align} t = \frac{s}{v} \label{t} \end{align}

Semenjak nilai dari \(y_A\), \(x_B\), dan \(y_B\) telah diketahui, waktu tempuh dari \(A\) ke \(B\) melalui \(M\) memenuhi,

\begin{align} T(x_M) = \frac{1}{v_1} \sqrt{x_M^2+y_A^2} + \frac{1}{v_1} \sqrt{(x_B-x_M )^2+y_B^2} \label{TM} \end{align}

dengan \(v_1\) dan \(v_2\) masing-masing adalah kelajuan di medium 1 dan 2. Sekarang, kita perlu mencari nilai minimal dari fungsi \(T(x_M)\). Jika Anda telah mempelajari kalkulus dasar, tentunya Anda telah mengetahui prosedur yang harus dilakukan. Dalam tulisan ini, saya akan kembali membahasnya sedikit.

Misalkan terdapat suatu fungsi \(f(x)\). Bila \(A\) adalah titik ektremum (titik balik atau titik belok) dari fungsi \(f(x)\) di \(x=a\) maka gradien garis singgung dengan \(f(x)\) di titik \(A\) pastilah nol, \(f'(a)=0\).

Gambar 3: Kurfa f(x) dengan titik minimal (lokal) di A (a, f(a)).

Secara intuitif, bila \(f(x)\) bernilai maksimum/minimum lokal di \(x=a\) maka nilai fungsi di sebelah kiri-kanan \(a\) pastilah lebih kecil/besar dari pada \(f(a)\) sehingga titik \(A\) berlaku seperti titik balik. Dengan demikian, garis singgung kurva di titik \(A\) pastilah horizontal. Karena gradien atau kemiringan garis singgung suatu kurva tidak lain adalah turunan pertama dari fungsi kurva itu maka jelaslah \(f(a)=0\).

Dengan menerapkan teorema di atas ke dalam persoalan Muin, didapatkan nilai \(x_M\) yang memberikan nilai \(T(x_M)\) minimal (atau maksimal) memenuhi,

\begin{align} \frac{dT}{dx_M} = 0\label{KT} \end{align}

Mendiferensialkan persamaan (\ref{TM}) terhadap \(x_M\), didapatkan

\begin{align} \frac{1}{v_1} \frac{1}{2} (x_M^2+y_A^2)^{-1/2} \cdot (2x_M) + \frac{1}{v_2} \frac{1}{2} \left [ (x_B-x_M)^2+y_B^2 \right ]^{-1/2} \cdot 2(x_B-x_M ) \cdot (-1) = 0 \nonumber \\
\frac{1}{v_1} \frac{x_M}{\sqrt{x_M^2+y_A^2}} - \frac{1}{v_2} \frac{x_B-x_M}{\sqrt{(x_B-x_M )^2+y_B^2}} = 0 \label{p1} \end{align}

Menguadratkan kedua ruas dan mengatur susunannya,

\begin{align} x_M^2 \left [(x_B-x_M )^2+y_B^2 \right ] = \left (\frac{v_1}{v_2}\right )^2 (x_M^2+y_A^2) (x_B-x_M )^2 \nonumber \end{align} \begin{align} x_B^2 x_M^2 + x_M^4 - 2x_B x_M^3 + y_B^2 x_M^2 = \left (\frac{v_1}{v_2}\right )^2 \left [x_B^2 x_M^2 + x_M^4 - 2x_B x_M^3 + x_B^2 y_A^2 + y_A^2 x_M^2 - 2x_B y_A^2 x_M \right ] \nonumber \end{align} \begin{align} \left (1-\frac{v_1^2}{v_2^2}\right ) x_M^4 - 2x_B \left (1-\frac{v_1^2}{v_2^2}\right ) x_M^3 + \left (x_B^2+y_B^2-\frac{v_1^2}{v_2^2} x_B^2 - \frac{v_1^2}{v_2^2} y_A^2 \right ) x_M^2 + 2 \frac{v_1^2}{v_2^2} x_B y_A^2 x_M - \frac{v_1^2}{v_2^2} x_B^2 y_A^2 = 0 \label{p2} \end{align}

Akar riil positif dari persamaan (\ref{p2}) memberikan nilai \(x_M\) untuk lintasan dengan waktu tempuh terpendek. Hmm… karena tidak ada metode universal untuk mencari akar-akar dari polinomial orde-4 secara analitik, kita serahkan saja perhitungannya kepada Muin. Barangkali ia bisa mengeceknya sendiri di WolframAlpha.

Bagaimanapun, kita dapat menyederhanakan penulisan sajian di atas dengan mengganti variabel \(x_M\) menjadi sudut normal \(\theta_1\) dan \(\theta_2\) (keduanya berkorespondensi satu-satu) untuk mendapatkan suatu jalinan menarik. Memperhatikan Gambar 2, jelas bahwa:

\begin{align} \left. \begin{matrix} \frac{x_M}{\sqrt{x_M^2+y_A^2}} & = \sin \theta_1\\ \frac{x_B-x_M}{\sqrt{(x_B-x_M)^2+y_B^2}} & = \sin \theta_2 \end{matrix} \right \} \label{theta} \end{align}

Penyulihan nilai-nilai pada persamaan (\ref{theta}) ke dalam persamamaan (\ref{p1}) memberikan jalinan,

\begin{align} \frac{\sin \theta_1}{v_1} = \frac{\sin \theta_2}{v_2} \label{thetav} \end{align}

Semenjak \(0 \leq \theta_1 \leq 90^\circ\), berdasarkan persamaan (\ref{thetav}), jika \(v_1 < v_2\) maka \(\theta_1 < \theta_2\).


Hukum Snell

Hal serupa dengan permasalahan Muin di atas juga berlaku pada perjalanan cahaya dalam medium. Berdasarkan prinsip Fermat(*), lintasan yang ditempuh antara dua titik oleh berkas cahaya adalah lintasan dengan waktu tempuh tersingkat. Dengan demikian, lintasan yang ditempuh cahaya dalam perambatan melalui dua medium juga memenuhi persamaan (\ref{thetav}). Dengan mendefinisikan indeks bias medium,

\begin{align} n \equiv \frac{c}{v} \label{n} \end{align}

maka persamaan (\ref{thetav}) dapat ditulis ulang sebagai,

\begin{align} n_1 \sin \theta_1 = n_2 \sin \theta_1 \label{Snell} \end{align}

Fenomena pembelokan cahaya ini dikenal sebagai pembiasan (refraksi). Adapun persamaan (\ref{Snell}) tidak lain ialah hukum Snell yang telah Anda kenal sejak di bangku SMP.

Seringkali terdapat fraksi berkas cahaya yang memantul dari permukaan batas. Dalam hal ini, berkas cahaya itu hanya merambat dalam satu macam medium saja sehingga kelajuaannya tetap konstan. Dengan demikian, untuk kasus pemantulan sinar (refleksi), persamaan (\ref{Snell}) tereduksi menjadi

\begin{align} \theta_1 = \theta_2\label{refl} \end{align}

dengan \(\theta_1\) adalah sudut datang cahaya mula-mula dan \(\theta_2\) tidak lain adalah sudut pantul.


*Prinsip Fermat tidak lain adalah prinsip aksi terkecil dengan pemilihan aksi \(S \propto T\).


Selengkapnya...

Minggu, 08 April 2018

Kisah Seorang Pemuda yang Hendak Melamar Wanita Pujaannya

Di suatu kota kecil, hiduplah seorang pemuda yang ulet. Ketika ia baru berusia sepuluh tahun, ayahnya pergi dari rumah bersama wanita lain, meninggalkan ia dan ibunya. Ibunya yang sudah lama sakit-sakitan pun baru saja meninggal dua pekan lalu. Sebelum kepergiannya, sang ibu kerap menanyakan kapan anaknya itu akan menikah. Ia ingin melihat anaknya menikah dan hidup bahagia sebelum dirinya tutup usia. Ibunya pernah beberapa kali mengajukan anak kenalannya kepada puteranya, berharap puteranya itu tertarik. Namun, si pemuda dengan berat hati selalu menolak tawaran sang ibu. Ia sudah memiliki seorang wanita idaman. Wanita itu ia kenal ketika ia berkuliah di kota. Mereka satu angkatan, satu fakultas, namun berbeda jurusan. Meskipun sudah lama jatuh hati, pemuda ini tidak pernah berani menyatakan perasaannya. Pujaan hatinya itu berasal dari keluarga berada dan terpandang.

Keinginan ibunya itu semakin terngiang-ngiang di benak pemuda itu setelah beliau meninggal. Merasa menyesal tidak bisa memenuhi keinginan terakhir ibunya, paling tidak ia harus memenuhi harapan ibunya agar bisa membangung keluarga yang bahagia. Ia pun memantapkan hati menemui pujaan hatinya dan manyatakan perasaannya. Dina, wanita pujaan hati pemuda itu, adalah gadis baik-baik yang cerdas. Ia mengenal pemuda itu sebaagai anak yang ramah dan tekun. Namun, ia tidak memiliki perasaan lebih pada pemuda itu. Karena enggan menolak permintaan pemuda itu mentah-mentah, iapun berkilah dengan dalih latar belakang keluarga mereka. Tak mungkin keluarganya menyetujui hubungan mereka sehingga lebih baik mereka berteman saja.

Sumber: https://pixabay.com/id/permainan-kartu-bermain-kartu-joker-941430/

Beberapa hari kemudian, si pemuda — menyangka bahwa restu keluarga adalah satu-satunya faktor ditolaknya cintanya — pergi menemui orang tua Dina. Pemuda itu pun bertemu dengan seorang pria tua, ayah Dina, dan menyatakan niatnya untuk mempersunting putri Pak tua itu. Setelah memperhatikan penampilan dan menanyakan latar belakang si pemuda, ayah Dina nampaknya kurang berkenan menerimanya sebagai menantu. Karena merasa tidak enak untuk langsung menolak pemuda itu, ayah Dina memberikan suatu tantangan, jika pemuda mampu memenuhinya, ia akan mengizinkan pemuda itu menikahi putrinya. Ayah Dina meminta pemuda itu menuliskan semua rangkaian permutasi satu dek kartu remi (daftar semua urutan kartu yang mungkin). Ketika pemuda itu menyelesaikannya, ia harus menyerahkan hasilnya dan barulah ia boleh menikahi putrinya. Merasa hal itu bukan pekerjaan yang terlalu sulit, si pemuda pun menyanggupi kesepakatan itu.

Hari, pekan, dan bulan berganti. Si pemuda itu tak pernah kembali menghadap orangtua Dina. Dina, yang telah mendengar perkara ini dari ayahnya, bagaimanapun menjadi penasaran. Ia memang seorang anak dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Dengan mengingat materi matematika yang ia pelajari saat SMA, ia pun mulai menghitung.

Dina mula-mula mengambil contoh sederhana menggunakan tiga buah kartu, kartu merah (M), kuning (K), dan hijau (H). Ada enam kemungkinan mengurutkan ketiga kartu itu (permutasinya adalah 6). Ia menuliskan daftar permutasinya di buku catatan,

HP: {(M,K,H), (K,H,M), (H,M,K), (H,K,M), (M,H,K), (K,M,H)}

Nampaknya, permutasi tiga kartu adalah pekerjaan yang sangat mudah. Selanjutnya, Dina melakukan generalisasi untuk satu dek kartu remi. Karena terdapat 52 kartu yang unik dalam satu dek kartu remi (tidak termasuk joker), terdapat 52 pilihan mengambil kartu urutan pertama. Setelah kartu urutan pertama diambil, tersisa 51 kartu sehingga kemungkinan pilihan kartu urutan kedua tinggal 51. Demikian seterusnya hingga mengambil kartu urutan ke-52. Dengan begitu, banyaknya kemungkinan urutan 52 kartu yang dipilih dari 52 kartu ialah,

P(52,52) = 52 × 51 × 50 × … × 2 × 1 = 52!

Jadi, terdapat 52! ≈ 8,07⋅1067 kemungkinan urutan kartu. Dina berasumsi jika menuliskan satu rangkaian urutan memakan waktu 1 menit maka untuk menuliskan seluruh rangkaian urutan yang mungkin akan memakan waktu sekitar 1069 detik. Berdasarkan artikel sains yang dibacanya di internet, umur alam semesta ialah 13,8 milyar tahun atau sekitar 4,35⋅1017 detik. Jadi, pemuda itu membutuhkan waktu 1052 kali usia alam semesta untuk menyelesaikan tugasnya.

Lebih jauh, Dina menghitung jumlah kertas yang diperlukan untuk menuliskan seluruh rangkaian urutan yang mungkin. Untuk menuliskan satu rangkaian urutan, ia membutuhkan sekitar 5 cm2 kertas. Kertas yang sangat tipis sekalipun memiliki ketebalan sekitar 0,02 mm. Artinya, diperlukan 1059 m3 material untuk menuliskan semua rangkaian urutan yang mungkin. Volume Bumi adalah 1,08⋅1021 m3. Jadi, pemuda itu setidaknya membutuhkan bahan sebesar 1038 kali planet Bumi untuk dijadikan bahan untuk menuliskan jawabannya.

Jelaslah tantangan dari ayah Dina mustahil diselesaikan. Si pemuda menyadari hal ini dua pekan yang lalu. Ia pun putus asa. Tak mampu menahan frustasi, ia memutuskan untuk menggantung dirinya di rumahnya.


Makassar, April 2018


Sunkar E. Gautama


Selengkapnya...

Kamis, 25 Mei 2017

Plot Diagram HR Gugus M3 dari Data SDSS

Sloan Digital Sky Survei (SDSS) adalah survei citra dan fotometri yang dimulai sejak 1998. SDSS menggunakan teleskop optik 2,5 meter di Apache Point Observatory di New Mexico, Amerika Serikat. Proyek SDSS ini ada beberapa seri, dari seri I hingga IV. SDSS seri IV dimulai sejak 2014 hingga 2020. Rilis data terbaru dari SDSS IV adalah rilis ke-13.

Data dari SDSS dapat digunakan secara gratis untuk kepentingan non-komersil. Kita dapat memperoleh berbagai data fotometri bintang, galaksi, dan quasar. Sayangnya, karena proyek ini hanya survei pencitraan (bukan, bukan dalam artian yang satunya), sejauh ini tidak ada parameter dinamik (paralaks, proper motion, dsb) yang diberikan. Begitu pula objek yang terletak di piringan galaksi tidak direkam oleh SDSS.

Proyek kita kali ini ialah memplot diagram HR dari gugus bola M3 (NGC 5272). Berdasarkan data dari Wikipedia, M3 merupakan gugus bola yang berjarak \(d=10.400\) parsek dan berpusat pada asensiorekta \(RA = 13^h 42^m 11,62^s = 205^{\circ},548\), deklinasi \(DE = +28{\circ} 22' 38'',2 = 28^{\circ}.377\) serta diameter sudut \(D = 18' = 0^{\circ},3\). Dengan demikian, kita akan mencari data bintang yang terletak pada bidang langit dengan batas:

$$ 205^{\circ},548 - \frac{0^{\circ},15}{\cos⁡ 28^{\circ},377} \leq RA \leq 205^{\circ},548 + \frac{0^{\circ},15}{\cos⁡ 28^{\circ},377} $$ $$ 28^{\circ},377 - 0^{\circ},15 \leq DE \leq 28^{\circ},377 + 0^{\circ},15 $$

Suku cosinus pada selang \(RA\) muncul karena perbedaan panjang lokal garis lintang pada lintang yang berbeda (ingat elemen permukaan bola). Hasilnya memberikan bidang langit target dengan batas maksimal:

\begin{align} 205^{\circ},378 \leq RA \leq 205^{\circ},718 \label{RA} \\
28^{\circ},227 \leq DE \leq 28^{\circ},527 \label{DE} \end{align}

Pertama-tama, kita cek citra M3 di sini. Anda dapat melihat citra langit pada bidang tertentu, cukup masukkan nilai koordinatnya. Karena kita mencari M3, cukup tuliskan M3 pada kotak “name” lalu klik <resolve>. Secara otomatis Anda akan mendapatkan koordinat M3. Anda dapat memperbesar medan pandang citra serta mencetak hasilnya dalam pewarnaan negatif.

Citra M3 dari SDSS.

Pekerjaan selanjutnya, kita akan mencari data bintang-bintang yang terletak pada bidang target. Pertama-tama, kita masuk ke laman pencarian di situs SDSS di sini. Pencarian data pada situs SDSS berbasis SQL. Karena saya jarang memperhatikan dosen saat kelas komputasi dulu, dan apa yang sempat masuk juga sudah dilupa, saya terhenti sejenak di sini. Untungnya, situs SDSS memberikan bantuan yang sangat lengkap, bahkan hingga form dan contoh SQL-nya juga tersedia. Di bawah ini adalah contoh syntax untuk memperoleh data objek yang diinginkan. Salin saja ke kotak syntax, pilih format keluaran data, lalu klik <submit>.

Argumen setelah tanda ”--” hanya berupa komentar/keterangan. “Select TOP 1000” berarti kita akan mencari N = 1000 objek teratas pada bidang target dengan spesifikasi objek yang kita inginkan. Kemudian, kita membatasi objek berupa bintang (“FROM Star”) yang spesifikasinya kita namakan kelas “s”. Selanjutnya, deklarasikan parameter yang ingin ditampilkan “s.objID” berarti identitas objek, “ra” berarti asensiorekta objek, “dec” deklinasi objek, “psfmag_g” dan “psfmag_r” adalah magnitudo semu (point spread function) pada spektrum g dan r. Patut diingat bahwa SDSS menggunakan sistem fotomeri unik, yakni ugriz, bukan sistem Johnson (UBV).

Sesudah itu, kita memberi batasan objek pada daerah tertentu, yang kita namakan kelas “n”. “dbo.fGetNearbyObjEq(205.548,28.377,10)” menyatakan objek terdekat dari titik pusat \(RA = 205^{\circ},548\), \(DE = 28^{\circ},377\) dan dalam cakupan radius sudut \(R = 9’\) (perhatikan bahwa \(RA\) dan \(DE\) dalam derajat sedangkan \(R\) dalam menit busur). Nah, objek yang kita inginkan adalah objek yang termuat dalam kelas “s” DAN “n”.

Terakhir (opsional), “ORDER BY dec” meminta data bintang diurutkan berdasarkan nilai deklinasinya. Anda bisa juga mengurutkannya berdasarkan parameter lain. Jika Anda ingin memberikan spesifikasi lebih lanjut, silakan gunakan fitur Search Form, generate syntax-nya, lalu submit.

Saya ingin menggunakan MATLAB untuk mengolah data dari SDSS. Oleh karenanya, saya memilih keluaran dengan format *.CSV (untuk selanjutnya disimpan dalam format *.txt). Tentu, Anda juga bisa menggunakan MS Excel. Selanjutnya tekan <submit> dan lihat datanya. Jika hingga N objek, deklinasi bintang terakhir masih jauh dari nilai batas (misal bila objek di bidang target sangat padat), sebaiknya kita meningkatkan nilai N agar data kita lebih representatif (tidak hanya memuat bintang-bintang di sekitar pusat gugus saja). Sebaliknya, jika jumlah objek pada bidang target memang sedikit, bisa jadi kita mendapatkan jumlah data kurang dari N. Oke, setelah menyalin data ke dalam format *.txt, menghapus baris judul dan mengganti (replace) pemisah “,” menjadi spasi, maka format data bisa langsung diproses dengan MATLAB. Kolom pertama adalah nomor ID, kolom kedua \(RA\), kolom ketiga \(DE\), kolom keempat magnitudo \(g\), dan kolom kelima magnitudo \(r\).

Sekarang waktunya pengolahan data. Pertama-tama, kita cari terlebih dahulu magnitudo bintang dalam sistem UBV. Berdasarkan artikel Wikipedia berikut ini, panjang gelombang untuk tiap magnitudo spesifik dalam sistem UBV dan ugriz diberikan dalam tabel berikut.

Sloan, SDSSu' = 354 nmg' = 475 nmr' = 622 nmi' = 763 nmz' = 905 nm
Johnson – CousinsU = 364 nmB = 442 nmV = 540 nmRc = 647 nmIc = 786.5 nm

Dari data di atas, tentu kita bisa menemukan semua jalinan antara dua magnitudo spesifik menggunakan formulasi Planck. Tentunya, karena formulasi Planck adalah untuk benda hitam, dibutuhkan sedikit koreksi agar diperoleh jalinan yang akurat. Jika Anda tak ingin repot-repot menurunkannya, Anda bisa mencontek hasilnya di laman ini.

Dari sumber di atas, diperoleh jalinan:

\begin{align} V &= g-0.59(g-r)-0.01 \label{V} \\
B &= g+ 0.39(g-r)+0.21 \label{B} \\
B-V &= 0.98(g-r)+0.22 \label{B-V} \end{align}

Untuk menghitung magnitudo mutlak visual (sumbu tegak diagram HR), kita dapat menggunakan rumus modulus jarak.

\begin{align} M_V = 5+V-5 \log⁡ d \label{MV} \\
\end{align}

Luminositas bintang pun dapat diukur dengan menggunakan formulasi Pogson dengan Matahari sebagai pembanding.

\begin{align} \frac{L}{L_\odot} = 10^{2,5(4.83 - M_V)} \label{L} \end{align}

Dengan \(L_\odot = 3,86 \cdot 10^{26} \text{ W}\) adalah luminositas Matahari dan 4,83 adalah magnitudo mutlak visual Matahari. Bintang-bintang dalam satu gugus tentunya saling berdekatan, sehingga jaraknya masing-masing ke Bumi dapat dianggap sama. Dengan demikian, magnitudo semu bintang sudah dapat merepresentasikan terang bintang yang sebenarnya. Oleh karena itu, plot gugus bintang dalam diagram HR bisa juga menggunakan \(V\).

Selanjutnya, untuk sumbu mendatar diagram HR, kita dapat menggunakan indeks warna \((B-V)\) yang telah diperoleh sebelumnya. Namun, jika ingin mendapatkan temperatur efektif bintang, kita dapat menggunakan rumus pendekatan

\begin{align} T _{eff} \approx \frac{7090}{((B-V)+0.71)} \label{T} \end{align}

Sekarang lengkaplah sudah, kita dapat mulai memplot diagram HR dari gugus M3. Berikut ini script MATLAB yang saya gunakan.

M3.txt adalah berkas berisi data yang diperoleh dari SDSS sebelumnya. “set(gca,'Ydir','reverse')” digunakan untuk membalik sumbu tegak (ingat, \(V\) makin kecil ke atas). Hasil plotnya ialah sebagai berikut:

Diagram HR gugus bola M3.

Selanjutnya, kita dapat mengidentifikasi fitur-fitur utama dari diagrah HR M3 seperti deret utama, titik belok M3, bintang blue stragler, horizontal branch, bintang raksasa, dan daerah RR-Lyra.


Selengkapnya...

Kamis, 26 Juli 2012

Persamaan Sumasi

Beberapa minggu lalu saat mengerjakan suatu pemodelan matematika saya mendapatkan persamaan seperti di bawah ini.



Berapakah nilai x yang memenuhi?

Aih, mungkin saya ketiduran saat pelajaran matematika di kelas waktu SMU dulu, tapi menurut saya persamaan di atas benar-benar keren! Menyelesaikannya juga ternyata menyenangkan.





Dengan demikian berlaku pula



bila dipersamakan, diperoleh





Jadi diperoleh



Dapat deh...

Selengkapnya...

Sabtu, 07 Juli 2012

Problem Basel dan Paradoks Deret Basel-Harmonik

Pada postingan sebelumnya telah beberapa kali disinggung mengenai Terompet Toricelli dan deret harmonik, yakni deret yang berbentuk

Deret harmonik tidak lain ialah deret zeta riemann orde satu. Deret zeta riemann sendiri adalah deret tak hingga yang berbentuk


Ada pun deret zeta riemann orde-2, ζ(2) dikenal juga sebagai deret Basel yakni

Telah dibuktikan pada postingan mengenai infinity series paradoks, jumlahan dari deret harmonik adalah tak hingga (divergen). Sekarang kita akan mencari jumlahan dari deret Basel yang pertama kali dilakukan oleh Leonhard Euler. Pertama, panggil ekspansi Taylor/Mac Laurin untuk sinus



Lalu bagilah dengan x



Bentuk (sin x)/x bernilai 0 untuk x = nπ dengan n = ±1, ±2, ±3, … . Dengan demikian, dapat dikatakan nπ adalah akar-akar dari deret (sin x)/x. Seperti halnya polinomial dapat dinyatakan sebagai perkalian akar-akarnya, begitu pula dengan deret tak hingga.



Ingat, bentuk ini sama saja dengan akar-akar polinomial, misal (1-x/π)=0, berarti salah satu akarnya adalah x = π, dan seterusnya. Kemudian ingatlah lagi pemfaktoran (a + b)(ab) = a2b2, sehingga diperoleh



Jika ruas kanan diperkalikan, lalu kita kumpulkan koefisien-koefisien dari variabel x2, didapatkan koefisien itu berbentuk deret



Hal ini dengan mudah diperoleh jika kita melakukan pengandaian dengan suku terbatas, misalkan . jika dijabarkan menghasilkan bentuk:



Jika dikumpulkan koefisien dari variabel x2, diperoleh . Dengan menggunakan analogi, kita juga bisa memperoleh hasil untuk deret tak hingga (bandingkan dengan yang di atas). Bagaimana, paham kan?

Karena kedua deret di atas (deret Mac Laurin dan perkalian faktor) nilainya sama-sama (sin x)/x, maka jelas keduanya sama. Dengan demikian kita dapat mempersamakan koefisien dari x2 pada deret Mac Laurin dan deret perkalian faktor kita menjadi



Akhirnya, diperoleh nilai dari ζ(2) alias jumlahan deret Basel yaitu

Jadi telah terbukti bahwa ζ(2) = π2/6, dengan kata lain deret Basel memiliki jumlah berhingga (konvergen). Sekarang, perhatikanlah ilustrasi berikut.

Persegi-persegi di atas mewakili tiap suku dalam deret harmonik (yakni panjang rusuknya) dan deret Basel (luasnya). Dengan demikian jika diterukan sampai tak hingga, panjang sumbu merupakan jumlahan deret harmonik dan luas bangun merupakan jumlahan deret Basel. Perhatikanlah panjang bangun sama dengan ζ(1) = ∞, padahal luasnya berhingga, ζ(2) = π2/6. Kok bisa?

.

Penjelasannya hampir serupa dengan terompet Toricelli, jadi silakan Anda simpulkan sendiri.



Selengkapnya...

Sabtu, 01 Oktober 2011

Mana yang Lebih Banyak, Orang Hidup atau Orang Mati?

Melihat laju pertumbuhan penduduk dunia tentunya akan membuat kita geleng-geleng kepala. Mungkin pertanyaan pertama yang terpikir oleh Anda ialah apakah beberapa abad ke depan Bumi masih muat menampung seabrek penduduknya? Lalu terbersit pertanyaan di kepala saya: Mana yang lebih banyak, Orang hidup atau orang yang sudah mati? Sebagai gambaran, berikut grafik jumlah penduduk dunia dari tahun ke tahun.


Jadi menurut Anda, manakah yang lebih banyak?


Saya akan mencari solusinya menggunakan model matematika. sebelumnya, kita ambil asumsi-asumsi berikut untuk mempermudah perhitungan.

  1. Gunakan skala waktu dalam generasi (+/- 70 tahun)
  2. Gunakan model diskret dan anggap tiap orang hanya hidup dalam satu selang generasi sehingga pada generasi berikutnya ia dianggap mati. Dengan demikian, jumlah orang yang hidup kita nyatakan dalam f(t) dan jumlah orang yang mati ialah jumlah dari f(0) hingga f(t-1).
  3. Asumsikan fungsi jumlah penduduk berdasarkan waktu  f(t) = t2. Silakan mencoba fungsi lain yang nampaknya sesuai.

Dengan kedua asumsi tadi, kita telah menyederhanakan problem ini sehingga dapat dituliskan sebagai:




Tentu saja model ini hanyalah suatu pendekatan, namun cukup baik untuk menjawab pertanyaan di atas. Nah, di awal pembuktian kita coba ambil pertidaksamaan orang mati < orang hidup.

kita ambil lagi pendekatan integral (lihat di sini) sehingga persamaan di atas menjadi:

Dengan memasukkan nilai f(t) diperoleh:













atau jika dibulatkan t < 5.
Kita coba gambarkan tabelnya

t   1   2   3   4   5   
hidup1491625
mati0151430

Terlihat untuk t > 5 (5 generasi), jumlah orang mati sudah lebih banyak dari orang hidup jika fungsi jumlah penduduk f(t) = t2. Mengingat manusia sudah ada selama puluhan ribu tahun, tentu saja sudah berada pada t yang sangat besar. Silakan analisis fungsi fungsi jumlah penduduk dunia menggunakan regresi kalau masih tidak percaya. Jika Anda hitung dan memasukkan funsinya dalam model di atas saya yakin jumlah orang yang sudah mati lebih banyak daripada jumlah orang yang hidup. Malah jika diteliti dengan seksama, berapapun tanjakan dari fungsi f(t), t10 sekalipun akan ada suatu waktu di mana jumlah orang mati melampaui yang hidup.





[UPDATE]

Berikut adalah koreksi berdasarkan komentar dari Pak Mariano, saya mengucapkan banyak terima kasih atas apresiasinya dan sikap kritisnya terhadap tulisan saya. Saya sengaja hanya menambahkan update di bagian bawah -- tidak memposting ulang, selain karena pemodelan yang lalu setelah saya teliti tidak ada kekeliruan selain pendekatan fungsi yang tidak tepat, tentu saja juga karena proses berpikir itu indah. Sekarang saya akan mengambil fungsi eksponensial satu suku dengan mantissa sembarang yang dapat ditulis f(t) = xt, di mana x kelipatan jumlah penduduk (hidup) tiap masa satu generasi. Jika dimasukkan dalam model menjadi:











Agar t memiliki nilai, nilai dalam kurung (yang di-log-kan) harus bernilai lebih besar dari nol (ingat log dari bilangan nonpositif tak terdefinisi). Dengan metode komputasi, saya peroleh x ≈ 1,972 dengan kata lain t hanya terdefinisi untuk x < 1,972. Nah,pertanyaannya apakah dalam kenyataan nilai x ini lebih kecil dari pada 1,972? Setelah meninjau data-data jumlah penduduk dunia (dapat dilihat di sini atau di sini). Dengan mengingat asumsi ke-1 saya mengambil kisaran sebagai berikut:


tahun     jumlah penduduk (trilyun)
16100,5
16800,6
17500,72
18201,0
18901,5
19603,1
2030~9(perkiraan)

Berdasarkan data belakangan ini diperoleh rasio rata-rata tidak sampai dua kali, apalagi untuk periode yang lebih lama dari 1610. Tentu saja terlihat rasio semakin meningkat juga dan jikalau prediksi pada tahun 2030 sesuai maka rasionya menjadi 3. Mungkin karena belakangan ini tidak ada perang besar dan bangsa-bangsa Asia tengah menggenjot perkembangannya. Well, karena di sini saya mendapat rasionya lebih kecil dari pada 2 dan sedikit lagi cakaran pada kertas saya, saya mengambil kesimpulan jumlah orang mati masih lebih banyak dibanding orang hidup. Tapi mengingat rasio itu cenderung bertambah bisa saja pada suatu masa orang hidup menjadi lebih banyak.

Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.