Tampilkan postingan dengan label fisika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fisika. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Oktober 2020

Rotasi Koordinat

Misalkan vektor \(\mathbf{A}\) dinyatakan dalam koordinat \(O(X,Y)\) sebagai \(\mathbf{A} = \hat{\mathrm{e}}_i A^i = x\hat{\imath}+y\hat{\jmath}\). Jika dilakukan transformasi koordinat berupa rotasi, \(O \xrightarrow[]{\mathrm{rot}(\theta)} O'\), maka komponen vektor A akan bertransformasi menjadi \( (A^i)'=A'^j=\binom{x'}{y'}\). Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut.

Gambar 1  Rotasi bidang terhadap sumbu tegak lurus.

Meskipun jalinan komponen vektor dalam kedua koordinat tersebut berbeda, namun vektor \(\mathbf{A}\) sendiri tidak berubah (inverian). dapat kita tuliskan

\begin{align} \mathbf{A} = \hat{\mathrm{e}}_i A^i = \hat{\mathrm{e}}_{j}' A'^{j} \label{invA} \end{align}

Berdasarkan Gambar 1, diperoleh jalinan

\begin{align} x'&= \overline{OB} + \overline{BC} = \overline{OB} + \overline{DE} \nonumber \\
&= x \cos \theta + y \sin \theta \label{x'} \\
y'&= \overline{AD} - \overline{AB} \nonumber \\
&= y \cos \theta - x \sin \theta \label{y'} \end{align}

Kedua persamaan di atas dapat diringkas ke dalam persamaan matriks,

\begin{align} \begin{pmatrix} x'\\y' \end{pmatrix} &= \begin{pmatrix} \cos \theta & \sin \theta\\ -\sin \theta & \cos \theta \end{pmatrix} \begin{pmatrix} x\\y \end{pmatrix} \nonumber \\
A'^j &= R A^i \label{P1} \end{align}

Lantas bagaimana dengan basisnya? Bayangkan vektor satuan pada sumbu \(X\) dan \(Y\) diputar sebesar \(\theta\). Tentunya vektor satuan baru, \((\hat{\imath}',\hat{\jmath}') \) juga memenuhi transformasi

\begin{align} \left.\begin{matrix} i' & = & \hat{\imath} \cos \theta + \hat{\jmath} \sin⁡ \theta \\ j' & = & -\hat{\imath} \sin \theta + \hat{\jmath} \cos \theta \end{matrix} \, \right\} \label{P2} \end{align}

Apakah ini berarti transformasi berupa rotasi koordinat tidak memenuhi persamaan (\ref{invA})? Mari kita coba nyatakan transformasi basis di atas dalam notasi matriks.

\begin{align} \begin{pmatrix} \hat{\imath}' & \hat{\jmath}' \end{pmatrix} &= \begin{pmatrix} \hat{\imath} & \hat{\jmath} \end{pmatrix} \begin{pmatrix} \cos \theta & -\sin \theta\\ \sin \theta & \cos \theta \end{pmatrix} \nonumber \\
\mathbf{\hat{e}}_j &= R_e \, \mathbf{\hat{e}}_i \label{P3} \end{align}

Perhatikan bahwa

\begin{align} \begin{pmatrix} \cos \theta & \sin \theta\\ -\sin \theta & \cos \theta \end{pmatrix} \begin{pmatrix} \cos \theta & -\sin \theta\\ \sin \theta & \cos \theta \end{pmatrix} = 1 \nonumber \end{align}

Ternyata operator transformasi basis adalah invers dari operator transformasi komponen vektor. Dengan demikian, diperoleh hasil yang konsisten,

\begin{align} \mathbf{A} = \hat{\mathbf{e}}_j' A'^j = (\hat{\mathbf{e}}_i R_e) (R A^i) = \hat{\mathbf{e}}_i A^i \label{P4} \end{align}

Jelas bahwa \(R_e R\) harus bernilai sama dengan 1.



Lalu bagaimana dengan rotasi dalam ruang tiga dimensi? Misalkan kita telah memiliki sembarang vektor \(\mathbf{P}=x \mathbf{\hat{\imath}}+y\mathbf{\hat{\jmath}}+z\hat{k}\) yang disajikan dalam koordinat kartesian \(K\). Kemudian, kita perlu menyatakan jalinan \(\mathbf{P}\) dalam koordinat baru \(K'\) yang memiliki orientasi yang berbeda dari \(K\). Misalkan kita nyatakan perbedaan orientasi kedua kerangka tersebut dalam selisih sudut azimut \(\phi\) dan sudut polar \(\theta\). Untuk menyelesaikan problem ini, perlu dilakukan dua kali rotasi. Pertama ialah rotasi sumbu \(X\) ke arah sumbu \(Y\) sebesar \(\phi\) untuk mendapatkan sumbu \(X^*\) dari koordinat perantara \(K^*\), kemudian kita rotasikan lagi sumbu \(X^*\) ke arah sumbu \(Z\) sebesar \(90^\circ-\theta\) untuk mendapatkan sumbu \(X'\) dari koordinat \(K'\).

Gambar 2  Rotasi kerangka dalam ruang 3 dimensi.

Pada rotasi pertama \(K \rightarrow K^*\) dengan transformasi \(K^* = R^{(1)} K\), sumbu \(X\) dan \(Y\) bertransformasi seperti pada kasus 2-dimensi sebelumnya sedangkan sumbu \(Z=Z^*\). Dengan demikian, matriks transformasinya ialah

\begin{align} R^{(1)}=\begin{pmatrix} \cos \phi & \sin \phi & 0\\ -\sin \phi & \cos \phi & 0\\ 0 & 0 & 1 \end{pmatrix} \label{P5} \end{align}

Pada rotasi ke-2, \(K^*→K'\) dengan transformasi \(K'=U^{(2)} K^*\), sumbu \(X^*\) dan \(Z^*\) bertransformasi seperti kasus 2-dimensi sebelumnya, serta sumbu \(Y^*=Y'\). Mengingat \(\sin⁡(90-\theta)=\cos ⁡\theta\) dan \(\cos⁡(90-\theta)=\sin \theta\) maka matriks transformasinya ialah

\begin{align} R^{(2)}=\begin{pmatrix} \sin \theta & 0 & \cos \theta\\ 0 & 1 & 0\\ -\cos \theta & 0 & \sin \theta \end{pmatrix} \label{P6} \end{align}

Dengan demikian, transformasinya totalnya, \(K \rightarrow K'\), memenuhi

\begin{align} K' = R^{(2)} K^* = [R^{(2)} R^{(1)}] K = R K \label{P7} \end{align}

Menyulihkan persamaan (\ref{P5}) dan (\ref{P6}) ke dalam persamaan (\ref{P7}), didapatkan sajian eksplisit matriks transformasi \(K \rightarrow K'\).

\begin{align} R &= R^{(2)} R^{(1)} \nonumber \\
&=\begin{pmatrix} \sin \theta & 0 & \cos \theta\\ 0 & 1 & 0\\ -\cos \theta & 0 & \sin \theta \end{pmatrix} \begin{pmatrix} \cos \phi & \sin \phi & 0\\ -\sin \phi & \cos \phi & 0\\ 0 & 0 & 1 \end{pmatrix} \nonumber \\
&=\begin{pmatrix} \sin \theta \cos \phi & \sin \theta \sin \phi & \cos \theta\\ -\sin \phi & \cos \phi & 0\\ -\cos \theta \cos \phi & -\cos \theta \sin \phi & \sin \theta \end{pmatrix} \label{P8} \end{align}

Selengkapnya...

Jumat, 24 Januari 2020

Bumi Datar: Bantahan dalam Aspek Geometri

Gerakan kampanye Bumi Datar (Flat Earth, FE) kontemporer sudah mulai berkembang pesat di Indonesia setidak-tidaknya sejak tahun 2015. Mereka mengkampanyekan paham Bumi datar melalui berbagai media, mulai dari forum dan blog web, kanal Youtube, media sosial, buku, hingga ceramah (yang kebanyakan menggunakan pendekatan keagamaan). Sebelumnya saya pernah sekali memberikan presentasi mengenai paham Bumi datar disertai bantahan terhadap model tersebut di kampus. Di luar itu, saya sangat jarang meladeni para pengikut Bumi datar di dunia nyata maupun maya. Saya pikir, hal itu buang-buang waktu serta paham tersebut perlahan-lahan akan kehilangan pamornya. Ternyata saya keliru. Mereka masih rajin mengkampanyekan teori-teori konyol mereka di sana-sini hingga saat ini. Beberapa hari lalu saya temui, mereka bahkan telah banyak mengisi forum-forum keilmuwan di internet; sesuatu yang membuat saya cukup gerah.

Sebenarnya, saya tidak menyarankan Anda untuk gampang terlibat perdebatan dengan mereka. Kemungkinan besar Anda akan buang-buang waktu semenjak sebagian besar penganut paham Bumi datar menerima paham itu sebagai bagian dari keimanan. Mereka tidak akan menggunakan nalarnya untuk mencerna dan mempelajari data dan argumen yang kita berikan. Padahal, paham Bumi datar sendiri bahkan tidak memiliki model yang jelas. Jika Anda menemukan penganut paham Bumi datar yang mengajak debat atau mencoba merekrut Anda, mintalah mereka memberikan model mereka secara rinci. Berapa ukuran Bumi, Matahari, Bulan, planet-planet, dan kubah langit berdasarkan model mereka? Berapa jarak benda-benda langit tersebut dari Bumi? Berapa periode peredaran Matahari, Bulan, dan planet-planet? Berapa massa Matahari dan berapa daya radiasinya? Jika mereka tidak mampu memberikan keterangan kuantitatif mengenai model yang mereka sendiri anut, acuhkan saja mereka.

Sejauh yang saya ketahui setelah mengakses sumber-sumber internal paham Bumi datar, mereka bahkan tidak memiliki model yang sistematis, rinci, dan konsisten. Parameter model mereka yang cukup konsisten ialah Bumi berbentuk piringan dengan diameter sekitar 40.000 km (sama dengan keliling Bumi) dan ketinggian Matahari dari permukaan Bumi sekitar 6.000 km. Angka ketinggian Matahari mereka dapatkan menggunakan metode triangulasi, tentunya dengan mengasumsikan bahwa Bumi berbentuk datar. Selain itu, mereka tidak mampu memberikan data-data lainnya. Dalam tulisan kali ini, saya akan sedikit menunjukkan ketidakkonsistenan model Bumi datar dengan realita dalam aspek geometri atau yang berkaitan dengan geometri.

Gambar 1  Posisi matahari pada saat tengah hari, senja, dan tengah malam bagi pengamat di ekuator berdasarkan model bumi datar. Pada saat tengah malam, Matahari diklaim tidak tampak karena jaraknya jauh, padahal bintang-bintang pada arah yang sama masih dapat diamati.

Mula-mula, kita gambarkan model alam semesta Bumi datar seperti pada Gambar 1. Karena kita berada di Indonesia, dipilih pengamat terletak di dekat katulistiwa. Jadi, jarak Matahari dari pengamat pada saat tengah hari (pukul 12) ialah sekitar 6.000 km, jarak Matahari pada saat fajar/senja (pukul 06/18) ialah \(\sqrt{6.000^2+(10.000\sqrt{2})^2}=15.400\) km, dan jarak Matahari pada saat tengah malam (pukul 00) ialah \(\sqrt{6.000^2+20.000^2} = 20.900\) km. Jadi, pada saat Matahari baru terbit/menjelang terbenam, jaraknya dari pengamat sekitar 2,6 kali dibandingkan saat tengah hari. Dengan demikian, diameter sudut Matahari yang teramati pada saat tengah hari mestinya 2,6 kali lebih besar dibandingkan saat fajar/senja hari! Apakah penganut paham Bumi datar mengamati bahwa ukuran Matahari berubah sedemikian dramatis setiap hari? Selanjutnya, perhatikan pula Gambar 2. Tampak jelas bahwa bagi pengamat di sekitar katulistiwa, Matahari “terbit” dari arah timur laut, berbelok menuju zenit (titik di langit tepat di atas kepala), dan kemudian berbelok lagi hingga “terbenam” di barat laut. Apakah penganut Bumi datar melihat faktanya seperti itu?

Gambar 2  Pada model Bumi datar, Matahari selalu terbit dari arah timur laut dan terbenam di arah barat laut bagi pengamat di sekitar katulistiwa.

Kekonyolan lain model Bumi datar yang telah umum menjadi guyonan orang-orang bernalar adalah sorotan cahaya Matahari dalam model tersebut tidak wajar serta Matahari semestinya tidak akan pernah terbenam bagi semua pengamat di muka Bumi. Penganut Bumi datar mencoba berkilah dengan menggunakan argumen yang tidak masuk akal, seperti efek atmosfer, elektromagnetisme, dan sebagainya. Jika kita lihat berdasarkan model Bumi datar seperti pada Gambar 1, jelaslah ketinggian Matahari pada pukul 6 dan pukul 18 waktu lokal ialah

$$ a_{06} = a_{18} = \tan^{-1}⁡ \left ( \frac{y}{x} \right ) = \tan^{-1}⁡ \left ( \frac{6.000}{10.000 \sqrt{2}} \right ) = 23^\circ $$

Sedangkan ketinggian Matahari pada saat tengah malam ialah

$$ a_{00} = \tan^{-1}⁡ \left ( \frac{6.000}{20.000} \right ) = 16,7^\circ $$

Jika kita mengamati realitas, jelaslah bahwa pada saat pukul 6 atau pukul 18, ketinggian Matahari dari horizon sekitar 0°, makanya disebut terbit dan terbenam. Apakah penganut Bumi datar melihat ketinggian Matahari sekitar 23° pada saat fajar/senja dan 17° pada saat tengah malam? Lalu mereka mengklaim efek refraksi membuat posisi Matahari yang teramati menjadi berubah. Padahal, indeks bias udara di dekat permukaan Bumi cukup kecil, sekitar 1,0003 (indeks bias vakum tepat bernilai 1), sehingga tidak akan memberikan perubahan yang sedemikian drastis. Dengan menggunakan hukum Snell yang dapat dengan mudah dibuktikan di laboratorium sekolah, pergeseran posisi tampak Matahari dapat dihitung. Pada saat ketinggian Matahari sesungguhnya \(a_0=16,7^\circ\), jarak zenitnya ialah \(\zeta_0 = 90^\circ-16,7^\circ = 73,3^\circ\). Dengan demikian, jarak zenit Matahari yang tampak ialah

$$ \zeta' = \sin^{-1}⁡ \left ( \frac {n_0 \cdot \sin⁡ \zeta_0}{n'} \right ) = \sin^{-1} \left [ \frac {\sin⁡(73,3^\circ)}{1,0003} \right ] = 73,2^\circ $$

Atau \(a'= 90^\circ - \zeta' = 16,8^\circ \). Diperoleh bahwa refraksi semestinya justru membuat ketinggian Matahari menjadi tampak lebih tinggi!

Gambar 3  Perbandingan lintasan Matahari sepanjang hari pada bola langit bagi pengamat di katulistiwa saat ekuinoks berdasarkan model Bumi bola dan Bumi datar. Lingkaran abu-abu merupakan horizon pengamat. Noktah diberikan untuk menandai posisi Matahari pada pukul 06 dan pukul 18 waktu lokal.

Penganut Bumi datar juga mengklaim bahwa meskipun Matahari tetap di atas Bumi pada malam hari, jaraknya yang semakin jauh membuah cahayanya lebih redup sehingga malam akan tampak lebih gelap. Padahal, berdasarkan hukum pancaran, intensitas radiasi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Berdasarkan model Bumi datar di atas, diketahui jarak Matahari saat tengah malam sekitar 3,5 kali dari jaraknya saat tengah hari. Dengan demikian, intensitasnya semestinya berkurang menjadi seperduabelasnya. Kenyataannya, pada saat tengah malam, langit gelap total bila Bulan tidak muncul. Lagipula, bila argumen mereka itu benar, lantas mengapa kita masih dapat melihat bintang saat tengah malam pada posisi Matahari semestinya (arah utara, 17° dari horizon) atau bahkan lebih rendah? Bukankah berdasarkan model mereka, bintang-bintang juga lebih jauh dan redup dibandingkan Matahari?

Gambar 4  Sorotan cahaya Matahari pada model Bumi datar yang tidak realistis.

Model Bumi datar juga menghasilkan distorsi geodesik. Distorsi ini semakin signifikan pada belahan Bumi selatan (ukurannya semakin membesar dibandingkan ukuran sesungguhnya). Sebagai contoh, lebar benua Australiah (timur–barat) ialah sekitar 4.000 km, sedangkan jarak terpendek dari Lisbon (Portugal) ke Naukan (ujung timur Rusia) ialah sekitar 8.200 km. Padahal, pada model Bumi datar, jarak keduanya terlihat hampir sama (lihat Gambar 2).

Satu tambahan lagi, dalam model Bumi datar, setiap pengamat di Bumi, di manapun dia berada, semestinya dapat melihat seluruh rasi bintang dalam rentang satu tahun. Pada kenyataanya, hanya pengamat di ekuator saja yang dapat melihat seluruh rasi bintang. Pengamat di dekat kutub utara maupun selatan hanya dapat mengamati setengah bagian langit yang bersesuaian (belahan langit utara/selatan). Hal ini dikarenakan belahan Bumi selatan berada di balik belahan Bumi utara dan Bumi berotasi dari barat ke timur. Sebagai contoh, pengamat di pulau Jawa tidak akan pernah dapat mengamati bintang Polaris. Demikian pula pengamat di benua Eropa, Amerika Utara, dan sebagian besar Asia tidak akan dapat melihat rasi Crux dan Alpha Centauri terbit di langit. Di era globalisasi dan kemudahan akses komunikasi saat ini, sebenarnya tidaklah sulit bagi penganut Bumi datar untuk bertanya pada rekan mereka di belahan dunia lain untuk membuktikan ketidaksesuaian model Bumi datar dengan realita.

Tentunya masih banyak lagi inkonsistensi model Bumi datar dengan realita, namun saya kira penjelasan di atas sudah cukup untuk tulisan ini. Jika Anda tertarik untuk mendapatkan informasi lebih jauh, silakan kunjungi https://bumidatar.id.

Gambar 5  Rasi bintang Crux (berbentuk seperti salib di tengah gambar), Rigel Kentaurus (α Centauri, bintang paling terang pada gambar), dan Hadar (β Centauri, sebelah kanan atas Rigel Kentaurus) hanya dapat dilihat oleh pengamat pada belahan Bumi selatan dan di sekitar katulistiwa. Bintang-bintang tersebut dijadikan simbol belahan Bumi selatan seperti dalam bendera Australia dan Selandia baru.
Sumber: http://cs.astronomy.com/asy/m/starclusters/490720.aspx


Selengkapnya...

Senin, 08 Oktober 2018

Prinsip Fermat dan Hukum Snell

Pada suatu hari Muin berjalan-jalan ke pantai bersama kekasihnya. Saat tengah berenang, ia melihat sebuah batu berbentuk seperti tinja di dasar laut. Muin pun berbalik ke arah pantai, hendak menunjukkan batu berbentuk unik itu kepada kekasihnya yang sedang berjemur di pantai. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang pria mencurigakan yang cukup keren duduk di samping kekasihnya. Pria bernama Syahrul itu kemudian terlihat menggenggam pergelangan tangan kekasih Muin, seperti hendak membawanya ke suatu tempat. Berang, Muin berniat segera menghampiri Syahrul sesegera mungkin. Ia menyadari kelajuan maksimalnya di air lebih lambat daripada kelajuan maksimalnya di darat. Jika posisi Muin mula-mula di \(A\) dan posisi kekasihnya dan Syahrul di \(B\) (lihat Gambar 1), seperti apakah lintasan yang harus ditempuh Muin agar bisa mendamprat Syahrul sesegera mungkin?

Gambar 1: Masalah Muin.

Tentunya, bila kelajuan Muin selalu tetap sepanjang perjalanan (medium tempat ia berjalan seragam), lintasan berbentuk garis lurus memberikan waktu tempuh tersingkat. Hal ini dikarenakan garis lurus memberikan jarak terpendek (geodesik) antara dua titik; bila kelajuan selalu seragam otomatis jarak terpendek memberikan waktu tempuh tersingkat. Nah, untuk gerak dalam dua medium berbeda ini, apakah garis lurus juga memberikan waktu tempuh tersingkat?

Untuk memecahkan masalah pertama yang dihadapi Muin, mari kita gambarkan ulang posisi keduanya dan batas kedua medium dalam suatu sistem koordinat. Di sini, kita asumsikan garis batas medium berbentuk garis lurus yang berimpit dengan sumbu-X. Koordinat titik \(A\) diberikan sebagai \((0,y_A)\) dan koordinat titik \(B\) ialah \((x_B,y_B)\) sebagaimana diberikan pada gambar berikut.

Gambar 2: Skema perjalanan dari A ke B dengan waktu tempuh tersingkat.

Semenjak Muin bergerak dari medium 1 menuju medium 2, maka lintasannya pastilah berpotongan dengan garis batas di suatu titik, namakan titik itu sebagai \(M\). Kita belum tahu posisi titik M pada sumbu X, jadi kita gambarkan saja secara sembarangan. Perhatikan bahwa bagian pertama lintasan (dari \(A\) ke \(M\)) seluruhnya berada pada satu medium (medium 1). Oleh karena itu, kelajuan pada potongan lintasan itu seragam. Berdasarkan teorema sebelumnya, lintasan dengan waktu tempuh terpendek dari \(A\) ke \(M\) mestilah garis lurus. Hal serupa berlaku untuk bagian kedua lintasan (dari \(M\) ke \(B\)) yang juga berbentuk garis lurus. Dengan demikian, pertanyaannya sekarang adalah di manakah posisi titik \(M\)?

Waktu tempuh dari \(A\) ke \(B\) dapat dituliskan sebagai jumlahan dari waktu tempuh dari \(A\) ke \(M\) (medium 1) dengan waktu tempuh dari \(M\) ke \(B\) (medium 2).

\begin{align} T=t_1+t_2 \label{T} \end{align}

dengan waktu tempuh pada tiap medium adalah panjang lintasan dibagi dengan kelajuannya,

\begin{align} t = \frac{s}{v} \label{t} \end{align}

Semenjak nilai dari \(y_A\), \(x_B\), dan \(y_B\) telah diketahui, waktu tempuh dari \(A\) ke \(B\) melalui \(M\) memenuhi,

\begin{align} T(x_M) = \frac{1}{v_1} \sqrt{x_M^2+y_A^2} + \frac{1}{v_1} \sqrt{(x_B-x_M )^2+y_B^2} \label{TM} \end{align}

dengan \(v_1\) dan \(v_2\) masing-masing adalah kelajuan di medium 1 dan 2. Sekarang, kita perlu mencari nilai minimal dari fungsi \(T(x_M)\). Jika Anda telah mempelajari kalkulus dasar, tentunya Anda telah mengetahui prosedur yang harus dilakukan. Dalam tulisan ini, saya akan kembali membahasnya sedikit.

Misalkan terdapat suatu fungsi \(f(x)\). Bila \(A\) adalah titik ektremum (titik balik atau titik belok) dari fungsi \(f(x)\) di \(x=a\) maka gradien garis singgung dengan \(f(x)\) di titik \(A\) pastilah nol, \(f'(a)=0\).

Gambar 3: Kurfa f(x) dengan titik minimal (lokal) di A (a, f(a)).

Secara intuitif, bila \(f(x)\) bernilai maksimum/minimum lokal di \(x=a\) maka nilai fungsi di sebelah kiri-kanan \(a\) pastilah lebih kecil/besar dari pada \(f(a)\) sehingga titik \(A\) berlaku seperti titik balik. Dengan demikian, garis singgung kurva di titik \(A\) pastilah horizontal. Karena gradien atau kemiringan garis singgung suatu kurva tidak lain adalah turunan pertama dari fungsi kurva itu maka jelaslah \(f(a)=0\).

Dengan menerapkan teorema di atas ke dalam persoalan Muin, didapatkan nilai \(x_M\) yang memberikan nilai \(T(x_M)\) minimal (atau maksimal) memenuhi,

\begin{align} \frac{dT}{dx_M} = 0\label{KT} \end{align}

Mendiferensialkan persamaan (\ref{TM}) terhadap \(x_M\), didapatkan

\begin{align} \frac{1}{v_1} \frac{1}{2} (x_M^2+y_A^2)^{-1/2} \cdot (2x_M) + \frac{1}{v_2} \frac{1}{2} \left [ (x_B-x_M)^2+y_B^2 \right ]^{-1/2} \cdot 2(x_B-x_M ) \cdot (-1) = 0 \nonumber \\
\frac{1}{v_1} \frac{x_M}{\sqrt{x_M^2+y_A^2}} - \frac{1}{v_2} \frac{x_B-x_M}{\sqrt{(x_B-x_M )^2+y_B^2}} = 0 \label{p1} \end{align}

Menguadratkan kedua ruas dan mengatur susunannya,

\begin{align} x_M^2 \left [(x_B-x_M )^2+y_B^2 \right ] = \left (\frac{v_1}{v_2}\right )^2 (x_M^2+y_A^2) (x_B-x_M )^2 \nonumber \end{align} \begin{align} x_B^2 x_M^2 + x_M^4 - 2x_B x_M^3 + y_B^2 x_M^2 = \left (\frac{v_1}{v_2}\right )^2 \left [x_B^2 x_M^2 + x_M^4 - 2x_B x_M^3 + x_B^2 y_A^2 + y_A^2 x_M^2 - 2x_B y_A^2 x_M \right ] \nonumber \end{align} \begin{align} \left (1-\frac{v_1^2}{v_2^2}\right ) x_M^4 - 2x_B \left (1-\frac{v_1^2}{v_2^2}\right ) x_M^3 + \left (x_B^2+y_B^2-\frac{v_1^2}{v_2^2} x_B^2 - \frac{v_1^2}{v_2^2} y_A^2 \right ) x_M^2 + 2 \frac{v_1^2}{v_2^2} x_B y_A^2 x_M - \frac{v_1^2}{v_2^2} x_B^2 y_A^2 = 0 \label{p2} \end{align}

Akar riil positif dari persamaan (\ref{p2}) memberikan nilai \(x_M\) untuk lintasan dengan waktu tempuh terpendek. Hmm… karena tidak ada metode universal untuk mencari akar-akar dari polinomial orde-4 secara analitik, kita serahkan saja perhitungannya kepada Muin. Barangkali ia bisa mengeceknya sendiri di WolframAlpha.

Bagaimanapun, kita dapat menyederhanakan penulisan sajian di atas dengan mengganti variabel \(x_M\) menjadi sudut normal \(\theta_1\) dan \(\theta_2\) (keduanya berkorespondensi satu-satu) untuk mendapatkan suatu jalinan menarik. Memperhatikan Gambar 2, jelas bahwa:

\begin{align} \left. \begin{matrix} \frac{x_M}{\sqrt{x_M^2+y_A^2}} & = \sin \theta_1\\ \frac{x_B-x_M}{\sqrt{(x_B-x_M)^2+y_B^2}} & = \sin \theta_2 \end{matrix} \right \} \label{theta} \end{align}

Penyulihan nilai-nilai pada persamaan (\ref{theta}) ke dalam persamamaan (\ref{p1}) memberikan jalinan,

\begin{align} \frac{\sin \theta_1}{v_1} = \frac{\sin \theta_2}{v_2} \label{thetav} \end{align}

Semenjak \(0 \leq \theta_1 \leq 90^\circ\), berdasarkan persamaan (\ref{thetav}), jika \(v_1 < v_2\) maka \(\theta_1 < \theta_2\).


Hukum Snell

Hal serupa dengan permasalahan Muin di atas juga berlaku pada perjalanan cahaya dalam medium. Berdasarkan prinsip Fermat(*), lintasan yang ditempuh antara dua titik oleh berkas cahaya adalah lintasan dengan waktu tempuh tersingkat. Dengan demikian, lintasan yang ditempuh cahaya dalam perambatan melalui dua medium juga memenuhi persamaan (\ref{thetav}). Dengan mendefinisikan indeks bias medium,

\begin{align} n \equiv \frac{c}{v} \label{n} \end{align}

maka persamaan (\ref{thetav}) dapat ditulis ulang sebagai,

\begin{align} n_1 \sin \theta_1 = n_2 \sin \theta_1 \label{Snell} \end{align}

Fenomena pembelokan cahaya ini dikenal sebagai pembiasan (refraksi). Adapun persamaan (\ref{Snell}) tidak lain ialah hukum Snell yang telah Anda kenal sejak di bangku SMP.

Seringkali terdapat fraksi berkas cahaya yang memantul dari permukaan batas. Dalam hal ini, berkas cahaya itu hanya merambat dalam satu macam medium saja sehingga kelajuaannya tetap konstan. Dengan demikian, untuk kasus pemantulan sinar (refleksi), persamaan (\ref{Snell}) tereduksi menjadi

\begin{align} \theta_1 = \theta_2\label{refl} \end{align}

dengan \(\theta_1\) adalah sudut datang cahaya mula-mula dan \(\theta_2\) tidak lain adalah sudut pantul.


*Prinsip Fermat tidak lain adalah prinsip aksi terkecil dengan pemilihan aksi \(S \propto T\).


Selengkapnya...

Kamis, 21 Juni 2018

Teori, Hukum, dan Hipotesa

Teori evolusi? Teori relativitas umum? Ah, itukan cuma teori! Pernah dengar ungkapan seperti itu dari seorang “pakar” yang berbicara tentang sains? Ya, katanya teori itu belum tentu benar; kalau sudah pasti benar mestinya disebut hukum. Pemahaman saya dulu pun juga seperti itu, karena guru saya mengajarkan demikian. Sebenarnya, pemahaman ini keliru. Tulisan ini adalah upaya saya untuk meluruskan miskonsepsi ini.

Penyebab utama kebingungan ini adalah dalam dunia ilmiah, teori memiliki pengertian yang agak berbeda dari pengertian umum yang digunakan sehari-hari. Berikut ini definisi teori menurut KBBI.

  1. (n) pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi
  2. (n) penyelidikan eksperimental yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi, argumentasi: -- tentang kejadian bumi; -- tentang pembentukan negara
  3. (n) asas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan: -- mengendarai mobil; -- karang-mengarang; -- hitung dagang
  4. (n) pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan sesuatu: --nya memang mudah, tetapi praktiknya sukar

Definisi (1) dan (2) merujuk pada definisi teori ilmiah sedangkan definisi (4) adalah definisi teori secara umum. Di sini, kita akan bahas satu per satu dari hukum alam, hipotesa, teori ilmiah, dan level pembuktian suatu teori ilmiah.

Hukum Alam

Hukum alam adalah suatu pernyataan yang memberikan deskripsi dan jalinan objek atau peristiwa di alam didasarkan pada observasi atau eksperimen yang dilakukan secara berulang. Hukum alam mendeskripsikan suatu sistem dan memberikan jalinan antara dua atau lebih parameter dalam sistem itu dalam keadaan tertentu dan lazimnya dinyatakan dalam bentuk matematis. Misalnya sistem A didefinisikan oleh parameter v, w, x, y, dan z. Bila dalam eksperimen nilai x digandakan dan v, w, dan y dijaga tetap menyebabkan z berubah menjadi setengahnya maka dipenuhi jalinan

$$ z = \frac{x}{2} $$

Jalinan di atas sudah dapat disebut hukum bila dapat direduplikasi dan selalu memberikan hasil yang sama. Hukum alam juga dapat memberikan jalinan antarparameter pada sistem yang terdiri dari dua atau lebih objek yang berinteraksi. Bagaimanapun, hukum alam tidak memberikan penjelasan ataupun deskripsi mengenai mekanisme yang berlangsung di belakangnya. Nilai-nilai parameter dalam satu sistem serta jalinannya satu sama lain dapat diamati, diubah, dan diukur dengan relatif mudah serta dapat diuji berkali-kali. Namun, mengetahui mengapa jalinannya seperti itu dan bagaimana mekanismenya bukanlah sesuatu yang bisal diukur secara langsung. Penjelasan semacam itu dapat diperoleh melalui inferensi atau penalaran berdasarkan hukum yang telah diketahui. Produk dari upaya inilah yang disebut sebagai teori ilmiah.

Hipotesa dan Teori ilmiah

Dalam proses merumuskan suatu teori ilmiah umumnya diperlukan suatu hipotesa. Hipotesa adalah asumsi sementara atau dugaan awal berdasarkan data awal yang terbatas yang digunakan sebagai patokan dalam membangun argumen atau teori atas suatu perkara (problem). Dalam pengertian teori secara umum, hipotesa termasuk teori, namun hipotesa tidak sama dengan teori ilmiah. Hipotesa adalah kerangka dalam proses pembangunan teori ilmiah. Dalam proses membangun suatu teori dari hipotesa, kesahihan suatu hipotesa diuji secara logis (apakah self consistent) maupun secara empiris (apakah menghasilkankan suatu konsekuensi yang bertentangan dengan fakta empiris). Jika ternyata hipotesa itu tidak lulus uji maka kita mesti membuang bagian tertentu atau bahkan keseluruhan hipotesa tadi dan kembali merumuskan teori berdasarkan hipotesa yang baru.

Salah satu aspek umum dalam membangun hipotesa adalah penerapan asas atau postulat. Seperti yang kita tahu, asas (dalam disiplin ilmu apapun) berlaku pada ranah tertentu. Bila kita menganalisa suatu sistem (perkara) yang belum dikenal dengan baik, seringkali kita belum dapat memastikan apakah sistem tadi termasuk dalam ranah yang tunduk pada asas tadi. Dalam hal ini, untuk sementara kita dapat mengasumsikan suatu sistem tunduk pada asas tertentu bila bukti-bukti terbatas yang ada menuntun demikian. Dalam pemodelan suatu sistem seringkali pula dilakukan proses idealisasi, yang mana akan dibahas kemudian. Bila asumsi yang digunakan pertama kali ternyata keliru juga tidak apa-apa, karena hipotesa akan melewati pengujian yang telah disebutkan di atas.

Teori ilmiah adalah penjelasan mengenai aspek-aspek tertentu di alam (objek atau peristiwa) yang dibangun secara sistematis berdasarkan kriteria dan metodologi ilmiah. Suatu teori ilmiah otomatis memuat hukum. Agar suatu teori dapat disebut sebagai teori ilmiah, teori itu harus logis, dapat diuji secara empiris, dan memiliki prediksi yang falsifiabel. Cara paling ampuh dalam merumuskan teori ilmiah adalah menggunakan metodologi ilmiah. Secara ringkas, metodologi ilmiah adalah rangkaian kerja berupa perumusan masalah, melakukan kajian latar belakang, membangun hipotesa, melakukan eksperimen atau observasi lanjut, menganalisa data, dan mengambil kesimpulan. Kesimpulan yang diperoleh selanjutnya dapat menjadi fondasi bagi teori baru atau menjadi bagian atau sanggahan dari suatu teori yang sudah ada.


Bagan metodologi ilmiah.
Sumber: https://www.sciencebuddies.org/science-fair-projects/science-fair/steps-of-the-scientific-method

Suatu teori dapat disebut teori ilmiah selama memenuhi syarat yang disebutkan di atas. Hal ini berarti teori ilmiah bisa benar bisa juga salah, yang penting memenuhi syarat ilmiah. Di sinilah fungsi testabilitas dan falsifiabilitas dari teori ilmiah. Teori yang prediksinya terbukti salah oleh eksperimen/observasi lebih lanjut mestilah dikoreksi atau bahkan diabaikan. Adapun teori ilmiah yang prediksi-prediksinya telah terbukti disebut teori yang telah diverifikasi (verified theory). Teori yang telah diverifikasi, tidak pernah terbukti keliru selama bertahun-tahun serta telah menjadi landasan dari teori lain yang juga telah diverifikasi dikenal sebagai sebagai teori mapan (well established theory). Jadi, hanya karena dua teori sama-sama berpredikat sebagai teori ilmiah tidak berarti derajad kebenarannya juga sepantaran.

Berikut ini diberikan contoh proses konstruksi hukum alam dan teori ilmiah. Penyelidikan/investigasi mengenai sifat-sifat termodinamika gas bermula dari eksperimen untuk mengetahui jalinan antarparameter pada gas. Karakteristik fisis suatu gas umumnya diberikan oleh jumlah molekul (\(n\)), volume (\(V\)), tekanan (\(P\)), dan temperatur (\(T\)). Dari berbagai eksperimen yang dilakukan oleh para ilmuwan dan telah jutaan kali direplikasi, ditemukanlah hukum-hukum yang dikenal sebagai berikut.

  • Hukum Avogadro: \(V \propto n\)
  • Hukum Gay-Lussac: \(P \propto T\)
  • Hukum Charles: \(V \propto T\)
  • Hukum Boyle: \(P \propto 1/V\)

Tentunya, temuan itu tidak didapatkan sekali waktu. Setelah semuanya diketahui, kita dapat mengabungkan semua hukum tadi sebagai hukum gas ideal,

$$ PV = nkT $$

Hukum gas ideal memberikan jalinan lengkap mengenai parameter-parameter fisis gas ideal. Bagaimanapun, sampai di situ saja kita tidak akan mengetahui detail proses dan mekanisme yang terjadi dalam gas. Jika dibahasakan secara keren: pertanyaan ‘mengapa’ belum terjawab. Untuk itulah ilmuwan berupaya menemukan atau membangun teori yang bisa menjelaskan fakta-fakta di atas. Teori ini dikenal sebagai teori kinetik gas. Teori kinetik gas dibangun atas asumsi-asumsi sebagai berikut.

  1. Gas terdiri atas molekul yang berukuran sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak rerata antarmolekul (syarat kesahihan: tekanan cukup rendah).
  2. Gas terdiri atas molekul yang sangat banyak sehingga dapat dilakukan pendekatan statistik.
  3. Molekul-molekul gas bergerak secara acak.
  4. Bila molekul bergerak sangat cepat, energi kinetik reratanya cukup tinggi sehingga interaksi antarmolekul selain melalui tumbukan dapat diabaikan (syarat kesahihan: temperatur cukup tinggi).

Teori kinetik gas menjelaskan secara kuantitatif proses yang terjadi pada gas (dalam batas kondisi tertentu sejauh yang diberikan dalam asumsi). Teori ini memberikan prediksi berupa distribusi energi dan momentum molekul-molekul dalam gas yang ternyata konsisten dengan hukum gas ideal.

Falsifiabilitas

Konsep falsifiabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Karl Popper sebagai suatu kriteria ilmiah mengingat keterbatasan testabilitas dalam proses induksi. Suatu pernyataan disebut falsifiabel bila terdapat suatu cara untuk menyanggah pernyataan itu atau membuktikan bahwa pernyataan itu keliru. Contoh yang populer ialah pernyataan “Semua angsa berwarna putih” memenuhi syarat falsifiabilitas karena secara praktis (atau syarat yang lebih longgar: secara teoritis) dimungkinkan suatu cara untuk menyanggah klaim tersebut, dalam hal ini menunjukkan angsa yang memiliki warna selain putih. Semenjak angsa hitam telah ditemukan hidup di Australia, pernyataan tadi bernilai salah. Contoh pernyataan yang tidak falsifiabel secara praktis semisal “Sebuah teko teh mengorbit Matahari dalam orbit di antara orbit Bumi dan Mars”. Contoh ini dikenal sebagai Russell’s teapot, dinamakan menurut pengarangnya, Bertrand Russell. Secara praktis, mustahil mengecek ada teko teh (yang kita ketahui hanya dibuat oleh manusia) mengorbit Matahari pada jarak sejauh itu. Semenjak klaim itu tampaknya tidak memungkinkan (meskipun bisa jadi benar) dan tidak mempunyai manfaat apa-apa maka berdasarkan asas skeptisme tidak ada gunanya mempercayai pernyataan tadi . Adapun pernyataan “hujan di suatu lokasi di Bumi disebabkan oleh dewa hujan di surga yang bersin ke arah tertentu” adalah pernyataan yang tidak falsifiabel bahkan secara teoritis. Di mana surga dan dewa hujan itu? Bagaimana caranya mengecek hujan dapat terjadi meskipun dewa hujan tidak sedang bersin? Karena alasan itu, pernyataan semacam ini jelas jauh dari ranah ilmiah.

Ruang Lingkup Suatu Hukum dan Teori

Dalam membangun sebuah teori seringkali dilakukan idealisasi. Idealisasi adalah pembatasan suatu sistem pada kondisi tertentu saja, mengabaikan faktor-faktor yang tidak memiliki pengaruh besar (dalam level realitas tertentu) yang akan membuat tinjauan menjadi sangat kompleks. Artinya, dengan mengabaikan faktor-faktor minor, kita dapat membuat model yang lebih sederhana tanpa banyak mengorbankan akurasi teori atau model yang dibuat. Tentu saja, faktor yang diabaikan ini tidak berarti dilupakan. Suatu teori digunakan dengan tetap mengingat asumsi-asumsi yang mendasarinya. Bila ditemukan suatu sistem dengan perkara serupa namun berada di luar batas asumsi, permasalahan mesti diselesaikan dengan memperhitungkan faktor yang sebelumnya diabaikan.

Pembatasan inilah yang perlu dikenali saat menggunakan atau menguji suatu teori. Teori hanya ‘bertanggung jawab’ menjelaskan objek atau fenomena dalam cakupan yang didefinisikan oleh teori itu sendiri. Menyangkal teori kinetik gas dengan memberikan counterexample fenomena pada kondensat tentu saja konyol. Teori kinetik gas telah memberikan batasan hanya berlaku pada gas ideal sejak awal sehingga hanya memberikan hampiran yang bagus untuk gas yang mendekati gas ideal.

Kadangkala, hukum dan teori mapan pun bisa salah meskipun mustahil sepenuhnya salah. Kesalahan yang mungkin dialami oleh hukum dan teori mapan adalah bahwa cakupannya tidak seluas yang dikira sebelumnya. Hal ini mungkin terjadi karena dalam perumusannya, suatu faktor yang terkait dengan sistem benar-benar tidak teramati atau luput dalam level pengamatan yang dilakukan sebelumnya. Contoh populer dalam hal ini adalah hukum gravitasi Newton dan teori evolusi Darwin.

Hukum gravitasi Newton dirumuskan oleh Isaac Newton memberikan jalinan dinamis antara massa dan potensial gravitasi yang diciptakannya. Dalam hukum gravitasi Newton, interaksi gravitasi memenuhi jalinan

$$ \nabla^2 \Phi = 4πG\rho $$

Dengan \(\Phi\) adalah potensial gravitasi, \(G\) tetapan gravitasi universal, dan \(\rho\) adalah kerapatan massa per volume. Adapun gerak benda dalam pengaruh medan gravitasi dapat diberikan menggunakan ketiga hukum gerak Newton.

Ketika Einstein merumuskan teori gravitasinya, ia menggunakan tiga postulat: asas kesetaraan, asas kovariansi. Teorinya itu memuat jalinan antara potensial gravitasi dan materi-energi yang hadir dalam ruang.

$$ R_{\mu\nu} - \frac{1}{2} g_{\mu\nu} R = \frac{8πG}{c^4} T_{\mu\nu} $$

Kita dapat menyebut jalinan di atas sebagai hukum gravitasi Einstein, meskipun ungkapan itu jarang digunakan (jalinan di atas umumnya disebut persamaan medan Einstein). Sebagaimana mekanika Newtonian gagal dalam kasus benda dengan kelajuan mendekati kelajuan cahaya maka hukum gravitasi Newton juga gagal dalam kondisi itu. Teori relativitas umum (TRU) dirumuskan agar kompatibel dengan teori relativitas khusus (TRK), yang mana valid untuk sembarang nilai kelajuan. Berdasarkan teori relativitas umum, gravitasi adalah efek kelengkungan ruang yang diakibatkan oleh distribusi massa dan energi di dalamnya. Jadi, menurut TRU, sembarang bentuk energi juga memiliki potensial gravitasi! Hal ini luput di mata ilmuwan sebelumnya karena kesetaraan massa dan energi terkait dengan faktor yang sangat besar: kelajuan cahaya kuadrat. Oleh karenanya, efek gravitasi dari level energi yang umum teramati sehari-hari tidak ada apa-apanya dibandingkan efek gravitasi dari satu kilogram massa. Perbedaan postulat ini menyebabkan TRU memprediksi fenomena yang tidak sesuai dengan hukum gravitasi Newton dalam level kelajuan tinggi dan medan yang sangat kuat. Prediksi TRU sejauh ini telah banyak terbukti (pergeseran merah gravitasi, pelengkungan cahaya, presesi orbit planet, gelombang gravitasi) dan teori ini belum pernah terbukti salah. Meskipun demikian, kita tidak dapat mengatakan hukum gravitasi Newton sepenuhnya salah. Kita hanya perlu merevisi cakupannya: hukum gravitasi Newton valid dalam sistem nonrelativistik.

Pun demikian halnya dengan teori evolusi Darwin (TED). Meskipun teori ini memiliki banyak missing link, TED terbukti sukses menjelaskan variasi spesies di Bumi. Esensi dari TED: variasi acak, seleksi alam, dan survival of the fittest tetap kokoh melewati ujian. Perkembangan teori genetika dan teknologi biomolekuler memberikan pemahaman baru mengenai mekanisme yang berperan dalam variasi dan pewarisan sifat makhluk hidup. Berhubung teori evolusi Darwin adalah teori, bukan hukum, kita justru dapat terus merevisinya alih-alih membatasi cakupannya, selama pondasinya tidak tumbang. Teori evolusi Darwin pun kini juga berevolusi menjadi teori evolusi modern dan merupakan teori mapan dalam disiplin ilmu Biologi.


Selengkapnya...

Sabtu, 09 Juni 2018

Kekedapan Optik: Mengapa Kaca Transparan?

Barangkali Anda pernah bertanya-tanya, mengapa sebagian benda transparan dan sebagian lainnya tidak. Suatu benda tampak transparan bila benda itu meneruskan sebagian besar radiasi yang diterimanya. Sebaliknya, benda disebut keruh atau kedap cahaya bila menyerap sebagian besar, kalau tidak semua, cahaya yang diterimanya. Tentunya sangat mudah mengamati bahwa semakin tebal suatu benda/medium maka semakin sedikit pula cahaya yang diteruskannya. Namun, jelas ada sifat intrinsik material terkait masalah tranparansi atau kekedapan; berbagai macam material dengan ketebalan yang sama dapat memiliki kekedapan optis yang berbeda-beda. Balok kaca setebal 10 cm bahkan jauh lebih transparan daripada kertas setebal 0,1 mm. Apakah ini semata-mata dipengaruhi oleh kerapatan molekul material? Tapi kaca jelas memiliki kerapatan massa lebih besar daripada kayu. Marmer dan berlian juga memiliki kerapatan lebih besar daripada aluminium. Jadi, mekanisme apa yang menyebabkan sebagian material lebih transparan dibandingkan sebagian lainnya? Mari kita bahas perlahan-lahan.

Kristal quartz.
Sumber: http://crystalhealingindonesia.com/index.php?route=pavblog/blog&id=28

Pelemahan Intensitas

Jika suatu radiasi merambat dalam medium, partikel dalam medium dapat menyerap atau menghamburkan radiasi tadi. Akibatnya, intensitas radiasi semakin melemah seiring panjang lintasan yang ditempuh dalam medium. Patut diingat bahwa pelemahan intensitas ini berbeda dari efek pemancaran divergen; berkas radiasi paralel pun akan terlemahkan bila merambat dalam medium. Fenomena pelemahan semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada radiasi, namun juga pada sembarang gelombang atau rambatan energi. Dengan menamakan \(I_0\) adalah intensitas sumber (sebelum melewati medium) dan \(I(s)\) intensitas yang diteruskan pada jarak \(s\), pelemahan intensitas secara umum dapat dinyatakan dalam fungsi eksponensial menurun,

\begin{align} I(s)=I_0 e^{-\tau(s)}=I_0 e^{-s/l}=I_0 e^{-Ks} \label{I} \end{align}

Dengan \(s\) adalah jarak tempuh dalam medium, \(\tau\) adalah ketebalan optis (optical depth) medium pada arah perambatan, \(l\) adalah mean free path foton (jarak rata-rata yang ditempuh foton sebelum berinteraksi dengan partikel dalam material), dan \(K=1/l\) adalah koefisien pelemahan (extinction coefficien atau attenuation coefficient, sering pula disimbolkan dengan \(α\), \(A\) atau \(\mu\)).

Semakin kecil mean free path foton (semakin besar koefisien pelemahan) dibandingkan dengan jarak tempuh, semakin sedikit foton yang dapat menembus medium sehingga medium akan nampak kedap cahaya (opaque). Sebaliknya, semakin besar mean free path foton dibandingkan jarak tempuh maka medium akan tampak semakin transparan.

Bila cahaya merambat melalui medium, sebagian foton berinteraksi dengan partikel dalam medium (diserap atau dihamburkan). Hal ini menyebabkan intensitas cahaya berkurang seiring jarak tempuh radiasi, s.

Besarnya koefisien pelemahan bergantung terhadap jenis medium (komposisi kimia), temperatur, dan kerapatan medium perambatan. Semakin rapat molekul-molekul medium, semakin sering pula foton berinteraksi dengan medium sehingga koefisien pelemahannya pun semakin besar. Rasio antara koefisien pelemahan dengan kerapatan massa material/medium disebut kekedapan (opacity). Untuk material dengan kerapatan massa seragam, \(\rho\) dapat dituliskan

\begin{align} \kappa = \frac{K}{\rho} = \frac{1}{\rho l} \label{kappa} \end{align}

Dengan demikian, persamaan (\ref{I}) dapat pula ditulis sebagai,

\begin{align} I(s) = I_0 e^{-\kappa \rho s} \label{I2} \end{align}

Umumnya, intensitas radiasi pada tiap panjang gelombang tidak seragam (seperti halnya spektrum pancaran benda hitam). Besarnya mean free path foton atau koefisien pelemahan dalam suatu material juga berbeda-beda untuk tiap panjang gelombang. Oleh karena itu, besarnya pelemahan dapat dihitung secara spesifik berdasarkan panjang gelombang atau frekuensi cahaya. Bila kerapatan dan kekedapan medium juga tidak seragam, besar intensitas spesifik untuk panjang gelombang \(\lambda\) yang diteruskan pada jarak \(s\) dapat ditulis secara umum sebagai,

\begin{align} I_\lambda(s) = I_{\lambda 0} e^{-\int K_\lambda ds} = I_{\lambda 0} e^{-\int \kappa_\lambda \rho ds} \label{I3} \end{align}

dengan \(K_\lambda\) dan \(\kappa_\lambda\) masing-masing adalah koefisien pelemahan dan kekedapan spesifik pada panjang gelombang \(\lambda\). Nilai \(\kappa_\lambda\) (atau \(\kappa\) secara umum) ini bergantung pada jenis material dan nilainya dipengaruhi oleh satu atau beberapa mekanisme yang akan dijelaskan kemudian.


Sumber Penyerapan

Sebelumnya telah disebutkan tidak semua foton yang merambat melalui material diteruskan melalui elemen jarak tertentu. Sebagian foton-foton dengan panjang gelombang tertentu itu diserap atau dihamburkan oleh atom dalam materi, yang mana dapat dinyatakan dalam kekedapan, \(\kappa_\lambda\). Penyerapan dan hamburan foton itu dapat diklasifikasikan setidaknya dalam empat kategori, yaitu:

  1. Penyerapan terikat-terikat (bound-bound adsorbtion)
    Yang dimaksud penyerapan terikat-terikat adalah penyerapan foton dalam proses eksitasi elektron. Mekanisme ini dinamakan demikian karena elektron yang menyerap foton hanya berpindah ke tingkat energi yang lebih tinggi namun tetap terikat oleh inti. Koefisien kekedapan penyerapan terikat-terikat sangat bervariasi, bergantung pada keadaan eksitasi yang terjadi. Penyerapan terikat-terikat signifikan pada suhu \(T \leq 10^6\) K.
  2. Penyerapan terikat-lepas (bound-free adsorbtion)
    Yang dimaksud penyerapan terikat-lepas adalah penyerapan foton dalam proses ionisasi. Mekanisme ini dinamakan demikian karena elektron yang menyerap foton terlepas dari tarikan inti atom. Penyerapan terikat-lepas memiliki profil kekedapan \(\bar{\kappa} \propto \rho T^{-7/2}\).
  3. Penyerapan lepas-lepas (free-free adsorbtion)
    Yang termasuk dalam penyebaran lepas-lepas antara lain adalah efek Compton, bremm-strahlung, atau synchrotron. Elektron bebas tidak dapat menyerap foton dalam keadaan bebas karena hal itu melanggar kekekalan energi dan momentum. Namun, jika elektron berada dalam pengaruh medan listrik (semisal dari ion di dekatnya), penyerapan dapat terjadi akibat pasangan elektromagnetik antara elektron dan ion.
  4. Hamburan (scattering)
    Terdapat dua macam mekanisme hamburan yang berperan dalam kekedapan material yaitu hamburan Thomson dan Rayleigh. Gelombang elektromagnetik yang merambat di dekat partikel bermuatan akan dibelokkan ke arah lain. Fenomena hamburan merupakan penyebab dominan pelemahan intensitas pada medium gas.

Penyerapan Terikat-terikat

Sifat transparansi/kekedapan material yang diamati dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar dipengaruhi oleh penyerapan terikat-terikat dalam daerah visual spektrum elektromagnetik. Dalam proses eksitasi elektron, elektron hanya dapat menyerap foton dengan energi yang tepat sama dengan selisih energi keadaan foton mula-mula dengan keadaan-keadaan energi yang lebih tinggi yang dibolehkan. Perbedaan tingkat energi ini disebut energy gap. Untuk tinjauan suatu atom yang terisolir, eksitasi elektron dari kulit \(n_0\) ke kulit \(n' \gt n_0\), diperlukan energi sebesar

\begin{align} \Delta E = E_{n'}-E_{n_0} = -\frac{e^2 Z^2}{8\pi\epsilon_0 a_0} \left( \frac{1}{n'^2} - \frac{1}{n_0^2} \right) \label{E} \end{align}

dengan \(e\) muatan elementer, \(Z\) nomor atom, \(\epsilon_0\) emitivitas vakum, dan \(a_0\) radius Bohr. Dalam kasus material yang tersusun atas molekul dan campuran, perhitungannya menjadi lebih kompleks. Namun mekanisme yang terjadi pada dasarnya sama. Berdasarkan teori kuantum cahaya, energi foton berkaitan secara langsung dengan frekuensi (\(\nu\)) atau panjang gelombang (\(\lambda\)) radiasinya,

\begin{align} \epsilon = h \nu = \frac{hc}{\lambda} \label{epsilon} \end{align}

dengan \(h\) tetapan Planck. Jika panjang gelombang gelombang cahaya sesuai dengan salah satu energy gap material, sebagian fotonnya dapat diserap. Semakin banyak foton yang diserap (terkait dengan kerapatan dan ketebalan material), material itu akan semakin kedap cahaya pada panjang gelombang terkait. Adapun foton dengan energi lebih rendah daripada energy gap terendah (\(\epsilon \lt E_{\mathrm{min}}\)) praktis tak dapat diserap. Dengan demikian, radiasi pada panjang gelombang terkait diteruskan saja melewati material (kecuali mengalami mekanisme hamburan). Semakin banyak radiasi dalam daerah visual yang dilewatkan oleh material maka material itu akan nampak semakin transparan. Dari syarat di atas, jelaslah bahwa radiasi dengan energi yang sangat rendah (panjang gelombangnya sangat besar) maupun sangat tinggi (panjang gelombangnya sangat pendek) memiliki kemungkinan diserap lebih kecil dalam penyerapan terikat–terikat.

Sebagian material yang kita kenal tidak sepenuhnya kedap cahaya dan tidak sepenuhnya transparan. Hal ini dikarenakan tidak semua cahaya diserap oleh material meskipun panjang gelombangnya dapat diserap. Berdasarkan persamaan (\ref{I}), semakin besar nilai \(I_0\) dan semakin kecil nilai \(s\) maka semakin banyak intensitas yang diteruskan. Dengan memperbesar intensitas sumber, benda yang sangat keruh sekalipun dapat saja melewatkan sedikit cahaya. Misalnya bila Anda menempelkan cahaya flash kamera pada telapak tangan Anda, sebagian cahaya dapat diteruskan pada permukaan di baliknya. Demikian pula, semakin tipis suatu material maka material itu akan tampak semakin transparan.

Pada sebagian material seperti kaca murni, energy gap terendahnya sangat tinggi, lebih tinggi daripada cahaya ungu. Oleh karena itu, nyaris semua cahaya pada daerah visual diteruskan. Kaca murni juga tidak banyak menghamburkan radiasi dalam daerah visual (proporsi yang dihamburkan juga nyaris seragam ). Tentunya, kaca dapat ditambahkan dengan suatu pengotor dalam proses pembuatannya untuk menghasilkan kaca berwarna. Pengotor ini berperan menghamburkan radiasi pada panjang gelombang tertentu (warna yang diinginkan) dan melewatkan/menyerap radiasi pada panjang gelombang lainnya.


Selengkapnya...

Sabtu, 07 April 2018

Temperatur dan Transfer Panas

Beberapa bulan yang lalu, saya membaca beberapa artikel dan video berisi argumentasi penganut paham Bumi datar untuk bahan presentasi. Meskipun sebagian di antara argumen mereka penuh kesalahan logis dan sebagian lainnya bisa dijelaskan dengan fisika tingkat SMA, setidaknya ada satu di antara argumennya yang menarik perhatian saya. Berikut ini kurang lebih isi argumennya (saya malas mengecek kembali dan mengutip secara persis):

"Menurut klaim NASA, ISS mengorbit Bumi pada ketinggian 400 km, yaitu pada lapisan termosfer. Padahal, menurut ilmuwan sendiri temperatur termosfer mencapai 2.000 °C. Bagaimana caranya kru ISS bisa bertahan dalam suhu seekstrim itu? Ini bukti bahwa ISS adalah kebohongan besar."

Well, pertanyaan semacam itu sebenarnya bukanlah pertanyaan bodoh. Justru pembelajar fisika yang cerdas pasti akan menanyakan hal serupa jika mendengar informasi tersebut. Jadi, apakah klaim di atas memang benar? Oh, no...no...no.... Saya mengatakan pertanyaannya cerdas, bukan argumennya tepat. Dalam postingan ini, saya akan berupaya menjelaskan mengenai persepsi manusia mengenai panas, transfer panas, dan mengapa awak ISS bisa bertahan hidup di lapisan termosfer. Di akhir penjelasan, kita akan mencoba mencari jawaban atas pertanyaan, "Berapa temperatur ruang vakum?"

Oke, mari kita mulai dengan konsep temperatur. Konsep temperatur atau suhu sudah ada sejak dahulu kala untuk merujuk pada kadar panas-dinginnya suatu objek. Ketika ilmu fisika (termodinamika) berkembang, ilmuwan tidak puas dengan definisi yang tidak fisis dan kuantitatif semacam itu. Pertama-tama, panas perlu diberikan definisi yang jelas. Mesti ada kuantitas fisis yang menyebabkan panas, mengapa ada benda yang lebih panas dan ada benda yang lebih dingin (kurang panas). Berdasarkan pengalaman, kita dapat membangun asumsi bahwa panas adalah konsekuensi langsung dari suatu bentuk energi, karena panas yang dimiliki suatu benda dapat ditransfer dan diubah menjadi energi lain. Energi yang menimbulkan panas ini kita sebut sebagai energi panas atau kalor. Nampaknya asumsi ini selalu konsisten dan tidak memiliki celah, jadi kita dapat yakin bahwa hal ini memang benar.

Para filsuf seperti Leucippus, Democritus, dan Empedocles pada abad ke-5 SM telah menduga bahwa materi tersusun atas kumpulan partikel (diskret). Pada abad ke-17, kimiawan Robert Boyle menggagas hipotesis modern mengenai atom/molekul yang kemudian dikembangkan oleh John Dalton dan Amedeo Avogadro. Selanjutnya, Daniel Bernoulli membangun fondasi teori kinetik gas pada tahun 1738 yang kemudian dikembangkan oleh Waterston, Krönig, Clausius, Maxwell, dan lain-lain.

Dalam termodinamika, temperatur suatu objek adalah rata-rata energi kinetik (translasi, rotasi, dan vibrasi) dari partikel-partikel penyusun objek itu. Jadi, temperatur adalah besaran makroskopis yakni hanya terdefinisi pada sistem partikel. Menyatakan temperatur dari satu partikel adalah tidak bermakna. Pada fase gas, molekul-molekul berikatan dengan renggang sehingga penyumbang energi terbesar adalah gerak translasi molekul. Berdasarkan teori kinetik gas, temperatur gas diberikan dalam,

\begin{align} K = \frac{3}{2}N k T \label{KT} \end{align}

dengan \(N\) jumlah partikel, \(k\) tetapan Boltzmann, \(T\) temperatur, dan \(K\) adalah total energi kinetik partikel,

\begin{align} K = \frac{1}{2} \sum_{i}^{N} m_i v_i^2 \label{K} \end{align}

Kita mempersepsikan "panas" atau "dingin" dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan fenomena yang disebut transfer panas. Kita merasa panas pada suatu bagian pada tubuh kita karena bagian tubuh kita (yang berisi reseptor panas yang terhubung dengan sistem saraf) menyerap kalor dari objek lain. Sebaliknya, kita merasakan dingin ketika kalor dari bagian tubuh tadi berpindah ke tempat lain. Persepsi kita mengenai panas sama sekali tidak terkait dengan temperatur bagian tubuh atau objek yang besentuhan dengan tubuh, namun hanya bergantung pada selisih temperatur dan kalor jenis keduanya. Fenomena ini terkait dengan asas Black yang menyatakan dua benda yang berinteraksi akan saling mempertukarkan kalor hingga keduanya mencapai kesetimbangan termodinamik (memiliki temperatur yang sama), dengan total energi sistem kekal. Dengan demikian, dalam tinjauan makroskopis benda yang awalnya lebih panas akan melepaskan kalor ke benda yang lebih dingin dan besarnya kalor yang dilepas benda itu tepat sama dengan besar kalor yang diserap benda lainnya.

\begin{align} Q_{serap} = Q_{lepas} \label{Black} \end{align}

Prinsip ini pula yang dimanfaatkan dalam pembuatan termometer. Benda yang diukur suhunya dan (sensor) termometer akan saling mempertukarkan kalor hingga temperatur termometer sama dengan temperatur benda. Sebagian besar termometer memanfaatkan fenomena ekspansi termal bahan untuk menandai skala temperatur.

Persepsi kita atas "kadar panas" atau "temperatur" suatu benda bergantung pada laju perpindahan kalor dari benda itu ke kulit kita atau sebaliknya. Besarnya laju perpindahan kalor ternyata tidak hanya bergantung pada beda temperatur saja, namun juga bergantung pada karakteristik material. Misalkan Anda menyiapkan dua nampan, satu dari logam dan satu dari kayu atau plastik, lalu Anda diamkan keduanya dalam ruangan yang cukup sejuk. Setelah beberapa lama, coba sentuhlah kedua nampan tadi. Manakah yang terasa lebih panas? Tentunya, nampan logam akan terasa lebih dingin daripada nampan kayu. Selanjutnya cobalah letakkan sebuah kubus es ke atas masing-masing nampan. Es pada nampan manakah yang lebih cepat mencair? Anda akan mendapati es pada nampan logam akan lebih cepat mencair, padahal temperatur nampan logam sebelumnya terasa lebih dingin.

Sebenarnya, temperatur kedua nampan sama dengan temperatur ruangan bila kedua nampan telah disimpan cukup lama di sana sehingga ketiganya berada dalam kesetimbangan termal (dapat Anda ukur sendiri menggunakan termometer). Fenomena di atas dapat dijelaskan dengan konsep konduktansi. Konduktansi adalah kuantitas yang menunjukkan kemampuan bahan merambatkan panas. Logam memiliki konduktansi lebih tinggi dibandingkan kayu menunjukkan molekul-molekul dalam logam lebih cepat mentransfer energi yang diterimanya ke molekul tetangganya daripada kayu. Akibatnya, tiap reseptor pada kulit kita yang bersentuhan dengan nampan logam kehilangan kehilangan kalor lebih cepat daripada ketika bersentuhan dengan nampan kayu, meskipun temperatur kedua nampan sama. Hal inilah yang menyebabkan nampan logam terasa lebih dingin. Mekanisme yang sama membuat es lebih cepat menyerap kalor ketika diletakkan di atas nampan logam (sehingga lebih cepat mencair).

Transfer panas secara konduksi dan konveksi terjadi ketika molekul-molekul bertabrakan sehingga terjadi transfer momentum dan energi kinetik. Dalam pengalaman sehari-hari, benda-benda di sekitar kita (padat/cair/gas) tersusun atas molekul-molekul yang sedemikian rapat sehingga kita melihat benda-benda itu sebagai suatu medium homogen dan kontinu. Dengan demikian, kontak antarmolekul dapat dipastikan dan teori probabilitas memberikan prediksi yang sangat akurat. Namun, dalam kerapatan rendah yang ekstrem, fenomena yang terjadi bisa jadi jauh dari rasio berdasarkan pengalaman sehari-hari.

Molekul gas dalam ruang pada gambar kiri memiliki kerapatan tinggi sehingga secara makroskopis dapat dihampiri sebagai suatu medium kontinu. Sebaliknya, molekul gas di ruang sebelah kanan sangat renggang (terdapat lima molekul pada gambar kanan, selebihnya adalah noda pada layar Anda). Pada kerapatan rendah yang ekstrim, gejala makroskopis yang muncul dapat menjadi sangat berbeda dari persepsi manusia sehari-hari yang akrab dengan medium yang nampak kontinu.

Kondisi kerapatan molekul gas yang amat sangat kecil inilah yang terjadi pada termosfer. Pada lapisan ini, kerapatan molekul udara mendekati vakum. Molekul gas di termosfer rata-rata menempuh jarak 1 km sebelum bertumbukan dengan molekul lainnya. Meskipun kerapatan molekulnya sangat kecil, ionisasi oleh angin Matahari membuat molekul-molekul gas di termosfer berenergi tinggi dan bermuatan listrik. Dengan menulis ulang persamaan (\ref{KT}) sebagai

\begin{align} T = \frac{2}{3 N k} K \label{TK} \end{align}

jelas bahwa temperatur gas meningkat sebanding peningkatan energi rata-rata molekul, bahkan meski kerapatan antarmolekul sangat rendah. Bila seorang astronot melayang di termosfer, tumbukan antara molekul gas dengan astronot akan sangat langka. Hal ini menyebabkan transfer energi sangat lambat, butuh waktu yang sangat lama agar bagian tubuh astronot dan termometer yang dibawanya mencapai temperatur yang sama dengan temperatur gas. Minimnya molekul gas yang bertumbukan dengan astronot menyebabkan energi yang ditransfer dari molekul gas akan segera terdispersi ke molekul-molekul kulit di sekitarnya (yang sebagian besar tidak berinteraksi dengan molekul gas) sehingga kulit tidak merasakan sensasi panas. Hal semacam ini juga dapat kita amati pada percikan bunga api dari kembang api tangan, batu korek, atau rokok (percikan apinya, bukan gumpalan bara yang jatuh) yang mengenai kulit tidak terasa begitu panas atau menyakitkan meskipun temperaturnya mencapai 2.000 °C. Jangan lupa pula astronot dan termometernya secara spontan akan membuang panas secara radiatif (yang mana jauh lebih cepat daripada penyerapan panas dari molekul gas). Dengan demikian, meskipun temperatur gas di termosfer mencapai 2.000 °C, astronot yang melayang di termosfer tidak akan merasakan kepanasan serta termometernya pun akan menunjukkan temperatur di bawah 0 °C.

Kembang api tangan yang menyala. Percikan bunga api yang mengenai kulit sama sekali tidak sakit karena minimnya jumlah molekul bunga api yang bertumbukan dengan kulit, meskipun temperaturnya sangat tinggi.
Sumber: https://pixabay.com/id/tangan-kembang-api-radio-semprot-113546/

Sekarang misalkan terdapat suatu ruang vakum absolut, berapakah temperatur di sana? Tentunya, tidak ada partikel apapun dalam ruang vakum absolut, \(N=0\). Dengan demikian, total energi kinetiknya juga nol. Artinya, menggunakan persamaan (\ref{TK}) kita memperoleh temperatur ruang vakum absolut adalah \(\frac{0}{0}\). Ya jelas, rata-rata energi partikel dari sistem berisi nol partikel adalah \(\frac{0}{0}\). Kita tahu bahwa \(\frac{0}{0}\) adalah bentuk tak tentu, lalu berapakah nilai sebenarnya yang terkait bentuk tak tentu itu (jika ada)? Ataukah persamaan (\ref{KT}) - (\ref{TK}) keliru dalam kondisi semacam ini? Silakan dipikirkan sebelum mengecek jawabannya di bawah :).

Jawaban:
Konsep temperatur memang tidak bermakna kalau materinya tidak ada. Jadi, temperatur ruang vakum adalah... tak terdefinisi.

Selengkapnya...

Minggu, 11 Februari 2018

Pola Moire

Pola Moire (Moire pattern) adalah suatu pola yang dihasilkan dari interferensi dua pola dengan celah transparan yang saling menimpa. Pola Moire dapat diperoleh dengan melakukan translasi (pergeseran), rotasi/revolusi (perputaran), atau perubahan ukuran pola kedua terhadap pola pertama.

Gambar 1. Pola Moire dari rotasi dua pola titik.
Gambar 2. Pola Moire dari dua pola paralel dengan sedikit selisih periode.


Translasi dari Pola Paralel

Gambar 3. Interferensi pada dua pola garis paralel dengan
selisih periode δp.

Pola Moire sederhana dapat dibuat menggunakan pola garis-garis paralel seragam dengan menggeser salah satu pola seperti pada Gambar 2. Agar interferensi kedua pola dapat terjadi, celah (gap) antargaris pada kedua pola tidak boleh persis sama atau kelipatan integer. Misalkankan pola pertama memiliki celah berjarak \(p\) dan pola kedua memiliki celah berjarak \(p+\delta p\) dengan \(0 \lt \delta p \lt p\). Ketika pola kedua ditimpa pada pola pertama (dengan menjaga keduanya tetap paralel), periode garis yang tidak persis sama menghasilkan interferensi berupa pola gelap-terang. Pusat gelap terbentuk ketika pola 1 dan pola 2 berbeda setengah fase. Pada saat itu, garis ke-\(n\) pola 2 bergeser sejauh \(n\cdot\delta p\) dari garis ke-\(n\) pola 1.



\begin{align} n \cdot \delta p = \frac{p}{2} \label{TP1} \end{align}

Atau

\begin{align} n = \frac{p}{2 \: \delta p} \label{TP2} \end{align}

Jarak antara pusat daerah terang ke pusat daerah gelap terdekat memenuhi:

\begin{align} d = n p = \frac{p^2}{2 \: \delta p} \label{TP3} \end{align}

Dengan kata lain, jarak antara pusat dua daerah terang (atau daerah gelap) yang berdekatan ialah

\begin{align} 2d = \frac{p^2}{\delta p} \label{TP4} \end{align}

Rotasi dari Pola Linear

Selanjutnya, kita akan membahas pola Moire dengan cara menimpa dua pola garis-garis paralel seragam dengan perbedaan sudut. Untuk kasus ini, interferensi tetap bisa diperoleh meskipun kedua pola memiliki periode yang sama.

Gambar 4. Pola moire dari rotasi pola bergaris.
Gambar 5. Skema pembentukan interferensi pada rotasi pola
bergaris.

Ketika pola bergaris dengan jarak celah \(p\) ditimpa dengan pola yang sama namun dengan selisih sudut \(\theta\), garis-garis pada kedua pola akan berinterferensi menghasilkan bentuk belah ketupat. Panjang rusuk belah ketupat ini memenuhi,

\begin{align} d = \frac{p}{\sin \theta} \label{RL1} \end{align}

Dari jarak jauh, barisan jajar genjang ini akan menghasilkan pola gelap terang dengan jarak pusat antara dua pita gelap (atau dua pita terang) yang berdekatan sama dengan panjang diagonal besar dari belah ketupat (perhatikan Gambar).

Dengan memperhatikan Gambar 6, kita dapat memperoleh segitiga siku-siku dengan rusuk-rusuk tegak \(p\) dan \(d+d \cos ⁡\theta \) dan rusuk miringnya ialah diagonal besar belah ketupat, \(D\). Dengan demikian, nilai \(D\) dapat dihitung dengan teorema Pythagoras.

\begin{align} D^2=p^2+d^2 (1+\cos⁡ \theta)^2 \label{RL2} \end{align}

Menyulihkan persamaan (\ref{RL1}), didapatkan

\begin{align} D^2 = p^2 + p^2 \frac{(1+\cos⁡ \theta)^2}{\sin^2⁡ \theta} = p^2 \left [\frac{(1+\cos^2 ⁡\theta + 2 \cos⁡\theta)}{\sin^2 \theta} +1 \right ] \nonumber \end{align}

Mengingat \(\cos^2 ⁡\theta + \sin^2 ⁡\theta = 1\), maka

\begin{align} D^2 = 2p^2 \left [\frac{1+\cos⁡ \theta}{\sin^2 ⁡\theta} \right ] \label{RL3} \end{align}

Menyulihkan identitas trigonometri \(\cos⁡(\theta/2) = \pm \sqrt{\frac{1+\cos⁡\theta}{2}}\) dan \(\sin \theta = 2 \sin⁡(\theta/2) \cos⁡(\theta/2)\) ke dalam persamaan (\ref{RL3}), didapatkan

\begin{align} D^2 = 2p^2 \left [\frac{2 \cos^2⁡(\theta/2)}{4 \sin^2⁡(\theta/2) \cos^2⁡(\theta/2)}\right ] = \frac{p^2}{\sin^2⁡ (\theta/2)} \nonumber \end{align}

Akhirnya didapatkan,

\begin{align} D = \frac{p}{\sin⁡(\theta/2)} \label{RL4} \end{align}

Pola Lainnya

Pola Moire dapat pula diperoleh dari interferensi pola kurva atau bahkan pola acak. Berikut ini diberikan contoh interferensi dari pola garis radial dan lingkaran.

Gambar 6. Pola moire dari pola lingkaran (kiri) dan garis radial.
Gambar 7. Contoh lain pola moire dari rotasi pola.

Selain pola Moire, kita juga dapat membuat efek animasi dari prinsip interferensi serupa. Pergeseran pola interferensi membuat pola nampak bergerak. Contohnya seperti di bawah ini.

Gambar 8. Efek animasi berdasarkan pola moire translasi.
Sumber: http://www.instructables.com/id/2D-Moire-Slit-Animation/

Jika tetangga Anda mau, Anda dapat mengunduh berkas *.docx berikut untuk bereksperimen lebih jauh mengenai pola moire.



Referensi

https://en.wikipedia.org/wiki/Moir%C3%A9_pattern

Selengkapnya...

Jumat, 12 Januari 2018

Kesetimbangan Hirostatik dan Teorema Virial

Benda langit seperti bintang berbentuk bola karena gravitasi menarik molekul-molekul penyusunnya ke arah pusat massanya dengan gaya yang sama di segala arah (isotropik). Lapisan bintang yang lebih bawah menanggung berat dari lapisan di atasnya sehingga tekanan hidrostatik semakin membesar ke arah pusat. Gradien tekanan ini menciptakan suatu gaya dorong dari tekanan tinggi ke tekanan rendah (ke arah luar) untuk melawan tarikan gravitasi. Jika gaya gravitasi dan gradien tekanan ini setara, benda tidak lagi mengerut (atau mengembang). Dalam kondisi ini, benda itu disebut berada dalam kesetimbangan hidrostatik.

Untuk menelusuri lebih jauh kesetimbangan hidrostatik, mula-mula bayangkan bintang dengan radius \(R\) dan massa total \(\mathcal{M}\) yang mana tersusun atas \(\mathcal{N}\) partikel bermassa \(m\). Untuk menganalisa keadaan bintang, kita bagi interior bintang dalam sejumlah lapisan dengan ketebalan seragam yang sangat kecil, \(dr\). Tiap lapisan ini kita sebut elemen volume yang masing-masing memiliki kuantitas seperti massa, suhu, tekanan, dan kerapatannya masing-masing. Selanjutnya, tinjau persamaan aliran Euler.

\begin{align} \rho \left [\frac{\partial \mathbf{v}}{\partial t}+(\nabla\bullet\mathbf{v})\mathbf{v} \right ] = -\nabla P + \rho \mathbf{g} \label{NS} \end{align}

dengan \(\nabla\) adalah operator nabla.

Persamaan Euler tidak lain adalah reduksi persamaan Navier-Stokes untuk kasus fluida ideal. Nampak bahwa dimensi kedua ruas persamaan (\ref{NS}) berdimensi gaya per volume. Seperti yang telah disebutkan di atas, kesetimbangan hidrostatik tercapai ketika gaya netto sama dengan nol. Menerapkan syarat ini ke persamaan (\ref{NS}), didapatkan

\begin{align} \nabla P = \rho \mathbf{g} \label{SH} \end{align}

Karena bintang memenuhi simetri bola (tidak bergantung terhadap sudut azimuth maupun polar), persamaan (\ref{SH}) dapat kita tulis dalam koordinat bola.

\begin{align} \frac{1}{\rho} \frac{dP}{dr} = -\frac{GM}{r^2} \label{SH2} \end{align}

dengan \(M = M(r)\) adalah fungsi massa, yaitu massa yang tercakup dari pusat hingga radius \(r\). Massa tiap lapisan kulit bola tentunya memenuhi,

\begin{align} dM = 4 \pi \rho r^2 dr \label{dM} \end{align}

sehingga

\begin{align} \frac{dP}{dM} = -\frac{GM}{4 \pi r^4} \label{SHp1} \end{align}

Mengintegralkan kedua ruas persamaan (\ref{SHp1}) dari pusat (\(r=0\)) hingga permukaan (\(r=R\)).

\begin{align} \int_{P_c}^{P_s} 4\pi r^3 P = -\int_{0}^{M_s} \frac{GM}{r} dM \label{SHp2} \end{align}

Dengan indeks “\(c\)” menyatakan nilai pada pusat (center) dan indeks “\(s\)” menyatakan nilai pada/hingga permukaan (surface, \(r=R\)). Perhatikan bahwa \(\frac{4\pi r^3}{3}=V(r)\) dan ruas kanan tidak lain ialah energi ikat gravitasi, \(U_g\) sebagaimana dibahas di sini. Dengan demikian, persamaan (\ref{SHp2}) dapat ditulis ulang sabagai,

\begin{align} 3\int_{P_c}^{P_s} V \: dP = U_g \label{p1} \end{align}

Melakukan integral parsial pada ruas kiri persamaan (\ref{p1}),

\begin{align} \int_{P_c}^{P_s} V \: dP = [VP]_{c}^{s} - \int_{0}^{V_s} P \: dV \label{p2} \end{align}

Memperhatikan bahwa pada pusat bintang, volume yang tercakup adalah nol sedangkan pada permukaan tekanan internal bernilai nol, praktis suku pertama ruas kanan persamaan (\ref{p2}) lenyap. Dengan demikian, persaman (\ref{p1}) menjadi

\begin{align} \int_{0}^{V_s} P \: dV = -\frac{1}{3} U_g \label{p3} \end{align}

Pada gas ideal, berlaku \(P=\frac{\rho kT}{m}\). Seringkali, massa partikel gas (rata-rata) dinyatakan dalam \(m=\mu m_\mathrm{u}\) dengan \(\mu\) massa partikel relatif (rata-rata) dan \(m_\mathrm{u}\) satuan massa atom. Penyulihan nilai \(P\) ke dalam ruas kiri persamaan (\ref{p3}) memberikan,

\begin{align} \int_{0}^{V_s} P \: dV = \int_{0}^{V_s} \frac{\rho kT}{m} \: dV \label{p4} \end{align}

Mengingat \(n=\frac{dN}{dV}\), \(m=\frac{M}{N}=\frac{\rho}{n}\), serta energi internal gas (total energi kinetik partikel penyusun gas) \(U_{\mathrm{in}}=\frac{3}{2} \mathcal{N} kT\), diperoleh

\begin{align} \int_{0}^{V_s} P \: dV &= \int_{0}^{\mathcal{N}} \frac{\rho kT}{nm} \: dN = \mathcal{N} kT \nonumber \\
&= \frac{2}{3} U_{\mathrm{in}} \label{p5} \end{align}

Menyulihkan persamaan (\ref{p5}) ke dalam (\ref{p3}), akhirnya diperoleh relasi antara energi internal dan energi potensial gravitasi pada gas dalam kestimbangan hidrostatik,

\begin{align} U_{\mathrm{in}} = -\frac{1}{2} U_g \label{TV} \end{align}

Jalinan (\ref{TV}) dikenal sebagai teorema virial. Jika sistem memenuhi persamaan (\ref{TV}) maka sistem berada dalam kesetimbangan hidrostatik. Bila energi internal sistem lebih besar dari nilai kesetimbangan di atas, sistem akan mengembang karena tekanan termalnya mengalahkan tarikan gravitasi. Sebaliknya, bila energi internalnya lebih kecil dari setengah energi potensial gravitasinya, gas akan mengalami pengerutan lebih lanjut. Tentunya, bila gas mengerut, energi kinetik partikel-partikel penyusunnya akan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur. Energi internal sistem pun meningkat hingga mencapai kesetimbangan hidrostatik.


Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.