Tampilkan postingan dengan label paradoks. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label paradoks. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Mei 2018

Paradoks Simpson

Paradoks Simpson adalah sebuah fenomena dalam statistika, dimana tren dari beberapa kelompok data terbalik dari tren gabungan kelompok data tadi. Paradoks ini dideskripsikan oleh Edward H. Simpson pada tahun 1951. Pemahaman dan kemampuan mengidentifikasi paradoks ini penting dalam melakukan interpretasi dan penarikan kesimpulan dari suatu data.

Sebagai contoh, tinjau performa akademik dua mahasiswa, Panijan dan Tukiyem, selama dua semester. Nilai indeks prestasi semester dan indeks prestasi kumulatif keduanya selama dua semester diberikan dalam tabel berikut.

NamaIP Semester I
(sks)
IP Semester II
(sks)
IPK
(sks)
Panijan
3,00
(22)
3,50
(11)
3,17
(33)
Tukiyem
2,88
(17)
3,42
(24)
3,20
(41)

Berdasarkan data di atas, nampak indeks prestasi semester Panijan lebih tinggi daripada Tukiyem baik pada semester I maupun II. Meskipun demikian, ternyata indeks prestasi kumulatif Tukiyem lebih tinggi daripada Panijan! Artinya, performa akademik Tukiyemlah yang lebih baik. Problem ini disebut paradoks karena secara intuitif sebagian besar orang cenderung mengira pihak yang unggul di setiap kelompok akan unggul pula secara keseluruhan. Well, hal ini hanya berlaku jika ukuran tiap kelompok seragam. Secara umum, subjek dengan nilai terbaik di setiap kelompok belum tentu memiliki nilai terbaik secara keseluruhan.

Paradoks Simpson dapat terjadi apabila sampel tidak terdistribusi secara seragam pada tiap-tiap kelompok data. Paradoks Simpson juga dapat pula terjadi bila pengelompokan data didasarkan pada hal yang tidak sepadan. Dengan demikian, data dari masing-masing kelompok tidak benar-benar merupakan sampel acak dari populasi total sehingga tidak merepresentasikan keseluruhan data. Dengan menggunakan grafik, hal ini dapat diperlihatkan pada gambar berikut.

Data dari kelompok I dan II sama-sama menunjukkan tren positif. Namun, ketika kedua kelompok digabungkan, diperoleh tren negatif.

Sekarang kita coba membahas suatu contoh kasus dengan analisa. Terdapat dua macam masalah batu ginjal, yaitu batu ginjal berukuran kecil dan batu ginjal berukuran besar. Untuk mengatasi masalah batu ginjal terdapat dua metode pula, yaitu metode sederhana (laser) dan metode kompleks (pembedahan, pengangkatan manual, dan diselesaikan dengan penembakan laser). Tingkat kesuksesan tiap metode untuk tiap masalah diberikan dalam tabel berikut.

Metode pengobatanBatu kecilBatu besarGabungan
Laser
81/87
(93%)
192/263
(73%)
273/350
(78%)
Kompleks
234/270
(87%)
55/80
(69%)
289/350
(83%)

Nampak bahwa metode kompleks memiliki tingkat kesuksesan lebih baik daripada metode sederhana untuk kasus batu ginjal kecil maupun besar, namun secara keseluruhan metode sederhana memberikan tingkat kesuksesan yang lebih baik. Jadi, bagaimana kita menafsirkan data ini? Apakah metodek kompleks memang lebih baik daripada metode sederhana, ataukan sebaliknya, ataukah keduanya sama saja? Jika metode kompleks tidak lebih baik daripada metode sederhana, tentunya melakukan metode kompleks hanyalah pemborosan uang.

Pertama-tama, kita perlu jeli memperhatikan bahwa kedua metode dibandingkan dalam dua kasus yang berbeda, bukan sekedar perbedaan waktu dan lokasi pengambilan sampel. Bila diteliti, ternyata metode sederhana lebih banyak digunakan pada masalah terkait batu ginjal berukuran kecil. Di sisi lain, metode kompleks sebagian besar diterapkan pada masalah batu ginjal berukuran besar, yang mana memiliki resiko tinggi. Hal inilah yang membuat tingkat kesuksesan metode kompleks secara keseluruhan (gabungan kedua kasus) menjadi lebih rendah, karena sebagian besar sampelnya ialah dari kasus yang beresiko tinggi. Dalam contoh kasus ini, kesimpulan yang tepat mengenai metode yang lebih ampuh haruslah melihat tingkat kesuksesan tiap metode untuk tiap kasus secara individual.

Referensi:
https://en.wikipedia.org/wiki/United_States_presidential_election,_2016
https://brilliant.org/wiki/simpsons-paradox/

Selengkapnya...

Selasa, 05 Februari 2013

Paradoks Epimenides: Epimenides Berbohong!

Pada postingan sebelumnya mengenai paradoks Epimenides atau liar paradox, dituliskan adanya keadaan kontraintuitif dari pernyataan:

Epimenides seorang Kreta memberikan pernyataan, “Semua orang Kreta adalah pembohong”.

Tentunya kita akan mengambil kondisi ideal dengan menganggap “pembohong” berarti “selalu berkata bohong”, karena jika tidak maka paradoks tadi tidak lagi menjadi paradoks. Potongan kisah Epimenides saya kutip di bawah ini*:

They fashioned a tomb for three, O holy and high one
The Cretans, always liar, evil beast, idle belliest
But thou art not dead: thou livest and abidest forefer
For in three we live and move and have our being
—Epimenides, Cretica

Jadi, asumsi kita mendeskripsikan “pembohong” sebagai “selalu berkata bohong” tidaklah keliru.

Kita telah mencoba memecahkan paradoks ini sebelumnya. Jika Epimenides berkata jujur, maka berarti yang dikatakannya benar yakni orang Kreta selalu berkata bohong. Tentunya ini kontradiksi dengan pernyataan awal (ingat Epimenides juga orang Kreta), Epimenides berkata jujur. Jika Epimenides berkata bohong, artinya “semua orang Kreta selalu bebohong” tidak benar. Nah, kalau kita menggunakan logika yang dangkal, kita akan melihat jika “semua orang Kreta selalu berbohong” tidaklah benar, berarti semua orang Kreta jujur, yang bertentangan dengan asumsi sebelumnya, Epimenides berbohong. Ternyata, jika kita menggunakan logika matematika, akan jelas bahwa Epimenides sebenarnya berbohong—tanpa kontradiksi!

Misalkan nilai kebenaran pernyataan Epimenides kita simbolkan sebagai \(A\) jika benar dan \(\neg A\) jika salah (kebohongan). Orang Kreta kita simbolkan sebagai \(x\), dan selalu berkata bohong sebagai \(\neg P(x)\) (anggap selalu berkata jujur sebagai \(P(x)\)). Jadi, pernyataan di atas dapat kita tuliskan dalam notasi:

“Epimenides berkata jujur jika dan hanya jika semua orang Kreta selalu berkata bohong”.

$$ A \Leftrightarrow \forall (x)(\neg P(x)) $$ dan ingkarannya:

“Epimenides berbohong jika dan hanya jika tidak benar bahwa ‘semua orang Kreta selalu berkata bohong’”.

$$ \neg A\Leftrightarrow \neg \left [\forall(x)\: (\neg P(x)) \right ] $$

Menggunakan hukum ingkaran dari pernyataan berkuantitas, diperoleh

$$ \neg A\Leftrightarrow \exists (x)\: (\neg (\neg P(x)))) $$ $$ \neg A\Leftrightarrow \exists (x)\: P(x) $$

Jadi, pernyataan “Epimenides berbohong jika dan hanya jika tidak benar bahwa ‘semua orang Kreta selalu berkata bohong’ ” setara dengan “Epimenides berbohong jika dan hanya jika ada orang Kreta yang selalu berkata jujur”. Jadi, jika Epimenides berbohong, artinya ada orang Kreta yang selalu berkata jujur. Lihat, tidak ada kontradiksi di sini. Ada orang Kreta yang selalu berkata jujur tidak harus berarti semuanya selalu berkata jujur, mungkin saja ada yang pernah berbohong—dan salah satunya ialah Epimenides.

Oke, tadi kita mendefinisikan \(P(x)\) sebagai selalu berkata jujur. Pun bila kita mendefinisikan \(P(x)\) sebagai tidak selalu berkata bohong, tetap tidak akan muncul kontradiksi bila Epimenides berbohong. Jika Epimenides berbohong, artinya ada orang Kreta yang tidak selalu berkata bohong. Lihat, tidak ada kontradiksi juga di sini. Orang Kreta tidak selalu berkata bohong bisa saja berarti terkadang mereka berbohong dan ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa Epimenides baru saja berbohong.

Kesimpulannya: Epimenides berbohong. Paradoks Epimenides terselesaikan.



* https://en.wikipedia.org/wiki/Epimenides_paradox

Baca juga:

Paradoks Epimenides
Paradoks tukang cukur
Paradoks tahanan
Selengkapnya...

Senin, 04 Februari 2013

Ship of Theseus

Ship of Theseus atau dikenal juga sebagai Theseus’ Paradox adalah suatu paradoks mengenai identitas dari suatu entitas. Theseus adalah seorang tokoh dalam mitologi Yunani yang mengalahkan Minotaur, makhluk setengah manusia setengah lembu yang tinggal dalam Labirin Knossos. Minotaur meminta tumbal secara teratur dari penduduk Athena sehingga menimbulkan keresahan bagi penduduk Athena, hingga suatu hari Theseus dengan berani memasuki labirin dan mengalahkan Minotaur.

Problem Ship of Theseus pertama kali dilontarkan oleh Plutarkhos:

“Kapal yang digunakan Theseus untuk kembali dari Kreta diawetkan oleh penduduk Athena. Mereka mencopot papan-papan yang telah lapuk dan menggantinya dengan papan baru yang lebih kuat—untuk menjaga agar kapal itu tetap bertahan. Kapal ini menjadi contoh bagi sejumlah filsuf, untuk pertanyaan logika tentang pertumbuhan; di satu pihak menyatakan kapal itu tetaplah sama, dan di pihak lain berpendapat kapal itu tak lagi sama.”

Plutarkhos mempertanyakan apakah kapal itu tetap sama jika sepenuhnya diganti, sepotong demi sepotong. Seabad kemudian, filsuf Thomas Hobbes mengajukan pertanyaan lebih jauh, bagaimana jika potongan-potongan yang asli disusun ulang menjadi sebuah kapal baru, manakah yang merupakan kapalnya Theseus yang asli?

Seorang flsuf Yunani, Heraklitos mencoba memecahkan teka-teki ini dengan menggunakan analogi seseorang yang melangkah ke sebuah sungai. Meskipun orang tadi masuk ke sungai yang sama, air yang mengalir selalu berubah. sungai itu tetaplah sungai yang sama.


Kausa Aristoteles

Menurut pandangan filsafat Aristoteles, terdapat empat kausa/alasan untuk mendeskripsikan suatu hal. Dalam hal ini ‘kausa’ berarti asal mula sesuatu, alasan yang membuat sesuatu. Keempat kausa itu ialah:

  1. Material cause, yakni tentang material yang menyusun suatu benda, misalkan kursi dapat terbuat dari kayu, besi, atau rotan.
  2. Formal cause, yakni tentang bentuk, pola, dan komposisi dari material yang menyusun suatu objek.
  3. Efficient cause, yakni metode yang digunakan atau proses dalam menciptakan suatu benda.
  4. Final cause, yakni tujuan dari suatu benda itu dibuat atau diciptakan.

Menurut kausa material, kapal yang telah direstorasi tadi sudah bukan lagi kapal yang asli. Menurut kausa formal dan efisien, mengingat bentuk, pola, komposisi, dan metode pembuatan kapal tetap sama, maka kapal tadi identik dengan kapal yang asli. Adapun menurut kausa final, kapal itu sama dengan kapal yang asli, kapal yang pernah digunakan oleh Theseus dan yang digunakan masyarakat Athena sebagai monumen bahwa Theseus benar-benar pernah hidup, meskipun material kapal sudah banyak berubah.

Solusi lain ialah dengan melakukan penggambaran dalam empat dimensi, benda yang identik adalah benda yang disatukan dalam ‘garis sejarah’. Dengan kata lain, suatu benda yang sama akan membentuk struktur empat dimensi yang tak terputus dalam ruang-waktu empat dimensi sehingga jika kita mengiris semesta empat dimensi ini berdasarkan sumbu waktu, akan tercipta frame ruang tiga dimensi di mana benda yang identik diri besifat tunggal. Tentunya, teori ini mungkin runtuh dalam beberapa skenario semesta paralel.

Persoalan mengenai identitas diri ini masih menjadi perdebatan yang menarik. Dua benda dapat dikatakan identik secara kualitas jika dua benda itu memiliki substansi yang sama, misalnya dua buah kelereng yang serupa, atau bayi yang kembar identik. Lain halnya dengan identitas diri, suatu benda hanya identik dengan dirinya sendiri sehingga tidak ada dua benda berbeda dalam satu waktu yang identik diri. Tetapi hal ini pun masih menimbulkan keraguan. Bagaimana jika materi dari suatu benda sudah berubah substansinya? Jika suatu kayu dibakar menjadi abu, dapatkah dikatakan abu ini identik diri dengan kayu tadi? Begitu pula bagaimana jika materinya yang berubah namun substansinya tetap? Apakah api pada lilin ini identik diri dengan api dari lilin yang sama beberapa detik kemudian (ingat api adalah gas yang berpijar, dan gasnya pasti terus menerus berganti)?

Nah, masalah lebih pelik lagi pada objek dengan kesadaran seperti manusia dan binatang. Apakah seseorang yang lupa ingatan adalah pribadi yang sama dengan dirinya terdahulu? Jika kita punya sahabat bernama Reza yang sudah lama tidak bertemu, ketika bertemu ternyata sifatnya sudah jauh berbeda dengan dirinya yang kita kenal dulu, apakah Reza yang itu sama dengan Reza yang dulu? Jika ibu kita yang sangat kita cintai telah meninggal, apakah jenazahnya tetaplah ibu kita? Bagaimana pula dengan hewan yang membelah diri? Yang mana yang individu awal? Well, hal ini tentu saja dapat menjadi masalah pelik bagi ras amuba dan kerabatnya. Untungnya si amuba tidak mau ambil pusing dengan perkara rumit ini.



Pustaka:
http://en.wikipedia.org/wiki/Ship_of_Theseus
http://www.logicalparadoxes.info/theseus-ship/


Baca juga:

Paradoks Gundukan

Selengkapnya...

Minggu, 02 Desember 2012

Predestination Paradox

Predestination paradox dan ontological paradox dapat dikatakan berada pada pihak yang berseberangan dengan grandfather paradox. Grandfather paradox merujuk kepada dua pilihan, yakni perjalanan waktu merupakan suatu hal yang tidak mungkin ataukah perjalanan waktu sesuai dengan teori parallel-universe yang menyatakan bahwa selalu ada tempat bagi pilihan-pilihan peristiwa yang mungkin dalam semesta-semesta kuantum. Tiap-tiap semesta kuantum memiliki sejarahnya sendiri-sendiri. Apapun yang Anda lakukan di suatu semesta kuantum, tidak akan mempengaruhi sejarah semesta kuantum lainnya. Prinsip ini disebut many-worlds interpretation.

Sebaliknya, ontological paradox dan predestination paradox berusaha menunjukkan bahwa sejarah telah dibuat, dan kita tidak punya kemampuan apa-apa untuk merubah suatu sejarah—kita hanya dapat mengikuti jalan yang sudah ditentukan sejarah. Kita hanya dapat melakukan suatu hal jika hal itu memang sesuai dalam sejarah. Apapun yang sudah terjadi haruslah terjadi. Seseorang yang melakukan perjalanan waktu pastilah karena seseorang yang sama di waktu yang lebih maju pernah melakukan perjalanan waktu dan seseorang yang sama di waktu lebih lampau juga akan melakukan perjalanan waktu. Jika seseorang pergi ke masa lalu dan melakukan suatu macam hal, maka dia hanya mengisi sejarahnya karena dirinya di masa depan juga pergi ke masa lalu dan melakukan hal yang sama sehingga sejarah tidak pernah berubah. Prinsip ini dikenal sebagai Novikov self-consistency principle, yang dikemukakan oleh seorang fisikawan Rusia Igor Dmitriyevich Novikov. Menurut prinsip ini, grandfather paradox tidak mungkin terjadi. Meskipun seseorang bernama Yabo pergi ke masa lalu dan berupaya membunuh kakeknya, usahanya pasti akan selalu gagal—karena sejarah mencatat kakeknya akan bertahan hidup dan memiliki anak yang akan memiliki anak yakni Yabo itu. Tentunya kakeknya si Yabo yang berasal dari masa yang sama ternyata juga pernah menjadi korban percobaan pembunuhan di masa lalu (dan pelakunya ialah Yabo dari masa depan). Dan, Yabo bisa pergi ke masa lalu karena di masa depan dirinya juga pergi ke masa lalu—juga berupaya membunuh kakeknya, dan gagal pula.


Ontological paradox

In 1850, Bob’s horse was sppoked by something, and almost took Bob over a cliff, had it not been for a strange man stopping the horse. This strange man was later honoured by having a statue of him erected. Two hundred years later, Bob goes back in time to sight-see, and sees someone’s horse about to go over a cliff. He rushes to his aid and saves his life.

Anda tidak mungkin menemui diri Anda di masa lalu jika di masa lalu Anda tidak pernah menemui diri Anda dari masa depan.

Pada gambar, sejarah Bob di dunia dilukiskan sebagai garis merah dalam garis waktu. Adapun garis merah di luar garis waktu hanyalah untuk penggambaran lompatan Bob ke masa lalu atau masa depan. Pada selang singkat AB, terdapat dua garis sejarah Bob yang berimpit. Ini menunjukkan terdapat dua Bob saat itu, yakni Bob dari masa itu dan Bob dari masa depan (titik C) yang berkunjung ke masa lalu (titik A) beberapa saat kemudian balik kembali (titik B) ke masanya (titik D). Pada selang CD tidak terdapat garis sejarah Bob, menandakan kita tak akan mungkin menemukan Bob saat itu karena ia memang tidak ada di dunia pada selang CD. Pada titik E, anggap Bob meninggal sehingga berakhirlah garis sejarahnya di alam semesta ini.

Menurut model ini, ruang bergerak (berekspansi) terhadap sumbu waktu dan perpotongan antara keduanya merupakan suatu peristiwa. Ruang ini tak hingga banyaknya, berlapis-lapis bergerak menyusuri sumbu waktu sehingga peristiwa-peristiwa yang sama akan terus berulang di ruang-ruang yang berbeda, tetapi pada titik waktu yang sama. Misalkan pada t = A Bob0 menemui seseorang yang ternyata dirinya yang berasal dari masa depan (t = C, kita beri nama Bob1), maka seiring dengan aliran ruang terhadap waktu, Bob0 akan bergerak ke titik t = C, mengharuskan ia mengulangi sejarah dengan pergi ke masa lalu (t = A) dan bertemu Bob di masa itu, Bob-1.


Predestination Paradox (Temporal Causality Loop)

Berikut beberapa potongan cerita mengenai predestination paradox.

Family Guy (season 9 episode 16)

Stewie and Brian travel back in time using Stewie’s time machine. They are warped outside the space-time continuum, before the Big Bang. To return home, Stewie overloads the return pad and they are boosted back into the space-time continuum by an explosion. Stewie later studies the radiation footprints of the Big Bang and the explosion of his return pad. He discovers that they mach, and he concludes that he is actually the creator of the universe. He explains his theory to Brian, who replies with “That doesn’t make any sense; you were born into universe. How could you create it?” Stewie explains that it is a temporal causality loop, which is an example of a predestination paradox.

Menurut potongan cerita di atas, jika Stewie tidak pernah kembali ke masa lalu, alam semesta tidak akan eksis. Semenjak alam semesta tidak ada, maka Stewie pun tidak akan tercipta, jadi Stewie tidak akan eksis. Jika Stewie yang menciptakan alam semesta, maka ia harus eksis. Jika alam semesta tidak ada maka Stewie juga tidak akan eksis. Jadi, agar alam semesta bisa eksis, maka harus dipenuhi:

  1. Alam semesta harus eksis lebih dulu.
  2. Stewie harus termuat dalam alam semesta.
  3. Stewie harus pergi ke masa lalu dan meledakkan mesin waktunya.

Jadi intinya ialah agar alam semesta tercipta, harus dipenuhi tiga syarat di atas. Padahal syarat pertama sendiri ialah alam semesta harus eksis. Jadi agar keadaan 1 eksis maka syarat 1 harus terpenuhi, sudahlah jelas syarat 2 dan 3 menjadi tidak diperlukan lagi dan premis-peremis ini menjadi tidak logis.

Pendekatan lain yang lebih sederhana ialah dengan menggunakan implikasi. Jika A merupakan syarat bagi B (A hanya mungkin ada bila B lebih dahulu ada), sedangkan B merupakan syarat bagi A (B hanya mungkin ada bila A lebih dahulu ada), maka jelaslah A dan B tidak mungkin ada.

AB
BA
__________
¬(AB)

Cerita Nggak Jelas

Pada suatu hari Yoko menemukan flashdisk yang berisi file-file yang menunjukkan cara membuat mesin waktu. Yoko pun berhasil membuatnya di penghujung hidupnya dan mengirimkan data mesin waktunya itu ke masa lalu agar dapat dibuat oleh orang lain. Akhirnya data mengenai mesin waktu itu ditemukan oleh Yoko di masa lalu.

Ketidakjelasan Asal Mula

Aldo dan Edo merupakan dua orang mahasiswa yang bersaing dalam lomba karya ilmiah hingga babak final. Pada babak final, keduanya diwajibkan membuat suatu karya ilmiah dalam waktu dua bulan. Karena percobaannya selalu gagal dan tidak menemukan ide yang hebat, Edo berupaya pergi ke masa depan (sebulan kemudian) dengan mesin waktu untuk mencuri hasil penelitian Aldo. Akhirnya Edo menemukan rancangan paper Aldo yang luar biasa dan nyaris selesai kemudian membawanya kembali ke masa kini. Dengan sisa waktu yang masih sebulan, Edo yakin bisa membuat paper itu menjadi lebih baik sehingga orang akan berpikir bahwa Aldolah yang menjiplak idenya. Namun, dalam perjalanan ke rumahnya Edo dirampok. Perampok yang telah kabur itu mengambil barang berharga dan membuang kertas-kertas lainnya, termasuk rancangan paper tadi ke tempat sampah. Tidak lama kemudian Aldo lewat dan kebetulan melihat rancangan paper itu di tempat sampah dan tertarik dengan isinya lalu menjadikannya sebagai papernya untuk lomba ilmiah. Sebulan kemudian paper itu dinyatakan menang atas nama Aldo.

Pertanyaannya ialah, siapakah yang membuat rancangan paper itu sebenarnya?

Kisah John T.

Pada tahun 2036, John Tori Tori pergi ke masa lalu di tahun 2012 untuk bertemu dengan dirinya sendiri di masa itu. John memberikan informasi kepada dirinya saat itu bahwa pada Februari 2013 akan terjadi tsunami besar di Indonesia yang akan merenggut nyawa saudara dan kedua orangtuanya. John memperingatkan dirinya di masa itu untuk bersiap menyelamatkan diri dan keluarga dari ancaman tsunami agar orangtua dan saudaranya bisa selamat. John di masa itu pun menyelamatkan keluarganya dari tsunami – yang benar-benar terjadi, dengan pindah ke Inggris seminggu sebelumnya. Akhirnya, orang tua dan saudara John selamat dari musibah tsunami.

Dragon Ball Z

Trunks pergi ke masa dua puluh tahun yang lalu untuk menemui Goku dan menceritakan bahwa tiga tahun dari saat itu, tanggal 12 Mei pukul 10.00 pagi, dua android berkekuatan super akan muncul dan membunuh semua kesatria (Z fighters) dan membawa kehancuran di Bumi hampir selama dua puluh tahun. Trunks yakin hanya Goku yang dapat mengalahkan android yang bernama Cell itu, namun sayangnya Goku akan meninggal enam bulan sebelum kedatangan Cell karena suatu penyakit yang menyerang jantungnya. Untuk itu Trunks memberikan suatu obat/antibiotik/vaksin/sejenisnya pada Goku untuk memperpanjang usianya, sehingga diharapkan sempat menghentikan langkah Cell untuk menghancurkan dunia. Demikianlah Trunks berharap Goku dapat mengubah sejarah.

Doraemon volume 37

Nobita harus menghadapi ujian keesokan harinya. Untuk itu ia pergi ke masa depan untuk melihat kertas jawaban Dekisugi agar dapat menjawab soal ujian dengan benar. Tetapi di sana ia malah menemui dirinya dari masa depan yang berusaha menghalangi dirinya sendiri berbuat curang. Karena dirinya dari masa depan membawa persiapan sarung tangan tinju, nobita di masanya pun kalah dan kembali ke masa sekarang. Ia akhirnya bertekad untuk belajar dengan usaha sendiri. Akhirnya, ia memperoleh nilai yang cukup memuaskan, yakni 65. Ia merasa bangga dan pergi ke masa lalu dengan mesin waktu untuk membayar utangnya, mencegah dirinya di masa lalu melihat kertas jawaban Dekisugi. Tentunya tak lupa ia membawa sarung tangan tinju.


Penutup:

Bagaimanapun, kita belum dapat memastikan prinsip mana yang sebenarnya berlaku dalam perjalanan waktu. Penganut prinsip many-worlds interpretation dapat mengatakan bahwa ontological paradox dan predestination paradox itu tidak mungkin terjadi, sedangkan penganut prinsip self-consistency principles dapat mengatakan bahwa grandfather paradox itulah yang mustahil. Jika tidak keduanya, kita dapat beranggapan bahwa perjalanan waktu memang suatu hal yang mustahil. Jika perjalanan waktu dapat terjadi secara terkontrol seperti gambaran di atas, saya pribadi tidak menyukai prinsip self-consistency principle, karena jika prinsip itu benar, maka manusia kehilangan kehendak bebasnya sama sekali. Kitalah yang semestinya membuat sejarah, bukan sejarah yang menentukan hidup kita (sekali lagi ini menurut saya).


Selengkapnya...

Rabu, 28 November 2012

Paradoks Roda Aristoteles

Terdapat dua buah roda yang tersusun seporos dan melekat, yang satu berjejari lebih besar daripada yang lain. Jika sistem roda ini digelindingkan tanpa slip sebesar satu putaran, maka lintasan yang ditempuh oleh roda akan sama panjangnya dengan keliling roda itu. Coba perhatikan gambar, jika sistem roda itu diputar, maka nampak lintasan roda kecil (merah) sama panjangnya dengan lintasan roda besar (biru) – artinya keduanya memiliki keliling yang sama. Padahal jelas jejari roda merah lebih kecil dari jejari roda biru. Hmm, sebuah paradoks.



Kok bisa begitu ya? Apa ada yang salah?
Coba dipikir dulu…

Oke, mari kita selesaikan paradoks ini. Untuk sistem roda seporos yang saling melekat, kecepatan sudut kedua roda pastilah sama, karena jika roda satu diputar 360° maka roda yang lain juga pasti akan berputar 360°.

Kelajuan linier roda didefinisikan sebagai panjang lintasan yang ditempuh suatu titik pada tepi roda terhadap perubahan waktu. Jadi kelajuan linier dari masing-masing roda setara dengan panjang lintasan tepi roda dibagi dengan periodenya.

Jika kita namakan jejari roda kecil dengan RA dan roda besar dengan RB, maka jelaslah kelajuan linier dari roda kecil lebih kecil daripada kelajuan linier dari roda besar

Jadi ketika kedua roda diputar satu periode, lintasan yang ditempuh oleh kedua roda pastilhah perbeda, yakni 2πRA dan 2πRB. Karena kedua roda melekat, maka pastilah salah satu atau kedua roda itu mengalami slip – artinya lintasan yang ditempuh itu tidak mesti setara dengan keliling roda. Paradoks terselesaikan…


Selengkapnya...

Minggu, 04 November 2012

Misteri Rapat Peluang

Rapat peluang atau rapat probabilitas biasa kita kenal direpresentasikan dengan kurva distribusi dalam statistik. Well, karena saya menemukan misteri ini saat belajar kembali mengenai fisika kuantum, jadi di sini akan saya gunakan rapat peluang keberadaan partikel (semisal elektron) dalam suatu daerah. Untuk memudahkan, saya pilih kasus yang sederhana saja, yakni partikel dalam sumur potensial tak hingga satu dimensi.

Jadi, dalam kasus ini, partikel terletak dalam ruang satu dimensi (satu derajat kebebasan) yakni pada sumbu-X. Selanjutnya, nilai potensial digambarkan dalam sumbu-Y sehingga sumur potensial berbentuk seperti gambar di bawah ini.

Daerah \(x \lt -a\) dan \(x \gt a\) dipengaruhi potensial yang sangat besar, dan untuk kemudahan matematis kita anggap tak hingga. Adapun daerah \(-a \lt x \lt a\) potensialnya = 0. Jika partikel memiliki energi kinetik \(E\) (berhingga tentunya), padahal potensial di daerah kiri dan kanan “sumur” didera potensial tak hingga maka pastilah partikel tak akan mampu berada di daerah itu. Dengan demikian partikel akan terperangkap dalam sumur.

Selanjutnya, mari kita panggil persamaan Schrödinger untuk fungsi gelombang bebas-waktu,

Untuk daerah \(x \lt -a\) dan \(x \gt a\) yang kita sebut “zona terlarang”, fungsi gelombangnya sama dengan nol karena partikel tak mungkin berada di situ. Adapun untuk daerah \(-a \lt x \lt a\), persamaan Schrödinger-nya menjadi:







Mengingat bentuk persamaan gelombang maka dengan mudah didapati konstanta \(\frac{2mE}{\hbar^2}\) berperan sebagai kuadrat bilangan gelombang, \(k^2\), sehingga diperoleh:



yang solusinya


Setelah menerapkan syarat batas yakni syarat kontinuitas di x = -a dan di x = a,


Dari syarat total peluang harus sama dengan 1, koefisien A dan B (amplitudo gelombang) dapat diperoleh dengan normalisasi fungsi \(\int_{-\infty}^{\infty}\left |\psi \right |^2 dx = 1\) yang memberikan hasil \(A = B = \frac{1}{\sqrt{a}}\).

Akhirnya diperoleh solusi



Mengapa dipilih problem yang sederhana dan penjelasan ringkas ialah karena yang ingin saya tunjukkan bukan penyelesaian persamaan gelombangnya, melainkan rapat distribusinya. Dengan menggunakan Matlab saya membuat skrip untuk menggambarkan solusinya di bawah ini.


Untuk n = 1 saya tampilkan khusus gambarnya

Grafik di kanan ialah rapat peluang (peluang keberadaan, |ψ|2) partikel sepanjang selang [-5.5]. Jika dihitung, peluang partikel berada dalam selang [-5,5] = 1, karena partikel tidak mungkin berada di luar selang itu. Pada grafik kita temukan pula bahwa peluang menemukan partikel paling besar di sekitar x = 0, dengan kata lain si partikel paling mungkin berada di tengah-tengah. Nah, berapakah peluang partikel berada di x = 0? Ayo, ayo, silakan dijawab.

...
...

Jawabannya bukan 0,2, tetapi nol! Atau setidaknya secara matematis begitu. Jika Anda menjawab 0,2, dengan metode serupa coba bayangkan peluang partikel berada di x = 0,001. Hampir 0,2, kan? Di x = 0,002 juga hampir 0,2, di x = 0,003 juga hampir 0,2 —— kalau dijumlahkan sepanjang selang, total peluangnya pasti akan jauh lebih besar daripada 1. Sangat tidak logis, bukan? Jadi, jangan salah paham dengan angka rapat peluang. Peluang sebenarnya ialah rapat peluang dikalikan dengan ruang (analog dengan massa sama dengan rapat massa dikalikan volumenya). Jadi, dalam kasus ini peluang adalah luas daerah di bawah kurva. Sebagai contoh untuk selang (0,1). Kita lakukan pendekatan saja di sini, didapatkan luas daerah di bawah kurva dalam selang (0,1) ialah \(\frac{0,2+0,18}{2}\) dikalikan lebar selang (yakni 1) sehingga peluang partikel berada dalam selang (0,1) ialah sekitar 0,19. Contoh lainnya, peluang partikel berada dalam selang selang (-2,2) ialah (0,13+0,2)/2 dikalikan lebar selang (yakni 4) ialah 0,66. Terakhir, peluang partikel berada dalam selang (-5,5) ialah (0+0,2)/2 dikalikan dengan 10 sama dengan 1. Perhatikan bahwa luas persegi di kanan = 10 × 0,2 = 2 atau tepat dua kali luas daerah di bawah kurva.

Nah, sekarang kita kembali ke pertanyaan sebelumnya: berapa peluang partikel berada tepat di x = 0? Peluangnya ialah 0,2 dikalikan dengan lebar selangnya (lebar dari titik ialah 0) menghasilkan nol. Jadi peluang partikel tepat berada di titik x = 0 (atau di titik mana pun) secara matematis sama dengan nol. Kok bisa? Sederhanyanya, bayangkan saja dadu bersisi enam dilemparkan. Berapa peluang munculnya mata dadu satu?

Jadi peluang munculnya mata dadu satu ialah 1/6. Dalam kasus partikel tadi, ada tak hingga banyaknya titik dalam selang [-5,5], sehingga peluang sebuah partikel berada di sembarang satu titik ialah 1/∞ = 0. Dengan demikian peluang keberadaan partikel harus diberikan dalam suatu selang, bukan titik.

Timbullah suatu paradoks:

Andaikan suatu partikel harus berada dalam selang [-5,5] sedangkan tiap titik dalam selang itu memiliki peluang ditemukannya partikel, p = 0, jadi di mana partikel itu harus berada?

Skrip Matlab:
% Grafik Solusi Sumur Potensial Tak Hingga
% @ Sunkar E.G.
clear;
y=1;t=0;
jenis=input('mode input?(y/t)');
a=input('batas = ');
x=linspace(-a,a,200);
if jenis==1
n=input('n = ');
if mod(n,2)==0
psi=(1/sqrt(a))*sin(n*pi*x/(2*a));
else
psi=(1/sqrt(a))*cos(n*pi*x/(2*a));
end
psi2=psi.^2;
subplot(121)
plot(x,psi);
xlabel('x');ylabel('y');
title('Fungsi Gelombang (\Psi)');
subplot(122)
plot(x,psi2)
xlabel('x');ylabel('rapat peluang');
title('|\Psi|^2');
subplot(111)
else
psi1=(1/sqrt(a))*cos(1*pi*x/(2*a));
psi3=(1/sqrt(a))*cos(3*pi*x/(2*a));
psi2=(1/sqrt(a))*sin(2*pi*x/(2*a));
psi4=(1/sqrt(a))*sin(4*pi*x/(2*a));
psi12=psi1.^2;psi22=psi2.^2;psi32=psi3.^2;psi42=psi4.^2;
subplot(121)
plot(x,psi1,x,psi2,x,psi3,x,psi4)
xlabel('x');ylabel('y');
title('Fungsi Gelombang (\Psi)');
legend('n=1','n=2','n=3','n=4')
subplot(122)
plot(x,psi12,x,psi22,x,psi32,x,psi42)
grid on
xlabel('x');ylabel('rapat peluang');
title('|\Psi|^2');
subplot(111)
end



Selengkapnya...

Minggu, 09 September 2012

Paradoks Senter

Masih ingat dengan teori relativitas khusus? Dalam TRK Einstein mempostulatkan bahwa kelajuan maksimal suatu isyarat (yakni kecepatan cahaya dalam ruang hampa) bernilai tetap, tidak bergantung pada kerangka acuan yang digunakan (invarian). Dari postulat ini diperoleh rumusan kelajuan relatif dua buah benda yang bergerak sejajar ialah



Tentunya hal ini memberikan implikasi bahwa jika suatu partikel bergerak dengan kelajuan c, dan partikel lain juga bergerakdengan kelajuan c dalam arah yang berlawanan, maka kelajuan relatifnya bukan 2c, melainkan c! Sekarang mari kita saksikan paradoks berikut ini.



Misalkan terdapat dua buah senter yang berhadapan, yakni senter A dan senter B yang relatif diam satu sama lain dengan jarak x. Jika kedua senter secara bersamaan dinyalakan, senter A memancarkan foton a yang memiliki kecepatan c ke arah kanan (+c) dan senter B memancarkan foton b yang memiliki kecepatan c ke arah kiri (-c). Pertanyaannya adalah, di manakah kedua foton itu berpapasan?

Foton a dapat beranggapan dirinya diam dan foton b bergerak mendekatinya dengan kecepatan . Karena foton a juga bergerak ke arah senter B yang diam, maka ia juga akan melihat senter B bergerak mendekatinya dengan kecepatan . Jadi menurut foton a, foton b dan senter B sama-sama bergerak mendekati dirinya dengan kecepatan –c. Karena sebenarnya foton a-lah yang bergerak ke arah senter B, maka menurutnya ia akan bertemu foton b di saat yang sama dengan ia bertemu senter B, dengan kata lain kedua foton akan berpapasan di senter B.

Foton b dapat beranggapan bahwa dirinyalah yang diam, dan foton a bergerak menuju dirinya dengan kecepatan , dan senter A juga bergerak menuju dirinya dengan kecepatan . Jadi, menurut foton b, ia akan bertemu dengan foton a di saat yang sama dengan ia bertemu senter A. Dengan kata lain, kedua foton akan bertemu di senter A.

Menurut seorang penjual nasi goreng yang duduk diam melihat melihat fenomena ini, foton a dan b memiliki kecepatan yang sama tetapi berlawanan, sehingga secara logis kedua foton akan bertemu di titik tengah antara kedua senter.

Bagaimana? Di manakah kedua foton akan berpapasan? Siapakah yang benar? Oke, silakan coba memecahkannya.



Selengkapnya...

Sabtu, 07 Juli 2012

Problem Basel dan Paradoks Deret Basel-Harmonik

Pada postingan sebelumnya telah beberapa kali disinggung mengenai Terompet Toricelli dan deret harmonik, yakni deret yang berbentuk

Deret harmonik tidak lain ialah deret zeta riemann orde satu. Deret zeta riemann sendiri adalah deret tak hingga yang berbentuk


Ada pun deret zeta riemann orde-2, ζ(2) dikenal juga sebagai deret Basel yakni

Telah dibuktikan pada postingan mengenai infinity series paradoks, jumlahan dari deret harmonik adalah tak hingga (divergen). Sekarang kita akan mencari jumlahan dari deret Basel yang pertama kali dilakukan oleh Leonhard Euler. Pertama, panggil ekspansi Taylor/Mac Laurin untuk sinus



Lalu bagilah dengan x



Bentuk (sin x)/x bernilai 0 untuk x = nπ dengan n = ±1, ±2, ±3, … . Dengan demikian, dapat dikatakan nπ adalah akar-akar dari deret (sin x)/x. Seperti halnya polinomial dapat dinyatakan sebagai perkalian akar-akarnya, begitu pula dengan deret tak hingga.



Ingat, bentuk ini sama saja dengan akar-akar polinomial, misal (1-x/π)=0, berarti salah satu akarnya adalah x = π, dan seterusnya. Kemudian ingatlah lagi pemfaktoran (a + b)(ab) = a2b2, sehingga diperoleh



Jika ruas kanan diperkalikan, lalu kita kumpulkan koefisien-koefisien dari variabel x2, didapatkan koefisien itu berbentuk deret



Hal ini dengan mudah diperoleh jika kita melakukan pengandaian dengan suku terbatas, misalkan . jika dijabarkan menghasilkan bentuk:



Jika dikumpulkan koefisien dari variabel x2, diperoleh . Dengan menggunakan analogi, kita juga bisa memperoleh hasil untuk deret tak hingga (bandingkan dengan yang di atas). Bagaimana, paham kan?

Karena kedua deret di atas (deret Mac Laurin dan perkalian faktor) nilainya sama-sama (sin x)/x, maka jelas keduanya sama. Dengan demikian kita dapat mempersamakan koefisien dari x2 pada deret Mac Laurin dan deret perkalian faktor kita menjadi



Akhirnya, diperoleh nilai dari ζ(2) alias jumlahan deret Basel yaitu

Jadi telah terbukti bahwa ζ(2) = π2/6, dengan kata lain deret Basel memiliki jumlah berhingga (konvergen). Sekarang, perhatikanlah ilustrasi berikut.

Persegi-persegi di atas mewakili tiap suku dalam deret harmonik (yakni panjang rusuknya) dan deret Basel (luasnya). Dengan demikian jika diterukan sampai tak hingga, panjang sumbu merupakan jumlahan deret harmonik dan luas bangun merupakan jumlahan deret Basel. Perhatikanlah panjang bangun sama dengan ζ(1) = ∞, padahal luasnya berhingga, ζ(2) = π2/6. Kok bisa?

.

Penjelasannya hampir serupa dengan terompet Toricelli, jadi silakan Anda simpulkan sendiri.



Selengkapnya...

Kamis, 21 Juni 2012

Paradoks Tahanan

Waspadalah…! Waspadalah…!!
- Kata bang Napi.

Oke, ini nggak ada hubungannya dengan bang Napi, tapi ada hubungannya dengan Monty Hall Problem yang telah saya posting terlebih dahulu. Paradoks tahanan (Prisoner’s Paradox) menceritakan masalah peluang dalam konteks verbal, yang mana pemecahannya terlihat tidak sesuai dengan rasio kita pada umumnya.

Ada tiga orang tahanan (sebut Ambo, Bono, dan Charles) sedang menunggu putusan pengadilan terhadap nasib mereka. Saat itu putusan pengadilan ditunda tiga hari setelah persidangan karena para hakim perlu waktu lebih untuk berdiskusi mengenai putusan terhadap Ambo, Bono, dan Charles.


Bang Napi

Malamnya, seorang sipir lewat di depan ruang tahanan Ambo. Ambo pun bertanya, “Maaf pak, saya dengar putusannya telah selesai.” “Bagaimana hasilnya?”.

“Salah satu dari kalian akan divonis bebas, dua yang lain dihukum mati.”

“Siapa yang dihukum mati pak?”

“Wah, itu rahasia.” “Dengar saja langsung lusa.”

“Ayolah pak, bagaimana nasib saya?”

“Nanti juga Anda pasti tahu kok.”

Karena tak sabar dengan nasibnya, Ambo memelas agar diberi tahu nasibnya. Karena sipir bersikeras tidak memberitahu, Ambo pun meminta diberi klu saja.

“Kalau begitu pak, beri saja saya salah satu nama yang dihukum mati.”

Karena terus didesak, akhirnya pak sipir menyebutkan nama Bono akan divonis mati. Saat itu merasa senanglah Ambo karena merasa peluangnya bebas meningkat dari 1/3 menjadi 1/2. Pada jam makan malam, Ambo menceritakan pembicaraannya dengan sipir kepada Charles, dan Charles pun merasa senang. Tetapi Charles berkata, “Bodoh, jika memang begitu berarti peluangku bebas menjadi 2/3 dan peluangmu bebas tetap 1/3.”

Lho, mana yang benar? Menurut Ambo atau menurut Charles? Ternyata versi Charleslah yang benar. Dengan diketahuinya Bono pasti dihukum mati, peluang Ambo bebas tetap 1/3 dan peluang Charles bebas meningkat menjadi 2/3. Penjelasannya sebagai berikut:

Sipir tidak ingin memberitahukan siapa yang bebas secara langsung, dan dia hanya menyebutkan salah satu nama yang divonis mati kepada Ambo. Jika Ambo yang bebas, sipir dapat memilih untuk menyebutkan nama Bono atau Charles. Jika Bono yang bebas, sipir hanya mungkin menyebutkan nama Charles, karena dia tak ingin memberi tahu nasib Ambo secara langsung. Begitu pula jika Charles yang bebas, maka sipir hanya mungkin menyebutkan nama Bono. Jadi terdapat perbedaan perilaku sipir jika Ambo yang bebas dengan Bono atau Charles yang bebas. Ingat bahwa sebelum sipir mengatakan apa-apa, peluang Ambo, Bono, dan Charles untuk bebas masing-masing adalah 1/3.

nama yang bebasyang dikatakan sipirpeluang kejadian
AmboBono1/6
Charles1/6
BonoCharles1/3
CharlesBono1/3

Mengingat nama Bono disebut dihukum mati, maka ia tidak mungkin bebas sehingga peluangnya berubah menjadi:

nama yang bebasyang dikatakan sipirpeluang kejadian
AmboBono1/6
CharlesBono1/3

Lihat? Saat sipir menyebutkan nama Bono (divonis mati), maka peluang baru yang tercipta adalah Ambo bebas peluangnya 1/6 dan Charles bebas peluangnya 1/3 dari total peluang 1/6 + 1/3 = 1/2. Mengingat lazimnya semua peluang yang mungkin dinyatakan dengan satu, maka peluang Ambo bebas ialah 1/6 × 2 = 1/3 dan peluang Charles bebas adalah 1/3 × 2 = 2/3.

Q.E.D.

Selengkapnya...

Sabtu, 02 Juni 2012

Toricelli's Trumpet dan Painter's Paradox


Toricelli's Trumpet (sumber: en.wikipedia.org)

Toricelli’s Trumpet atau Gabriel’s Horn adalah bentuk geometri yang dibentuk dengan memutar kurva y = 1/x dengan batas x = 1 hingga x menuju tak hingga.


Hasil pemutaran itu akan membentuk permukaan dua dimensi dalam dimensi tiga. Dengan menggunakan kalkulus, dapat diperoleh volume dan luas permukaan dari terompet Toricelli.




Nah, jika diambil nilai b → ∞, diperoleh volume dan luas permukaan dari Terompet Toricelli



Ternyata diperoleh volume dari Terompet Toricelli berhingga, yakni π, tetapi luas permukaannya tak hingga. Lho, kok bisa?


Painter’s Paradox

Seandainya Terompet Toricelli itu eksis, maka terompet itu hanya bisa menampung cat sebanyak π satuan volume, padahal panjang(dalam)-nya tak hingga! Kira-kira jika tetes-tetes cat dituang ke dalam terompet dengan kelajuan v, kapan ia sampai ke dasar? Kapan terompet akan penuh — mengingat kedalaman Terompet Toricelli tak hingga? Tapi bagaimanapun kita bisa pastikan terompet akan penuh mengingat volumenya berhingga.

Berikutnya lagi adalah, Terompet Toricelli hanya mampu menampung cat sebanyak π satuan volume, tetapi karana luasnya tak hingga, apakah kita perlu tak hingga banyaknya cat untuk mengecat permukaannya?

Yup, itulah Painter’s Paradox. Penjelasannya sederhana, yakni konsep “permukaan”. Permukaan adalah manifestasi dari geometri dua dimensi yang sesungguhnya, hanya ada dua dimensi panjang. Namun tidak ada bentuk dua dimensi yang bisa eksis secara independen dalam dunia tiga dimensi. Ya, benda dua dimensi itu hanya bisa menjadi permukaan dari benda tiga dimensi (malah mungkin benda dua dimensi yang independen adalah mustahil). Bayangkanlah seperti ini: Andai saja benda dua dimensi yang independen itu ada, dan dibentangkan kemudian Anda menjatuhkan diri di atasnya. Apakah Anda akan tertahan oleh benda itu atau bakal nembus saja?

Saya memilih untuk mengatakan bahwa Anda akan menembus benda itu, karena benda itu tidak memiliki ketebalan sama sekali. Nah, jadi seperti itulah konsep geometri dua dimensi secara matematis, begitu pula halnya dengan permukaan. Cat, bagaimanapun adalah benda tiga dimensi. Lapisan cat tetap memiliki ketebalan. Lalu bagaimana kaitan benda dua dimensi dengan benda tiga dimensi? Asumsikanlah sebuah kubus dengan panjang rusuk (r) tertentu dibelah-belah hingga manghasilkan lembaran yang sangat tipis. Andaikata pembelahan itu terus dilakukan sampai tak hingga banyaknya, maka akan diperoleh benda dua dimensi dengan luas r2 yang jumlahnya tak hingga. Jadi benda tiga dimensi dapat dikata tersusun dari tak hingga benda dua dimensi!

Dengan demikian, seandainya kita dapat membuat lapisan cat tanpa ketebalan (ketebalannya betul-betul nol), tentu saja tidak diperlukan banyak cat untuk melapisi Terompet Toricelli. Dengan demikian paradoks ini terselesaikan dengan caranya sendiri.



Hal lain yang dapat dikaji dari problem ini:

Volum adalah produk dari luas alas dan panjang (tinggi). Ternyata pada Terompet Toricelli, meskipun panjangnya tak hingga tetapi volumenya berhingga. Dengan demikian terdapat suatu bilangan (atau entitas lainnya) jika dikalikan tak hingga akan menjadi nilai tertentu. Dengan ini pula saya berusaha membuktikan pada teman saya saudara Aldytia bahwa bentuk 0 × ∞ adalah bentuk tak tentu, yang hasilnya bisa saja (sembarang) bilangan riil, tidak harus 0.



Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.