Tampilkan postingan dengan label astronomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label astronomi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Januari 2020

Bumi Datar: Bantahan dalam Aspek Geometri

Gerakan kampanye Bumi Datar (Flat Earth, FE) kontemporer sudah mulai berkembang pesat di Indonesia setidak-tidaknya sejak tahun 2015. Mereka mengkampanyekan paham Bumi datar melalui berbagai media, mulai dari forum dan blog web, kanal Youtube, media sosial, buku, hingga ceramah (yang kebanyakan menggunakan pendekatan keagamaan). Sebelumnya saya pernah sekali memberikan presentasi mengenai paham Bumi datar disertai bantahan terhadap model tersebut di kampus. Di luar itu, saya sangat jarang meladeni para pengikut Bumi datar di dunia nyata maupun maya. Saya pikir, hal itu buang-buang waktu serta paham tersebut perlahan-lahan akan kehilangan pamornya. Ternyata saya keliru. Mereka masih rajin mengkampanyekan teori-teori konyol mereka di sana-sini hingga saat ini. Beberapa hari lalu saya temui, mereka bahkan telah banyak mengisi forum-forum keilmuwan di internet; sesuatu yang membuat saya cukup gerah.

Sebenarnya, saya tidak menyarankan Anda untuk gampang terlibat perdebatan dengan mereka. Kemungkinan besar Anda akan buang-buang waktu semenjak sebagian besar penganut paham Bumi datar menerima paham itu sebagai bagian dari keimanan. Mereka tidak akan menggunakan nalarnya untuk mencerna dan mempelajari data dan argumen yang kita berikan. Padahal, paham Bumi datar sendiri bahkan tidak memiliki model yang jelas. Jika Anda menemukan penganut paham Bumi datar yang mengajak debat atau mencoba merekrut Anda, mintalah mereka memberikan model mereka secara rinci. Berapa ukuran Bumi, Matahari, Bulan, planet-planet, dan kubah langit berdasarkan model mereka? Berapa jarak benda-benda langit tersebut dari Bumi? Berapa periode peredaran Matahari, Bulan, dan planet-planet? Berapa massa Matahari dan berapa daya radiasinya? Jika mereka tidak mampu memberikan keterangan kuantitatif mengenai model yang mereka sendiri anut, acuhkan saja mereka.

Sejauh yang saya ketahui setelah mengakses sumber-sumber internal paham Bumi datar, mereka bahkan tidak memiliki model yang sistematis, rinci, dan konsisten. Parameter model mereka yang cukup konsisten ialah Bumi berbentuk piringan dengan diameter sekitar 40.000 km (sama dengan keliling Bumi) dan ketinggian Matahari dari permukaan Bumi sekitar 6.000 km. Angka ketinggian Matahari mereka dapatkan menggunakan metode triangulasi, tentunya dengan mengasumsikan bahwa Bumi berbentuk datar. Selain itu, mereka tidak mampu memberikan data-data lainnya. Dalam tulisan kali ini, saya akan sedikit menunjukkan ketidakkonsistenan model Bumi datar dengan realita dalam aspek geometri atau yang berkaitan dengan geometri.

Gambar 1  Posisi matahari pada saat tengah hari, senja, dan tengah malam bagi pengamat di ekuator berdasarkan model bumi datar. Pada saat tengah malam, Matahari diklaim tidak tampak karena jaraknya jauh, padahal bintang-bintang pada arah yang sama masih dapat diamati.

Mula-mula, kita gambarkan model alam semesta Bumi datar seperti pada Gambar 1. Karena kita berada di Indonesia, dipilih pengamat terletak di dekat katulistiwa. Jadi, jarak Matahari dari pengamat pada saat tengah hari (pukul 12) ialah sekitar 6.000 km, jarak Matahari pada saat fajar/senja (pukul 06/18) ialah \(\sqrt{6.000^2+(10.000\sqrt{2})^2}=15.400\) km, dan jarak Matahari pada saat tengah malam (pukul 00) ialah \(\sqrt{6.000^2+20.000^2} = 20.900\) km. Jadi, pada saat Matahari baru terbit/menjelang terbenam, jaraknya dari pengamat sekitar 2,6 kali dibandingkan saat tengah hari. Dengan demikian, diameter sudut Matahari yang teramati pada saat tengah hari mestinya 2,6 kali lebih besar dibandingkan saat fajar/senja hari! Apakah penganut paham Bumi datar mengamati bahwa ukuran Matahari berubah sedemikian dramatis setiap hari? Selanjutnya, perhatikan pula Gambar 2. Tampak jelas bahwa bagi pengamat di sekitar katulistiwa, Matahari “terbit” dari arah timur laut, berbelok menuju zenit (titik di langit tepat di atas kepala), dan kemudian berbelok lagi hingga “terbenam” di barat laut. Apakah penganut Bumi datar melihat faktanya seperti itu?

Gambar 2  Pada model Bumi datar, Matahari selalu terbit dari arah timur laut dan terbenam di arah barat laut bagi pengamat di sekitar katulistiwa.

Kekonyolan lain model Bumi datar yang telah umum menjadi guyonan orang-orang bernalar adalah sorotan cahaya Matahari dalam model tersebut tidak wajar serta Matahari semestinya tidak akan pernah terbenam bagi semua pengamat di muka Bumi. Penganut Bumi datar mencoba berkilah dengan menggunakan argumen yang tidak masuk akal, seperti efek atmosfer, elektromagnetisme, dan sebagainya. Jika kita lihat berdasarkan model Bumi datar seperti pada Gambar 1, jelaslah ketinggian Matahari pada pukul 6 dan pukul 18 waktu lokal ialah

$$ a_{06} = a_{18} = \tan^{-1}⁡ \left ( \frac{y}{x} \right ) = \tan^{-1}⁡ \left ( \frac{6.000}{10.000 \sqrt{2}} \right ) = 23^\circ $$

Sedangkan ketinggian Matahari pada saat tengah malam ialah

$$ a_{00} = \tan^{-1}⁡ \left ( \frac{6.000}{20.000} \right ) = 16,7^\circ $$

Jika kita mengamati realitas, jelaslah bahwa pada saat pukul 6 atau pukul 18, ketinggian Matahari dari horizon sekitar 0°, makanya disebut terbit dan terbenam. Apakah penganut Bumi datar melihat ketinggian Matahari sekitar 23° pada saat fajar/senja dan 17° pada saat tengah malam? Lalu mereka mengklaim efek refraksi membuat posisi Matahari yang teramati menjadi berubah. Padahal, indeks bias udara di dekat permukaan Bumi cukup kecil, sekitar 1,0003 (indeks bias vakum tepat bernilai 1), sehingga tidak akan memberikan perubahan yang sedemikian drastis. Dengan menggunakan hukum Snell yang dapat dengan mudah dibuktikan di laboratorium sekolah, pergeseran posisi tampak Matahari dapat dihitung. Pada saat ketinggian Matahari sesungguhnya \(a_0=16,7^\circ\), jarak zenitnya ialah \(\zeta_0 = 90^\circ-16,7^\circ = 73,3^\circ\). Dengan demikian, jarak zenit Matahari yang tampak ialah

$$ \zeta' = \sin^{-1}⁡ \left ( \frac {n_0 \cdot \sin⁡ \zeta_0}{n'} \right ) = \sin^{-1} \left [ \frac {\sin⁡(73,3^\circ)}{1,0003} \right ] = 73,2^\circ $$

Atau \(a'= 90^\circ - \zeta' = 16,8^\circ \). Diperoleh bahwa refraksi semestinya justru membuat ketinggian Matahari menjadi tampak lebih tinggi!

Gambar 3  Perbandingan lintasan Matahari sepanjang hari pada bola langit bagi pengamat di katulistiwa saat ekuinoks berdasarkan model Bumi bola dan Bumi datar. Lingkaran abu-abu merupakan horizon pengamat. Noktah diberikan untuk menandai posisi Matahari pada pukul 06 dan pukul 18 waktu lokal.

Penganut Bumi datar juga mengklaim bahwa meskipun Matahari tetap di atas Bumi pada malam hari, jaraknya yang semakin jauh membuah cahayanya lebih redup sehingga malam akan tampak lebih gelap. Padahal, berdasarkan hukum pancaran, intensitas radiasi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Berdasarkan model Bumi datar di atas, diketahui jarak Matahari saat tengah malam sekitar 3,5 kali dari jaraknya saat tengah hari. Dengan demikian, intensitasnya semestinya berkurang menjadi seperduabelasnya. Kenyataannya, pada saat tengah malam, langit gelap total bila Bulan tidak muncul. Lagipula, bila argumen mereka itu benar, lantas mengapa kita masih dapat melihat bintang saat tengah malam pada posisi Matahari semestinya (arah utara, 17° dari horizon) atau bahkan lebih rendah? Bukankah berdasarkan model mereka, bintang-bintang juga lebih jauh dan redup dibandingkan Matahari?

Gambar 4  Sorotan cahaya Matahari pada model Bumi datar yang tidak realistis.

Model Bumi datar juga menghasilkan distorsi geodesik. Distorsi ini semakin signifikan pada belahan Bumi selatan (ukurannya semakin membesar dibandingkan ukuran sesungguhnya). Sebagai contoh, lebar benua Australiah (timur–barat) ialah sekitar 4.000 km, sedangkan jarak terpendek dari Lisbon (Portugal) ke Naukan (ujung timur Rusia) ialah sekitar 8.200 km. Padahal, pada model Bumi datar, jarak keduanya terlihat hampir sama (lihat Gambar 2).

Satu tambahan lagi, dalam model Bumi datar, setiap pengamat di Bumi, di manapun dia berada, semestinya dapat melihat seluruh rasi bintang dalam rentang satu tahun. Pada kenyataanya, hanya pengamat di ekuator saja yang dapat melihat seluruh rasi bintang. Pengamat di dekat kutub utara maupun selatan hanya dapat mengamati setengah bagian langit yang bersesuaian (belahan langit utara/selatan). Hal ini dikarenakan belahan Bumi selatan berada di balik belahan Bumi utara dan Bumi berotasi dari barat ke timur. Sebagai contoh, pengamat di pulau Jawa tidak akan pernah dapat mengamati bintang Polaris. Demikian pula pengamat di benua Eropa, Amerika Utara, dan sebagian besar Asia tidak akan dapat melihat rasi Crux dan Alpha Centauri terbit di langit. Di era globalisasi dan kemudahan akses komunikasi saat ini, sebenarnya tidaklah sulit bagi penganut Bumi datar untuk bertanya pada rekan mereka di belahan dunia lain untuk membuktikan ketidaksesuaian model Bumi datar dengan realita.

Tentunya masih banyak lagi inkonsistensi model Bumi datar dengan realita, namun saya kira penjelasan di atas sudah cukup untuk tulisan ini. Jika Anda tertarik untuk mendapatkan informasi lebih jauh, silakan kunjungi https://bumidatar.id.

Gambar 5  Rasi bintang Crux (berbentuk seperti salib di tengah gambar), Rigel Kentaurus (α Centauri, bintang paling terang pada gambar), dan Hadar (β Centauri, sebelah kanan atas Rigel Kentaurus) hanya dapat dilihat oleh pengamat pada belahan Bumi selatan dan di sekitar katulistiwa. Bintang-bintang tersebut dijadikan simbol belahan Bumi selatan seperti dalam bendera Australia dan Selandia baru.
Sumber: http://cs.astronomy.com/asy/m/starclusters/490720.aspx


Selengkapnya...

Sabtu, 09 Juni 2018

Kekedapan Optik: Mengapa Kaca Transparan?

Barangkali Anda pernah bertanya-tanya, mengapa sebagian benda transparan dan sebagian lainnya tidak. Suatu benda tampak transparan bila benda itu meneruskan sebagian besar radiasi yang diterimanya. Sebaliknya, benda disebut keruh atau kedap cahaya bila menyerap sebagian besar, kalau tidak semua, cahaya yang diterimanya. Tentunya sangat mudah mengamati bahwa semakin tebal suatu benda/medium maka semakin sedikit pula cahaya yang diteruskannya. Namun, jelas ada sifat intrinsik material terkait masalah tranparansi atau kekedapan; berbagai macam material dengan ketebalan yang sama dapat memiliki kekedapan optis yang berbeda-beda. Balok kaca setebal 10 cm bahkan jauh lebih transparan daripada kertas setebal 0,1 mm. Apakah ini semata-mata dipengaruhi oleh kerapatan molekul material? Tapi kaca jelas memiliki kerapatan massa lebih besar daripada kayu. Marmer dan berlian juga memiliki kerapatan lebih besar daripada aluminium. Jadi, mekanisme apa yang menyebabkan sebagian material lebih transparan dibandingkan sebagian lainnya? Mari kita bahas perlahan-lahan.

Kristal quartz.
Sumber: http://crystalhealingindonesia.com/index.php?route=pavblog/blog&id=28

Pelemahan Intensitas

Jika suatu radiasi merambat dalam medium, partikel dalam medium dapat menyerap atau menghamburkan radiasi tadi. Akibatnya, intensitas radiasi semakin melemah seiring panjang lintasan yang ditempuh dalam medium. Patut diingat bahwa pelemahan intensitas ini berbeda dari efek pemancaran divergen; berkas radiasi paralel pun akan terlemahkan bila merambat dalam medium. Fenomena pelemahan semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada radiasi, namun juga pada sembarang gelombang atau rambatan energi. Dengan menamakan \(I_0\) adalah intensitas sumber (sebelum melewati medium) dan \(I(s)\) intensitas yang diteruskan pada jarak \(s\), pelemahan intensitas secara umum dapat dinyatakan dalam fungsi eksponensial menurun,

\begin{align} I(s)=I_0 e^{-\tau(s)}=I_0 e^{-s/l}=I_0 e^{-Ks} \label{I} \end{align}

Dengan \(s\) adalah jarak tempuh dalam medium, \(\tau\) adalah ketebalan optis (optical depth) medium pada arah perambatan, \(l\) adalah mean free path foton (jarak rata-rata yang ditempuh foton sebelum berinteraksi dengan partikel dalam material), dan \(K=1/l\) adalah koefisien pelemahan (extinction coefficien atau attenuation coefficient, sering pula disimbolkan dengan \(α\), \(A\) atau \(\mu\)).

Semakin kecil mean free path foton (semakin besar koefisien pelemahan) dibandingkan dengan jarak tempuh, semakin sedikit foton yang dapat menembus medium sehingga medium akan nampak kedap cahaya (opaque). Sebaliknya, semakin besar mean free path foton dibandingkan jarak tempuh maka medium akan tampak semakin transparan.

Bila cahaya merambat melalui medium, sebagian foton berinteraksi dengan partikel dalam medium (diserap atau dihamburkan). Hal ini menyebabkan intensitas cahaya berkurang seiring jarak tempuh radiasi, s.

Besarnya koefisien pelemahan bergantung terhadap jenis medium (komposisi kimia), temperatur, dan kerapatan medium perambatan. Semakin rapat molekul-molekul medium, semakin sering pula foton berinteraksi dengan medium sehingga koefisien pelemahannya pun semakin besar. Rasio antara koefisien pelemahan dengan kerapatan massa material/medium disebut kekedapan (opacity). Untuk material dengan kerapatan massa seragam, \(\rho\) dapat dituliskan

\begin{align} \kappa = \frac{K}{\rho} = \frac{1}{\rho l} \label{kappa} \end{align}

Dengan demikian, persamaan (\ref{I}) dapat pula ditulis sebagai,

\begin{align} I(s) = I_0 e^{-\kappa \rho s} \label{I2} \end{align}

Umumnya, intensitas radiasi pada tiap panjang gelombang tidak seragam (seperti halnya spektrum pancaran benda hitam). Besarnya mean free path foton atau koefisien pelemahan dalam suatu material juga berbeda-beda untuk tiap panjang gelombang. Oleh karena itu, besarnya pelemahan dapat dihitung secara spesifik berdasarkan panjang gelombang atau frekuensi cahaya. Bila kerapatan dan kekedapan medium juga tidak seragam, besar intensitas spesifik untuk panjang gelombang \(\lambda\) yang diteruskan pada jarak \(s\) dapat ditulis secara umum sebagai,

\begin{align} I_\lambda(s) = I_{\lambda 0} e^{-\int K_\lambda ds} = I_{\lambda 0} e^{-\int \kappa_\lambda \rho ds} \label{I3} \end{align}

dengan \(K_\lambda\) dan \(\kappa_\lambda\) masing-masing adalah koefisien pelemahan dan kekedapan spesifik pada panjang gelombang \(\lambda\). Nilai \(\kappa_\lambda\) (atau \(\kappa\) secara umum) ini bergantung pada jenis material dan nilainya dipengaruhi oleh satu atau beberapa mekanisme yang akan dijelaskan kemudian.


Sumber Penyerapan

Sebelumnya telah disebutkan tidak semua foton yang merambat melalui material diteruskan melalui elemen jarak tertentu. Sebagian foton-foton dengan panjang gelombang tertentu itu diserap atau dihamburkan oleh atom dalam materi, yang mana dapat dinyatakan dalam kekedapan, \(\kappa_\lambda\). Penyerapan dan hamburan foton itu dapat diklasifikasikan setidaknya dalam empat kategori, yaitu:

  1. Penyerapan terikat-terikat (bound-bound adsorbtion)
    Yang dimaksud penyerapan terikat-terikat adalah penyerapan foton dalam proses eksitasi elektron. Mekanisme ini dinamakan demikian karena elektron yang menyerap foton hanya berpindah ke tingkat energi yang lebih tinggi namun tetap terikat oleh inti. Koefisien kekedapan penyerapan terikat-terikat sangat bervariasi, bergantung pada keadaan eksitasi yang terjadi. Penyerapan terikat-terikat signifikan pada suhu \(T \leq 10^6\) K.
  2. Penyerapan terikat-lepas (bound-free adsorbtion)
    Yang dimaksud penyerapan terikat-lepas adalah penyerapan foton dalam proses ionisasi. Mekanisme ini dinamakan demikian karena elektron yang menyerap foton terlepas dari tarikan inti atom. Penyerapan terikat-lepas memiliki profil kekedapan \(\bar{\kappa} \propto \rho T^{-7/2}\).
  3. Penyerapan lepas-lepas (free-free adsorbtion)
    Yang termasuk dalam penyebaran lepas-lepas antara lain adalah efek Compton, bremm-strahlung, atau synchrotron. Elektron bebas tidak dapat menyerap foton dalam keadaan bebas karena hal itu melanggar kekekalan energi dan momentum. Namun, jika elektron berada dalam pengaruh medan listrik (semisal dari ion di dekatnya), penyerapan dapat terjadi akibat pasangan elektromagnetik antara elektron dan ion.
  4. Hamburan (scattering)
    Terdapat dua macam mekanisme hamburan yang berperan dalam kekedapan material yaitu hamburan Thomson dan Rayleigh. Gelombang elektromagnetik yang merambat di dekat partikel bermuatan akan dibelokkan ke arah lain. Fenomena hamburan merupakan penyebab dominan pelemahan intensitas pada medium gas.

Penyerapan Terikat-terikat

Sifat transparansi/kekedapan material yang diamati dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar dipengaruhi oleh penyerapan terikat-terikat dalam daerah visual spektrum elektromagnetik. Dalam proses eksitasi elektron, elektron hanya dapat menyerap foton dengan energi yang tepat sama dengan selisih energi keadaan foton mula-mula dengan keadaan-keadaan energi yang lebih tinggi yang dibolehkan. Perbedaan tingkat energi ini disebut energy gap. Untuk tinjauan suatu atom yang terisolir, eksitasi elektron dari kulit \(n_0\) ke kulit \(n' \gt n_0\), diperlukan energi sebesar

\begin{align} \Delta E = E_{n'}-E_{n_0} = -\frac{e^2 Z^2}{8\pi\epsilon_0 a_0} \left( \frac{1}{n'^2} - \frac{1}{n_0^2} \right) \label{E} \end{align}

dengan \(e\) muatan elementer, \(Z\) nomor atom, \(\epsilon_0\) emitivitas vakum, dan \(a_0\) radius Bohr. Dalam kasus material yang tersusun atas molekul dan campuran, perhitungannya menjadi lebih kompleks. Namun mekanisme yang terjadi pada dasarnya sama. Berdasarkan teori kuantum cahaya, energi foton berkaitan secara langsung dengan frekuensi (\(\nu\)) atau panjang gelombang (\(\lambda\)) radiasinya,

\begin{align} \epsilon = h \nu = \frac{hc}{\lambda} \label{epsilon} \end{align}

dengan \(h\) tetapan Planck. Jika panjang gelombang gelombang cahaya sesuai dengan salah satu energy gap material, sebagian fotonnya dapat diserap. Semakin banyak foton yang diserap (terkait dengan kerapatan dan ketebalan material), material itu akan semakin kedap cahaya pada panjang gelombang terkait. Adapun foton dengan energi lebih rendah daripada energy gap terendah (\(\epsilon \lt E_{\mathrm{min}}\)) praktis tak dapat diserap. Dengan demikian, radiasi pada panjang gelombang terkait diteruskan saja melewati material (kecuali mengalami mekanisme hamburan). Semakin banyak radiasi dalam daerah visual yang dilewatkan oleh material maka material itu akan nampak semakin transparan. Dari syarat di atas, jelaslah bahwa radiasi dengan energi yang sangat rendah (panjang gelombangnya sangat besar) maupun sangat tinggi (panjang gelombangnya sangat pendek) memiliki kemungkinan diserap lebih kecil dalam penyerapan terikat–terikat.

Sebagian material yang kita kenal tidak sepenuhnya kedap cahaya dan tidak sepenuhnya transparan. Hal ini dikarenakan tidak semua cahaya diserap oleh material meskipun panjang gelombangnya dapat diserap. Berdasarkan persamaan (\ref{I}), semakin besar nilai \(I_0\) dan semakin kecil nilai \(s\) maka semakin banyak intensitas yang diteruskan. Dengan memperbesar intensitas sumber, benda yang sangat keruh sekalipun dapat saja melewatkan sedikit cahaya. Misalnya bila Anda menempelkan cahaya flash kamera pada telapak tangan Anda, sebagian cahaya dapat diteruskan pada permukaan di baliknya. Demikian pula, semakin tipis suatu material maka material itu akan tampak semakin transparan.

Pada sebagian material seperti kaca murni, energy gap terendahnya sangat tinggi, lebih tinggi daripada cahaya ungu. Oleh karena itu, nyaris semua cahaya pada daerah visual diteruskan. Kaca murni juga tidak banyak menghamburkan radiasi dalam daerah visual (proporsi yang dihamburkan juga nyaris seragam ). Tentunya, kaca dapat ditambahkan dengan suatu pengotor dalam proses pembuatannya untuk menghasilkan kaca berwarna. Pengotor ini berperan menghamburkan radiasi pada panjang gelombang tertentu (warna yang diinginkan) dan melewatkan/menyerap radiasi pada panjang gelombang lainnya.


Selengkapnya...

Senin, 14 Mei 2018

Unduh Soal dan Solusi Resmi Olimpiade Astronomi

Olimpiade Sains Nasional 2018 tidak lama lagi digelar. Bagi yang tengah belajar mempersiapkan diri untuk OSN Astronomi, berikut saya kumpulkan soal-soal dan solusi dari olimpiade tahun-tahun sebelumnya (OSK, OSP, dan OSN). Anda bisa mengunduhnya di halaman ini. Solusi yang termuat dalam arsip adalah solusi resmi dari penyelenggara OSN. Di dalamnya termasuk solusi dari soal pengolahan/analisis data yang mana tidak banyak ditemui. Oke, silakan mengunduh dan selamat belajar.

Selengkapnya...

Jumat, 02 Februari 2018

Pengamatan Gerhana Bulan 31 Januari 2018

Pada tanggal 31 Januari hingga 1 Februari 2018 kemarin, Komunitas Bawah Pohon bersama Himpunan Mahasiswa Fisika FMIPA UNHAS kembali melaksanakan observasi umum gerhana Bulan. Kegiatan ini dilangsungkan di pelataran gedung IPTEKS kampus Tamalanrea UNHAS. Cuaca cerah nyaris sepanjang pengamatan sehingga acara dapat berlangsung dengan lancar.

Kontak gerhana ialah sebagai berikut:

kontakwaktu (WITA)altitude
P118:5107°27'
P219:5020°49'
U119:4820°25'
U220:5134°31'
Maks.21:2942°44'
U322:0750°33'
U423:1161°50'
P323:0560°55'
P400:0864°21'

Kegiatan ini juga dipadukan dengan pengenalan peta bintang dan presentasi mengenai Flat Earth (mungkin lain kali akan saya posting materinya). Kali ini saya tidak sempat mengambil banyak foto dokumentasi dan belum sempat meminta kepada fotografernya. Meski demikian, kami memperoleh hasil pencitraan yang cukup baik.

Peserta kegiatan.

Peserta kegiatan memperhatikan penjelasan mengenai penggunaan peta bintang.

Peserta kegiatan.

Teleskop pencitraan.

Bulan tepat sebelum memasuki P1. Cuaca sedikit berawan di dekat horizon bagian timur.

Barisan citra gerhana. Beberapa gambar kurang optimal karena diambil oleh operator amatir dan instrumen yang ala kadarnya.

Selengkapnya...

Jumat, 12 Januari 2018

Kesetimbangan Hirostatik dan Teorema Virial

Benda langit seperti bintang berbentuk bola karena gravitasi menarik molekul-molekul penyusunnya ke arah pusat massanya dengan gaya yang sama di segala arah (isotropik). Lapisan bintang yang lebih bawah menanggung berat dari lapisan di atasnya sehingga tekanan hidrostatik semakin membesar ke arah pusat. Gradien tekanan ini menciptakan suatu gaya dorong dari tekanan tinggi ke tekanan rendah (ke arah luar) untuk melawan tarikan gravitasi. Jika gaya gravitasi dan gradien tekanan ini setara, benda tidak lagi mengerut (atau mengembang). Dalam kondisi ini, benda itu disebut berada dalam kesetimbangan hidrostatik.

Untuk menelusuri lebih jauh kesetimbangan hidrostatik, mula-mula bayangkan bintang dengan radius \(R\) dan massa total \(\mathcal{M}\) yang mana tersusun atas \(\mathcal{N}\) partikel bermassa \(m\). Untuk menganalisa keadaan bintang, kita bagi interior bintang dalam sejumlah lapisan dengan ketebalan seragam yang sangat kecil, \(dr\). Tiap lapisan ini kita sebut elemen volume yang masing-masing memiliki kuantitas seperti massa, suhu, tekanan, dan kerapatannya masing-masing. Selanjutnya, tinjau persamaan aliran Euler.

\begin{align} \rho \left [\frac{\partial \mathbf{v}}{\partial t}+(\nabla\bullet\mathbf{v})\mathbf{v} \right ] = -\nabla P + \rho \mathbf{g} \label{NS} \end{align}

dengan \(\nabla\) adalah operator nabla.

Persamaan Euler tidak lain adalah reduksi persamaan Navier-Stokes untuk kasus fluida ideal. Nampak bahwa dimensi kedua ruas persamaan (\ref{NS}) berdimensi gaya per volume. Seperti yang telah disebutkan di atas, kesetimbangan hidrostatik tercapai ketika gaya netto sama dengan nol. Menerapkan syarat ini ke persamaan (\ref{NS}), didapatkan

\begin{align} \nabla P = \rho \mathbf{g} \label{SH} \end{align}

Karena bintang memenuhi simetri bola (tidak bergantung terhadap sudut azimuth maupun polar), persamaan (\ref{SH}) dapat kita tulis dalam koordinat bola.

\begin{align} \frac{1}{\rho} \frac{dP}{dr} = -\frac{GM}{r^2} \label{SH2} \end{align}

dengan \(M = M(r)\) adalah fungsi massa, yaitu massa yang tercakup dari pusat hingga radius \(r\). Massa tiap lapisan kulit bola tentunya memenuhi,

\begin{align} dM = 4 \pi \rho r^2 dr \label{dM} \end{align}

sehingga

\begin{align} \frac{dP}{dM} = -\frac{GM}{4 \pi r^4} \label{SHp1} \end{align}

Mengintegralkan kedua ruas persamaan (\ref{SHp1}) dari pusat (\(r=0\)) hingga permukaan (\(r=R\)).

\begin{align} \int_{P_c}^{P_s} 4\pi r^3 P = -\int_{0}^{M_s} \frac{GM}{r} dM \label{SHp2} \end{align}

Dengan indeks “\(c\)” menyatakan nilai pada pusat (center) dan indeks “\(s\)” menyatakan nilai pada/hingga permukaan (surface, \(r=R\)). Perhatikan bahwa \(\frac{4\pi r^3}{3}=V(r)\) dan ruas kanan tidak lain ialah energi ikat gravitasi, \(U_g\) sebagaimana dibahas di sini. Dengan demikian, persamaan (\ref{SHp2}) dapat ditulis ulang sabagai,

\begin{align} 3\int_{P_c}^{P_s} V \: dP = U_g \label{p1} \end{align}

Melakukan integral parsial pada ruas kiri persamaan (\ref{p1}),

\begin{align} \int_{P_c}^{P_s} V \: dP = [VP]_{c}^{s} - \int_{0}^{V_s} P \: dV \label{p2} \end{align}

Memperhatikan bahwa pada pusat bintang, volume yang tercakup adalah nol sedangkan pada permukaan tekanan internal bernilai nol, praktis suku pertama ruas kanan persamaan (\ref{p2}) lenyap. Dengan demikian, persaman (\ref{p1}) menjadi

\begin{align} \int_{0}^{V_s} P \: dV = -\frac{1}{3} U_g \label{p3} \end{align}

Pada gas ideal, berlaku \(P=\frac{\rho kT}{m}\). Seringkali, massa partikel gas (rata-rata) dinyatakan dalam \(m=\mu m_\mathrm{u}\) dengan \(\mu\) massa partikel relatif (rata-rata) dan \(m_\mathrm{u}\) satuan massa atom. Penyulihan nilai \(P\) ke dalam ruas kiri persamaan (\ref{p3}) memberikan,

\begin{align} \int_{0}^{V_s} P \: dV = \int_{0}^{V_s} \frac{\rho kT}{m} \: dV \label{p4} \end{align}

Mengingat \(n=\frac{dN}{dV}\), \(m=\frac{M}{N}=\frac{\rho}{n}\), serta energi internal gas (total energi kinetik partikel penyusun gas) \(U_{\mathrm{in}}=\frac{3}{2} \mathcal{N} kT\), diperoleh

\begin{align} \int_{0}^{V_s} P \: dV &= \int_{0}^{\mathcal{N}} \frac{\rho kT}{nm} \: dN = \mathcal{N} kT \nonumber \\
&= \frac{2}{3} U_{\mathrm{in}} \label{p5} \end{align}

Menyulihkan persamaan (\ref{p5}) ke dalam (\ref{p3}), akhirnya diperoleh relasi antara energi internal dan energi potensial gravitasi pada gas dalam kestimbangan hidrostatik,

\begin{align} U_{\mathrm{in}} = -\frac{1}{2} U_g \label{TV} \end{align}

Jalinan (\ref{TV}) dikenal sebagai teorema virial. Jika sistem memenuhi persamaan (\ref{TV}) maka sistem berada dalam kesetimbangan hidrostatik. Bila energi internal sistem lebih besar dari nilai kesetimbangan di atas, sistem akan mengembang karena tekanan termalnya mengalahkan tarikan gravitasi. Sebaliknya, bila energi internalnya lebih kecil dari setengah energi potensial gravitasinya, gas akan mengalami pengerutan lebih lanjut. Tentunya, bila gas mengerut, energi kinetik partikel-partikel penyusunnya akan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur. Energi internal sistem pun meningkat hingga mencapai kesetimbangan hidrostatik.


Selengkapnya...

Sabtu, 06 Januari 2018

Energi Ikat Gravitasional Sistem Partikel

Berdasarkan hukum gravitasi Newton, telah diketahui energi potensial antara dua partikel yang bermassa \(m_1\) dan \(m_2\) yang terpisah pada jarak \(r\) memenuhi,

\begin{align} U = -\frac{G m_1 m_2}{r} \label{U0} \end{align}

Pada artikel ini akan dibahas energi potensial yang mengikat kumpulan partikel masif identik yang tersebar dalam distribusi bola berjejari \(R\). Misalkan kumpulan \(\mathcal{N}\) partikel sejenis bermassa \(m\) yang membentuk suatu distribusi dengan massa total \(\mathcal{M} = \mathcal{N} m\), maka total energi potansial antarpartikel disebut energi potensial internal atau energi ikat gravitasional.

\begin{align} U = -\frac{1}{2}\sum_{i=1}^{\mathcal{N}}\sum_{j=1, j \neq i}^{\mathcal{N}} \frac{G m_i m_j}{r_{ij}} \label{U2} \end{align}

Karena gravitasi bekerja sebagai gaya sentral, sistem partikel itu mestilah memenuhi simetri bola sehingga kerapatan massanya dapat diberikan dalam bentuk \(\rho=\rho(r)\). Dengan demikian, dipenuhi fungsi massa (massa yang terdistribusi dari pusat hingga radius \(r\)):

\begin{align} dM = \rho(r) dV = 4 \pi \rho(r) r^2 dr \label{dM} \end{align}

dengan syarat batas \(M(0)=0\) dan \(M(R)=\mathcal{M}\).

Selanjutnya, dapat kita hitung energi potensial untuk tiap elemen kulit berjejari \(r\) dengan massa yang tercakup di bawahnya (interior); yang mana berdasarkan hukum gravitasi Newton dapat dianggap sebagai titik pada pusat bola dengan massa yang sama. Berdasarkan shell theorem, interaksi antara elemen massa dengan distribusi massa di atasnya diabaikan karena saling meniadakan. Dengan teorema itu, sajian (\ref{U2}) dapat ditulis ke dalam bentuk integral

\begin{align} dU_i = -\frac{GM_i(r)}{r_i} dM_i \label{U3} \end{align}

Dengan demikian, energi ikat gravitasional distribusi tadi adalah jumlahan energi potensial elemen massa kulit bola dari \(r=0\) hingga \(r=R\).

\begin{align} U &= -\int_{0}^{\mathcal{M}} \frac{GM(r)}{r} dM \label{U4} \\
& = -\int_{0}^{R} 4 \pi GM(r) \rho(r) r \: dr \label{U4b} \end{align}

Jika fungsi kerapatan objek diketahui maka energi ikat gravitasionalnya dapat dihitung dengan menyelesaikan \(M(r)\) persamaan (\ref{dM}) dan menyulihkannya ke dalam persamaan (\ref{U4b}). Sebagai contoh, kita akan menyelesaikan persamaan (\ref{U4b}) untuk kasus \(\rho=\mathrm{konstan}\). Dengan mengintegralkan persamaan (\ref{dM}), diperoleh fungsi massa

\begin{align} M(r) = \frac{4}{3}\pi \rho r^3 \label{M1} \end{align}

Dengan massa total sistem ialah

\begin{align} \mathcal{M} = \frac{4}{3}\pi \rho R^3 \label{M2} \end{align}

Menyulihkan fungsi massa (\ref{M1}) ke dalam persamaan (\ref{U4b}), didapatkan,

\begin{align} U &= -\int_{0}^{R} 4 \pi G \left ( \frac{4}{3}\pi \rho r^3 \right ) \rho r \: dr \nonumber\\
&= -\int_{0}^{R} \frac{16 \pi^2 G \rho^2 r^4}{3} \: dr \nonumber \\
&= -\frac{16 \pi^2 G \rho^2 R^5}{15} \: dr \label{U5} \end{align}

Selanjutnya, dengan menyulihkan balik nilai \(\mathcal{M}\) pada persamaan (\ref{M2}) ke dalam persamaan (\ref{U5}), didapatkan

\begin{align} U = -\frac{3 G \mathcal{M}^2}{5R} \label{U6} \end{align}
Selengkapnya...

Sabtu, 17 Juni 2017

Rangkuman Materi Astronomi

Rangkuman materi astronomi yang mencakup mekanika, radiasi dan fotometri, tata koordinat, fisika bintang, Tata Surya, dan kosmologi. Isinya sangat ringkas, tapi lumayan untuk dijadikan quick access. Bagi yang berminat, silakan di unduh di sini

Selengkapnya...

Kamis, 25 Mei 2017

Plot Diagram HR Gugus M3 dari Data SDSS

Sloan Digital Sky Survei (SDSS) adalah survei citra dan fotometri yang dimulai sejak 1998. SDSS menggunakan teleskop optik 2,5 meter di Apache Point Observatory di New Mexico, Amerika Serikat. Proyek SDSS ini ada beberapa seri, dari seri I hingga IV. SDSS seri IV dimulai sejak 2014 hingga 2020. Rilis data terbaru dari SDSS IV adalah rilis ke-13.

Data dari SDSS dapat digunakan secara gratis untuk kepentingan non-komersil. Kita dapat memperoleh berbagai data fotometri bintang, galaksi, dan quasar. Sayangnya, karena proyek ini hanya survei pencitraan (bukan, bukan dalam artian yang satunya), sejauh ini tidak ada parameter dinamik (paralaks, proper motion, dsb) yang diberikan. Begitu pula objek yang terletak di piringan galaksi tidak direkam oleh SDSS.

Proyek kita kali ini ialah memplot diagram HR dari gugus bola M3 (NGC 5272). Berdasarkan data dari Wikipedia, M3 merupakan gugus bola yang berjarak \(d=10.400\) parsek dan berpusat pada asensiorekta \(RA = 13^h 42^m 11,62^s = 205^{\circ},548\), deklinasi \(DE = +28{\circ} 22' 38'',2 = 28^{\circ}.377\) serta diameter sudut \(D = 18' = 0^{\circ},3\). Dengan demikian, kita akan mencari data bintang yang terletak pada bidang langit dengan batas:

$$ 205^{\circ},548 - \frac{0^{\circ},15}{\cos⁡ 28^{\circ},377} \leq RA \leq 205^{\circ},548 + \frac{0^{\circ},15}{\cos⁡ 28^{\circ},377} $$ $$ 28^{\circ},377 - 0^{\circ},15 \leq DE \leq 28^{\circ},377 + 0^{\circ},15 $$

Suku cosinus pada selang \(RA\) muncul karena perbedaan panjang lokal garis lintang pada lintang yang berbeda (ingat elemen permukaan bola). Hasilnya memberikan bidang langit target dengan batas maksimal:

\begin{align} 205^{\circ},378 \leq RA \leq 205^{\circ},718 \label{RA} \\
28^{\circ},227 \leq DE \leq 28^{\circ},527 \label{DE} \end{align}

Pertama-tama, kita cek citra M3 di sini. Anda dapat melihat citra langit pada bidang tertentu, cukup masukkan nilai koordinatnya. Karena kita mencari M3, cukup tuliskan M3 pada kotak “name” lalu klik <resolve>. Secara otomatis Anda akan mendapatkan koordinat M3. Anda dapat memperbesar medan pandang citra serta mencetak hasilnya dalam pewarnaan negatif.

Citra M3 dari SDSS.

Pekerjaan selanjutnya, kita akan mencari data bintang-bintang yang terletak pada bidang target. Pertama-tama, kita masuk ke laman pencarian di situs SDSS di sini. Pencarian data pada situs SDSS berbasis SQL. Karena saya jarang memperhatikan dosen saat kelas komputasi dulu, dan apa yang sempat masuk juga sudah dilupa, saya terhenti sejenak di sini. Untungnya, situs SDSS memberikan bantuan yang sangat lengkap, bahkan hingga form dan contoh SQL-nya juga tersedia. Di bawah ini adalah contoh syntax untuk memperoleh data objek yang diinginkan. Salin saja ke kotak syntax, pilih format keluaran data, lalu klik <submit>.

Argumen setelah tanda ”--” hanya berupa komentar/keterangan. “Select TOP 1000” berarti kita akan mencari N = 1000 objek teratas pada bidang target dengan spesifikasi objek yang kita inginkan. Kemudian, kita membatasi objek berupa bintang (“FROM Star”) yang spesifikasinya kita namakan kelas “s”. Selanjutnya, deklarasikan parameter yang ingin ditampilkan “s.objID” berarti identitas objek, “ra” berarti asensiorekta objek, “dec” deklinasi objek, “psfmag_g” dan “psfmag_r” adalah magnitudo semu (point spread function) pada spektrum g dan r. Patut diingat bahwa SDSS menggunakan sistem fotomeri unik, yakni ugriz, bukan sistem Johnson (UBV).

Sesudah itu, kita memberi batasan objek pada daerah tertentu, yang kita namakan kelas “n”. “dbo.fGetNearbyObjEq(205.548,28.377,10)” menyatakan objek terdekat dari titik pusat \(RA = 205^{\circ},548\), \(DE = 28^{\circ},377\) dan dalam cakupan radius sudut \(R = 9’\) (perhatikan bahwa \(RA\) dan \(DE\) dalam derajat sedangkan \(R\) dalam menit busur). Nah, objek yang kita inginkan adalah objek yang termuat dalam kelas “s” DAN “n”.

Terakhir (opsional), “ORDER BY dec” meminta data bintang diurutkan berdasarkan nilai deklinasinya. Anda bisa juga mengurutkannya berdasarkan parameter lain. Jika Anda ingin memberikan spesifikasi lebih lanjut, silakan gunakan fitur Search Form, generate syntax-nya, lalu submit.

Saya ingin menggunakan MATLAB untuk mengolah data dari SDSS. Oleh karenanya, saya memilih keluaran dengan format *.CSV (untuk selanjutnya disimpan dalam format *.txt). Tentu, Anda juga bisa menggunakan MS Excel. Selanjutnya tekan <submit> dan lihat datanya. Jika hingga N objek, deklinasi bintang terakhir masih jauh dari nilai batas (misal bila objek di bidang target sangat padat), sebaiknya kita meningkatkan nilai N agar data kita lebih representatif (tidak hanya memuat bintang-bintang di sekitar pusat gugus saja). Sebaliknya, jika jumlah objek pada bidang target memang sedikit, bisa jadi kita mendapatkan jumlah data kurang dari N. Oke, setelah menyalin data ke dalam format *.txt, menghapus baris judul dan mengganti (replace) pemisah “,” menjadi spasi, maka format data bisa langsung diproses dengan MATLAB. Kolom pertama adalah nomor ID, kolom kedua \(RA\), kolom ketiga \(DE\), kolom keempat magnitudo \(g\), dan kolom kelima magnitudo \(r\).

Sekarang waktunya pengolahan data. Pertama-tama, kita cari terlebih dahulu magnitudo bintang dalam sistem UBV. Berdasarkan artikel Wikipedia berikut ini, panjang gelombang untuk tiap magnitudo spesifik dalam sistem UBV dan ugriz diberikan dalam tabel berikut.

Sloan, SDSSu' = 354 nmg' = 475 nmr' = 622 nmi' = 763 nmz' = 905 nm
Johnson – CousinsU = 364 nmB = 442 nmV = 540 nmRc = 647 nmIc = 786.5 nm

Dari data di atas, tentu kita bisa menemukan semua jalinan antara dua magnitudo spesifik menggunakan formulasi Planck. Tentunya, karena formulasi Planck adalah untuk benda hitam, dibutuhkan sedikit koreksi agar diperoleh jalinan yang akurat. Jika Anda tak ingin repot-repot menurunkannya, Anda bisa mencontek hasilnya di laman ini.

Dari sumber di atas, diperoleh jalinan:

\begin{align} V &= g-0.59(g-r)-0.01 \label{V} \\
B &= g+ 0.39(g-r)+0.21 \label{B} \\
B-V &= 0.98(g-r)+0.22 \label{B-V} \end{align}

Untuk menghitung magnitudo mutlak visual (sumbu tegak diagram HR), kita dapat menggunakan rumus modulus jarak.

\begin{align} M_V = 5+V-5 \log⁡ d \label{MV} \\
\end{align}

Luminositas bintang pun dapat diukur dengan menggunakan formulasi Pogson dengan Matahari sebagai pembanding.

\begin{align} \frac{L}{L_\odot} = 10^{2,5(4.83 - M_V)} \label{L} \end{align}

Dengan \(L_\odot = 3,86 \cdot 10^{26} \text{ W}\) adalah luminositas Matahari dan 4,83 adalah magnitudo mutlak visual Matahari. Bintang-bintang dalam satu gugus tentunya saling berdekatan, sehingga jaraknya masing-masing ke Bumi dapat dianggap sama. Dengan demikian, magnitudo semu bintang sudah dapat merepresentasikan terang bintang yang sebenarnya. Oleh karena itu, plot gugus bintang dalam diagram HR bisa juga menggunakan \(V\).

Selanjutnya, untuk sumbu mendatar diagram HR, kita dapat menggunakan indeks warna \((B-V)\) yang telah diperoleh sebelumnya. Namun, jika ingin mendapatkan temperatur efektif bintang, kita dapat menggunakan rumus pendekatan

\begin{align} T _{eff} \approx \frac{7090}{((B-V)+0.71)} \label{T} \end{align}

Sekarang lengkaplah sudah, kita dapat mulai memplot diagram HR dari gugus M3. Berikut ini script MATLAB yang saya gunakan.

M3.txt adalah berkas berisi data yang diperoleh dari SDSS sebelumnya. “set(gca,'Ydir','reverse')” digunakan untuk membalik sumbu tegak (ingat, \(V\) makin kecil ke atas). Hasil plotnya ialah sebagai berikut:

Diagram HR gugus bola M3.

Selanjutnya, kita dapat mengidentifikasi fitur-fitur utama dari diagrah HR M3 seperti deret utama, titik belok M3, bintang blue stragler, horizontal branch, bintang raksasa, dan daerah RR-Lyra.


Selengkapnya...

Selasa, 15 November 2016

Revisi Pengantar Kosmologi

Pengantar Teori Relativitas Umum dan Kosmologi revisi 2.0. Disertai penambahan materi pengantar relativitas umum secara signifikan. Total 273 halaman (5,64 MB). Atas saran beberapa pembaca, berkas saya unggah melalui Google Drive. Silakan dicek di sini.
Selengkapnya...

Kamis, 17 Maret 2016

Gerhana Matahari Sebagian 9 Maret 2016

Observasi gerhana matahari sebagian, Pelataran IPTEKS Universitas Hasanuddin, 06.00 - 10.15 WITa. Observasi ini merupakan observasi bersama antara Komunitas Bawah Pohon dan KSF Kuantum Himpunan Mahasiswa Fisika UNHAS, Mahasiswa Pemerhati Nobel Sains Unhas, serta Astronom Amatir Makassar. Admin sendiri tergabung dalam Komunitas Bawah Pohon yang dalam observasi ini bekerja sama dengan KSF Kuantum. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih atas kerja keras teman-teman di KSF Kuantum dalam menyusun dan mempersiapkan acara sehingga kami bisa bekerja lebih optimal dalam teknis observasi.
Di Makassar, gerhana Matahari 9 Mei 2016 hanya nampak sebagai gerhana Matahari sebagian (puncak 88,57 %). Rincian kontak gerhana matahari ini ialah sebagai berikut:

kontak
waktu (WITA)
1
07.27
3
08.35
2
08.39
4
09.57


Berikut beberapa citra mentah yang diperoleh dengan instrumen apa adanya (refraktor 900/70 mm, eyepiece 20 mm, filter Mylar, kamera Samsung Ace 2).

Citra mentah gerhana Matahari.
Citra mentah gerhana Matahari.
Menjelang akhir gerhana (09.43), terlihat dua sunspot pada fotosfer Matahari.

Dan ini barisan gambar proses gerhana setelah memperbaiki kontras, kecerlangan, dan menggeser puncak warna (jeda tiap gambar sekitar 10 menit).
Barisan gambar gerhana Matahari (awal gerhana terpotong karena kendala alamiah dan faktor teknis)

Observasi bersama ini dihadiri ribuan peserta, dari anak sekolah (SD, SMP, SMA), mahasiswa, dosen, hingga masyarakat umum. Kegiatan meliputi presentasi materi mengenai gerhana Matahari, pembuatan kamera lubang jarum, ceramah dan shalat gerhana berjamaah, pengamatan gerhana matahari, dan permainan untuk anak-anak. Dari tim kami menyediakan dua refraktor 70 mm (satu milik UIN), refraktor 50 mm, sebuah proyektor surya, dan kacamata gerhana. Rangkaian kegiatan berlangsung dengan baik dan memuaskan. Berikut ini sejumlah hasil dokumentasi kegiatan:
Awan menggumpal di pagi hari menjelang observasi.
Menunggu gerhana...
Koordinator tim, Nur Hidayat seolah-olah memberi pengarahan pada operator (Aldytia, Syahrul).

Menyaksikan gerhana pada layar.
Operator Banyal nampak grogi ketika diwawancarai media.
Ada masalah kah?
Operator Banyal in action.
Live streaming gerhana matahari total dari Poso oleh tim MPN Sains. 
Siswa SMPN Cokroaminoto
Gerhana lewat refleksi ganda lensa kamera.
Operator Aldy memberikan keterangan mengenai kasus Mirna kerja teleskop.
Operator Uwais, capek ya?.
Operator Aldytia memberikan kesempatan peserta memotret tangkapan kamera yang terpasang pada teleskop, sekaligus memberikan kesempatan baginya untuk melirik peserta.
Tim AAM.
Tim AAM.
Ramai bah!
Foto narsis operator dan teman-teman.
Foto narsis dengan latar belakang proyeksi citra gerhana.
Koordinator Nur Hidayat berbincang dengan orang yang tidak saya kenal.
Massa mengerubungi layar proyeksi.
Massa yang berkerumun. Jangan ditanya di mana admin di situ, admin di belakang kamera.
Menyantap hidangan.
Jangan tanya saya mengenai apa yang mereka bahas.
Gambar lainnya:
Ceramah dan presentasi oleh Ketua Jurusan Fisika, Tasrief Surungan, P.Hd.
Operator Syahrul dan Pak Syukur.
Operator Syahrul dan tetua Amzar sedang berdiskusi, Nampak Fachrul mencoba bertransformasi di latar belakang (dan ia gagal).
Operator Yoko menyetel proyektor sambil memasang wajah serius.
Shalat gerhana berjamaah.
Mengamati proyeksi gerhana lewat sela jari (kamera lubang tangan).
Bonus foto admin dengan pose yang masih terlihat natural.

Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.