Beberapa bulan yang lalu, saya membaca beberapa artikel dan video berisi argumentasi penganut paham Bumi datar untuk bahan presentasi. Meskipun sebagian di antara argumen mereka penuh kesalahan logis dan sebagian lainnya bisa dijelaskan dengan fisika tingkat SMA, setidaknya ada satu di antara argumennya yang menarik perhatian saya. Berikut ini kurang lebih isi argumennya (saya malas mengecek kembali dan mengutip secara persis):
"Menurut klaim NASA, ISS mengorbit Bumi pada ketinggian 400 km, yaitu pada lapisan termosfer. Padahal, menurut ilmuwan sendiri temperatur termosfer mencapai 2.000 °C. Bagaimana caranya kru ISS bisa bertahan dalam suhu seekstrim itu? Ini bukti bahwa ISS adalah kebohongan besar."
Well, pertanyaan semacam itu sebenarnya bukanlah pertanyaan bodoh. Justru pembelajar fisika yang cerdas pasti akan menanyakan hal serupa jika mendengar informasi tersebut. Jadi, apakah klaim di atas memang benar? Oh, no...no...no.... Saya mengatakan pertanyaannya cerdas, bukan argumennya tepat. Dalam postingan ini, saya akan berupaya menjelaskan mengenai persepsi manusia mengenai panas, transfer panas, dan mengapa awak ISS bisa bertahan hidup di lapisan termosfer. Di akhir penjelasan, kita akan mencoba mencari jawaban atas pertanyaan, "Berapa temperatur ruang vakum?"
Oke, mari kita mulai dengan konsep temperatur. Konsep temperatur atau suhu sudah ada sejak dahulu kala untuk merujuk pada kadar panas-dinginnya suatu objek. Ketika ilmu fisika (termodinamika) berkembang, ilmuwan tidak puas dengan definisi yang tidak fisis dan kuantitatif semacam itu. Pertama-tama, panas perlu diberikan definisi yang jelas. Mesti ada kuantitas fisis yang menyebabkan panas, mengapa ada benda yang lebih panas dan ada benda yang lebih dingin (kurang panas). Berdasarkan pengalaman, kita dapat membangun asumsi bahwa panas adalah konsekuensi langsung dari suatu bentuk energi, karena panas yang dimiliki suatu benda dapat ditransfer dan diubah menjadi energi lain. Energi yang menimbulkan panas ini kita sebut sebagai energi panas atau kalor. Nampaknya asumsi ini selalu konsisten dan tidak memiliki celah, jadi kita dapat yakin bahwa hal ini memang benar.
Para filsuf seperti Leucippus, Democritus, dan Empedocles pada abad ke-5 SM telah menduga bahwa materi tersusun atas kumpulan partikel (diskret). Pada abad ke-17, kimiawan Robert Boyle menggagas hipotesis modern mengenai atom/molekul yang kemudian dikembangkan oleh John Dalton dan Amedeo Avogadro. Selanjutnya, Daniel Bernoulli membangun fondasi teori kinetik gas pada tahun 1738 yang kemudian dikembangkan oleh Waterston, Krönig, Clausius, Maxwell, dan lain-lain.
Dalam termodinamika, temperatur suatu objek adalah rata-rata energi kinetik (translasi, rotasi, dan vibrasi) dari partikel-partikel penyusun objek itu. Jadi, temperatur adalah besaran makroskopis yakni hanya terdefinisi pada sistem partikel. Menyatakan temperatur dari satu partikel adalah tidak bermakna. Pada fase gas, molekul-molekul berikatan dengan renggang sehingga penyumbang energi terbesar adalah gerak translasi molekul. Berdasarkan teori kinetik gas, temperatur gas diberikan dalam,
\begin{align} K = \frac{3}{2}N k T \label{KT} \end{align}dengan \(N\) jumlah partikel, \(k\) tetapan Boltzmann, \(T\) temperatur, dan \(K\) adalah total energi kinetik partikel,
\begin{align} K = \frac{1}{2} \sum_{i}^{N} m_i v_i^2 \label{K} \end{align}Kita mempersepsikan "panas" atau "dingin" dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan fenomena yang disebut transfer panas. Kita merasa panas pada suatu bagian pada tubuh kita karena bagian tubuh kita (yang berisi reseptor panas yang terhubung dengan sistem saraf) menyerap kalor dari objek lain. Sebaliknya, kita merasakan dingin ketika kalor dari bagian tubuh tadi berpindah ke tempat lain. Persepsi kita mengenai panas sama sekali tidak terkait dengan temperatur bagian tubuh atau objek yang besentuhan dengan tubuh, namun hanya bergantung pada selisih temperatur dan kalor jenis keduanya. Fenomena ini terkait dengan asas Black yang menyatakan dua benda yang berinteraksi akan saling mempertukarkan kalor hingga keduanya mencapai kesetimbangan termodinamik (memiliki temperatur yang sama), dengan total energi sistem kekal. Dengan demikian, dalam tinjauan makroskopis benda yang awalnya lebih panas akan melepaskan kalor ke benda yang lebih dingin dan besarnya kalor yang dilepas benda itu tepat sama dengan besar kalor yang diserap benda lainnya.
\begin{align} Q_{serap} = Q_{lepas} \label{Black} \end{align}Prinsip ini pula yang dimanfaatkan dalam pembuatan termometer. Benda yang diukur suhunya dan (sensor) termometer akan saling mempertukarkan kalor hingga temperatur termometer sama dengan temperatur benda. Sebagian besar termometer memanfaatkan fenomena ekspansi termal bahan untuk menandai skala temperatur.
Persepsi kita atas "kadar panas" atau "temperatur" suatu benda bergantung pada laju perpindahan kalor dari benda itu ke kulit kita atau sebaliknya. Besarnya laju perpindahan kalor ternyata tidak hanya bergantung pada beda temperatur saja, namun juga bergantung pada karakteristik material. Misalkan Anda menyiapkan dua nampan, satu dari logam dan satu dari kayu atau plastik, lalu Anda diamkan keduanya dalam ruangan yang cukup sejuk. Setelah beberapa lama, coba sentuhlah kedua nampan tadi. Manakah yang terasa lebih panas? Tentunya, nampan logam akan terasa lebih dingin daripada nampan kayu. Selanjutnya cobalah letakkan sebuah kubus es ke atas masing-masing nampan. Es pada nampan manakah yang lebih cepat mencair? Anda akan mendapati es pada nampan logam akan lebih cepat mencair, padahal temperatur nampan logam sebelumnya terasa lebih dingin.
Sebenarnya, temperatur kedua nampan sama dengan temperatur ruangan bila kedua nampan telah disimpan cukup lama di sana sehingga ketiganya berada dalam kesetimbangan termal (dapat Anda ukur sendiri menggunakan termometer). Fenomena di atas dapat dijelaskan dengan konsep konduktansi. Konduktansi adalah kuantitas yang menunjukkan kemampuan bahan merambatkan panas. Logam memiliki konduktansi lebih tinggi dibandingkan kayu menunjukkan molekul-molekul dalam logam lebih cepat mentransfer energi yang diterimanya ke molekul tetangganya daripada kayu. Akibatnya, tiap reseptor pada kulit kita yang bersentuhan dengan nampan logam kehilangan kehilangan kalor lebih cepat daripada ketika bersentuhan dengan nampan kayu, meskipun temperatur kedua nampan sama. Hal inilah yang menyebabkan nampan logam terasa lebih dingin. Mekanisme yang sama membuat es lebih cepat menyerap kalor ketika diletakkan di atas nampan logam (sehingga lebih cepat mencair).
Transfer panas secara konduksi dan konveksi terjadi ketika molekul-molekul bertabrakan sehingga terjadi transfer momentum dan energi kinetik. Dalam pengalaman sehari-hari, benda-benda di sekitar kita (padat/cair/gas) tersusun atas molekul-molekul yang sedemikian rapat sehingga kita melihat benda-benda itu sebagai suatu medium homogen dan kontinu. Dengan demikian, kontak antarmolekul dapat dipastikan dan teori probabilitas memberikan prediksi yang sangat akurat. Namun, dalam kerapatan rendah yang ekstrem, fenomena yang terjadi bisa jadi jauh dari rasio berdasarkan pengalaman sehari-hari.
Kondisi kerapatan molekul gas yang amat sangat kecil inilah yang terjadi pada termosfer. Pada lapisan ini, kerapatan molekul udara mendekati vakum. Molekul gas di termosfer rata-rata menempuh jarak 1 km sebelum bertumbukan dengan molekul lainnya. Meskipun kerapatan molekulnya sangat kecil, ionisasi oleh angin Matahari membuat molekul-molekul gas di termosfer berenergi tinggi dan bermuatan listrik. Dengan menulis ulang persamaan (\ref{KT}) sebagai
\begin{align} T = \frac{2}{3 N k} K \label{TK} \end{align}jelas bahwa temperatur gas meningkat sebanding peningkatan energi rata-rata molekul, bahkan meski kerapatan antarmolekul sangat rendah. Bila seorang astronot melayang di termosfer, tumbukan antara molekul gas dengan astronot akan sangat langka. Hal ini menyebabkan transfer energi sangat lambat, butuh waktu yang sangat lama agar bagian tubuh astronot dan termometer yang dibawanya mencapai temperatur yang sama dengan temperatur gas. Minimnya molekul gas yang bertumbukan dengan astronot menyebabkan energi yang ditransfer dari molekul gas akan segera terdispersi ke molekul-molekul kulit di sekitarnya (yang sebagian besar tidak berinteraksi dengan molekul gas) sehingga kulit tidak merasakan sensasi panas. Hal semacam ini juga dapat kita amati pada percikan bunga api dari kembang api tangan, batu korek, atau rokok (percikan apinya, bukan gumpalan bara yang jatuh) yang mengenai kulit tidak terasa begitu panas atau menyakitkan meskipun temperaturnya mencapai 2.000 °C. Jangan lupa pula astronot dan termometernya secara spontan akan membuang panas secara radiatif (yang mana jauh lebih cepat daripada penyerapan panas dari molekul gas). Dengan demikian, meskipun temperatur gas di termosfer mencapai 2.000 °C, astronot yang melayang di termosfer tidak akan merasakan kepanasan serta termometernya pun akan menunjukkan temperatur di bawah 0 °C.
Kembang api tangan yang menyala. Percikan bunga api yang mengenai kulit sama sekali tidak sakit karena minimnya jumlah molekul bunga api yang bertumbukan dengan kulit, meskipun temperaturnya sangat tinggi. Sumber: https://pixabay.com/id/tangan-kembang-api-radio-semprot-113546/ |
Sekarang misalkan terdapat suatu ruang vakum absolut, berapakah temperatur di sana? Tentunya, tidak ada partikel apapun dalam ruang vakum absolut, \(N=0\). Dengan demikian, total energi kinetiknya juga nol. Artinya, menggunakan persamaan (\ref{TK}) kita memperoleh temperatur ruang vakum absolut adalah \(\frac{0}{0}\). Ya jelas, rata-rata energi partikel dari sistem berisi nol partikel adalah \(\frac{0}{0}\). Kita tahu bahwa \(\frac{0}{0}\) adalah bentuk tak tentu, lalu berapakah nilai sebenarnya yang terkait bentuk tak tentu itu (jika ada)? Ataukah persamaan (\ref{KT}) - (\ref{TK}) keliru dalam kondisi semacam ini? Silakan dipikirkan sebelum mengecek jawabannya di bawah :).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar