Ramai terdengar di acara berita beberapa minggu lalu (sampai sekarang juga masih ada) mengenai pelaksanaan ujian nasional alias UN. Tentu saja ini adalah problema yang terus muncul dari tahun ke tahun. Masalahnya ialah:
- Sulitnya (mungkin mustahil) menyelenggarakan ujian nasional yang jujur dan bersih di seluruh Indonesia.
- Ada siswa yang tergolong cerdas tetapi tidak lulus ujian nasional sedemikian sehingga ia tidak dapat lulus dari sekolah.
Masalah yang membuat masalah ini menjadi "masalah" ialah tidak mungkin mengatasi dua masalah tadi. Yang pertama, bagaimana mungkin membuat ujian nasional yang bersih baik pada pihak penyelenggara maupun pihak peserta dan pihak lain yang terlibat? Bagaimana cara mengatasi pihak pembuat atau penanggung jawab penyimpanan soal tak menjual soal demi mendapatkan duit agar bisa hidup lebih makmur? Bagaimana cara membuat seluruh siswa tidak panik dan tidak berupaya mencari kunci jawaban? Bagaimana cara menghentikan oknum jahil yang senang menerbitkan kunci jawaban palsu untuk dijual dengan harga murah atau sekedar iseng saja? Bagaimana caranya membuat semua guru kehilangan belas kasihannya kepada murid-muridnya dan kehilangan tanggung jawabnya kepada atasan untuk meningkatkan citra sekolah?
Kita bisa cukup yakin pembuat soal bisa bersikap jujur bila semesta kondisi mendukung, tetapi bagaimana misalnya seorang oknum pembuat soal anaknya tiba-tiba sakit dan memerlukan biaya pengobatan besar sehingga ia tergiur untuk menjual naskah soal? Ya! dalam mencari pemecahan suatu masalah kita tidak boleh mengutamakan berpikir ideal (orang-orang sering ngomong harus selalu berpikir ideal dalam konteks masalah kehidupan, sebenarnya itu palsu), tetapi kita harus berpikir realistis. Kita harus mempertimbangkan keadaan, emosi, dan kecenderungan psikis orang lain yang terlibat. Cukup sulit untuk menjamin pembuat soal tidak membocorkan soal kecuali dengan memberikan honor yang tinggi serta menjaga independensi dan kerahasiaan tim pembuat soal.
Nah, sekarang menurut perspektif siswa. Siapa yang mau tidak lulus? Siapa yang tidak berminat menambah peluang (meskipun ia sudah cukup berpeluang) untuk lulus ujian nasional mengingat ujian nasionallah yang menentukan lulus tidaknya kita dari jenjang pendidikan terkait? Saya pun dulu meskipun yakin 90% lulus ujian nasional, tapi kalau berpikir menggunakan kunci jawaban bisa meningkatkan peluang itu barang 5% tentu bakal saya lakukan (tentu saja asalkan bisa diminta gratis dari teman atau paling tidak seharga uang saku), mengingat ujian nasional merupakan syarat tunggal kelulusan (masa kita sekolah selama tiga tahun ditentukan dalam beberapa hari saja). Saya tidak sportif? Oke, saya terima, saya orang realistis, bukan orang idealis. Lulus UN dulu baru jadi idealis, jangan idealis dulu baru mau lulus UN, he..he... Saya kan cuma peserta, bukan pembuat soal atau pihak apa pun yang memikul tanggung jawab. Jika saya adalah pihak yang memikul tanggung jawab, tentu saja saya akan bersikap lebih jujur (meskipun saya tidak sangat yakin iman ini tidak goyah kalau berhadapan dengan uang satu milyar misalnya). Jadi, kita tidak perlu menyalahkan siswa jika mereka berusaha mencari kunci jawaban. Mereka kan cuma ingin lulus, apa sih salahnya? Kemampuan otak orang kan berbeda-beda, mungkin sebagian bisa menghapal pelajaran kelas satu sampai kelas tiga (untuk SMP dan SMA) tetapi sebagian lainnya kan tidak bisa. Ada tipe orang yang sebanyak apa pun mereka belajar tidak akan bisa masuk semuanya. Karena kemampuan otak yang memang terbatas dari sononya ataukah penyesalan yang datang terlambat, mereka lalu mencari kunci jawaban menurut saya sangat manusiawi. Mencari kunci jawaban itu juga usaha, ya tidak? Masa yang punya otak encer saja yang boleh lulus UN? Lagi pula saya kira jumlah siswa yang menjadikan kunci sebagai modal sampingan disamping tetap belajar sangat mungkin masih lebih banyak dibanding siswa yang semata-mata mengandalkan kunci jawaban dan enggan belajar. Malah mungkin pihak sekolah perlu mengadakan seminar tentang bagaimana cara menggunakan kunci jawaban dengan bijak (jangan lupa dibuatkan sertifikat). Cari versi kunci jawaban sebanyak-banyaknya sambil juga belajar keras. Saat ujian kerjakan dulu soal yang bisa dikerjakan, kalau sudah tidak ada cocokkanlah jawaban yang sudah dikerjakan dengan jawaban dari beragam versi kunci. Mana yang paling sesuai berarti itu yang cukup dapat diandalkan untuk mengisi soal-soal yang tak bisa dikerjakan.
Berikutnya dari sudut pandang pihak sekolah. Tentu banyak dari kita tahu bahwa sekolah yang lulusannya bagus-bagus akan mendapat rating yang juga bagus. Kepala sekolah tentunya akan berupaya agar semua muridnya lulus, kalau bisa dengan nilai bagus semuanya. Kalau banyak yang tidak lulus, bukan hanya rating sekolah yang bakal turun, jabatan juga bisa dicopot. Maka diberikanlah mandat kepada guru-guru. Mendapat mandat dari kepala sekolah, dan juga "kasih sayang" buta kepada murid-muridnya, diupayakanlah cara-cara kurang sportif demi kelulusan murid. Caranya tidak jujur memang, tetapi lagi-lagi itu kan manusiawi. Guru dituntut untuk tidak sekedar mengajar, tapi juga mendidik. Dan mendidik itu artinya jika memang tidak/belum mampu ya jangan diluluskan. Tetapi jika banyak yang tidak lulus jabatan mereka taruhannya. Apa sih, maunya dunia?
Begitu pula lembaga bimbingan belajar. Mereka juga berupaya menjaga nama baiknya, demi kelancaran uang masuk kantong. Itu kan juga manusiawi, mengingat pelaksanaan UN juga bukan tanggung jawab mereka. Orang bilang memang tidak ada tanggung jawab secara etis, tetapi ada tanggung jawab moril terhadap mental generasi muda Indonesia. Tetapi jangan lupa, mereka juga punya kewajiban dan tanggung jawab menjaga asap dapurnya tetap mengepul.
Sekarang poin ke-dua. Ada juga siswa yang pintar tetapi tidak lulus karena ketidakberuntungan. Mungkin kesalahan teknis pengerjaan, mungkin pensilnya pensil abal-abalan, atau mungkin prediksi soalnya meleset. Ya memang kita bisa katakan memang begitulah nasibnya, tetapi jika kita bisa menghindari kemungkinan itu dengan meniadakan saja ujian nasional, mengapa tidak dipertimbangkan metode penggantinya? Jika memang kecenderungan siswa-siswi mencari kunci jawaban yang notabene tak bisa dihindari dikecam, mengapa tidak cari syarat kelulusan lain? Syukurlah tahun ini katanya nilai rapor juga dipertimbangkan dalam kelulusan siswa-siswi selain nilai UN, meskipun memang mencegah lebih baik daripada mengobati.
Menurut saya UN adalah cara terbaik untuk mengeluarkan kerealistisan yang tersembunyi dibalik kurungan idealisme. Pelaksanaan UN telah mengungkapkan sifat negatif yang selama ini tidak terlihat.
BalasHapusDari yang saya ketahui (karena saya seorang guru yang mengajar di SMA), saya setuju dengan masalah pertama pada tulisan ini (tentang sulitnya penyelenggaraan UN yang bersih dan jujur) yang tidak mungkin dipecahkan, meskipun dalam satu ruangan sudah dibuat 5 soal yang berbeda bahkan kode soal yang diterima siswa tiap pelajaran berbeda, tapi apa artinya jika siswa sudah memiliki jawaban seluruh kode di lembar kecil yang tersembunyi.
Apa juga artinya jika murid jujur dan bersih tetapi pihak sekolah dengan berbagai cara mengubah nilai sekolah (NS) sehingga dapat mendongkrak nilai akhir (NA) yang digabungkan dengan nilai UN. Yang lebih parah adalah jika Dinas Pendidikan Kota juga turut terlibat dalam praktek kelulusan siswa 100%. Boleh saja pemerintah pusat gembar-gembor bahwa pada pelaksanaan UN tahun ini tidak ada kebocoran soal, ini saya setuju, tapi yang bocor adalah kunci jawabannya.
Yang menyedihkan bagi saya adalah nilai akhir siswa yang lulus tidaklah mengungkapkan kualitas siswa yang sebenarnya. Apalagi UN akan dijadikan tolok ukur masuk perguruan tinggi negeri (menggantikan SNMPTN)di tahun yang akan datang sementara masalah nomor 1 tidak bisa terpecahkan. Padahal kecurangan yang terjadi pada pelaksanaan SNMPTN jauh lebih kecil dibandingkan dengan pelaksanaan UN.
Saya lebih setuju jika kembali pada pelaksanaan yang dulu, yaitu pola EBTA dan EBTANAS yang tidak menentukan kelulusan siswa karena lulus ditentukan dari nilai STTBnya. Nilai EBTANAS/NEM lebih memperlihatkan kualitas sesungguhnya dari kemampuan siswa dibandingkan nilai UN
Wah, saya baru tahu kalau UN bakal menggantikan peran SNMPTN, miris..
Hapus"kerealistisan yang tersembunyi dibalik kurungan idealisme".
sangat keren pak ^^
Begitulah, bahkan pendidikan juga tak lepas dari unsur politik kepentingan. Terima kasih atas sumbangan perspektifnya sebagai seorang guru.
ujian un adalah konyol! adalah ajaib bila banyak murid yang berhasil mendapatkan nilai 8 keatas, saat saya dulu ikut ujian EBTANAS, jika nilai nemnya rata rata 7,5 atau 45 saja bisa membuat seseorang juara umum di sekolahnya!
BalasHapusHa.. ha... Betul bang.
HapusKalau saya sendiri ujian negara boleh saja dipertahankan, tetapi modelnya itu yang harus dirubah. Misalkan model soal pilihan ganda jelas menyiratkan pendidikan di Indonesia berbasis pada hasil akhir, bisa nembak-nembak, dan juga mengindikasikan malasnya tim pemeriksa.