Dalam teori peluang, peluang suatu fenomena tidak dirumuskan dari pengukuran, melainkan berdasarkan analisa dan penghitungan. Adapun pengujian dari teori yang disusun barulah didasarkan pada pengukuran/hasil pengamatan. Sebagai contoh, peluang sebuah dadu memunculkan mata dadu “2” dapat kita hitung. Bila dadu seragam, maka tidak ada permukaan dadu yang lebih istimewa dibandingkan yang lain: tiap muka dadu memiliki kesempatan muncul yang sama.
| (1.1) |
Karena dadu memiliki enam permukaan dan mata dadu “2” hanya ada satu maka peluang munculnya mata dadu “2” ialah
| (1.2) |
Dengan demikian, secara teoretis rasio munculnya mata dadu “2” berbanding total pelemparan ialah
| (1.3) |
Tentunya, peluang yang sama dimiliki oleh tiap mata dadu yang lain. Patut diingat bahwa hasil di atas kita peroleh tanpa melakukan pengukuran sama sekali. Namun, jika kita melakukan eksperimen pelemparan dadu, rasio yang kita ukur diharapkan bersesuasian dengan peluang yang dihitung.
Bila kita hanya melakukan percobaan beberapa kali (ruang sampel kecil), rasio yang kita peroleh berdasarkan hitungan peluang memiliki ketidakpastian besar. Hal ini karena sifat acak yang alamiah. Namun, jika kita melakukan percobaan dengan sampel semakin besar, faktor acak akan saling mengkompensasi sehingga rasio hasil pengukuran (Ru) akan semakin menuju rasio berdasarkan hitungan peluang,
Berikut ini ialah contoh eksperimen pelemparan dadu. Kekerapan munculnya mata dadu “2” dicatat kemudian diplot pada Gambar 1. Berdasarkan perhitungan, rasio kemunculan mata dadu “2” ialah RP = p(2) = 1/6 = 1,6667. Hingga 36 pelemparan pertama, ternyata mata dadu “2” hanya muncul tiga kali, sehingga
yang hanya setengah dari prediksi teori peluang. Namun, seiring meningkatnya jumlah pelemparan, Ru akan semakin mendekati p(2). Hingga pelemparan ke-200, mata dadu “2” muncul sebanyak 33 kali,
Demikianlah prediksi teori peluang tidak banyak bermanfaat jika kita hanya memiliki ruang sampel yang kecil, namun jika kasus yang ditinjau melibatkan ruang sampel yang cukup besar maka teori peluang akan memberikan prediksi yang akurat.
Gambar 1: Grafik rasio kemunculan kumulatif pada pelemparan dadu. Semakin banyak jumlah pelemparan, rasio kemunculan akan semakin mendekati peluang teoretisnya. |
Mekanika kuantum dan teori klasik memiliki perbedaan esensial dalam hal kepastian pengukuran. Teori klasik menyatakan parameter kuantitatif suatu partikel (disebut observables) dapat dinyatakan secara tentu (akurasi titik), sedangkan mekanika kuantum menyatakan parameter suatu partikel tidak dapat ditentukan secara pasti, namun probabilitasnya dalam suatu selang dapat ditentukan. Ketidakpastian ini bukan karena kendala atau keterbatasan teknis, namun merupakan hukum alam yang tak dapat dilenyapkan. Misalkan untuk kasus posisi sebuah partikel P dalam ruang 2 dimensi. Teori klasik merumuskan bahwa posisi partikel adalah eksak pada (xP,yP), sedangkan mekanika kuantum menyatakan posisi partikel dalam ruang tak dapat ditentukan secara pasti, namun dapat diberikan dalam probabilitas untuk setiap selang. Agar lebih jelas, perhatikan diagram kontur berikut ini.
Gambar 2: Posisi partikel P dalam
bidang pada suatu kasus berdasarkan teori klasik (kiri) dan mekanika kuantum
(kanan).
|
Berikut ini contoh intuitif mengenai tingkat kepercayaan (namun tidak analog dalam hal sebab ketidakpastian). Teman saya si X (terakhir kali bertemu minggu lalu) baru saja menelepon saya, namun saya lupa menanyakan lokasinya. Berdasarkan data-data yang saya miliki, saya memprediksi 32% kemungkinannya ia masih di Makassar, 68% kemungkinan ia masih di Sulawesi Selatan, 95% kemungkinan ia masih di Indonesia, dan saya yakin 100% ia masih berada di planet Bumi. Dari angka-angka ini, dapat diperoleh peluang X berada di luar negeri ialah peluang X berada di Bumi dikurangi peluang X berada di Indonesia, yaitu 5%. Adapun peluang si X berada di luar angkasa ialah 0%.
Secara matematis, diagram kontur pada Gambar 2 dapat digantikan perannya oleh fungsi kerapatan probabilitas (probability density function), P. Untuk memudahkan, kita tinjau satu dimensi saja. Dengan memilih posisi pada sumbu–X sebagai parameter, fungsi kerapatan peluang didefinisikan sebagai
| (2.1) |
Di mana peluang partikel tadi berada dalam selang x = a hingga x = a + δx ialah
| (2.2) |
Untuk δx ≪, peluangnya dapat didekati sebagai
| (2.3) |
Pada contoh kasus partikel sebelumnya, kerapatan peluang koordinat partikel pada sumbu–x dapat diberikan dalam grafik berikut
Sekarang kita kembali ke mekanika kuantum. Dalam mekanika kuantum, ketelitian pengukuran dua parameter yang berpasangan saling bergantung. Parameter berpasangan ini ialah posisi dan momentum serta energi dan waktu. Hal ini dikarenakan pengukuran parameter yang satu akan mempengaruhi pengukuran parameter yang lain. Hubungan ini dapat diberikan dalam pertidaksamaan yang dikenal sebagai prinsip ketidakpastian Heisenberg.
| (2.4) |
Dengan ℏ = h/2π = 1,055⋅10-34 J s adalah reduksi tetapan Planck.
Bagian pertama persamaan (2.4) menunjukkan bahwa semakin teliti pengukuran posisi suatu partikel maka semakin tidak teliti pengukuran momentumnya, begitu pula sebaliknya. Mengingat kecilnya nilai ℏ, prinsip ketidakpastian Heisenberg memperkenankan kita dapat mengukur posisi dan monentum hingga ketelitian 10-17 m dan 10-17 J s m-1 atau bahkan lebih akurat lagi; sangat teliti bahkan untuk sebagian besar keperluan penelitian di laboratorium. Oleh karena benda-benda makroskopik memiliki ukuran yang jauh lebih besar dari batas ketelitian itu, pembatasan dari prinsip ketidakpastian ini tidak dapat dirasakan efeknya dalam kehidupan sehari-hari.
Teori Maxwell yang menyatakan cahaya sebagai gelombang elektromagnetik sukses menjelaskan berbagai fenomena cahaya, seperti fenomena optik (percobaan celah ganda Young) dan eksperimen Franck–Hertz. Namun, Rayleight dan Jeans gagal menjelaskan spektrum radiasi termal menggunakan teori Maxwell. Teori Rayleight–Jeans memprediksi ketakhinggaan intensitas pancaran pada gelombang pendek (dikenal sebagai bencana ultraviolet) yang bertentangan dengan data eksperimen. Teori gelombang juga gagal menjelaskan fenomena lain yang ditemukan kemudian, yakni efek fotolistrik dan efek Compton.
Untuk memecahkan persoalan radiasi termal, Max Planck membangun teori radiasi dengan asumsi bahwa cahaya tersusun dari foton dengan energi diskrit (terkuantisasi) dengan kelipatan tertentu yang disebut kuanta (seperti anak tangga yang hanya terletak pada posisi tertentu). Kuantisasi cahaya ini berimplikasi bahwa cahaya hadir sebagai suatu partikel yang dapat dicacah (dikenal sebagai foton). Teori Planck inilah yang kemudian menjadi landasan dari fisika kuantum.
Gambar 4: Interferensi cahaya pada percobaan
celah ganda menunjukkan sifat cahaya sebagai gelombang. Pola gelap terang ini
muncul karena interferensi antara gelombang dari kedua celah (kiri). Ketika
puncak gelombang saling bertemu, amplitudonya dikuatkan sedangkan bila lembah
bertemu puncak maka amplitudonya lenyap. Interferensi gelombang ini tertangkap
layar sebagai pola gelap-terang (kanan). Sumber: http://www.physicsoftheuniverse.com/topics_quantum_superposition.html, http://www.fnal.gov/pub/today/SpecialROWMINOS111408.html. |
Teori cahaya sebagai partikel mampu menerangkan efek fotolistrik dan hamburan Compton. Namun, teori partikel ternyata tidak mampu menerangkan pola interferensi dari percobaan Young. Dengan demikian, baik teori cahaya sebagai gelombang maupun teori cahaya sebagai partikel sama-sama tidak dapat menjelaskan perilaku cahaya secara utuh, namun keduanya dapat saling melengkapi, memberikan gambaran lengkap fenomena elektromagnetisme. Perilaku cahaya sebagai gelombang dan sebagai partikel dalam fenomena yang berbeda ini dikenal sebagai dualisme gelombang–partikel.
Gambar 5: Dualisme gelombang-partikel: tiap partikel berkorelasi dengan suatu paket gelombang, yang menyiratkan ketidakpastian pengukuran posisi dan momentumnya. |
Untuk foton dengan massa diam m0 = 0 dan frekuensi ν; berdasarkan efek fotolistrik; energi foton ialah E = hν = hc/λ, sedangkan relativitas khusus memberikan E = pc sehingga berlaku jalinan λ = h/p. Adalah Louis de Broglie yang pertama kali mengajukan hipotesa bahwa jalinan ini juga berlaku pada partikel masif (memiliki massa diam). de Broglie merumuskan suatu partikel bermassa m dan kecepatan v berkorespondensi dengan suatu gelombang dengan panjang gelombang
| (3.1) |
yang selanjutnya dikenal sebagai panjang gelombang de Broglie. Hipotesa de Broglie ini memberikan penjelasan yang memuaskan dalam teori atom. Eksperimen celah ganda menggunakan elektron menghasilkan pola interferensi yang serupa dengan hasil percobaan Young mengukuhkan teori de Broglie. Percobaan Estermann dan Otto Stern membuktikan partikel yang lebih besar seperti molekul C-60 ("buckyball") juga menghasilkan pola serupa. Jadi dapat disimpulkan semua materi secara alamiah memiliki sifat gelombang. Tentu saja, pada benda makroskopis, panjang gelombang de Broglie-nya jauh lebih kecil dari pada ukuran benda sehingga efek gelombang dari benda makroskopis tidak dapat terdeteksi.
Gambar 6: Percobaan penembakan elektron pada
celah ganda menghasilkan pola gelap terang khas interferensi gelombang. Sumber: http://nau.edu/cefns/labs/electron-microprobe/glg-510-class-notes/introduction/ |
Menggunakan sifat gelombang de Broglie dari suatu partikel, Erwin Schrödinger merumuskan analogi persamaan gelombang dari partikel dengan massa diam m dengan operator energi yang berada di daerah dengan potensial V, yang dikenal sebagai persamaan Schrödinger.
| (4.1) |
Persamaan Schrödinger ini berbentuk persamaan gelombang dengan fungsi gelombang adalah vektor yang menyatakan keadaan partikel dalam fungsi posisi dan waktu. Hamiltonian adalah operator energi keadaan, . Dengan kata lain, E adalah nilai eigen dari untuk vektor ψ. Fungsi dari persamaan Schrödinger adalah menemukan fungsi gelombang ψ(r,t) yang sesuai dengan parameter-parameter yang telah tentu. Untuk dinamika dalam ruang satu dimensi (misal sumbu–X) dan tak bergantung waktu, ψ = ψ(x) dan laplacian , sehingga persamaan Schrödinger (4.1) dapat disederhanakan sebagai
| (4.2) |
Bila E > V, persamaan (4.2) memiliki solusi umum
| (4.3) |
Dengan A dan B adalah suatu tetapan (yang dapat ditentukan kemudian) yang berperan sebagai amplitudo gelombnag. Adapun bila E < V, persamaan (4.3) memiliki solusi umum
| (4.4) |
Karena persamaan Schrödinger merupakan persamaan yang dirumuskan dari analogi maka persamaan ini tidak lebih dari persamaan matematis belaka hingga ditemukan tafsiran dari fungsi gelombang Schrödinger dalam realita.
Max Born kemudian memberikan tafsiran dari fungsi gelombang Schrödinger. Ia menyatakan bahwa kuadrat dari nilai mutlak fungsi gelombang menggambarkan rapat probabilitas keberadaan partikel,
| (4.5) |
Jadi, |ψ(x)|2 mempresentasikan kerapatan peluang menemukan partikel dalam sembarang selang pada x.
Contoh kasus dinamika elektron dalam ruang yang dipengaruhi oleh potensial. Kita ambil kasus sederhana, gerak elektron dalam 1 dimensi dengan potensial penghalang yang berbentuk persegi dengan lebar L. Mula-mula sekumpulan elektron masing-masing dengan energi E berada pada daerah I, dan akses ke daerah III dibatasi oleh potensial penghalang sebesar V0 > E pada daerah II. Dalam tinjauan klasik, peluang menemukan elektron di daerah I terdistribusi secara merata. Fisika klasik juga meramalkan tidak mungkin ada elektron dari daerah I yang dapat berpindah ke daerah III, dikarenakan potensial penghalang lebih besar daripada energi kinetik elektron.
Dalam mekanika kuantum, kehadiran potensial V0 menyebabkan peluang menemukan elektron tidak seragam, melainkan terdistribusi dalam pola tertentu. Demikian pula meskipun V0 > E, tetap ada kemungkinan elektron menembusi dinding penghalang dan masuk ke daerah III. Dengan demikian, jika terdapat N≫ elektron mula-mula pada daerah I, sebagian di antaranya dapat berpindah ke daerah II. Fenomena ini dikenal sebagai penerowongan kuantum (quantum tunneling).
Untuk tujuan praktis, semisal dalam teknologi elektronika, jumlah elektron yang dilibatkan dalam suatu proses sangat besar. Dalam satu gram zat saja terkandung 1020 – 1023 atom. Arus sebesar 1 mikro-Ampere disebabkan oleh gerak 6⋅1012 elektron tiap detiknya. Dengan demikian, mekanika kuantum dapat memberikan prediksi yang sangat akurat.
Fisika klasik merumuskan suatu sistem secara deterministik (dari kata determine: tentu), artinya jika suatu sistem diperikan oleh n parameter, jika n - 1 parameter telah diukur (yang mana dimungkinkan diukur secara pasti) maka parameter yang tersisa dapat diukur maupun dihitung dengan pasti. Misalnya untuk gerak lurus berubah beraturan, lintasan partikel memenuhi
Bila posisi mula-mula, kecepatan, dan percepatan yang dialami benda telah diukur, maka posisi benda pada setiap waktu dapat diketahui dengan jelas/pasti.
Tafsiran mekanika kuantum mengenai perilaku sistem kuantum; yakni melibatkan ketidakpastian yang tidak dapat diketahui sumbernya dan keadaan suatu sistem tidak dapat ditentukan hingga dilakukan pengamatan; menimbulkan beragam reaksi dari fisikawan pada masa pengembangan mekanika kuantum. Hal ini dikarenakan interpretasi semacam itu bertentangan dengan prinsip determinisme dan realisme, yaitu suatu gejala alam telah terdefinisi dan tetap eksis tanpa memerlukan kehadiran pengamat. Salah satu tanggapan yang populer atas realitas yang bergantung pada pengamatan ialah paradoks Schrödinger. Misalkan seekor kucing dimasukkan ke dalam kotak tertutup dengan persediaan makanan dan minuman cukup, ditambah fasilitas ekslusif berupa botol berisi gas yang sangat beracun dengan mekanisme pemecah botol menggunakan peluruhan radioaktif. Setelah selang waktu tertentu, kemungkinan radioaktif yang meluruh cukup untuk memicu pemecah botol ialah 50%. Pertanyaannya, apakah pada saat itu kucing malang tadi hidup atau mati? Mekanika kuantum menyatakan peluang peluruhan (yang berimplikasi pada nasib kucing) belum mewujud ke dalam realitas hingga kita melakukan pengamatan. Artinya, hingga kita menengok ke dalam kotak, kucing tadi berada dalam keadaan superposisi: 50% hidup dan 50% mati.
Paradoks Schrödinger dapat disederhanakan dalam kasus setara yang lebih akrab, semisal pelemparan koin. Meskipun tidak melibatkan mekanisme peluruhan, namun esensi mengenai masalah probabilitas tetap termuat. Ketika kita melempar koin, kemungkinan sisi angka atau sisi Garuda menghadap ke atas setelah jatuh masing-masing 50%. Dalam formalisme mekanika kuantum, fungsi gelombangnya dituliskan sebagai |ψ⟩ = 1/√2 (|angka⟩ + |garuda⟩) atau |ψ|2 = 1/2 ([angka]+[garuda]). Ketika koin telah dilempar dan kita mengamati permukaan yang terlihat adalah angka maka jelaslah realitasnya ialah 100% angka dan 0% Garuda. Jika digali secara mendalam, kita mungkin akan bertanya, ke mana perginya 50% probabilitas kemunculan Garuda? Niels Bohrdan Werner Heisenberg menafsirkan bahwa fungsi gelombang runtuh saat pengamatan. Artinya, ketika pengamatan menunjukkan salah satu keadaan mewujud menjadi realita, peluang keadaan-keadaan lain yang dimungkinkan runtuh seketika. Interpretasi ini dikenal sebagai interpretasi Kopenhagen, yang hingga saat ini menjadi salah satu dari tafsiran evolusi fungsi gelomang yang diterima luas.
Einstein tidak menyukai ide ketidakpastian, realitas bergantung pengamat, dan instaneous action at distance semacam itu. Ia menganggap mekanika kuantum bukanlah teori kuantum yang lengkap, melainkan hanya suatu gambaran probabilistik dari teori yang lebih fundamental. Einstein kemudian mengajukan percobaan angan-angan berkaitan dengan produksi pasangan (pair production). Produksi pasangan ialah pembentukan partikel elementer dan antipartikelnya dari foton. Produksi pasangan ini memenuhi kekekalan muatan q, momentum p, dan total momentum sudut J. Dengan demikian, bila salah satu partikel elementer yang dihasilkan bermuatan -1, maka partikel pasangannya harus bermuatan +1, karena muatan foton adalah nol. Contoh produksi berpasangan adalah pembentukan pasangan elektron–positron dari foton yang melintas di dekat inti atom,
Elektron dan positron adalah dua pertikel yang identik, kecuali muatan listriknya berbeda tanda, yakni -e dan +e. Demikian pula total momentum sudutnya mesti pemenuhi Jγ = Je- + Je+. Jadi, parameter-parameter dari partikel dan antipartikel yang dihasilkan dari produksi pasangan saling terikat satu sama lain.
Einstein berargumen, bila partikel dan antipartikel yang dihasilkan oleh produksi berpasangan kemudian terpisah. Berdasarkan interpretasi Kopenhagen, sifat dari partikel belum mewujud (terealisasi) hingga mereka diamati. Lalu bagaimana bila salah satu partikel (labeli sebagai A) diamati dan ternyata muatannya +1? Quantum entanglement memastikan partikel pasangannya secara spontan memiliki muatan -1. Jika partikel A baru mewujudkan muatannya setelah diamati, bagaimana ia berkomunikasi secara spontan sehingga partikel pasangannya mewujudkan muatan yang berlawanan? Padahal relativitas khusus tidak memperkenankan komunikasi secara spontan; ada batas kecepatan di alam semesta, yakni kecepatan cahaya. Argumen ini dikenal sebagai paradoks Einstein–Podolsky–Rosen (EPR).
Einstein dan kolega sepemahamannya membuat hipotesa mengenai variabel tersembunyi (hidden variable) yang menjaga realisme dan determinisme hukum alam serta mengeliminasi aksi spontan jarak jauh. Ia berkeras bahwa suatu sistem (termasuk sistem kuantum) hanya bisa dipengaruhi oleh keadaan lokal di sekeliling sistem (principle of locality), bukan “telepati” atau “spooky action” yang memintas ruang. Meskipun demikian, sampai akhir hayatnya, Einstein sendiri tidak bisa menemukan apakah variabel tersembunyi itu.
Dari satu sudut pandang, keruntuhan fungsi gelombang seketika mungkin bukanlah penjelasan yang memuaskan. Beberapa interpretasi diajukan untuk menjelaskan keruntuhan fungsi gelombang lebih jauh. Salah satunya ialah transfer probabilitas dalam ruangwaktu. Misalkan dalam kasus pelemparan koin, jika dalam satu kali pelemparan muncul sisi angka, peluang munculnya sisi garuda “ditransfer” pada pelemparan berikutnya atau pada pengamat yang melakukan percobaan serupa di tempat lain.
Sekarang kita berandai-andai setiap orang di Bumi melempar koin secara serentak. Misalkan koin yang Reza sekeluarga (misalnya berlima) lempar ternyata memunculkan angka semua, padahal secara keseluruhan rasio munculnya sisi angka nyaris 50%. Apakah kemudian terjadi komunikasi antar koin seperti, “Hei, di rumah Reza ‘angka’ sudah muncul lima kali, kita harus memunculkan ‘Garuda’ untuk mengimbangi”? Tentunya mekanisme semacam ini pun mengisyaratkan aksi jarak jauh, meskipun kondisinya tidak seketat quantum entanglement. Bagaimanapun, penjelasan ini dapat menimbulkan miskonsepsi bahwa peluang tiap pelemparan tidak saling bebas. Interpretasi ini nyatanya tidak lebih terang dan sederhana dibandingkan konsep keteracakan alamiah, meskipun berimplikasi pada hasil yang sama.
Interpretasi lainnya mengenai fungsi gelombang ialah many worlds interpretation (MWI) yang dipopulerkan oleh Hugh Everett. Berdasarkan MWI, fungsi gelombang tidak runtuh setelah pengamatan, melainkan tiap-tiap keadaan yang mungkin akan terealisasi secara simultan di ruangwaktu yang lain (semesta paralel). Keadaan mana yang terealisasi setelah pengamatan menunjukkan cabang mana yang dilalui oleh semesta pengamat. Artinya, asas determinisme dan realisme terpenuhi dalam skala multiverse. Namun, tetap saja kita tak dapat menentukan cabang mana yang ditempuh oleh alam semesta (universe) kita hingga pengamatan dilakukan.
Gambar 9: Ilustrasi many worlds interpretation pada kasus “kucing Schrödinger”. Tiap
kemungkinan yang diberikan oleh fungsi gelombang terealisasi pada alam semesta
yang berbeda. Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Many-worlds_interpretation |
Baca juga:
Misteri Rapat Peluang
Paradoks Schrödinger
Tidak ada komentar:
Posting Komentar