Jumat, 24 Agustus 2018

Ulat dan Kupu-kupu

Belakangan ini, media (utamanya media sosial) semakin ramai dengan berbagai kritik, makian, hingga fitnah. Well, tidak ada pembenaran bagi fitnah dan berita hoax, tapi memaki-maki itu tidak bisa disalahkan selama didasarkan pada data faktual dan dinalar secara rasional. Pemerintah memang inkompeten, tidak amanah, zalim. Parlemen bangsatnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Hati mereka tidak berpihak pada rakyat, tidak membuat hidup kita menjadi lebih nyaman dan sejahtera. Oposisi juga sama brengseknya, segala aksinya didasarkan pada kepentingan golongannya sendiri. Tapi, tunggu dulu.... Mereka asalnya dari mana? Apakah mereka datang dari luar angkasa, menumpang asteroid lalu mendarat di Republik ini? Ataukah kita mengimpornya dari pasar loak di negara antah-berantah? Bagi yang lupa, ini jawabannya: mereka adalah rakyat Indonesia juga, dipilih oleh rakyat sendiri secara demokratis.

Ilustrasi ulat.
Kredit: Didier Descouens - Own work, CC BY-SA 4.0,
https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=10996793

Tiap orang tentunya memiliki kepribadian dan karakter sendiri-sendiri, namun umumnya terdapat kesamaan karakter pada orang-orang yang hidup di lingkungan berdekatan. Hal ini dikarenakan pola pikir dan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat di mana dia hidup dan dibesarkan. Kesamaan karakter yang umum ini masih akan tampak ketika kita memperluas lingkup masyarakat yang ditinjau, meskipun jumlah kesamaan itu akan semakin sedikit. Kita bisa melihat karakter masyarakat dalam etnis hingga negara tertentu. Sekali lagi, yang kita bahas adalah kualitas umum yang dominan dalam distribusi karena tentu saja terdapat variasi hingga anomali.

Tentu saja kita berhak, bisa, atau bahkan selayaknya mengkritik pemerintah atau anggota dewan, yang mana mengemban amanat dari rakyat. Tapi, acapkali orang yang mengkritik terlalu asyik hingga lupa bahwa kualitas pejabat negara adalah presentasi dari kualitas rakyat negara itu. Ya, kualitas kita, rakyat biasa, dan pemerintah itu sebelas-dua belas. Apalagi di negeri yang masih banyak rakyatnya memilih pemimpin atas dasar kesamaan jenis di atas kualitas dan kompetensi. Rata-rata kita memiliki pola pikir dan sikap seperti ini, ya rata-rata mereka juga begitu. Bedanya, rakyat biasa hidup di kolam kecil, makannya sedikit. Mereka yang hidup di kolam besar ya makannya banyak juga. Mereka semata-mata memiliki lebih banyak jalan, fasilitas dan keleluasaan dalam melakukan gaya hidupnya.

Memangnya, bagaimana sih karakter rata-rata orang Indonesia? Kalau pengamatan saya tidak salah, kita cenderung malas dan sering datang telat jika tidak ada paksaan. Saat sekolah kadangkala bolos, tidur di kelas, menggosip sambil berbisik dengan teman, atau main game sembunyi-sembunyi. Banyak dari kita malas mengerjakan pekerjaan rumah sebagaimana mestinya. Begitu hari p.r. dikumpulkan, pagi harinya barulah kita sibuk mencari satu-dua teman rajin yang telah menyelesaikan pekerjaan rumahnya untuk disalin. Kita baru bersemangat saat lonceng tanda istirahat berbunyi atau dosen tidak masuk kelas. Jika kita beruntung jadi pejabat pemerintah atau anggota parlemen, kita membawa kebiasaan kerja malas-malasan pula. Masuk kantor telat, suka bolos atau tidur saat rapat, kerja ala kadarnya. Begitu kunjungan kerja ke luar negeri baru bersemangat.

Kita tidak jujur, suka berbuat curang. Saat masih sekolah, kita suka mencontek saat ujian, menitip absen pada teman. Kita kurang amanah. Saat meminjam uang atau barang dari teman, enggan mengembalikan kalau tidak ditagih. Kadangkala barang yang kita pinjam dipinjamkan lagi ke orang lain. Kalau kita beruntung jadi pejabat, kebiasaan ini bisa diterapkan ketika mengurus keuangan negara. Mark-up anggaran, korupsi, kolusi, ingkar dari janji kampanye. Hei, kebanyakan kita juga hobi menyuap. Siapa yang lebih suka ditilang daripada mengambil jalan damai ketika melanggar peraturan lalu-lintas? Kalau ada uang lebih, beri “uang rokok” pada pegawai kantor kecamatan agar berkas-berkas cepat selesai? Sayang sekali kita belum berkesempatan menjadi pengusaha besar yang bisa terlibat dalam proyek-proyek pemerintah. Kalau nanti jadi, hobi kita bisa disalurkan untuk menyuap pejabat.

Kita tidak peduli lingkungan. Sebagian besar karena kita jauh lebih mementingkan kemudahan jangka pendek daripada konsekuensi jangka panjang. Berapa banyak perokok dari rakyat jelata yang selalu mencari tempat sampah untuk membuang puntung rokoknya? Siapa yang anti buang sampah sembarangan? Pernah lihat ruang kelasmu bebas dari tisu dan kemasan makanan/minuman setelah kuliah selesai? Kita terbiasa buang sampah di jalan, pelataran ruang publik, hingga sungai. Setelah banjir baru menyesal, tapi tiga hari setelah banjir surut penyesalannya dilupakan kembali. Nanti kalau sudah jadi pejabat, bakat tidak mempedulikan lingkungan ini dilanjutkan. Proyek yang merusak lingkungan tanpa manfaat jangka panjang yang signifikan lebih besar diizinkan. Yang penting ada keuntungan bagi kita saat ini, konsekuensinya pada orang lain dan generasi masa depan ya urusan belakangan.

Kita tidak taat aturan. Sewaktu masih mahasiswa, aturan kampus dilanggar. Properti kampus dicorat-coret dan dirusak. Di jalan aturan lalu lintas dilanggar. Naik motor melawan arus hanya untuk memotong perjalanan beberapa puluh meter. Belum lagi trotoar pun dilintasi atau dijadikan tempat parkir. Lampu merah diterobos kalau jalan di depan sepi. Dinding terminal, prasarana publik atau prasaran kampus dijadikan objek vandalisme. Bahu jalan hingga sebagian jalan raya dan trotoar dijadikan lapak jualan.

Gila kuasa dan penghormatan? O..ho..ho.... Siapa yang tak senang menyuruh-nyuruh junior ketika di kampus? Memaksa mereka melakukan hal konyol hingga absurd? Hm, kita baru saja mendapat status sebagai mahasiswa senior, saatnya memanfaatkan status ini semaksimal mungkin. Tunggu..., jangan berpikiran buruk dulu. Kita melakukan hal itu pada adik-adik (gratis, tanpa wewenang dan tanpa diminta, barangkali dengan sedikit memaksa) untuk melatih mental mereka, karena kita peduli. Dengan begitu mental mereka jadi lebih kuat sehingga tahun-tahun depan telah memiliki keterampilan untuk merundung yang lebih lemah juga. Nah! Nanti kalau sudah jadi pejabat, kita juga harus melatih mental masyarakat kecil.

Hal-hal yang saya tulis di atas adalah suatu keumuman lho. Belum termasuk hal-hal yang lumayan jarang atau langka seperti pencurian bagian dari sarana umum untuk dijual kiloan. Belum termasuk sentimen pada kelompok suku, etnis, atau umat agama lain. Belum termasuk kebiasaan menyebar fitnah atas dasar kebencian (Well, meskipun belakangan ini semakin kerap). Belum termasuk aksi perundungan atau kekerasan atas motif agama dan politik.

Tentu saja opini ini sekedar opini receh dari saya saja. Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mematikan semangat kepedulian kita kepada masyarakat, bangsa dan negara melalui kritik kepada pihak yang berwenang dan bertanggung jawab. Ini cuma ungkapan kejenuhan dengan yang sudah-sudah. Barangkali juga suatu sudut pandang pesimis melihat kubu-kubu yang mempromosikan balon pemimpin yang katanya sanggup merubah masa depan negeri ini menjadi jauh lebih baik. Pemerintah, parlemen, dan tokoh-tokoh nasional itu pantas menerima kritik hingga makian kita, meskipun sebagian besar dari mereka tak suka dikritik oleh yang lebih muda sebagaimana sebagian besar dari kita juga demikian. Jadi, tidak perlu pura-pura kaget. Kita sudah punya gambaran mengenai pemimpin baru kita nanti. Karena mereka adalah kupu-kupu. Kita ulatnya, dari spesies yang sama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.