Sabtu, 21 April 2012

The Heap Paradox

The Heap Paradox: Paradox of Dichotomy.

Paradoks Gundukan (The Heap Paradox). Suatu problem sederhana, yang mampu mengantarkan Anda pada pemahaman sehari-hari tentang prinsip benar dan salah atau baik dan buruk. Ya, the paradoks gundukan memiliki makna filosofis yang sangat dalam. Oke, dari pada Anda berputar-putar dalam mukadimah yang tidak jelas, marilah kita sambut the heap paradox.

“Terdapat suatu tumpukan/gundukan pasir di suatu lokasi (andaikan jumlahnya satu milyar butir). Jika kita mengambil satu butir pasirnya maka di lokasi tadi masih terdapat gundukan pasir. Jika kita ambil sebutir lagi, masih akan terdapat gundukan pasir. Jika kita mengambil butir demi butir pasir secara terus-menerus, pastilah gundukan pasir di lokasi itu akan lenyap. Adakah suatu saat ketika masih terdapat gundukan di lokasi, lalu ketika kita mengambil satu butir pasir lagi, maka yang tadinya gundukan itu sudah tidak bisa lagi dikatakan gundukan?”

“Jika kita memilih suatu lokasi, lalu kita meletakkan sebutir pasir di atasnya, kita belum akan melihat gundukan. Jika kita meletakkan sebutir pasir lagi, belum juga menjadi gundukan. Jika kita terus-menerus meletakkan butir-butir pasir di lokasi tadi, tentulah pada akhirnya tercipta sebuah gundukan pasir. Adakah suatu saat ketika belum terdapat gundukan di lokasi, lalu ketika kita meletakkan satu butir pasir lagi, maka sudah dapat dikatakan terdapat gundukan pasir di lokasi?”

Kita cukup yakin pada satu ekstrim tidak ada gundukan di lokasi dan pada ekstrim yang lain terdapat gundukan. Di manakah batas antara gundukan dan bukan-gundukan? Bagaimana bisa sesuatu itu gundukan di saat ia juga bukan-gundukan? Bagaimana bisa sesuatu itu bukan-gundukan disaat ia juga bukan-bukan-gundukan? Bagaimana? Apakah segala sesuatu di dunia ini memiliki sifat yang pasti? Apakah semuanya dualisme? Apakah yang tidak benar itu berarti salah? Apakah yang tidak salah itu berarti benar? Apakah semua memiliki batas yang jelas? Apakah kelabu itu hitam atau putih? Ini semua permasalahan dikotomi. Pola dikotomi seperti itu sudah mendarah daging dalam logika berpikir manusia, karena pada hakikatnya manusia cenderung ingin mempermudah masalah (kecuali kalau ada unsur politik di situ, biasanya memang jadi tambah rumit). Nyatanya, hampir semua hal yang ada di alam semesta ini – kalau tidak mau dibilang semua – sebenarnya tidak memenuhi hukum determinasi kualitas. Mengapa demikian? Pikirkanlah mengapa matematika itu ada, mengapa fisika itu ada. Bahwa nyatanya semua yang ada memiliki transisi, bukan suatu dikotomi.

Oke, saya sudah berupaya mencari kosakata yang familiar, tapi kesulitan untuk menemukan yang artinya persis sama, jadi di bawah ini saya terpaksa memberikan ulasan dengan bahasa yang mudah dimengerti, meskipun terkesan amburadul.

Saat kita mengatakan keras, lunak, tinggi, rendah, enak, tak enak, dan berbagai kualitas lainnya orang cenderung berkata bahwa itu relatif. Padahal, meskipun prinsip relatif berperan, tapi yang paling utama ialah bahwa semua kualitas itu semu, sekedar persepsi pengamat saja. Dalam filosofi, kualitas seperti itu disebut kualitas sekunder. Fisika dan matematika menghindari menggunakan persepsi semacam itu, tetapi menyatakannya dalam kuantitas. Untuk keras dan lunak, kita ukur modulus Young-nya berapa misalnya. Untuk tinggi – rendah, kita ukur panjangnya berapa meter. Untuk enak tak enak, kita mengukur…. Yah, ternyata tidak semua persepsi bisa dikuantitatifkan dengan fisika sekalipun.

Nah, kalau begitu apa maksud tulisan mengenai paradoks gundukan ini? Ya bahwa kebenaran kita hanyalah sekedar persepsi saja. Maksudnya, fakta sendiri adalah kebenaran mutlak, seperti ada n butir pasir di sana saat ini adalah kebenaran. Namun, "tangkapan" mengenai fakta adalah persepsi atau tafsiran masing-masing orang. Dalam sebagian hal, persepsi semua orang atas fakta yang sama juga seragam, dalam sebagian hal yang lain bisa berbeda-beda. Kita cenderung menghakimi kebenaran dan kesalahan sesuatu berdasarkan persepsi pribadi, padahal dikotomi itu semu. Sampai di mana pasir-pasir itu bisa dibilang gundukan? Sampai butir ke berapakah sistem itu tiba tiba memperoleh sifat gundukan? Sampai di manakah sesuatu itu disebut kebenaran? Sampai seperti apakah yang kita katakan bisa disebut kebenaran? Jadi kebenaran kita itu cuma sekedar persepsi? Wah, sudah seberapa sering Anda mengakimi diri sendiri dan yang lain hanya menggunakan persepsi? Well, alih-alih menggunakan kata “kebenaran”, saya lebih suka menggunakan “kecocokan”. Jadi sah-sah saja kita menggunakan dikotomi, terlebih dalam kehidupan sehari-hari. Yang penting adalah kita menyadari bahwa dikotomi bukanlah bagian dari sistem kebenaran dan oleh sebab itu tidak pantas untuk menghakimi suatu kebenaran. Lagi pula, dikotomi tidak bersifat universal, melainkan bergantung dari pemilihan sudut pandang permasalahan. Contohnya: lawannya haus adalah lapar, lawannya kenyang juga lapar. Jadi haus sama dengan kenyang?



Kuis: Ada berapa jumlah tanda tanya pada artikel ini?

Baca juga:

Ship of Theseus

5 komentar:

  1. enak dibaca artikelnya..

    utk kuis, saya jawab, 22, bener ga ?
    saya buat sebuah program hanya utk menghitung tanya tanya dikuis ini , :D

    Anggun Firdaus

    BalasHapus
  2. Makasih banyak Anggun...

    Wah, betul. Jangan-jangan kamu kopi di M.S. Word terus pakai replace, iya tidak??
    He..he...

    BalasHapus
  3. saya hanya iseng pake bahasa programman c++ mas paradokster..kebetulan ga suka pake ms word.. bagi saya, blog ini luar biasa, saya selalu mengunjungi blog ini, penuh dgn ilmu pengetahuan..pesan dari sby, lanjutkan mas..hehehe

    BalasHapus
  4. banyak kali pertanyaanya.. macam mata najwa aja :D

    BalasHapus
  5. Jawabannya simple, semua itu udah terjawab di Fuzzy Logic. :)

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.