Loading [MathJax]/extensions/tex2jax.js

Sabtu, 19 Mei 2012

Batik

Saat kau didekatku
kuanggap kau tak ada
Seperti sudah semestinya kau di sini, sebagai kewajaran
Saat kau menjauh
berada di dekat dirinya
Barulah kusadari,
betapa berartinya kau
bagi diriku…


Lho, sejak kapan blog ini berisikan puisi romantis? Ya sejak kini. Jangan khawatir saudara-saudara, blog ini akan tetap berisi tulisan-tulisan tentang fisika, matematika, paradoks, dan problema kehidupan sosial yang mengandung nilai paradoksal dan kontradiksi atau sekedar keanehan realita.

Sudah cukup lama terjadi perubahan yang cukup kentara pada teman-teman kuliah saya. Sebagian dari mereka mulai pakai batik! Oke, sayangnya saya belum termasuk dalam golongan mas-mas atau mbak-mbak batik itu, berhubung satu-satunya kain batik yang pernah saya punya dan saya sukai cuma sepotong sarung kucel. Itu pun sudah jadi kain lap dan kini telah raib ditelan masa. Ada sih, baju kontingen waktu ikut OSN masa SMA dulu, tapi selain kekecilan warnanya pun norak habis. Ogah saya pakai. Nantilah kalau ada uang lebih, tak belikan kemeja batik yang keren (meski biasanya habis duluan dipakai beli buku).

Lalu apa? Ya itu tadi, dengan menyimpulkan puisi dan narasi yang saya tuliskan, terlepas dari sisi negatif klaim batik oleh negeri tetangga, tanpa grusa-grusu koar-koar sana sini, dengan tulus saya mengucapkan terima kasih untuk Malaysia. Sekarang orang Indonesia kembali mulai melirik budaya nasionalnya.

Ngomong-ngomong tentang budaya nasional, saya harap ada negara tetangga yang mau mengklaim perahu pinisi dan pisang epe, dengan maksud yang saya kira sudah bisa Anda baca. Supaya Indonesia tak terlihat sekedar Jawa, Sumatera, dan Bali saja.



Selengkapnya...

Masalah Perdebatan

Alkisah pada zaman dahulu kala, tepatnya waktu saya kelas satu atau dua SD, mungkin juga tiga, saya tidak mengikuti mata pelajaran kertakes alias kertasen, alias KTK, alias SBK (istilah ini nggak ada waktu saya SD dulu kayaknya). Waktu itu bu guru (mungkin pak guru, saya lupa) menginformasikan pelajaran untuk minggu depan adalah kerajinan lipat-melipat kertas alias origami – tapi nggak pakai kertas origami. Waktu itu nggak jaman pakai kertas origami, kita pakai yang lebih besar: kertas marmer, bisa dipotong seenak perut. Teman saya memberi informasi untuk membawa kertas marmer yang sudah dipotong dengan ukuran panjang 10 cm dan lebar 20 cm saat kelas minggu depan. Berhubung nggak ada uang lagi untuk beli kertas marmer berwarna-warni, terpaksa sampul buku saya jadi korban (jaman SD dulu buku catetan mesti disampul segala dengan kertas marmer sampai kelas enam, mungkin bapak/ibu guru menyangka kita terlalu bodoh membedakan buku catetan sendiri ;).

Oke, jadilah saya membuat potongan-potongan kertas origami sesuai ukuran yang dikatakan teman saya itu, panjang 10 cm dan lebar 20 cm. Sehari sebelum kelas kertasen berikutnya saya mendapatkan informasi yang menggemparkan kehidupan bersekolah saya saat itu dari seorang teman lain. Katanya ukuran kertas lipatnya panjang 20 cm dan lebar 10 cm. Tentu saja saya berang bukan kepalang pada teman saya yang memberikan informasi sesat itu, mengingat sampul buku sudah jadi korban.

Saya    :“Kata teman-teman yang lain ukurannya panjang 20 senti lebar 10 senti, yang kamu bilang keliru Jack”.
(karena nggak ingat namanya saya sebut saja Jack)
Jack:“Lho, memang betul. Panjangnya 10 senti lebarnya yang 20 senti”.

Saya lalu memanggil salah satu teman saya yang memberikan informasi yang berbeda dari Jack, sebut saja namanya McCarthy.

McCarthy:“Aiih… salahko Jack”.
”Bu guru (mungkin pak guru) bilang panjangnya yang 20 senti, bukan lebarnya”

Maklum anak kecil (saya juga sih), mereka pun mengeluarkan kertas lipatnya sebagai bukti argumen. Ternyata saudara-saudara, kertas lipat Jack warnanya biru sedang punyanya McCarthy warna merah! Oke, maksud saya kertas lipat keduanya ukurannya persis sama. Perdebatan pun berhenti, namun mulai saat itu saya, Jack dan McCarthy mulai menyelami misteri tentang panjang dan lebar. Silakan tertawa, saya sekarang juga menertawakan diri saya dulu, masa bisa-bisanya nggak tahu keduanya itu sama? Ya, namanya juga masih lugu dan polos.

Well, maaf kalau ceritanya kurang berkesan atau terkesan garing. Cuma sekedar teringat betapa sering saya dan orang-orang di sekeliling saya terlibat perdebatan yang sebenarnya tak perlu. Hanyalah kedangkalan pikiran yang membuat kita memperdebatkan dua hal yang sebenarnya sama namun kemasannya saja yang berbeda. Hanyalah ego yang membuat kita memperdebatkan selera. Tak perlu lagi kita meributkan inkonsistensi dialektis, kaidah linguistik, artistik, lipstik, diskotik, Patrick, dan tetek bengek lainnya. Kita mesti tahu, perdebatan ini cukup sampai di sini saja.



Gambar 1.1. Patrick.


Selengkapnya...

Pengetahuan dan Pikiran

Pengetahuan dan pikiran: tahukah Anda perbedaannya? Kita semua tahu memperluas pengetahuan dan mengembangkan pikiran itu tujuan utamanya satu, yakni senjata untuk menghadapi masalah dalam kehidupan. Beberapa orang dengan bangganya memamerkan pengetahuannya, dan mengajarkan pengetahuannnya kepada orang lain dengan anggapan bahwa pengetahuan menjamin bahwa kita akan semakin ahli dalam memecahkan masalah-masalah yang menghampiri atau menciptakan inovasi-inovasi baru. Tahukah Anda bahwa pengetahuan itu “berbahaya”, seperti pedang bermata dua? Ya, pengetahuan hanya akan berguna untuk kebaikan jika digunakan dengan bijak. Di sini saya tidak membahas hal-hal seperti pemanfaatan pengetahuan untuk membuat piranti-piranti jahat atau proyek-proyek bejat lainnya, melainkan tentang hal kecil yang sering teracuhkan yakni dalam memecahkan masalah.

Pengetahuan bisa saja membutakan kita dari jalan yang benar.

Umpamakanlah si A dan si B sama-sama disuruh gurunya memasang sebuah pigura di dinding kelas dan mereka sama-sama punya bahan untuk itu: paku. Masalahnya ialah bagaimana cara memaku dinding agar pigura dapat terpasang? Tentu saja pakunya perlu dipalu, dan mereka tak punya palu. Si A, yang menggunakan pikiran jernih untuk memecahkan masalah itu keluar sejenak, dan mendapatkan batu untuk memukul paku hingga menancap di dinding. Si B, dengan pengetahuannya, memutuskan ia memerlukan palu untuk memalu paku tadi. Pergilah si B mencari palu ke bagian perlengkapan sekolah, kantin, sampai ke rumah warga. Ia tak mengindahkan berbagai hal yang sebenarnya dapat digunakan untuk memecahkan masalah itu. Ia mencoba meminjam palu dari satu tempat ke tempat lain sampai dapat.

Si A adalah orang yang menggunakan pengetahuan dan pikirannya secara bijak. Ia adalah orang yang mendahulukan kemurnian pikiran daripada pengetahuan. Yang diperlukan ialah menancapkan paku ke dinding, maka dengan pikiran yang benar ia mencari cara untuk menancapkan paku. Si B adalah orang yang kurang bijak menggunakan pengetahuan dan pikirannya. Ia membiarkan pengetahuannya menutupi jalan keluar yang sebenarnya ada di dekatnya. Yang ia perlukan adalah palu, maka ia mengabaikan batu-batu dan benda lainnya (yang sebenarnya dapat digunakan) dan mencari jalan panjang dan memakan waktu untuk menyelesaikan masalah itu sesuai dengan pengetahuannya. Si B membiarkan pengetahuannya menutupi jalan keluar. Si A dengan mudah dan cepat menyelesaikan masalah, sedangkan si B mencari jalan yang rumit dan memakan waktu (malah mungkin tidak berhasil) karena beranggapan bahwa solusi hanya mungkin jika sesuai dengan pengetahuan.

Jangan biarkan pengetahuan menutupi jalan kebenaran. Kita harus menggunakan pengetahuan yang kita miliki secara bijak.



Selengkapnya...

Sabtu, 05 Mei 2012

Soal dan Pembahasan OSK Astronomi 2012

Buat yang belum tahu, Anda dapat memperoleh soal OSK Astronomi 2012 di laman download atas usaha Pak Mariano. Beliau juga memberikan pembahasannya di blog Pembahasan Soal-Soal Olimpiade Astronomi. Kunjungi aja.

Selengkapnya...

Cerpen: Jagung dan Ubi

Hanya sekedar ingin berbagi cerita yang didasarkan dari kenyataan yang biasa terjadi, kadang nampak tak masuk akal karena dunia memang aneh. Begitulah kenyataan.


Jagung dan Ubi

Di suatu negeri antah berantah, hiduplah dua orang makhluk yang hidup di tempat yang terpisah (walaupun tidak begitu jauh) dan tidak saling mengenal. Mereka bernama Ubi dan Jagung. Nasib Ubi dan Jagung, entah hanya kebetulan, mirip sekali. Ubi dan Jagung adalah anak yatim, ayahnya sudah meninggal dunia dan mereka adalah anak tunggal. Selain mereka dan ibunya masing-masing, mereka tak punya siapa-siapa lagi. Ubi bekerja sebagai pemulung sampah sedangkan Jagung seorang tukang becak. Penghasilan mereka pas-pasan untuk sekedar makan. Mereka berdua belum menikah, maklum usianya baru menginjak dua puluh satu tahun.

Ubi adalah pekerja giat, biasanya delapan belas jam sehari ia bekerja memulung sampah dan menjualnya ke pengumpul. Penghasilannya rata-rata delapan ribu rupiah sehari. Dengan uang itu ia bisa makan cukup dengan ibunya, Bu Ubi. Ubi bukanlah seorang pemimpi, walaupun kadang agak jarang ia juga menghayalkan punya kehidupan yang lebih baik, namun ia tak punya obsesi besar untuk meraihnya. Maklum, ia sadar kemampuannya tidak ada. Ia bersekolah hanya sampai kelas tiga Sekolah Dasar Palawija. Walaupun hidupnya pas-pasan, ia tatap bersyukur pada Tuhan atas yang ia dapatkan tiap harinya, walaupun ia tidak pernah meminta lebih.

Sedikit berbeda dengan Jagung, ia adalah seorang tukang becak yang rajin dan ulet, namun ia saja yang memang selalu sial. Kadang ia narik penumpang, setelah tujuan dekat penumpangnya kabur lompat dari becak, ada yang pura-pura kencing dan tidak kembali, ada bayar kurang langsung kabur, ada pula yang membayar pakai golok. Penghasilannya rata-rata empat puluh ribu sehari, tapi itu belum setoran sama yang punya becak, lima puluh persen. Belum lagi uang ini itu, pajak ini itu, dan ini itu. Jagung adalah orang (orang tanaman, bukan manusia) yang taat dan sabar. Tapi walaupun sabar, ia memang tetap mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Sering ia berdoa pada Tuhan minta diberikan rezeki yang berlimpah, tapi tak kunjung juga rezeki itu datang. Jangankan berlimpah, tambahan secuil pun nyaris tidak ada, mungkin belum waktunya.

Suatu hari, kejadian serupa menimpa keduanya. Ibu mereka jatuh sakit. Sakitnya sangat parah dan harus segera dioperasi. Ubi dan Jagung kalang kabut tak kentut-kentut. Operasi kan biayanya mahal, dari mana mereka dapat uang, makan saja pas-pasan. Ubi dan jagung pusing sekali. Seraya memeras kain pel, mereka memeras otak bagaimana cara mendapat banyak uang sesegera mungkin.

Malamnya, saat mereka tertidur, Setan Terong Panjang masuk dalam mimpi mereka. Dalam mimpi Ubi dan Jagung, Terong Panjang berkata, “Hei, kamu mau dapat uang banyak kan, hahahaha....” “Curilah kerbau milik Pak Kencur, lalu jual biar bisa operasi ibumu. Curilah besok malam, karena besok malam ia akan keluar. Jangan takut, asalkan tidak tertangkap basah kamu pasti tidak akan di curigai, hahahaha....!”

Esok paginya, saat Ubi dan Jagung terbangun, mereka memikirkan mimpinya semalam. Jagung ingin sekali menolong ibunya. Ia ingin agar ibunya sembuh, ia tak mau kehilangan ibunya. Setelah pertimbangan panjang, ia akhirnya pergi ke rumah Pak Kencur, mencuri kerbau. Dilihatnya banyak kerbau di sana. Kalau dicuri satu pasti tidak ketahuan, pikir jagung. Lalu diambilnya kerbau yang bokongnya belang putih, lalu dijualnya. Kerbau itu dihargai sepuluh juta, cukup untuk biaya operasi. Namun secara tak sengaja, Jagungwati, pacarnya jagung melihat Jagung. Ia tahu Jagung tidak punya kerbau. Pasti ada yang tidak beres. Ia pun mengamati dan membuntuti Jagung. Setelah Jagung keluar pasar dan ke jalan setapak yang agak sepi, Jagungwati menghampiri Jagung. Jagung kaget, ia ketakutan.

“Kulihat tadi kamu jual kerbau, kerbau siapa itu, Gung?” Jagung hanya diam ketakutan, melihat tingkah Jagung, Jagungwati makin yakin. “Kenapa diam, Gung? Ayo jawab! Kerbau itu punya siapa?!”

Jagung manjawab gelagapan, “I, i, i.....tu kerbau......”

Jagungwati membentak, “Kerbau siapa! Kamu nyuri kan? Ayo jawab!”

Jagung yang sebelumnya belum pernah mencuri itu ketakutan dua pertiga mati. Ia tidak tahu harus bilang apa, lalu tiba-tiba Jagungwati kembali membentak, “Kamu nyuri kan?”

Dengan ragu Jagung mengiyakan. Jagungwati lalu berkhotbah, “Aku tahu ibumu sakit dan butuh biaya yang mahal. Tapi kamu harus tetap tabah, tidak boleh berbuat dosa. Kamu harus mencari uang yang halal untuk menolong ibu kamu. Ini hanya cobaan dari Tuhan, Gung. Jangan karena cobaan kamu malah berbuat dosa. Kalau kamu mau berusaha keras dan berdoa, aku yakin kamu dapat menolong ibu kamu. Aku akan membantu kamu mencari uang, kalau kita mau sabar, Tuhan pasti akan memberikan jalan keluarnya. Sekarang cepat kembalikan kerbau itu ke pemilikinya.”

Jagung sadar, yang diperbuatnya salah. Ia lalu memeluk Jagungwati dan berterima kasih. Mereka berdua tersenyum. Jagung lalu membeli kembali kerbau itu, dengan ongkos tambah, lalu diam-diam ia mengembalikan kerbau itu di umah Pak Kencur. Jagung bekerja giat mencari uang secara halal. Dua puluh empat jam sehari ia mengayuh becak, untuk menolong ibunya. Jagungwati kerja sambilan jadi tukang cuci di rumah orang, untuk membantu jagung mencari uang.

Di lain sisi lain sudut, Ubi masih terduduk berpikir. Kemudian ia kentut, kentutnya bau sekali, ia saja sampai mau muntah, tapi rasanya jadi lega kalau sudah keluar. Ubi lalu tersentak, kentut, bau, lega lalu bau hilang seolah membawa ilham baginya. Segera ia berpikir. Apakah ia betul-betul mencintai ibunya. Apakah dirinya tidak rela menanggung dosa demi menolong ibunya? Apakah dirinya lebih mementingkan amalnya daripada nyawa ibunya? Jika ia memang sangat mencintai ibunya, ia harus mendapatkan uang. Setidaknya jika ia mencuri kerbau, ibunya bisa sembuh dan ia bisa semangat bekerja lagi. Jika uangnya sudah cukup, ia akan mengganti kerbau yang dicurinya, dan dengan ikhlas menerima hinaan dari Pak Kencur, asal hal ini tidak diketahui ibunya, agar tidak menambah beban ibunya. Ataukah ini memang skenario Tuhan? Ya, pasti begitu, pikir Ubi.

Ubi pun membulatkan tekadnya, ia pergi mencuri kerbau di rumah Pak Kencur, diambilnya kerbau yang bokongnya belang putih, lalu dijual. Kemudian ia meminta pada pihak rumah sakit untuk segera mengoperasi ibunya. Nyawa ibunya tertolong. Di lain pihak, Jagung yang semangat mengumpulkan uang tiba-tiba kaget sewaktu menjenguk ibunya. Ia terlambat mencari uang, ibunya telah tiada. Ia menangis sejadi-jadinya. Besoknya terdengar kabar Jagungwati jadi gila setelah diperkosa ramai-ramai oleh anak-anak dan ponakan-ponakan majikannya. Ia tambah sedih, tambah stress. Ia hanya bisa menangis.

Setelah ibunya sembuh, Ubi bekerja giat mengumpulkan sampah. lalu tiba-tiba muncul ide membuat kerajinan dari batang-barang bekas. Akhirnya Ubi dan ibunya membuka usaha pembuatan kerajinan dari limbah. Usahanya sangat maju. Empat bulan kemudian, Ubi telah memiliki cukup uang untuk mengganti kerbau Pak Kencur. Dibelinya kerbau montok dan dibawa ke rumah Pak Kencur, ia siap menerima cacian dari Pak Kencur. Ternyata dugaannya salah, Pak Kencur tidak marah, ia justru menagis mendengar cerita Ubi. Ia menerima kerbau itu dengan senang hati dan memaafkan Ubi setulus hati. Ubi tersentuh, ternyata Pak Kencur orangnya baik. Ternyata jalan pikirannya dulu tidak salah, atau, memang benarkah ini skenario Tuhan? Ia bersyukur, begitu bersyukur, tak lupa juga ia berterima kasih pada Terong Panjang. Kini usaha Ubi semakin besar, ia telah mempekerjakan delapan orang, karena orderannya semakin besar. Ia telah menikah dengan seorang Ubi yang cantik yang bernama Miyubi. Ubi dan keluarganya hidup bahagia.

Di sana, Jagung terduduk sendiri.......



Skaga
Blitar, 29-08-2008



Mengapa kita sering terlalu menyalahkan pencuri? Lalu kapan kita menyalahkan diri kita sendiri, kok mau-maunya jadi korban pencurian? Pencuri kan biasanya mencuri karena "diundang"? Tidak perlu takut akan nasib buruk, tetapi selalulah takut melakukan sebab yang dapat memberikan akibat buruk. Kita tak akan mendapatkan apapun yang bukan nasib kita. Bukankah begitu?


Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.