Sabtu, 02 Juni 2012

Die Religion ist das Opium des Volkes

Beberapa minggu yang lalu saat pulang kampus naik angkutan kota sempat mendangar lagu Tuhan Palsu diputar oleh pak sopir. Sepertinya sih dari kaset atau semacamnya, bukan dari radio. Setelah googling sebentar katanya lagu itu dinyanyikan oleh Dajjal band (???). Entahlah, yang jelas berikut lirik lagunya.


Lirik Tuhan Palsu:
Bagi kalian semua yang masih punya tuhan
Dan sampai saat ini masih percaya akan adanya Tuhan
Dengerin lagu Gua!
Siapin aja kuping lu!
Panas-panas tuh kuping!

Yuk ah!

Apa elu tega
Ama tuhan yang gak pake baju?
Dingin dong
Awas ah masuk angin

Apa elu tega
Ama tuhan yang cuma pake kolor?
Gak malu tuh
Kayak orang gila dong?

Apa elu bener-bener tega
Ama tuhan yang nempel di Salib?
Udah gak pake baju
Cuma pake kolor
Kayak di film-film Porno

Emang muka Bokep
Lu lagi yang masih percaya
Mikir dong mikir
Lu kan udah gede
Belegug sia!

Apa lu gak salah?
Pilih tuhan kok kepalanya botak
Tekek wae kadinya!

Di tipe-x an deui
Buleud-buleud genep siki
Kasiga kartu gapleh!

Apa lu gak salah?
Pilih tuhan yang telinganya melar
Alah, sigana dijeweran wae eta baheulana ku kolotna euy

Apa lu juga gak salah?
Pilih tuhan yang tampangnya aneh
Udah kepalanya botak, telinganya melar, kayak...
Siga naon euy?
Ah ancur pokonamah, ancur bangget, hirup deui geus ancur teh

Kumaha, panas can?
Deui, deui?
Deui atuh ah!
Lagi

Apa elu gila?
Punya tuhan kok lu anggap sapi
Mooooo
Gung, gung, gung

Apa elu gila?
Sapi aja kok lu anggap tuhan

Eh, sarua wae nya?
Bae lah, eweuh deui text na, bae nya?
Bae lah
Deui ah

Apa lu bener bener gila?
Punya tuhan kok lu anggap sapi
Sapi lu anggap tuhan
Tuhan lu anggap sapi
Sapinya juga nganggap elu

Siga sapi bengeut sia mah sih
Hehehe
Mooo, Mooo, Mooo
Tah, sia siga sapi

Apa lu nggak stress?
Punya tuhan kok nyangkut di Salib?
Meuni watir
Dipoe wae kitu maneh?
Buru di angkat
Kaburu hujan

Apa lu nggak Stress?
Punya tuhan kok kepalanya gundul
Serab tah euy kana panon, meuni mencang
Tisoledat aing jigana mah lamun urang nincak huluna

Apa lu bener bener stress?
Punya tuhan yang kagak waras
Yang satu di Salib
Yang satunya botak
Yang satunya lagi...
Apa apa?
Sapiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
Moo, Moo, Moooo

Geus nya?

Untuk tuhan yang tidak disebut
Mohon jangan iri hati
Dan juga jangan kecewa ya
Sesama trayek
Dilarang mendahului

TERIMAKASIH


Saat mendengarnya, saya cuma senyum-senyum sendiri nyaris seperti orang gila. Penulis lagu tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang disindirnya. Kebanyakan lirik lagunya merupakan anggapan keliru sang penulis lagu terhadap agama yang beliau sindir, jadi wajar kalau saya tertawa. Misalkan ada seorang dari pedalaman melihat Anda menelepon menggunakan ponsel lalu berkata sambil tertawa, “Kamu gila? Masa bicara sendiri sambil nempelin kotak di pelipis?” Saya kira jika itu bakal terjadi Anda pasti bakal senyum-senyum juga, malah bisa-bisa tertawa terbahak-bahak. Well, saya harap orang-orang (yang pernah dengar lagu ini) yang Tuhannya dimaksudkan dalam lagu itu tetap sabar dan tersenyum, anggap saja itu adalah hiburan dalam bentuk tantangan menjalani agama kita masing-masing.

Lalu, setelah berpikir sejenak, dua jenak, tiga jenak, saya teringat kata-kata dari Karl Marx, sang bapak komunis dunia. Beliau memang fenomenal, baik bagi orang yang bermazhab komunis-sosialis sampai liberalis-kapitalis. Dari orang yang menyukai paham komunis minus konsep ketuhanannya hingga yang benar-benar membenci komunis tanpa tahu apa sebenarnya komunis itu. Sederhananya (menurut saya) komunis itu berarti komunal, bersama-sama. Paham untuk mencapai kesejahteraan bersama-sama, dengan memperjuangkan nasib kalangan buruh dan kalangan rendah lainnya. Menolak kesewenang-wenangan, penguasaan, monopoli oleh kaum ber-ada, yakni borjuis liberal. Entah mengapa banyak yang anti komunis tanpa tahu barang sedikit saja tentang komunis, mungkin salah satu kalimat Marx (yang menjadi judul tulisan ini) yang menjadi penyebabnya.


Karl Marx

Banyak orang-orang menerjemahkan kalimat Marx tadi sebagai “Agama adalah candu”. Saya rasa itu tidak benar-benar tepat, oleh karena itu saya sajikan kalimat versi Marx sendiri.

Die religion… ist das Opium des Volkes”.

Berikut pengertian dari kata-kata berbahasa Jerman di atas.

  • Religion : agama, bisa juga berarti keyakinan/kepercayaan spiritual, tapi umumnya ditujukan untuk agama. Agama = keyakinan + ibadah + aturan (akidah).
  • Opium : ganja, obat-obatan yang berasal dari daun tumbuhan yang bersifat psiktotropik, dapat digunakan sebagai obat bius/penenang, tetapi bisa disalahgunakan sehingga menimbulkan kecanduan.
  • Volkes : orang-orang (peoples), kaum, bisa juga berarti masyarakat atau bangsa.

Saya kira… pendapat Karl Marx di atas memang benar sebatas apa yang termaktub dalam kalimat itu (ndak tau dengan kalimatnya yang lain).

Misalkan saya berkata “Bertani adalah pekerjaan bagi manusia”. Tentunya tidak ada orang “sehat” yang akan mengatakan kalimat saya tadi tidak benar. Tetapi penting meskipun bertani adalah pekerjaan manusia, tetapi tidak berarti semua orang adalah petani. Jadi seperti itulah kita harus mencerna kalimatnya Marx, tidak dikurang-kurangi juga tidak dilebih-lebihkan.

“Kecanduan” seperti itulah yang kiranya dialami oleh sang pembuat lagu. Kecanduan ini umumnya — menurut saya, dialami oleh orang-orang yang belum begitu mendalami ajaran agamanya dengan baik ditambah dengan arogansi dan egoisme kekanak-kanakan, atau mungkin baru mulai mempelajari agama dengan begitu semangatnya. Namun jika kita melihat maestro-maestro berbagai agama, sebut saja Gandhi dan Gus Dur, yang demikian bijaksananya, saya kira agama tidak lagi menjadi candu yang berbahaya, tapi malah menjadi sebuah obat hati, ketenangan yang membahagiakan bagi diri sendiri dan makhluk lain.

Bagaimana dengan kita? Ya, mari memilih.



Selengkapnya...

Sabtu, 19 Mei 2012

Batik

Saat kau didekatku
kuanggap kau tak ada
Seperti sudah semestinya kau di sini, sebagai kewajaran
Saat kau menjauh
berada di dekat dirinya
Barulah kusadari,
betapa berartinya kau
bagi diriku…


Lho, sejak kapan blog ini berisikan puisi romantis? Ya sejak kini. Jangan khawatir saudara-saudara, blog ini akan tetap berisi tulisan-tulisan tentang fisika, matematika, paradoks, dan problema kehidupan sosial yang mengandung nilai paradoksal dan kontradiksi atau sekedar keanehan realita.

Sudah cukup lama terjadi perubahan yang cukup kentara pada teman-teman kuliah saya. Sebagian dari mereka mulai pakai batik! Oke, sayangnya saya belum termasuk dalam golongan mas-mas atau mbak-mbak batik itu, berhubung satu-satunya kain batik yang pernah saya punya dan saya sukai cuma sepotong sarung kucel. Itu pun sudah jadi kain lap dan kini telah raib ditelan masa. Ada sih, baju kontingen waktu ikut OSN masa SMA dulu, tapi selain kekecilan warnanya pun norak habis. Ogah saya pakai. Nantilah kalau ada uang lebih, tak belikan kemeja batik yang keren (meski biasanya habis duluan dipakai beli buku).

Lalu apa? Ya itu tadi, dengan menyimpulkan puisi dan narasi yang saya tuliskan, terlepas dari sisi negatif klaim batik oleh negeri tetangga, tanpa grusa-grusu koar-koar sana sini, dengan tulus saya mengucapkan terima kasih untuk Malaysia. Sekarang orang Indonesia kembali mulai melirik budaya nasionalnya.

Ngomong-ngomong tentang budaya nasional, saya harap ada negara tetangga yang mau mengklaim perahu pinisi dan pisang epe, dengan maksud yang saya kira sudah bisa Anda baca. Supaya Indonesia tak terlihat sekedar Jawa, Sumatera, dan Bali saja.



Selengkapnya...

Masalah Perdebatan

Alkisah pada zaman dahulu kala, tepatnya waktu saya kelas satu atau dua SD, mungkin juga tiga, saya tidak mengikuti mata pelajaran kertakes alias kertasen, alias KTK, alias SBK (istilah ini nggak ada waktu saya SD dulu kayaknya). Waktu itu bu guru (mungkin pak guru, saya lupa) menginformasikan pelajaran untuk minggu depan adalah kerajinan lipat-melipat kertas alias origami – tapi nggak pakai kertas origami. Waktu itu nggak jaman pakai kertas origami, kita pakai yang lebih besar: kertas marmer, bisa dipotong seenak perut. Teman saya memberi informasi untuk membawa kertas marmer yang sudah dipotong dengan ukuran panjang 10 cm dan lebar 20 cm saat kelas minggu depan. Berhubung nggak ada uang lagi untuk beli kertas marmer berwarna-warni, terpaksa sampul buku saya jadi korban (jaman SD dulu buku catetan mesti disampul segala dengan kertas marmer sampai kelas enam, mungkin bapak/ibu guru menyangka kita terlalu bodoh membedakan buku catetan sendiri ;).

Oke, jadilah saya membuat potongan-potongan kertas origami sesuai ukuran yang dikatakan teman saya itu, panjang 10 cm dan lebar 20 cm. Sehari sebelum kelas kertasen berikutnya saya mendapatkan informasi yang menggemparkan kehidupan bersekolah saya saat itu dari seorang teman lain. Katanya ukuran kertas lipatnya panjang 20 cm dan lebar 10 cm. Tentu saja saya berang bukan kepalang pada teman saya yang memberikan informasi sesat itu, mengingat sampul buku sudah jadi korban.

Saya    :“Kata teman-teman yang lain ukurannya panjang 20 senti lebar 10 senti, yang kamu bilang keliru Jack”.
(karena nggak ingat namanya saya sebut saja Jack)
Jack:“Lho, memang betul. Panjangnya 10 senti lebarnya yang 20 senti”.

Saya lalu memanggil salah satu teman saya yang memberikan informasi yang berbeda dari Jack, sebut saja namanya McCarthy.

McCarthy:“Aiih… salahko Jack”.
”Bu guru (mungkin pak guru) bilang panjangnya yang 20 senti, bukan lebarnya”

Maklum anak kecil (saya juga sih), mereka pun mengeluarkan kertas lipatnya sebagai bukti argumen. Ternyata saudara-saudara, kertas lipat Jack warnanya biru sedang punyanya McCarthy warna merah! Oke, maksud saya kertas lipat keduanya ukurannya persis sama. Perdebatan pun berhenti, namun mulai saat itu saya, Jack dan McCarthy mulai menyelami misteri tentang panjang dan lebar. Silakan tertawa, saya sekarang juga menertawakan diri saya dulu, masa bisa-bisanya nggak tahu keduanya itu sama? Ya, namanya juga masih lugu dan polos.

Well, maaf kalau ceritanya kurang berkesan atau terkesan garing. Cuma sekedar teringat betapa sering saya dan orang-orang di sekeliling saya terlibat perdebatan yang sebenarnya tak perlu. Hanyalah kedangkalan pikiran yang membuat kita memperdebatkan dua hal yang sebenarnya sama namun kemasannya saja yang berbeda. Hanyalah ego yang membuat kita memperdebatkan selera. Tak perlu lagi kita meributkan inkonsistensi dialektis, kaidah linguistik, artistik, lipstik, diskotik, Patrick, dan tetek bengek lainnya. Kita mesti tahu, perdebatan ini cukup sampai di sini saja.



Gambar 1.1. Patrick.


Selengkapnya...

Pengetahuan dan Pikiran

Pengetahuan dan pikiran: tahukah Anda perbedaannya? Kita semua tahu memperluas pengetahuan dan mengembangkan pikiran itu tujuan utamanya satu, yakni senjata untuk menghadapi masalah dalam kehidupan. Beberapa orang dengan bangganya memamerkan pengetahuannya, dan mengajarkan pengetahuannnya kepada orang lain dengan anggapan bahwa pengetahuan menjamin bahwa kita akan semakin ahli dalam memecahkan masalah-masalah yang menghampiri atau menciptakan inovasi-inovasi baru. Tahukah Anda bahwa pengetahuan itu “berbahaya”, seperti pedang bermata dua? Ya, pengetahuan hanya akan berguna untuk kebaikan jika digunakan dengan bijak. Di sini saya tidak membahas hal-hal seperti pemanfaatan pengetahuan untuk membuat piranti-piranti jahat atau proyek-proyek bejat lainnya, melainkan tentang hal kecil yang sering teracuhkan yakni dalam memecahkan masalah.

Pengetahuan bisa saja membutakan kita dari jalan yang benar.

Umpamakanlah si A dan si B sama-sama disuruh gurunya memasang sebuah pigura di dinding kelas dan mereka sama-sama punya bahan untuk itu: paku. Masalahnya ialah bagaimana cara memaku dinding agar pigura dapat terpasang? Tentu saja pakunya perlu dipalu, dan mereka tak punya palu. Si A, yang menggunakan pikiran jernih untuk memecahkan masalah itu keluar sejenak, dan mendapatkan batu untuk memukul paku hingga menancap di dinding. Si B, dengan pengetahuannya, memutuskan ia memerlukan palu untuk memalu paku tadi. Pergilah si B mencari palu ke bagian perlengkapan sekolah, kantin, sampai ke rumah warga. Ia tak mengindahkan berbagai hal yang sebenarnya dapat digunakan untuk memecahkan masalah itu. Ia mencoba meminjam palu dari satu tempat ke tempat lain sampai dapat.

Si A adalah orang yang menggunakan pengetahuan dan pikirannya secara bijak. Ia adalah orang yang mendahulukan kemurnian pikiran daripada pengetahuan. Yang diperlukan ialah menancapkan paku ke dinding, maka dengan pikiran yang benar ia mencari cara untuk menancapkan paku. Si B adalah orang yang kurang bijak menggunakan pengetahuan dan pikirannya. Ia membiarkan pengetahuannya menutupi jalan keluar yang sebenarnya ada di dekatnya. Yang ia perlukan adalah palu, maka ia mengabaikan batu-batu dan benda lainnya (yang sebenarnya dapat digunakan) dan mencari jalan panjang dan memakan waktu untuk menyelesaikan masalah itu sesuai dengan pengetahuannya. Si B membiarkan pengetahuannya menutupi jalan keluar. Si A dengan mudah dan cepat menyelesaikan masalah, sedangkan si B mencari jalan yang rumit dan memakan waktu (malah mungkin tidak berhasil) karena beranggapan bahwa solusi hanya mungkin jika sesuai dengan pengetahuan.

Jangan biarkan pengetahuan menutupi jalan kebenaran. Kita harus menggunakan pengetahuan yang kita miliki secara bijak.



Selengkapnya...

Sabtu, 05 Mei 2012

Soal dan Pembahasan OSK Astronomi 2012

Buat yang belum tahu, Anda dapat memperoleh soal OSK Astronomi 2012 di laman download atas usaha Pak Mariano. Beliau juga memberikan pembahasannya di blog Pembahasan Soal-Soal Olimpiade Astronomi. Kunjungi aja.

Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.