Kamis, 21 Juni 2018

Teori, Hukum, dan Hipotesa

Teori evolusi? Teori relativitas umum? Ah, itukan cuma teori! Pernah dengar ungkapan seperti itu dari seorang “pakar” yang berbicara tentang sains? Ya, katanya teori itu belum tentu benar; kalau sudah pasti benar mestinya disebut hukum. Pemahaman saya dulu pun juga seperti itu, karena guru saya mengajarkan demikian. Sebenarnya, pemahaman ini keliru. Tulisan ini adalah upaya saya untuk meluruskan miskonsepsi ini.

Penyebab utama kebingungan ini adalah dalam dunia ilmiah, teori memiliki pengertian yang agak berbeda dari pengertian umum yang digunakan sehari-hari. Berikut ini definisi teori menurut KBBI.

  1. (n) pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi
  2. (n) penyelidikan eksperimental yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi, argumentasi: -- tentang kejadian bumi; -- tentang pembentukan negara
  3. (n) asas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan: -- mengendarai mobil; -- karang-mengarang; -- hitung dagang
  4. (n) pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan sesuatu: --nya memang mudah, tetapi praktiknya sukar

Definisi (1) dan (2) merujuk pada definisi teori ilmiah sedangkan definisi (4) adalah definisi teori secara umum. Di sini, kita akan bahas satu per satu dari hukum alam, hipotesa, teori ilmiah, dan level pembuktian suatu teori ilmiah.

Hukum Alam

Hukum alam adalah suatu pernyataan yang memberikan deskripsi dan jalinan objek atau peristiwa di alam didasarkan pada observasi atau eksperimen yang dilakukan secara berulang. Hukum alam mendeskripsikan suatu sistem dan memberikan jalinan antara dua atau lebih parameter dalam sistem itu dalam keadaan tertentu dan lazimnya dinyatakan dalam bentuk matematis. Misalnya sistem A didefinisikan oleh parameter v, w, x, y, dan z. Bila dalam eksperimen nilai x digandakan dan v, w, dan y dijaga tetap menyebabkan z berubah menjadi setengahnya maka dipenuhi jalinan

$$ z = \frac{x}{2} $$

Jalinan di atas sudah dapat disebut hukum bila dapat direduplikasi dan selalu memberikan hasil yang sama. Hukum alam juga dapat memberikan jalinan antarparameter pada sistem yang terdiri dari dua atau lebih objek yang berinteraksi. Bagaimanapun, hukum alam tidak memberikan penjelasan ataupun deskripsi mengenai mekanisme yang berlangsung di belakangnya. Nilai-nilai parameter dalam satu sistem serta jalinannya satu sama lain dapat diamati, diubah, dan diukur dengan relatif mudah serta dapat diuji berkali-kali. Namun, mengetahui mengapa jalinannya seperti itu dan bagaimana mekanismenya bukanlah sesuatu yang bisal diukur secara langsung. Penjelasan semacam itu dapat diperoleh melalui inferensi atau penalaran berdasarkan hukum yang telah diketahui. Produk dari upaya inilah yang disebut sebagai teori ilmiah.

Hipotesa dan Teori ilmiah

Dalam proses merumuskan suatu teori ilmiah umumnya diperlukan suatu hipotesa. Hipotesa adalah asumsi sementara atau dugaan awal berdasarkan data awal yang terbatas yang digunakan sebagai patokan dalam membangun argumen atau teori atas suatu perkara (problem). Dalam pengertian teori secara umum, hipotesa termasuk teori, namun hipotesa tidak sama dengan teori ilmiah. Hipotesa adalah kerangka dalam proses pembangunan teori ilmiah. Dalam proses membangun suatu teori dari hipotesa, kesahihan suatu hipotesa diuji secara logis (apakah self consistent) maupun secara empiris (apakah menghasilkankan suatu konsekuensi yang bertentangan dengan fakta empiris). Jika ternyata hipotesa itu tidak lulus uji maka kita mesti membuang bagian tertentu atau bahkan keseluruhan hipotesa tadi dan kembali merumuskan teori berdasarkan hipotesa yang baru.

Salah satu aspek umum dalam membangun hipotesa adalah penerapan asas atau postulat. Seperti yang kita tahu, asas (dalam disiplin ilmu apapun) berlaku pada ranah tertentu. Bila kita menganalisa suatu sistem (perkara) yang belum dikenal dengan baik, seringkali kita belum dapat memastikan apakah sistem tadi termasuk dalam ranah yang tunduk pada asas tadi. Dalam hal ini, untuk sementara kita dapat mengasumsikan suatu sistem tunduk pada asas tertentu bila bukti-bukti terbatas yang ada menuntun demikian. Dalam pemodelan suatu sistem seringkali pula dilakukan proses idealisasi, yang mana akan dibahas kemudian. Bila asumsi yang digunakan pertama kali ternyata keliru juga tidak apa-apa, karena hipotesa akan melewati pengujian yang telah disebutkan di atas.

Teori ilmiah adalah penjelasan mengenai aspek-aspek tertentu di alam (objek atau peristiwa) yang dibangun secara sistematis berdasarkan kriteria dan metodologi ilmiah. Suatu teori ilmiah otomatis memuat hukum. Agar suatu teori dapat disebut sebagai teori ilmiah, teori itu harus logis, dapat diuji secara empiris, dan memiliki prediksi yang falsifiabel. Cara paling ampuh dalam merumuskan teori ilmiah adalah menggunakan metodologi ilmiah. Secara ringkas, metodologi ilmiah adalah rangkaian kerja berupa perumusan masalah, melakukan kajian latar belakang, membangun hipotesa, melakukan eksperimen atau observasi lanjut, menganalisa data, dan mengambil kesimpulan. Kesimpulan yang diperoleh selanjutnya dapat menjadi fondasi bagi teori baru atau menjadi bagian atau sanggahan dari suatu teori yang sudah ada.


Bagan metodologi ilmiah.
Sumber: https://www.sciencebuddies.org/science-fair-projects/science-fair/steps-of-the-scientific-method

Suatu teori dapat disebut teori ilmiah selama memenuhi syarat yang disebutkan di atas. Hal ini berarti teori ilmiah bisa benar bisa juga salah, yang penting memenuhi syarat ilmiah. Di sinilah fungsi testabilitas dan falsifiabilitas dari teori ilmiah. Teori yang prediksinya terbukti salah oleh eksperimen/observasi lebih lanjut mestilah dikoreksi atau bahkan diabaikan. Adapun teori ilmiah yang prediksi-prediksinya telah terbukti disebut teori yang telah diverifikasi (verified theory). Teori yang telah diverifikasi, tidak pernah terbukti keliru selama bertahun-tahun serta telah menjadi landasan dari teori lain yang juga telah diverifikasi dikenal sebagai sebagai teori mapan (well established theory). Jadi, hanya karena dua teori sama-sama berpredikat sebagai teori ilmiah tidak berarti derajad kebenarannya juga sepantaran.

Berikut ini diberikan contoh proses konstruksi hukum alam dan teori ilmiah. Penyelidikan/investigasi mengenai sifat-sifat termodinamika gas bermula dari eksperimen untuk mengetahui jalinan antarparameter pada gas. Karakteristik fisis suatu gas umumnya diberikan oleh jumlah molekul (\(n\)), volume (\(V\)), tekanan (\(P\)), dan temperatur (\(T\)). Dari berbagai eksperimen yang dilakukan oleh para ilmuwan dan telah jutaan kali direplikasi, ditemukanlah hukum-hukum yang dikenal sebagai berikut.

  • Hukum Avogadro: \(V \propto n\)
  • Hukum Gay-Lussac: \(P \propto T\)
  • Hukum Charles: \(V \propto T\)
  • Hukum Boyle: \(P \propto 1/V\)

Tentunya, temuan itu tidak didapatkan sekali waktu. Setelah semuanya diketahui, kita dapat mengabungkan semua hukum tadi sebagai hukum gas ideal,

$$ PV = nkT $$

Hukum gas ideal memberikan jalinan lengkap mengenai parameter-parameter fisis gas ideal. Bagaimanapun, sampai di situ saja kita tidak akan mengetahui detail proses dan mekanisme yang terjadi dalam gas. Jika dibahasakan secara keren: pertanyaan ‘mengapa’ belum terjawab. Untuk itulah ilmuwan berupaya menemukan atau membangun teori yang bisa menjelaskan fakta-fakta di atas. Teori ini dikenal sebagai teori kinetik gas. Teori kinetik gas dibangun atas asumsi-asumsi sebagai berikut.

  1. Gas terdiri atas molekul yang berukuran sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak rerata antarmolekul (syarat kesahihan: tekanan cukup rendah).
  2. Gas terdiri atas molekul yang sangat banyak sehingga dapat dilakukan pendekatan statistik.
  3. Molekul-molekul gas bergerak secara acak.
  4. Bila molekul bergerak sangat cepat, energi kinetik reratanya cukup tinggi sehingga interaksi antarmolekul selain melalui tumbukan dapat diabaikan (syarat kesahihan: temperatur cukup tinggi).

Teori kinetik gas menjelaskan secara kuantitatif proses yang terjadi pada gas (dalam batas kondisi tertentu sejauh yang diberikan dalam asumsi). Teori ini memberikan prediksi berupa distribusi energi dan momentum molekul-molekul dalam gas yang ternyata konsisten dengan hukum gas ideal.

Falsifiabilitas

Konsep falsifiabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Karl Popper sebagai suatu kriteria ilmiah mengingat keterbatasan testabilitas dalam proses induksi. Suatu pernyataan disebut falsifiabel bila terdapat suatu cara untuk menyanggah pernyataan itu atau membuktikan bahwa pernyataan itu keliru. Contoh yang populer ialah pernyataan “Semua angsa berwarna putih” memenuhi syarat falsifiabilitas karena secara praktis (atau syarat yang lebih longgar: secara teoritis) dimungkinkan suatu cara untuk menyanggah klaim tersebut, dalam hal ini menunjukkan angsa yang memiliki warna selain putih. Semenjak angsa hitam telah ditemukan hidup di Australia, pernyataan tadi bernilai salah. Contoh pernyataan yang tidak falsifiabel secara praktis semisal “Sebuah teko teh mengorbit Matahari dalam orbit di antara orbit Bumi dan Mars”. Contoh ini dikenal sebagai Russell’s teapot, dinamakan menurut pengarangnya, Bertrand Russell. Secara praktis, mustahil mengecek ada teko teh (yang kita ketahui hanya dibuat oleh manusia) mengorbit Matahari pada jarak sejauh itu. Semenjak klaim itu tampaknya tidak memungkinkan (meskipun bisa jadi benar) dan tidak mempunyai manfaat apa-apa maka berdasarkan asas skeptisme tidak ada gunanya mempercayai pernyataan tadi . Adapun pernyataan “hujan di suatu lokasi di Bumi disebabkan oleh dewa hujan di surga yang bersin ke arah tertentu” adalah pernyataan yang tidak falsifiabel bahkan secara teoritis. Di mana surga dan dewa hujan itu? Bagaimana caranya mengecek hujan dapat terjadi meskipun dewa hujan tidak sedang bersin? Karena alasan itu, pernyataan semacam ini jelas jauh dari ranah ilmiah.

Ruang Lingkup Suatu Hukum dan Teori

Dalam membangun sebuah teori seringkali dilakukan idealisasi. Idealisasi adalah pembatasan suatu sistem pada kondisi tertentu saja, mengabaikan faktor-faktor yang tidak memiliki pengaruh besar (dalam level realitas tertentu) yang akan membuat tinjauan menjadi sangat kompleks. Artinya, dengan mengabaikan faktor-faktor minor, kita dapat membuat model yang lebih sederhana tanpa banyak mengorbankan akurasi teori atau model yang dibuat. Tentu saja, faktor yang diabaikan ini tidak berarti dilupakan. Suatu teori digunakan dengan tetap mengingat asumsi-asumsi yang mendasarinya. Bila ditemukan suatu sistem dengan perkara serupa namun berada di luar batas asumsi, permasalahan mesti diselesaikan dengan memperhitungkan faktor yang sebelumnya diabaikan.

Pembatasan inilah yang perlu dikenali saat menggunakan atau menguji suatu teori. Teori hanya ‘bertanggung jawab’ menjelaskan objek atau fenomena dalam cakupan yang didefinisikan oleh teori itu sendiri. Menyangkal teori kinetik gas dengan memberikan counterexample fenomena pada kondensat tentu saja konyol. Teori kinetik gas telah memberikan batasan hanya berlaku pada gas ideal sejak awal sehingga hanya memberikan hampiran yang bagus untuk gas yang mendekati gas ideal.

Kadangkala, hukum dan teori mapan pun bisa salah meskipun mustahil sepenuhnya salah. Kesalahan yang mungkin dialami oleh hukum dan teori mapan adalah bahwa cakupannya tidak seluas yang dikira sebelumnya. Hal ini mungkin terjadi karena dalam perumusannya, suatu faktor yang terkait dengan sistem benar-benar tidak teramati atau luput dalam level pengamatan yang dilakukan sebelumnya. Contoh populer dalam hal ini adalah hukum gravitasi Newton dan teori evolusi Darwin.

Hukum gravitasi Newton dirumuskan oleh Isaac Newton memberikan jalinan dinamis antara massa dan potensial gravitasi yang diciptakannya. Dalam hukum gravitasi Newton, interaksi gravitasi memenuhi jalinan

$$ \nabla^2 \Phi = 4πG\rho $$

Dengan \(\Phi\) adalah potensial gravitasi, \(G\) tetapan gravitasi universal, dan \(\rho\) adalah kerapatan massa per volume. Adapun gerak benda dalam pengaruh medan gravitasi dapat diberikan menggunakan ketiga hukum gerak Newton.

Ketika Einstein merumuskan teori gravitasinya, ia menggunakan tiga postulat: asas kesetaraan, asas kovariansi. Teorinya itu memuat jalinan antara potensial gravitasi dan materi-energi yang hadir dalam ruang.

$$ R_{\mu\nu} - \frac{1}{2} g_{\mu\nu} R = \frac{8πG}{c^4} T_{\mu\nu} $$

Kita dapat menyebut jalinan di atas sebagai hukum gravitasi Einstein, meskipun ungkapan itu jarang digunakan (jalinan di atas umumnya disebut persamaan medan Einstein). Sebagaimana mekanika Newtonian gagal dalam kasus benda dengan kelajuan mendekati kelajuan cahaya maka hukum gravitasi Newton juga gagal dalam kondisi itu. Teori relativitas umum (TRU) dirumuskan agar kompatibel dengan teori relativitas khusus (TRK), yang mana valid untuk sembarang nilai kelajuan. Berdasarkan teori relativitas umum, gravitasi adalah efek kelengkungan ruang yang diakibatkan oleh distribusi massa dan energi di dalamnya. Jadi, menurut TRU, sembarang bentuk energi juga memiliki potensial gravitasi! Hal ini luput di mata ilmuwan sebelumnya karena kesetaraan massa dan energi terkait dengan faktor yang sangat besar: kelajuan cahaya kuadrat. Oleh karenanya, efek gravitasi dari level energi yang umum teramati sehari-hari tidak ada apa-apanya dibandingkan efek gravitasi dari satu kilogram massa. Perbedaan postulat ini menyebabkan TRU memprediksi fenomena yang tidak sesuai dengan hukum gravitasi Newton dalam level kelajuan tinggi dan medan yang sangat kuat. Prediksi TRU sejauh ini telah banyak terbukti (pergeseran merah gravitasi, pelengkungan cahaya, presesi orbit planet, gelombang gravitasi) dan teori ini belum pernah terbukti salah. Meskipun demikian, kita tidak dapat mengatakan hukum gravitasi Newton sepenuhnya salah. Kita hanya perlu merevisi cakupannya: hukum gravitasi Newton valid dalam sistem nonrelativistik.

Pun demikian halnya dengan teori evolusi Darwin (TED). Meskipun teori ini memiliki banyak missing link, TED terbukti sukses menjelaskan variasi spesies di Bumi. Esensi dari TED: variasi acak, seleksi alam, dan survival of the fittest tetap kokoh melewati ujian. Perkembangan teori genetika dan teknologi biomolekuler memberikan pemahaman baru mengenai mekanisme yang berperan dalam variasi dan pewarisan sifat makhluk hidup. Berhubung teori evolusi Darwin adalah teori, bukan hukum, kita justru dapat terus merevisinya alih-alih membatasi cakupannya, selama pondasinya tidak tumbang. Teori evolusi Darwin pun kini juga berevolusi menjadi teori evolusi modern dan merupakan teori mapan dalam disiplin ilmu Biologi.


Selengkapnya...

Sabtu, 09 Juni 2018

Kekedapan Optik: Mengapa Kaca Transparan?

Barangkali Anda pernah bertanya-tanya, mengapa sebagian benda transparan dan sebagian lainnya tidak. Suatu benda tampak transparan bila benda itu meneruskan sebagian besar radiasi yang diterimanya. Sebaliknya, benda disebut keruh atau kedap cahaya bila menyerap sebagian besar, kalau tidak semua, cahaya yang diterimanya. Tentunya sangat mudah mengamati bahwa semakin tebal suatu benda/medium maka semakin sedikit pula cahaya yang diteruskannya. Namun, jelas ada sifat intrinsik material terkait masalah tranparansi atau kekedapan; berbagai macam material dengan ketebalan yang sama dapat memiliki kekedapan optis yang berbeda-beda. Balok kaca setebal 10 cm bahkan jauh lebih transparan daripada kertas setebal 0,1 mm. Apakah ini semata-mata dipengaruhi oleh kerapatan molekul material? Tapi kaca jelas memiliki kerapatan massa lebih besar daripada kayu. Marmer dan berlian juga memiliki kerapatan lebih besar daripada aluminium. Jadi, mekanisme apa yang menyebabkan sebagian material lebih transparan dibandingkan sebagian lainnya? Mari kita bahas perlahan-lahan.

Kristal quartz.
Sumber: http://crystalhealingindonesia.com/index.php?route=pavblog/blog&id=28

Pelemahan Intensitas

Jika suatu radiasi merambat dalam medium, partikel dalam medium dapat menyerap atau menghamburkan radiasi tadi. Akibatnya, intensitas radiasi semakin melemah seiring panjang lintasan yang ditempuh dalam medium. Patut diingat bahwa pelemahan intensitas ini berbeda dari efek pemancaran divergen; berkas radiasi paralel pun akan terlemahkan bila merambat dalam medium. Fenomena pelemahan semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada radiasi, namun juga pada sembarang gelombang atau rambatan energi. Dengan menamakan \(I_0\) adalah intensitas sumber (sebelum melewati medium) dan \(I(s)\) intensitas yang diteruskan pada jarak \(s\), pelemahan intensitas secara umum dapat dinyatakan dalam fungsi eksponensial menurun,

\begin{align} I(s)=I_0 e^{-\tau(s)}=I_0 e^{-s/l}=I_0 e^{-Ks} \label{I} \end{align}

Dengan \(s\) adalah jarak tempuh dalam medium, \(\tau\) adalah ketebalan optis (optical depth) medium pada arah perambatan, \(l\) adalah mean free path foton (jarak rata-rata yang ditempuh foton sebelum berinteraksi dengan partikel dalam material), dan \(K=1/l\) adalah koefisien pelemahan (extinction coefficien atau attenuation coefficient, sering pula disimbolkan dengan \(α\), \(A\) atau \(\mu\)).

Semakin kecil mean free path foton (semakin besar koefisien pelemahan) dibandingkan dengan jarak tempuh, semakin sedikit foton yang dapat menembus medium sehingga medium akan nampak kedap cahaya (opaque). Sebaliknya, semakin besar mean free path foton dibandingkan jarak tempuh maka medium akan tampak semakin transparan.

Bila cahaya merambat melalui medium, sebagian foton berinteraksi dengan partikel dalam medium (diserap atau dihamburkan). Hal ini menyebabkan intensitas cahaya berkurang seiring jarak tempuh radiasi, s.

Besarnya koefisien pelemahan bergantung terhadap jenis medium (komposisi kimia), temperatur, dan kerapatan medium perambatan. Semakin rapat molekul-molekul medium, semakin sering pula foton berinteraksi dengan medium sehingga koefisien pelemahannya pun semakin besar. Rasio antara koefisien pelemahan dengan kerapatan massa material/medium disebut kekedapan (opacity). Untuk material dengan kerapatan massa seragam, \(\rho\) dapat dituliskan

\begin{align} \kappa = \frac{K}{\rho} = \frac{1}{\rho l} \label{kappa} \end{align}

Dengan demikian, persamaan (\ref{I}) dapat pula ditulis sebagai,

\begin{align} I(s) = I_0 e^{-\kappa \rho s} \label{I2} \end{align}

Umumnya, intensitas radiasi pada tiap panjang gelombang tidak seragam (seperti halnya spektrum pancaran benda hitam). Besarnya mean free path foton atau koefisien pelemahan dalam suatu material juga berbeda-beda untuk tiap panjang gelombang. Oleh karena itu, besarnya pelemahan dapat dihitung secara spesifik berdasarkan panjang gelombang atau frekuensi cahaya. Bila kerapatan dan kekedapan medium juga tidak seragam, besar intensitas spesifik untuk panjang gelombang \(\lambda\) yang diteruskan pada jarak \(s\) dapat ditulis secara umum sebagai,

\begin{align} I_\lambda(s) = I_{\lambda 0} e^{-\int K_\lambda ds} = I_{\lambda 0} e^{-\int \kappa_\lambda \rho ds} \label{I3} \end{align}

dengan \(K_\lambda\) dan \(\kappa_\lambda\) masing-masing adalah koefisien pelemahan dan kekedapan spesifik pada panjang gelombang \(\lambda\). Nilai \(\kappa_\lambda\) (atau \(\kappa\) secara umum) ini bergantung pada jenis material dan nilainya dipengaruhi oleh satu atau beberapa mekanisme yang akan dijelaskan kemudian.


Sumber Penyerapan

Sebelumnya telah disebutkan tidak semua foton yang merambat melalui material diteruskan melalui elemen jarak tertentu. Sebagian foton-foton dengan panjang gelombang tertentu itu diserap atau dihamburkan oleh atom dalam materi, yang mana dapat dinyatakan dalam kekedapan, \(\kappa_\lambda\). Penyerapan dan hamburan foton itu dapat diklasifikasikan setidaknya dalam empat kategori, yaitu:

  1. Penyerapan terikat-terikat (bound-bound adsorbtion)
    Yang dimaksud penyerapan terikat-terikat adalah penyerapan foton dalam proses eksitasi elektron. Mekanisme ini dinamakan demikian karena elektron yang menyerap foton hanya berpindah ke tingkat energi yang lebih tinggi namun tetap terikat oleh inti. Koefisien kekedapan penyerapan terikat-terikat sangat bervariasi, bergantung pada keadaan eksitasi yang terjadi. Penyerapan terikat-terikat signifikan pada suhu \(T \leq 10^6\) K.
  2. Penyerapan terikat-lepas (bound-free adsorbtion)
    Yang dimaksud penyerapan terikat-lepas adalah penyerapan foton dalam proses ionisasi. Mekanisme ini dinamakan demikian karena elektron yang menyerap foton terlepas dari tarikan inti atom. Penyerapan terikat-lepas memiliki profil kekedapan \(\bar{\kappa} \propto \rho T^{-7/2}\).
  3. Penyerapan lepas-lepas (free-free adsorbtion)
    Yang termasuk dalam penyebaran lepas-lepas antara lain adalah efek Compton, bremm-strahlung, atau synchrotron. Elektron bebas tidak dapat menyerap foton dalam keadaan bebas karena hal itu melanggar kekekalan energi dan momentum. Namun, jika elektron berada dalam pengaruh medan listrik (semisal dari ion di dekatnya), penyerapan dapat terjadi akibat pasangan elektromagnetik antara elektron dan ion.
  4. Hamburan (scattering)
    Terdapat dua macam mekanisme hamburan yang berperan dalam kekedapan material yaitu hamburan Thomson dan Rayleigh. Gelombang elektromagnetik yang merambat di dekat partikel bermuatan akan dibelokkan ke arah lain. Fenomena hamburan merupakan penyebab dominan pelemahan intensitas pada medium gas.

Penyerapan Terikat-terikat

Sifat transparansi/kekedapan material yang diamati dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar dipengaruhi oleh penyerapan terikat-terikat dalam daerah visual spektrum elektromagnetik. Dalam proses eksitasi elektron, elektron hanya dapat menyerap foton dengan energi yang tepat sama dengan selisih energi keadaan foton mula-mula dengan keadaan-keadaan energi yang lebih tinggi yang dibolehkan. Perbedaan tingkat energi ini disebut energy gap. Untuk tinjauan suatu atom yang terisolir, eksitasi elektron dari kulit \(n_0\) ke kulit \(n' \gt n_0\), diperlukan energi sebesar

\begin{align} \Delta E = E_{n'}-E_{n_0} = -\frac{e^2 Z^2}{8\pi\epsilon_0 a_0} \left( \frac{1}{n'^2} - \frac{1}{n_0^2} \right) \label{E} \end{align}

dengan \(e\) muatan elementer, \(Z\) nomor atom, \(\epsilon_0\) emitivitas vakum, dan \(a_0\) radius Bohr. Dalam kasus material yang tersusun atas molekul dan campuran, perhitungannya menjadi lebih kompleks. Namun mekanisme yang terjadi pada dasarnya sama. Berdasarkan teori kuantum cahaya, energi foton berkaitan secara langsung dengan frekuensi (\(\nu\)) atau panjang gelombang (\(\lambda\)) radiasinya,

\begin{align} \epsilon = h \nu = \frac{hc}{\lambda} \label{epsilon} \end{align}

dengan \(h\) tetapan Planck. Jika panjang gelombang gelombang cahaya sesuai dengan salah satu energy gap material, sebagian fotonnya dapat diserap. Semakin banyak foton yang diserap (terkait dengan kerapatan dan ketebalan material), material itu akan semakin kedap cahaya pada panjang gelombang terkait. Adapun foton dengan energi lebih rendah daripada energy gap terendah (\(\epsilon \lt E_{\mathrm{min}}\)) praktis tak dapat diserap. Dengan demikian, radiasi pada panjang gelombang terkait diteruskan saja melewati material (kecuali mengalami mekanisme hamburan). Semakin banyak radiasi dalam daerah visual yang dilewatkan oleh material maka material itu akan nampak semakin transparan. Dari syarat di atas, jelaslah bahwa radiasi dengan energi yang sangat rendah (panjang gelombangnya sangat besar) maupun sangat tinggi (panjang gelombangnya sangat pendek) memiliki kemungkinan diserap lebih kecil dalam penyerapan terikat–terikat.

Sebagian material yang kita kenal tidak sepenuhnya kedap cahaya dan tidak sepenuhnya transparan. Hal ini dikarenakan tidak semua cahaya diserap oleh material meskipun panjang gelombangnya dapat diserap. Berdasarkan persamaan (\ref{I}), semakin besar nilai \(I_0\) dan semakin kecil nilai \(s\) maka semakin banyak intensitas yang diteruskan. Dengan memperbesar intensitas sumber, benda yang sangat keruh sekalipun dapat saja melewatkan sedikit cahaya. Misalnya bila Anda menempelkan cahaya flash kamera pada telapak tangan Anda, sebagian cahaya dapat diteruskan pada permukaan di baliknya. Demikian pula, semakin tipis suatu material maka material itu akan tampak semakin transparan.

Pada sebagian material seperti kaca murni, energy gap terendahnya sangat tinggi, lebih tinggi daripada cahaya ungu. Oleh karena itu, nyaris semua cahaya pada daerah visual diteruskan. Kaca murni juga tidak banyak menghamburkan radiasi dalam daerah visual (proporsi yang dihamburkan juga nyaris seragam ). Tentunya, kaca dapat ditambahkan dengan suatu pengotor dalam proses pembuatannya untuk menghasilkan kaca berwarna. Pengotor ini berperan menghamburkan radiasi pada panjang gelombang tertentu (warna yang diinginkan) dan melewatkan/menyerap radiasi pada panjang gelombang lainnya.


Selengkapnya...

Selasa, 15 Mei 2018

Terorisme dan Penyangkalan

Aksi terorisme kembali melanda Indonesia. Pada Minggu, 13 Mei 2018 bom bunuh diri terjadi di tiga gereja di Surabaya, 13 korban tewas (6 diantaranya pelaku) dan 43 korban luka. Keesokan harinya, 14 Mei 2018 aksi bom bunuh diri kembali terjadi di Polrestabes Surabaya. Korban tewas berjumlah empat orang, yang semuanya adalah pelaku aksi, dan 10 orang terluka. Kedua aksi ini masing-masing dilakukan oleh satu keluarga, termasuk anak kecil.

Dari media massa, kita bisa menyaksikan tingkah elit politik yang kekanak-kanakan. Kita juga bisa melihat reaksi dan tanggapan orang-orang dengan membaca komentar di media daring serta kiriman dan komentar warganet di media sosial. Sebagian orang menganggap bahwa peristiwa semacam ini hanya rekayasa polisi dan pemerintah sebagai pengalihan isu ini dan itu, sebagaimana yang terjadi pasca bom Thamrin Jakarta pada 2016 silam. Kejadiannya di saat seperti itulah, mayatnya hanya bonekalah, dan sebagainya. Well, tidak ada lagi yang bisa saya tanggapi dari orang-orang dari jenis ini. Kebencian sudah menutup hati dan pikirannya.

Bom bunuh diri di Surabaya, 13 Mei 2018.
Sumber: https://www.viva.co.id/berita/nasional/1035769-jasad-bocah-kecil-ledakan-bom-surabaya-ternyata-evan

Sebagian orang lagi tidak menyangkal sampai sejauh itu, namun berkelit dengan menyatakan aksi teror itu adalah konspirasi, skenario pihak Zionis, Amerika Serikat, komunis, Syiah atau apalah yang ingin menjatuhkan citra Islam. Sebagian di antara jenis ini bahkan begitu menghayati menjadi korban sampai-sampai tidak menunjukkan rasa simpati terhadap keluarga korban. Barangkali memang ada pihak lain yang turut diuntungkan atas aksi teror ini, namun para pelaku teror di Indonesia jelaslah bukan zionis, komunis, simpatisan Amerika dan semacamnya. Apa mereka tidak pernah menonton berita dan melihat bagaimana para terpidana teroris dengan bangga mengaku muslim serta meneriakkan takbir saat di pengadilan atau kesempatan lainnya? Apa mereka tak pernah melihat tersangka teroris begitu berapi-api menyampaikan cita-citanya tentang Islam dan pandangannya tentang jihad? Apa mereka tidak pernah melihat orang-orang yang menyambut jenazah terpidana teroris sebagai mujahid di berita? Silakan cek wawancara mantan napi terorisme yang bertobat. Simpulkan sendiri dengan akal Anda apakah mereka menjalankan rencana dari Amerika dan Zionis ataukah justru Amerika dan Zionis adalah musuh mereka.

Sebagian kelompok lagi yang masih punya nurani jelas mengutuk aksi teror semacam itu. Namun, mereka sepertinya tidak mampu menerima kenyataan bahwa tindakan terorisme itu dilakukan oleh saudara seimannya dengah motif agama. Pernyataan “teroris tidak punya agama”, “teroris itu ateis”, “terorisme tidak ada kaitan sama sekali dengan Islam”, dan sebagainya pun dilontarkan. Lha, kenapa malah ateis yang disalahkan? Bagaimanapun saya cukup memaklumi, mungkin pernyataan yang melempar beban ke pihak lain itu respon dari rasa kecewa, minder, atau rasa bersalah terhadap “diri” sendiri. Tapi coba dipikirkan lagi. Sampai saat ini, saya percaya bahwa aksi terorisme itu tidak ada dalam AJARAN Islam. Namun, ajaran dapat ditafsirkan dengan cukup bervariasi. Penafsiran dan pandangan ekstrem yang pro terhadap terorisme itu tidak bisa disangkal tumbuh dalam sebagian komunitas muslim (yang barang tentu tak boleh digeneralisasikan). Benar-tidaknya penafsiran mereka terhadap al Quran dan Hadits ya silakan Anda yang muslim nilai sendiri. Jika Anda sepakat bahwa penafsiran semacam itu menyimpang maka tolong disebarkan. Andalah yang dapat menekan penyebaran paham yang dapat mencoreng citra agama kalian sendiri.

Tentu saja, ekstremisme bisa dilatarbelakangi oleh agama apa saja, Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya. Barangkali, sebagian agama punya kecenderungan menjadi medium yang lebih subur bagi perkembangan paham ekstremis dibandingkan agama lainnya. Namun, kita memerlukan data untuk menyimpulkan hal semacam ini. Adapun di Republik ini, faktanya aksi terorisme yang terjadi sebagian besar dilakukan atas nama Islam (kemungkinan semata-mata karena muslim adalah mayoritas di Indonesia). Anda bisa menyangkal bahwa aksi ekstremisme dan terorisme diajarkan dalam Islam, tapi bagaimana Anda menyangkal bahwa paham semacam itu nyata-nyata ada dalam dakwah Islam? Suatu praktik yang dilakukan suatu kelompok dalam Islam?

Saya menduga motif agama berperan sangat kecil bagi sebagian besar elit pusat jaringan teroris internasional. Namun semakin ke bawah, ke elit regional, perancang aksi, sampai ke eksekutor, motif agama itu memiliki peran yang samakin besar. Siapa yang mau bergabung dengan jaringan terorisme kalau tidak diiming-imingi dengan sesuatu? Dan apa iming-iming terbaik kalau tidak terkait harta atau agama? Saya teringat dengan wawancara dengan trio bomber bali di tahun 2002. Beberapa wawancara dengan napi terorisme lain dengan mudah Anda temui di internet (video atau transkrip). Silakan disimak, apakah mereka melaksanakan aksinya karena motif agama atau bukan. Yang jelas, penyangkalan atas fakta tidak akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik.



Video wawancara Imam Samudra, Amrozi, Ali Ghufron,
https://www.youtube.com/watch?v=Kk_TOI5b0tk
https://www.youtube.com/watch?v=KegO56itXDY
https://www.youtube.com/watch?v=vXQ44ykASwE

Dian Yulia Novi dan Nur Solihin, rencana bom istana 2016
https://www.youtube.com/watch?v=_OVvkjd1be0
https://www.youtube.com/watch?v=WMzRgv9XkVo

Penyambutan jenazah Santoso
https://www.youtube.com/watch?v=6NJ75RntI5A

Wawancara dengan Abu Bakar Ba’asyir
https://www.youtube.com/watch?v=byZqJwMQ5OA
https://www.youtube.com/watch?v=KWEhhlaQDHc

Wawancara dengan Khoirul Ghazali
https://www.youtube.com/watch?v=ZQhx9EGnleQ

Wawancara dengan Ali Imron
https://www.youtube.com/watch?v=0wt61XonrBQ


Selengkapnya...

Senin, 14 Mei 2018

Unduh Soal dan Solusi Resmi Olimpiade Astronomi

Olimpiade Sains Nasional 2018 tidak lama lagi digelar. Bagi yang tengah belajar mempersiapkan diri untuk OSN Astronomi, berikut saya kumpulkan soal-soal dan solusi dari olimpiade tahun-tahun sebelumnya (OSK, OSP, dan OSN). Anda bisa mengunduhnya di halaman ini. Solusi yang termuat dalam arsip adalah solusi resmi dari penyelenggara OSN. Di dalamnya termasuk solusi dari soal pengolahan/analisis data yang mana tidak banyak ditemui. Oke, silakan mengunduh dan selamat belajar.

Selengkapnya...

Jumat, 04 Mei 2018

Paradoks Simpson

Paradoks Simpson adalah sebuah fenomena dalam statistika, dimana tren dari beberapa kelompok data terbalik dari tren gabungan kelompok data tadi. Paradoks ini dideskripsikan oleh Edward H. Simpson pada tahun 1951. Pemahaman dan kemampuan mengidentifikasi paradoks ini penting dalam melakukan interpretasi dan penarikan kesimpulan dari suatu data.

Sebagai contoh, tinjau performa akademik dua mahasiswa, Panijan dan Tukiyem, selama dua semester. Nilai indeks prestasi semester dan indeks prestasi kumulatif keduanya selama dua semester diberikan dalam tabel berikut.

NamaIP Semester I
(sks)
IP Semester II
(sks)
IPK
(sks)
Panijan
3,00
(22)
3,50
(11)
3,17
(33)
Tukiyem
2,88
(17)
3,42
(24)
3,20
(41)

Berdasarkan data di atas, nampak indeks prestasi semester Panijan lebih tinggi daripada Tukiyem baik pada semester I maupun II. Meskipun demikian, ternyata indeks prestasi kumulatif Tukiyem lebih tinggi daripada Panijan! Artinya, performa akademik Tukiyemlah yang lebih baik. Problem ini disebut paradoks karena secara intuitif sebagian besar orang cenderung mengira pihak yang unggul di setiap kelompok akan unggul pula secara keseluruhan. Well, hal ini hanya berlaku jika ukuran tiap kelompok seragam. Secara umum, subjek dengan nilai terbaik di setiap kelompok belum tentu memiliki nilai terbaik secara keseluruhan.

Paradoks Simpson dapat terjadi apabila sampel tidak terdistribusi secara seragam pada tiap-tiap kelompok data. Paradoks Simpson juga dapat pula terjadi bila pengelompokan data didasarkan pada hal yang tidak sepadan. Dengan demikian, data dari masing-masing kelompok tidak benar-benar merupakan sampel acak dari populasi total sehingga tidak merepresentasikan keseluruhan data. Dengan menggunakan grafik, hal ini dapat diperlihatkan pada gambar berikut.

Data dari kelompok I dan II sama-sama menunjukkan tren positif. Namun, ketika kedua kelompok digabungkan, diperoleh tren negatif.

Sekarang kita coba membahas suatu contoh kasus dengan analisa. Terdapat dua macam masalah batu ginjal, yaitu batu ginjal berukuran kecil dan batu ginjal berukuran besar. Untuk mengatasi masalah batu ginjal terdapat dua metode pula, yaitu metode sederhana (laser) dan metode kompleks (pembedahan, pengangkatan manual, dan diselesaikan dengan penembakan laser). Tingkat kesuksesan tiap metode untuk tiap masalah diberikan dalam tabel berikut.

Metode pengobatanBatu kecilBatu besarGabungan
Laser
81/87
(93%)
192/263
(73%)
273/350
(78%)
Kompleks
234/270
(87%)
55/80
(69%)
289/350
(83%)

Nampak bahwa metode kompleks memiliki tingkat kesuksesan lebih baik daripada metode sederhana untuk kasus batu ginjal kecil maupun besar, namun secara keseluruhan metode sederhana memberikan tingkat kesuksesan yang lebih baik. Jadi, bagaimana kita menafsirkan data ini? Apakah metodek kompleks memang lebih baik daripada metode sederhana, ataukan sebaliknya, ataukah keduanya sama saja? Jika metode kompleks tidak lebih baik daripada metode sederhana, tentunya melakukan metode kompleks hanyalah pemborosan uang.

Pertama-tama, kita perlu jeli memperhatikan bahwa kedua metode dibandingkan dalam dua kasus yang berbeda, bukan sekedar perbedaan waktu dan lokasi pengambilan sampel. Bila diteliti, ternyata metode sederhana lebih banyak digunakan pada masalah terkait batu ginjal berukuran kecil. Di sisi lain, metode kompleks sebagian besar diterapkan pada masalah batu ginjal berukuran besar, yang mana memiliki resiko tinggi. Hal inilah yang membuat tingkat kesuksesan metode kompleks secara keseluruhan (gabungan kedua kasus) menjadi lebih rendah, karena sebagian besar sampelnya ialah dari kasus yang beresiko tinggi. Dalam contoh kasus ini, kesimpulan yang tepat mengenai metode yang lebih ampuh haruslah melihat tingkat kesuksesan tiap metode untuk tiap kasus secara individual.

Referensi:
https://en.wikipedia.org/wiki/United_States_presidential_election,_2016
https://brilliant.org/wiki/simpsons-paradox/

Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.