Catatan : * Saya menjawabnya dengan benar (oke, ini nggak penting)
Selengkapnya...
blog mengenai paradoks, matematika, fisika, astronomi, logika, fenomena alam dan kehidupan.
Banyak kawan-kawan mungkin belum begitu paham apa itu demokrasi sebenarnya, pun begitu dengan saya. Namun sering saya melihat dalam lingkup sekeliling saya, suatu demokrasi disederhanakan sedemikian ekstrimnya hingga menjadi sama dengan voting saja. Dalam beberapa hal mungkin bisa, seperti mekanika Newtonian (penyederhanaan mekanika relativistik untuk kelajuan rendah) bisa dipakai dalam kasus tertentu. Menggelitik memang, karena dalam musyawarah jika ditemui jalan buntu, maka senjata pamungkasnya adalah pemungutan suara alias voting, yang sering dipandang sebagai prosedur posterior.
Perumpaan menggelitik mengenai hal ini dinyatakan oleh Benyamin Franklin: “Demokrasi seperti dua ekor serigala dan seekor domba yang memutuskan siapa yang akan dijadikan santap siang hari itu”. Bagaimana jika voting dijadikan pamungkas untuk keadaan seperti ini? Tentu saja domba yang malang akan menjadi korban demokrasi keblingernya kita.
Inti dari demokrasi yang diadopsi oleh negara kita ialah Preambule UUD 1945, yang memuat falsafah negara, Pancasila. Demokrasi bukan persoalan piece of cake, tetapi kompleks. Dari kelima sila itu saya ambil saja sila keempat dan lima: musyawarah mufakat untuk mencapai KEADILAN. Ini penting sekali sebab untuk mencapai suatu keputusan yang adil, musyawarah harus melihat situasi yang ada. Jika dalam perumpamaannya Franklin tadi musyawarah mandeg (jelas) dan dilakukan voting, tentu saja hasilnya domba yang akan menjadi barbekiu: Apakah domba harus menerimanya? Tidak, minoritas mestinya berhak menolak hasil voting jika ia dirugikan oleh keadaan dan mufakat bisa ditangguhkan, dan harus mencari jalan lain hingga keadilan dapat tercapai, setidaknya mendekati. Jadi kita jangan sempit pikiran dengan menjadikan voting sebagai ikon demokrasi, jika demikian tentunya demokrasi bakal ada di mana-mana, mengingat hampir semua orang bisa aritmatika yang sekedar ngitung-ngitung suara.
Bagaimana kita tahu adanya minoritas yang tidak diuntungkan oleh keadaan? Lihat saja jika dalam suatu voting (saat musyawarah telah mandeg) satu pihak mendapatkan lebih dari 80% suara dan pihak lainnya kurang dari 20%, kemungkinan ada minoritas yang tidak diuntungkan oleh keadaan. Mufakat hanya bisa diambil jika kita cukup yakin – kalau tidak benar-benar yakin – tidak ada pihak yang tidak diuntungkan oleh keadaan, kedua pihak berada pada kondisi yang kurang lebih sama. Bagaimana batasannya kurang lebih sama? Itu kembali pada hal yang disebut common sense, nurani kita. Memang benar begitu, abu-abu, saya sendiri tidak percaya semua hal dalam realita dapat di-dikotomi-kan. Orang komputasi tahu benar ini, karena mereka memodelkan realita dalam suatu paket fungsi matematis yang dikenal sebagai logika fuzzy. Sering teman saya bilang, kalau hitam jadilah hitam kalau putih jadilah putih, jangan jadi abu-abu. Ini jelas keliru, abu-abu itu ada, merah, kuning, biru, hijau dan lain-lain pun ada. Bayangkan jika Bung Karno kiri yang betul-betul kiri atau kanan yang betul-betul kanan, kita mungkin takkan mengaguminya seperti saat ini.
Persoalan seperti perumpamaan tadi tak jarang terjadi dalam realita, sebut saja NII-nya Kartosuwiryo yang bertahan sampai sekarang. Kalau dilakukan voting dan tiap orang berdiri atas keangkuhannya, jadilah NII itu. Lantas, kenapa itu belum terjadi? Bersyukurlah karena nurani bangsa ini tak seburuk yang kita kira. Terwujudnya demokrasi yang ideal? Harapan jelas masih ada.
Selengkapnya...Operator sigma dan integral sama-sama merupakan operator sumasi, bedanya sigma digunakan untuk model diskrit dan integral untukmodel kontinu. Dengan demikian sigma lebih banyak digunakan dalam metode numerik (komputasional) dan integral banyak dijumpai dalam metode analitik.
Semua fungsi kontinu dapat diubah menjadi data diskret, namun data diskret tak dapat diubah menjadi fungsi kontinu dengan pasti. Konsep integral juga berawal dari konsep sumasi sigma, tetapi dengan selang diperkecil hingga mendekati nol (Δx→0).
Kita ambil contoh fungsi sederhana, f(x) = 2x. Jika kita melakukan sumasi untuk x=0 hingga x=5 diperoleh:
Operasi integral menghitung luas daerah segitiga yang dibentuk garis f(x), x=5, dan sumbu-X. Mirip dengan sumasi sigma, namun dalam selang yang sangat kecil.
Perhatikan untuk operator sigma, pada batas x = 0 hingga x = 5, karena bekerja pada ranah diskret, memiliki 'tepi' x = -0,5 dan x = 5,5 (Ingat, jika didiskretkan nilai 4,5<x<5,5 dihitung sama dengan 5). Sedangkan untuk integral, karena bekerja dalam ranah real, maka tepi daerahnya sama dengan batas integrasinya. Dengan demikian, pada operasi integral luas setengah balok terakhir (4,5<x<5,5) yang berada di kanan garis x = 5 tidak akan dihitung, sehingga kita dapatkan hubungan:
Diberi simbol hampir atau sama dengan karena nilainya bisa tidak sama (tapi tetap mendekati) akibat beda luas balok yang lebih dari garis f(x) dan luas balok yang kurang dari garis f(x) mungkin tidak sama (jelasnya hanya akan sama jika persamaannya linear). Jadi, dapat kita hitung luas daerah di bawah kurva dengan sumasi sigma maupun integral
Nah, kasus berikutnya yang cukup penting dalam fisika ialah nilai ln(a!). Aproksimasi yang terkenal untuk itu ialah aproksimasi Stirling, tapi di sini kita akan menggunakan penemuan kita di atas. Ingat salah satu sifat logaritma: log(a×b) = log(a) + log(b) sehingga kita dapatkan:
Teorema Heksagon Pappus berkisah tentang suatu geometri seperti gambar di bawah ini. Jika P1, P2 dan P3 segaris, demikian juga P4, P5 dan P6, maka abc juga pasti segaris.
Yang mengesankan adalah membuktikan teorem ini tidak semudah kelihatannya. Meskipun menggunakan aritmetika dan aljabar sederhana, pembuktian teorema ini sangat ribet. Oleh karena itu, bagi yang berminat membaca silakan download di sini, karena saya malas menulis equationnya dengan Latex. Saya baru bisa membuktikannya dalam geometri Euclid. Apa mungkin berlaku juga dalam bidang lengkung?