Kamis, 08 September 2011

Problem Fisika Sederhana yang Lebih dari Sekedar Matematis

          Kemarin (atau kemarin-kemarinnya lagi) saya tengah mengikuti kuliah biofisika. Dosen saya yang terhormat memberikan suatu pertanyaan, kira-kira begini: 

          Dalam suatu rumah sakit terdapat regulasi bayi yang memiliki berat kurang dari 2,5 kg harus dimasukkan dalam inkubator. Pada suatu hari yang cerah, seorang bidan muda menimbang bayi yang baru saja lahir ternyata beratnya 2.496 gram. Pertanyaannya, apakah bayi tersebut harus dimasukkan dalam inkubator atau tidak? 

          Dosen saya yang terhormat kemudian memberi penjelasan tambahan dengan mantap, jika bayi yang semestinya dimasukkan dalam inkubator ternyata tidak dimasukkan dalam inkubator akibatnya bisa petaka, maksimal berujung pada kematian. Jika bayi yang tidak semestinya dimasukkan dalam inkubator malah dimasukkan dalam inkubator ya tidak apa-apa bagi si bayi, namun menambah beban biaya yang besar bagi orang tua bayi padahal sebenarnya tidak perlu. Sebagai tambahan dari saya, orang tua si bayi merupakan orang dengan ekonomi lemah. Nah, menurut pembaca, apakah si bayi tadi (sebut namanya Sentot) harus dimasukkan dalam inkubator atau tidak? 

          Jawabannya ialah tidak!* Dalam regulasi, batas berat bayi ialah 2,5 kilogram, berarti angka pentingnya ialah 0,1 kilogram atau 100 gram. Jadi dari 2.451 kg ke atas bayi tidak perlu dimasukkan ke dalam inkubator. Penimbangan bayi oleh bidan tadi menunjukkan 2.496 gram atau jika dibawa dalam ketelitian atau angka penting yang sama dengan regulasi hasilnya 2,5 kg. Itu adalah secara fisikanya. 

          Tambahannya, kenapa kita mengabaikan kekurangan 4 gram itu? Atau kenapa dalam regulasi hanya menggunakan angka penting 100 gram? Tentu ini dikaitkan dengan hal yang sangat sederhana, berat 4 gram bukanlah nilai yang signifikan untuk ukuran berat seseorang. Beri saja si Sentot 5 mL ASI, beratnya pasti naik di atas 2.500 gram. 



Catatan : * Saya menjawabnya dengan benar (oke, ini nggak penting)
Selengkapnya...

Kamis, 01 September 2011

Demokrasi = Voting? Suatu Paradoks Sosial

Banyak kawan-kawan mungkin belum begitu paham apa itu demokrasi sebenarnya, pun begitu dengan saya. Namun sering saya melihat dalam lingkup sekeliling saya, suatu demokrasi disederhanakan sedemikian ekstrimnya hingga menjadi sama dengan voting saja. Dalam beberapa hal mungkin bisa, seperti mekanika Newtonian (penyederhanaan mekanika relativistik untuk kelajuan rendah) bisa dipakai dalam kasus tertentu. Menggelitik memang, karena dalam musyawarah jika ditemui jalan buntu, maka senjata pamungkasnya adalah pemungutan suara alias voting, yang sering dipandang sebagai prosedur posterior.

Perumpaan menggelitik mengenai hal ini dinyatakan oleh Benyamin Franklin: “Demokrasi seperti dua ekor serigala dan seekor domba yang memutuskan siapa yang akan dijadikan santap siang hari itu”. Bagaimana jika voting dijadikan pamungkas untuk keadaan seperti ini? Tentu saja domba yang malang akan menjadi korban demokrasi keblingernya kita.

Inti dari demokrasi yang diadopsi oleh negara kita ialah Preambule UUD 1945, yang memuat falsafah negara, Pancasila. Demokrasi bukan persoalan piece of cake, tetapi kompleks. Dari kelima sila itu saya ambil saja sila keempat dan lima: musyawarah mufakat untuk mencapai KEADILAN. Ini penting sekali sebab untuk mencapai suatu keputusan yang adil, musyawarah harus melihat situasi yang ada. Jika dalam perumpamaannya Franklin tadi musyawarah mandeg (jelas) dan dilakukan voting, tentu saja hasilnya domba yang akan menjadi barbekiu: Apakah domba harus menerimanya? Tidak, minoritas mestinya berhak menolak hasil voting jika ia dirugikan oleh keadaan dan mufakat bisa ditangguhkan, dan harus mencari jalan lain hingga keadilan dapat tercapai, setidaknya mendekati. Jadi kita jangan sempit pikiran dengan menjadikan voting sebagai ikon demokrasi, jika demikian tentunya demokrasi bakal ada di mana-mana, mengingat hampir semua orang bisa aritmatika yang sekedar ngitung-ngitung suara.

Bagaimana kita tahu adanya minoritas yang tidak diuntungkan oleh keadaan? Lihat saja jika dalam suatu voting (saat musyawarah telah mandeg) satu pihak mendapatkan lebih dari 80% suara dan pihak lainnya kurang dari 20%, kemungkinan ada minoritas yang tidak diuntungkan oleh keadaan. Mufakat hanya bisa diambil jika kita cukup yakin – kalau tidak benar-benar yakin – tidak ada pihak yang tidak diuntungkan oleh keadaan, kedua pihak berada pada kondisi yang kurang lebih sama. Bagaimana batasannya kurang lebih sama? Itu kembali pada hal yang disebut common sense, nurani kita. Memang benar begitu, abu-abu, saya sendiri tidak percaya semua hal dalam realita dapat di-dikotomi-kan. Orang komputasi tahu benar ini, karena mereka memodelkan realita dalam suatu paket fungsi matematis yang dikenal sebagai logika fuzzy. Sering teman saya bilang, kalau hitam jadilah hitam kalau putih jadilah putih, jangan jadi abu-abu. Ini jelas keliru, abu-abu itu ada, merah, kuning, biru, hijau dan lain-lain pun ada. Bayangkan jika Bung Karno kiri yang betul-betul kiri atau kanan yang betul-betul kanan, kita mungkin takkan mengaguminya seperti saat ini.

Persoalan seperti perumpamaan tadi tak jarang terjadi dalam realita, sebut saja NII-nya Kartosuwiryo yang bertahan sampai sekarang. Kalau dilakukan voting dan tiap orang berdiri atas keangkuhannya, jadilah NII itu. Lantas, kenapa itu belum terjadi? Bersyukurlah karena nurani bangsa ini tak seburuk yang kita kira. Terwujudnya demokrasi yang ideal? Harapan jelas masih ada.

Selengkapnya...

Rabu, 31 Agustus 2011

Persamaan antara Operator Sigma dan Integral

Operator sigma dan integral sama-sama merupakan operator sumasi, bedanya sigma digunakan untuk model diskrit dan integral untukmodel kontinu. Dengan demikian sigma lebih banyak digunakan dalam metode numerik (komputasional) dan integral banyak dijumpai dalam metode analitik.

Semua fungsi kontinu dapat diubah menjadi data diskret, namun data diskret tak dapat diubah menjadi fungsi kontinu dengan pasti. Konsep integral juga berawal dari konsep sumasi sigma, tetapi dengan selang diperkecil hingga mendekati nol (Δx→0).

Kita ambil contoh fungsi sederhana, f(x) = 2x. Jika kita melakukan sumasi untuk x=0 hingga x=5 diperoleh:



Operasi integral menghitung luas daerah segitiga yang dibentuk garis f(x), x=5, dan sumbu-X. Mirip dengan sumasi sigma, namun dalam selang yang sangat kecil.

Perhatikan untuk operator sigma, pada batas x = 0 hingga x = 5, karena bekerja pada ranah diskret, memiliki 'tepi' x = -0,5 dan x = 5,5 (Ingat, jika didiskretkan nilai 4,5<x<5,5 dihitung sama dengan 5). Sedangkan untuk integral, karena bekerja dalam ranah real, maka tepi daerahnya sama dengan batas integrasinya. Dengan demikian, pada operasi integral luas setengah balok terakhir (4,5<x<5,5) yang berada di kanan garis x = 5 tidak akan dihitung, sehingga kita dapatkan hubungan:



atau jika diperumum lagi

Diberi simbol hampir atau sama dengan karena nilainya bisa tidak sama (tapi tetap mendekati) akibat beda luas balok yang lebih dari garis f(x) dan luas balok yang kurang dari garis f(x) mungkin tidak sama (jelasnya hanya akan sama jika persamaannya linear). Jadi, dapat kita hitung luas daerah di bawah kurva dengan sumasi sigma maupun integral



Kita buktikan dengan persamaan kita sebelumnya





Betul kan?

Nah, kasus berikutnya yang cukup penting dalam fisika ialah nilai ln(a!). Aproksimasi yang terkenal untuk itu ialah aproksimasi Stirling, tapi di sini kita akan menggunakan penemuan kita di atas. Ingat salah satu sifat logaritma: log(a×b) = log(a) + log(b) sehingga kita dapatkan:





Dengan demikian, nilai ln(a!) sama dengan luas daerah di bawah kurva f(x) = ln(x) dan garis x = a.




Menggunakan integral parsial ∫ u dv = uv - ∫ v du, diperoleh ∫ ln(x) dx = x ln(x) - x + C, sehingga:







Selengkapnya...

Jumat, 19 Agustus 2011

Pembuktian Teorema Empat Warna

          Menurut Teorema empat warna, hanya diperlukan empat warna untuk mewarnai suatu peta/graf planar tanpa ada daerah bersisian (bersinggungan titik tidak dihitung) yang memilii warna yang sama. Beberapa peta dunia hanya menggunakan empat warna untuk mewarnai bagian wilayah negara. Tentu saja teorema ini berlaku untuk semua graf di bidang datar. Silakan mencobanya dengan berbagai macam peta, hasilnya hanya dengan empat warna (atau kurang tentunya) semua peta dapat diwarnai dengan aturan tadi. Berikut point-point untuk membuktikan kebenaran teorema ini.

Mengapa?
• Karena segi dengan sudut yang paling sedikit ialah segitiga, tidak ada segi dua dan segi satu.
• Pada segitiga, tiap rusuk secara langsung berhubungan dengan rusuk-rusuk lainnya, jadi tidak ada yang saling berhadapan atau berselang.
• Semua poligon dapat dibentuk dari segitiga, segi empat minimal dengan dua segitiga, segilima minimal dengan lima segilima, dan seterusnya.


Hubungannya?
• Hanya ada maksimal empat daerah yang SALING berbatasan secara langsung dengan daerah lainnya, seperti model segitiga di bawah ini (perhatikan kesemua daerahnya saling bersisian). Dengan demikian, hanya dibutuhkan empat macam warna untuk mewarnai peta tanpa dua atau lebih daerah yang bersisian memiliki warna yang sama.

Bagaimana dengan bentuk lain?
Bagaimana kalau begini?
• Meskipun ABC segitiga, tetapi dapat disebut segiempat ABCD. Dengan munculnya segiempat, berarti ada rusuk yang saling berhadapan seperti AB dan CD. Artinya, daerah V boleh memiliki warna yang sama dengan daerah III karena tidak bersisian. Demikian pula untuk pola-pola lainnya -- yang rumit sekalipun --, selalu dapat dibuat pola segitiganya.
Selengkapnya...

Pembuktian Teorema Pappus

Teorema Heksagon Pappus berkisah tentang suatu geometri seperti gambar di bawah ini. Jika P1, P2 dan P3 segaris, demikian juga P4, P5 dan P6, maka abc juga pasti segaris.


Yang mengesankan adalah membuktikan teorem ini tidak semudah kelihatannya. Meskipun menggunakan aritmetika dan aljabar sederhana, pembuktian teorema ini sangat ribet. Oleh karena itu, bagi yang berminat membaca silakan download di sini, karena saya malas menulis equationnya dengan Latex. Saya baru bisa membuktikannya dalam geometri Euclid. Apa mungkin berlaku juga dalam bidang lengkung?



Baca juga:

Pembuktian Carpets Theorem
Pembuktian Teorema Garis Simson
Pembuktian Teorema Pascal
Pembuktian Teorema Thales
Pembuktian √2 dan √3 adalah Bilangan Irasional
Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.