Selasa, 27 Desember 2011

Alkisah P di Negara I

Alkisah kemelut yang terjadi di Negara I.
Pihak X: “Hoi, kamu jangan melawan ya! Duduk tenang saja di sana, bos kami lagi sibuk merampas kekayaan alammu. Jangan melawan, kalau melawan kau kutembak!”
Pihak P: “Kenapa kau nembak? Kita kan satu bangsa?”
Pihak X: “Masa bodoh, kalau bos kami kenyang rampok kekayaan alammu, kami konco-konconya pun ikut kebagian hasilnya. Ha..ha..ha… (tertawa)”
Pihak P: “Lihatlah hidup kami bung! Sumber daya alam kami kalian jual ke pihak asing dan hasilnya tidak kami nikmati! Apa kami hidup makmur? Apa kami hidup layak? Apa kita sama-sama hidup di negara merdeka, atau cuma Anda yang merdeka?”
Pihak X: “Persetan!!! Hak..hak..hak… (tertawa ngakak nyaris keselek)”
Pihak P: “Ayo kawan-kawan, kita lawan!!!”

Reporter TV: “Para gerombolan P tadi pagi menyerang pihak X.”
(Pihak P nampak di latar belakang berteriak “Kami ingin merdeka!”)
K (pemirsa): “Napa sih, pihak P itu? Anarkis mulu, mau merdeka pula. Kita ini kan satu negara. Apa mereka tidak memikirkan jerih payah para pahlawan kita dulu yang berusaha menyatukan negara ini?”
Bos X: “Ha..ha… (tertawa) Kaya kita ini. Biar pun kita jual murah kekayaan alamnya pihak P, tapi kalau banyak ya kita untung juga. Kita bisa memperkaya diri, sisanya untuk bangun ibukota dengan proyek-proyek prestisius.”
Pihak X: “Iya bos… Anda senang kami juga senang.”
Pihak A: (Dengan bahasanya sendiri) “Negara I itu bodoh sekali ya, mereka maunya kita kibulin, jual murah barang kayak gini. Negara kita jadi kaya nih. Gya..hya..hya… (tertawa dalam bahasanya)”
Reporter TV: “Hari ini pihak P kembali berorasi menuntut kemerdekaan…”
D (pemirsa): “Lagi-lagi pihak P bikin rusuh. Apa sih, yang ada di kepalanya?”
R (seorang dari pihak P): “Mak, kok kita belum makan dari pagi ya?”
Ibunya R: “Sabar nak, kita lagi nggak punya uang.”
Y (seorang dari pihak X): “Hmmm… Enaknya cheese cake ini…”
D (pemirsa): “Bisa nggak sih, pihak P tenang-tenang sedikit?”
S (seorang dari pihak P): “Lho, buku saya basah. Bu guru, kok sekolah kita kayak nggak ada atapnya aja ya?
G (bu guru): "……………"
W (awam): “NKI (Negara Kesatuan I) harga mati!!!”
Pihak P: “Uhh.. kami hampir mati…”



Skaga, 2011




Selengkapnya...

Minggu, 25 Desember 2011

Matematika Gila: Infinity Series Paradox

Pada Desember yang mendung terus ini saya akan membahas beberapa paradoks matematika, yakni mengenai infinity series. Paradoks-paradoks ini membuktikan, matematika tidak harus selamanya sesuiai dengan nalar, jika tidak matematika tidak harus selalu pasti. Ada beberapa contoh infinity series yang akan saya bahas di sini, antara lain harmonic series, Grandi’s series, dan Euler’s series.

1.  Harmonic Series

Saat pertama kali mempelajari sifat kekonvergenan deret di SMA, kita diperkenalkan bahwa deret dengan rasio lebih kecil dari 1 (nilai sukunya menuju nol) merupakan deret konvergen, sehingga deret itu mempunyai limit. Tapi tidak semuanya demikian, deret harmonik misalnya.

Berapakah sumasi dari deret di atas? Ternyata nilainya tak hingga. Ya, deret harmonik merupakan deret divergen, berikut pembuktian sederhananya:



Sumasi dari deret di ruas kanan (sebut deret Z) ialah:



Semenjak S > Z, maka pastilah nilai S juga tak hingga. Jika kita menggunakan integral berdasarkan kaitan antara sumasi sigma dan integral, diperoleh:

Jika kita masukkan nilai m = ∞, diperoleh s = S = ∞. Oke, mungkin ini tidak terhitung sebgai paradoks, mari kita lanjutkan ke poin berikutnya.


2.  Grandi’s Series

Berapakah 0 + 0 + 0 + 0 + 0 + 0 + 0? Tentu jawabannya nol juga, 7 × 0 = 0. Bagaimana jika jumlah suku(nol)-nya ada satu trilyun? Ya jawabannya nol juga. Tetapi bagaimana jika jumlah sukunya tak hingga? Nol juga? Eits, tunggu dulu!

S = 0 + 0 + 0 + 0 + 0 + …

S = (1 – 1) + (1 – 1) + (1 – 1) + (1 – 1) + (1 – 1) + …

S = 1 – 1 + 1 – 1 + 1 – 1 + 1 – 1 + 1 – 1 + …

S – 1 = – 1 + 1 – 1 + 1 – 1 + 1 – 1 + 1 – 1 + …

Perhatikan bahwa S – 1 sama dengan –S, sehingga diperoleh

S – 1 = -S

S = ½

Jadi kita telah membuktikan 0 + 0 + 0 + 0 + 0 + … (nol-nya sebanyak tak hingga) hasilnya bisa tidak sama dengan nol. Deret S = 1 – 1 + 1 – 1 + 1 – 1 + … ini dinamakan Grandi’s series. Selanjutnya jika mengubah S = 0 + 0 + 0 + … menjadi (-1 + 1) + (-1 + 1) + (-1 + 1) + …, maka diperoleh hasil yang berbeda, yakni S = -½. Apakah ini berarti ½ = -½? He..he…


3.  1 – 2 + 4 – 8 + … = ? (Nggak tahu apa namanya)

Mirip dengan yang nomor 2, pasti Anda mengira jumlah dari deret di atas pastilah bilangan bulat, postitif ataupun negatif. Misal kita namakan deret ini dengan S.

S = 1 – 2 + 4 – 8 + 16 – …

-2S = -2 + 4 – 8 + 16 – 32 + …

Diperoleh:

S – 1 = -2S

S = 1/3.

Lho??


4.  Euler’s Series

Berapakah sumasi dari S = 1 – 2 + 3 – 4 + 5 – …? Bila ditulis dalam notasi sigma

Jika m berhingga -- berapapun itu, dapat dipastikan jumlah dari deret tadi bilangan bulat. Misalkan untuk m = 100 diperoleh S = -50, atau untuk m = 101 diperoleh S = 51. Bagaimana jika m = ∞? Perhatikan solusi dari Euler di bawah ini:

4S = (1 – 2 + 3 – 4 + …) + (1 – 2 + 3 – 4 + …) + (1 – 2 + 3 – 4 + …) + (1 – 2 + 3 – 4 + …)

4S = (1 – 2 + 3 – 4 + …) + 1 + (-2 + 3 – 4 + 5 – …) + 1 + (-2 + 3 – 4 + 5 – …) – 1 + (3 – 4 + 5 – 6 + …)

Dengan menjumlahkan semua 1 dan -1 diluar kurung dan mengumpulkan suku ke-n dari tiap kurung diperoleh:

4S = 1 + {(1 – 2 – 2 + 3) + (-2 + 3 + 3 – 4) + (3 – 4 – 4 + 5) +(-4 + 5 + 5 – 6) + …}

4S = 1 + {0 + 0 + 0 + 0}

4S = 1

S = ¼

Lho?? Apa ada yang keliru? Coba kita tempuh dengan metode lain, deret Binomial Newton diperoleh:

(1 + x)-2 = 1 – 2x + 3x2 – 4x3 + …

Jika kita mengambil x = 1, maka diperoleh deret yang sama dengan deret Euler, S, sehingga didapatkan

1 – 2 + 3 – 4 + … = (1 + 1)-2

1 – 2 + 3 – 4 + … = ¼

Eh, ternyata diperoleh hasil yang sama..

Kapan-kapan saya akan memposting mengenai partial summation yang erat kaitannya dengan kegilaan ini.



Pustaka:
http://en.wikipedia.org/wiki/1_%E2%88%92_2_%2B_3_%E2%88%92_4_%2B_%C2%B7_%C2%B7_%C2%B7
http://en.wikipedia.org/wiki/Harmonic_series_(mathematics)#Divergence


lihat juga: Paradoks Galileo



Selengkapnya...

Sabtu, 17 Desember 2011

Pendidikan dan Motivasi


Pada kesempatan ini saya ingin memposting pandangan saya mengenai pendidikan dan motivasi. Fokus saya kali ini adalah seperti apa pendidikan yang ideal dan seperti apa realitanya, khususnya di lingkungan seputar sekolah dan sejenisnya. Mungkin kita menyadari kemampuan siswa saat ini semakin rendah saja, seiring pergeseran orientasi: Untuk apa sih, sekolah itu? Kebanyakan kita hanya sekolah untuk mendapatkan nilai bagus saja, bisa lulus dan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, dan seterusnya hingga diterima bekerja. Masalahnya adalah, mau diterima di mana kita ini? Apa sih gunanya penilaian di sekolah? Seberapa pentingkah itu? Tentu saja, nilai bukanlah hal penting dalam bersekolah, yang utama adalah satu: yakni apa yang tertinggal di kepala kita.

Jika dilihat kondisi kekiniannya, merupakan suatu tren bagi siswa untuk mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah, baik yang privat maupun kolektif, baik yang personal maupun kelembagaan. Pertanyaannya adalah mengapa? Dan, untuk apa bimbingan belajar seperti itu? Saya berkesimpulan setidaknya ada dua alasan, yaitu untuk meningkatkan prestasi siswa di sekolah atau mempermantap dan memperbanyak pengetahuan siswa. Meskipun kedua hal yang saya sebutkan tadi logikanya berkorelasi secara langsung dan berbanding lurus, tetapi nyatanya tidaklah selalu demikian. Jadi, yang manakah yang merupakan orientasi utama suatu lembaga bimbingan belajar? Saya beranggapan yang disebut pertamalah yang utama: meningkatkan prestasi siswa. Tak perlu diragukan lagi, karena telah disebutkan dengan jelas dalam iklan-iklan berbagai lembaga bimbingan belajar disertai dengan seabrek testimoninya, statistik lulusannya, dan sebagainya. Jadi, kita semua tahu tujuan dari lembaga bimbingan belajar itu adalah meningkatkan prestasi siswa (dalam hal ini nilai rapor siswa), siswanya lulus ujian akhir dan SNMPTN, dan ia memperoleh nama dan keuntungan. Dengan demikian tak perlu ragu lagi bahwa yang diajarkan oleh lembaga bimbingan belajar tersebut hanyalah rumus-rumus akhir, cara-cara praktis dan singkat, dan metode-metode serba praktis lainnya yang membuat siswa hanya mengetahui soal ini apa rumusnya, masukin nilainya dalam rumus, srek..srek..srek…, dapatlah hasilnya, tanpa perlu mengetahui konsep fisis dan matematis yang terjadi di dalamnya, tanpa mengetahui relasinya dengan fenomena alam. Saat problem yang mirip muncul tetapi dengan kondisi dan variabel-variabel yang berbeda, mampukah mereka menjawab dengan benar?

Saya punya cerita mengenai seorang kawan, sebut namanya Mister X (sebab kedengarannya keren). Cerita saya ini berdasarkan ceritanya kepada saya. Ia berkata bahwa dulu waktu masih kecil, ia diajarkan bahwa kalau shalat, kiblatnya itu ke barat. Jadilah ia shalat ke arah barat. Saat di SMP, ia diberi tahu bahwa kiblat itu arahnya ke barat, sedikit serong ke utara. Bila jari telunjuk dan jari tengah dibuka secara wajar dengan menelungkup, maka jika jari telunjuk menghadap barat, jari tengah menunjukkan arah kiblat. Teman saya saat itu berpikir mungkin ada konvensi yang telah mengkoreksi arah kiblat, maka ikutlah ia dengan cara tadi. Pada suatu saat teman saya ini berkesempatan jalan-jalan ke Belanda. Saat sampai di hotel yang cukup murah, melakukan ini-itu, lalu ia kemudian shalat, ya ke arah barat sedikit serong ke utara seperti yang saya katakan tadi. Tentu saja hal seperti ini hanyalah contoh sederhana dari kekeliruan yang akan terjadi jika kita dibiasakan diberitahu kesimpulan saja, hasil akhir saja, bukan pemahaman dan penalaran dari suatu masalah. Teman saya tidak diberitahu bahwa jika shalat, arah kiblat itu ke arah Mekkah, tepatnya menghadap Hajar Aswad pada geodesik. Ia hanya diberitahu jawaban akhir jika variabel tempat diketahui adalah kotanya. Seandainya ia tahu pemahamannya, tentunya teman saya tidak akan keliru, berhubung pengetahuan geografinya bagus. Ini dibuktikan saat saya bertanya dan ia tahu bahwa Mekkah berada di sebelah selatan Eropa.

Tentunya kita tak dapat menyalahkan lembaga bimbingan belajar jika melakukan praktik-praktik pengajaran praktis semacam itu. Mungkin memang tujuannya seperti itu. Tapi celakanya saat ini sekolah-sekolah mulai mengadopsi sistem semacam itu. Memangnya sekolah itu didirikan untuk apa? Supaya nilai siswanya bagus atau supaya masyarakat menjadi cerdas? Sepertinya ini sudah bertentangan dengan yang sebagaimana-mestinya.

Maka dari itu, diperlukan motivasi untuk menghadapi situasi semacam ini. Yang perlu dilakukan ialah membangun diri sendiri. Kita tak boleh hanya menyalahkan lingkungan, kita harus berperan secara mandiri untuk hidup kita sendiri, membangun tembok pertahanan yang kokoh dari pengaruh buruk lingkungan dan membangun semangat ofensif untuk menghadapinya. Contoh sederhananya, saya adalah keturunan Tionghoa. Meskipun mungkin cuma sekitar seperempatnya, itu tak menghalangi beberapa teman-teman baru saya yang memiliki pemikiran-yang-tak-begitu-saya-mengerti untuk menghina saya. Tak ada masalah, acuhkan saja, saya kebalkan telinga ini (meskipun kadang nggak bisa). Saya merasa tidak ada untungnya menyalahkan lingkungan atau menyalahkan ayah saya yang menurunkan darahnya pada saya, yang perlu dilakukan adalah membangun pertahanan diri dan semangat juang yang kuat. Seperti apa contohnya? Misalkan Anda mampu dan menguasai hal A dan hal B, buatlah supaya hal-hal itu sering terjadi dalam lingkungan Anda. Jadi Andalah yang harus mengendalikan lingkungan (sebisanya). Jadi ketika hal A dan B itu terus-menerus muncul, Anda santai saja karena itu hal yang biasa dan tidak masalah bagi Anda, tetapi bagi kawan-kawan Anda yang lain akan merasa kesulitan. Nah, di saat seperti itu ulurkanlah tangan kepada kawan maupun lawan Anda. Saat itu, Anda telah melakukan suatu perubahan!

Begitu pula dalam pendidikan. Jika lingkungan tak menyediakan tempat yang kondusif bagi Anda untuk belajar, carilah lingkungan lain juga untuk mengasah kemampuan Anda, belajarlah secara mandiri. Jadi, sikapilah lingkungan dan keadaan ini dengan bijak. Paradoks, baik dalam matematika, sains, bahkan dalam kehidupan sekalipun sebenarnya ada untuk dipecahkan.


Selengkapnya...

Sabtu, 19 November 2011

Paradoks Ekspansi Balon

Misalkan terdapat suatu balon yang ditiup sehingga berekspansi dengan kelajuan konstan v1, dan seekor semut berjalan sepanjang lingkaran besar pada balon dengan kelajuan konstan v2. Jika posisi awal semut ditandai dengan noktah O’ dan v2<v1, dapatkah semut mengelilingi balon?



Jika diperhatikan sekilas, bila v2<v1 terlihat seberapa jauh semut bergerak, lintasannya akan bertambah lebih panjang pula, dengan demikian semut tak akan dapat mengelilingi balon. Di sini akan saya tunjukkan bahwa berapa pun kelajuan semut, asal tidak nol, ia dapat mengelilingi balon berkali-kali.


Radius balon, R ialah:



Dengan menyatakan panjang lintasan (panjang lingkaran besar balon) dengan K,diperoleh:



Dan jarak yang ditempuh oleh semut



Sudut pusat dari garis hubung titik awal semut – pusat lingkaran – posisi semut kita sebut θ, yang besarnya:



Perubahan sudut pusat ini bergantung terhadap jarak yang ditempuh semut dalams elang waktu tertentu dibagi dengan radius bola saat itu



Untuk menyederhanakan perhitungan, kita ambil R0 = 0, sehingga



Untuk memudahkan kita ambil Δt = 1 s, atau t = 1 s, 2 s, 3 s, dan seterusnya sehingga persamaan di atas menunjukkan sudut pusat yang ditempuh selama satu detik pada waktu t. Dengan demikian dapat dituliskan total sudut pusat yang ditempuh oleh semut dalam waktu t = n ialah:






Atau jika dinyatakan dalam satuan derajat maka:



Perhatikan bahwa deret di atas merupakan deret harmonik yang divergen, sehingga makin besar nilai t sudut yang ditempuh juga akan semakin besar tanpa batas, meskipun kecepatan sudutnya makin kecil. Dengan divergennya nilai θ ini dapat ditarik kesimpulan semut dapat mengelilingi balon berkali-kali.

Hasil ini mungkin cukup membuat bingung, bagaimana mungkin semut bisa menempuh lintasan yang berekspansi lebih cepat daripada laju semut itu sendiri? Jawabannya sederhana, yaitu karena semut sendiri berada pada balon, maka kelajuan ekspansi berpengaruh juga pada si semut, sehingga kecepatan semut relatif terhadap titik O’ = C.v1+v2. Dalam bahasa yang sedikit berbeda, saat lintasan memanjang, bukan hanya lintasan di depan semut saja yang memanjang tetapi lintasan di belakang semut (yang sudah dilalui) juga ssemakin memanjang. Akibatnya, semut seolah-olah “terdorong” ke depan.

Dari hasil ini, jika diterapkan dalam model kosmos dimensi lima, maka kosmos dimensi empat (alam semesta kita) akan mengalami siklus Big Bang – Big Crunch berkali-kali, dengan kata lain semesta kita ini merupakan semesta tertutup.


Selengkapnya...

Mahasiswa Vandalis, Mahasiswa kontra-Revolusioner

Unhas, satu kata itu saya kira sudah cukup untuk menjelaskan judul postingan kali ini, kecuali bagi saudara yang kurang beruntung tidak punya TV dan tak sempat baca koran. Tawuran alias perang zaman batu yang terjadi beberapa hari ini terbilang cukup menjengkelkan bagi mahasiswa teladan macam saya*. Dari kabar yang terdengar, puluhan motor dibakar berderetan seperti sate saja. Mobil dihancurkan, dan bola daging yang terletak di atas leher dilempari batu. Mereka mahasiswa**, tapi saya tak percaya mereka betul-betul layak disebut mahasiswa. Sifat-sifat vandal: benci akan keindahan dan ketertiban terlihat jelas di Unhas. Menghancurkan sarana dan prasarana kampus untuk bersenang-senang. Well, meskipun fakultas saya, FMIPA tak ambil bagian dalam chaos itu, tetap saja beberapa jendela ruangan pecah, beberapa bahkan di ruang kuliah saya saat kuliah tengah berlangsung. Inilah yang saya sebut vandal. Sifat vandal biasanya muncul bagi remaja yang baru puber sebagai efek samping pencarian jati diri, keangkuhan untuk menunjukkan pada dunia luar bahwa dia orang yang kuat dan patut disegani atau malah ditakuti. Ini memang wajar bagi remaja yang beru puber, tapi mahasiswa Unhas mungkin banyak yang pubernya nggak selesai-selesai, terus bertingkah seperti anak-anak.


Lalu, mengapa saya sebut kontra-revolusioner? Seperti kata Bung Karno, revolusi belum selesai. Reformasi pemerintahan yang disuarakan mahasiswa hanyalah jalan kecil dari revolusi. Lantas, dimanakah kekuatan mahasiswa sebagai social control, moral force, dan agent of change? Social control padahal mudah terbawa arus social issue, moral force padahal justru masyarakat yang geleng-geleng kepala melihat tingkah mahasiswa, agent of change -- ini baru benar! Let's change this garden become a jungle!
Tidak akan ada reformasi saat mahasiswa tak mau bersatu, hanya berkutat pada urusan nafsu kekanakannya saja. Mungkin saja isu-isu pemecah ini dibuat oleh kelompok tertentu untuk memecah kekuatan mahasiswa, atau mungkin memang terjadi secara kebetulan namun sengaja dibesarkan oleh pihak tertentu. Sangat mungkin malah. Dan mereka menang, kini mahasiswa (khususnya di Unhas) tak hirau lagi pada tekad kemahasiswaan. Mungkin, sejarah tentang gerakan mahasiswa yang menumbangkan rezim yang berkuasa tak akan terulang lagi. Well, kita lihat saja...


Catatan:
* bohong
** saya juga mahasiswa, Yoko mahasiswa abal-abal, dan Aldy 68% mahasiswa

Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.