Sabtu, 21 April 2012

Ekspansi Alam Semesta Dipercepat!

Para astronom mengggunakan supernova tipe Ia sebagai lilin standar untuk menghitung jarak galaksi-galaksi. Supernova tipe Ia berasal dari katai putih yang mendapatkan tambahan massa dari bintang pasangannya. Saat massa katai putih itu melampaui batas massa Chandrasekhar, katai putih tadi akan meledak menjadi supernova tipe Ia. Karena massa semua katai putih yang mengalami supernova ialah sama (yakni limit Chandrasekhar), maka pastilah luminositas (magnitudo mutlak) semua supernova tipe Ia sama. Ingat persamaan Pogson untuk jarak:


mM = -5 + 5 log d

dan kaitan jarak-kecepatan

H0 dz c

di mana H0 tetapan Hubble, z koefisien redshiftλ/λ0), dan c kecepatan cahaya.

Dengan mengukur jarak supernova berdasarkan redshift-nya, maka dapat diperoleh magnitudo tampak (m) supernova secara teoritis. Ternyata, data pengamatan memberikan hasil bahwa supernova yang berjarak jauh sekitar 25% lebih redup daripada perkiraan, yang berarti jaraknya lebih jauh dari yang diperkirakan berdasarkan perhitungan redshift. Ini memberikan kesimpulan bahwa ekspansi alam semesta ini dipercepat!

Tentunya hal ini tidak sesuai dengan perkiraan sebelumnya bahwa ekspansi alam semesta diperlambat akibat pengaruh gravitasi dari materi di alam semesta. Berdasarkan hasil pengamatan ini, dibuatlah model baru yang membagi evolusi alam semesta dalam dua tahap, yaitu era dominasi gravitasi materi dan era dominasi dark energy. Kedua tahapan ini hanyalah pembagian berdasarkan geometri alam semesta, sehingga saat masa-masa awal ketika materi lebih dominan daripada energi gelap, gravitasi memperlambat ekspansi alam semesta. Sebaliknya ketika energi gelap mendominasi, ekspansi alam semesta menjadi dipercepat, seperti diilustrasikan pada gambar 2.




Gambar 1. Grafik antara magnitudo semu dan redshift supernova tipe Ia memberikan hasil percepatan (garis merah) ekspansi alam semesta.
Sumber gambar: Foundation of Astronomy, Michael A. Seeds dan Dana E. Backman (p. 386)


Apa yang menyebabkan energi gelap tiba-tiba menjadi dominan dibanding gravitasi dari materi? Teori menyatakan bahwa jumlah materi dan energi gelap tetap, tetapi karena radius alam semesta mengembang, maka gravitasi juga akan melemah karena jarak yang membesar. Hingga suatu radius tertentu (diperkirakan pada usia alam semesta sekitar setengah usianya sekarang), gravitasi yang awalnya mendominasi hingga terjadi perlambatan ekspansi dikalahkan oleh energi gelap, yang mana menyebabkan ekspansi justru dipercepat. Beragam teori dibuat untuk menjelaskan hal ini, salah satunya ialah teori inflasi, yang berupaya menjelaskan kurvatur alam semesta dan pemisahan empat gaya fundamental. Tentunya teori inflasi tidak akan saya bahas di sini, karena sangat rumit. Bagaimana pun, masih belum bisa dipastikan bagaimana kurvatur alam semesta itu.




Gambar 2. Grafik antara radius alam semesta (3D) terhadap waktu (kurvatur alam semesta). Terlihat adanya perlambatan ekspansi pada era materi dominan dan percepatan pada era dark energy dominan (hingga saat ini).
Sumber gambar: Foundation of Astronomy, Michael A. Seeds dan Dana E. Backman (p. 388)


Saya sendiri tengah sibuk memodelkan kurvatur alam semesta dengan pendekatan geometri lima dimensi yang saya coba. Dan model sementara yang saya temukan memberikan kurvatur seperti pada gambar 3(a). Dalam model ini belum diperhitungkan perlambatan ekspansi pada tahap awal, karena saya masih meragukan teori inflasi itu. Jika teori perlambatan ekspansi pada masa awal itu benar, dan pemodelan saya juga benar, maka kurvatur alam semesta akan berbentuk seperti penggabungan antara gambar 2 dan gambar 3(a), yakni gambar 3(b). Terdapat perlambatan dan percepatan ekspansi pada bagian awal, namun diujungnya merupakan kurvatur model tertutup, yakni radius alam semesta setelah mencapai radius maksimum akan kembali menciut. Well, kita tunggu saja kelanjutannya.




Gambar 3. Dua macam dari beberapa kurvatur alam semesta 3D yang mungkin.



Baca juga:
Model Alam Semesta
Persamaan Friedmann, Rapat Kritis dan Radius Alam Semesta

Selengkapnya...

The Heap Paradox

The Heap Paradox: Paradox of Dichotomy.

Paradoks Gundukan (The Heap Paradox). Suatu problem sederhana, yang mampu mengantarkan Anda pada pemahaman sehari-hari tentang prinsip benar dan salah atau baik dan buruk. Ya, the paradoks gundukan memiliki makna filosofis yang sangat dalam. Oke, dari pada Anda berputar-putar dalam mukadimah yang tidak jelas, marilah kita sambut the heap paradox.

“Terdapat suatu tumpukan/gundukan pasir di suatu lokasi (andaikan jumlahnya satu milyar butir). Jika kita mengambil satu butir pasirnya maka di lokasi tadi masih terdapat gundukan pasir. Jika kita ambil sebutir lagi, masih akan terdapat gundukan pasir. Jika kita mengambil butir demi butir pasir secara terus-menerus, pastilah gundukan pasir di lokasi itu akan lenyap. Adakah suatu saat ketika masih terdapat gundukan di lokasi, lalu ketika kita mengambil satu butir pasir lagi, maka yang tadinya gundukan itu sudah tidak bisa lagi dikatakan gundukan?”

“Jika kita memilih suatu lokasi, lalu kita meletakkan sebutir pasir di atasnya, kita belum akan melihat gundukan. Jika kita meletakkan sebutir pasir lagi, belum juga menjadi gundukan. Jika kita terus-menerus meletakkan butir-butir pasir di lokasi tadi, tentulah pada akhirnya tercipta sebuah gundukan pasir. Adakah suatu saat ketika belum terdapat gundukan di lokasi, lalu ketika kita meletakkan satu butir pasir lagi, maka sudah dapat dikatakan terdapat gundukan pasir di lokasi?”

Kita cukup yakin pada satu ekstrim tidak ada gundukan di lokasi dan pada ekstrim yang lain terdapat gundukan. Di manakah batas antara gundukan dan bukan-gundukan? Bagaimana bisa sesuatu itu gundukan di saat ia juga bukan-gundukan? Bagaimana bisa sesuatu itu bukan-gundukan disaat ia juga bukan-bukan-gundukan? Bagaimana? Apakah segala sesuatu di dunia ini memiliki sifat yang pasti? Apakah semuanya dualisme? Apakah yang tidak benar itu berarti salah? Apakah yang tidak salah itu berarti benar? Apakah semua memiliki batas yang jelas? Apakah kelabu itu hitam atau putih? Ini semua permasalahan dikotomi. Pola dikotomi seperti itu sudah mendarah daging dalam logika berpikir manusia, karena pada hakikatnya manusia cenderung ingin mempermudah masalah (kecuali kalau ada unsur politik di situ, biasanya memang jadi tambah rumit). Nyatanya, hampir semua hal yang ada di alam semesta ini – kalau tidak mau dibilang semua – sebenarnya tidak memenuhi hukum determinasi kualitas. Mengapa demikian? Pikirkanlah mengapa matematika itu ada, mengapa fisika itu ada. Bahwa nyatanya semua yang ada memiliki transisi, bukan suatu dikotomi.

Oke, saya sudah berupaya mencari kosakata yang familiar, tapi kesulitan untuk menemukan yang artinya persis sama, jadi di bawah ini saya terpaksa memberikan ulasan dengan bahasa yang mudah dimengerti, meskipun terkesan amburadul.

Saat kita mengatakan keras, lunak, tinggi, rendah, enak, tak enak, dan berbagai kualitas lainnya orang cenderung berkata bahwa itu relatif. Padahal, meskipun prinsip relatif berperan, tapi yang paling utama ialah bahwa semua kualitas itu semu, sekedar persepsi pengamat saja. Dalam filosofi, kualitas seperti itu disebut kualitas sekunder. Fisika dan matematika menghindari menggunakan persepsi semacam itu, tetapi menyatakannya dalam kuantitas. Untuk keras dan lunak, kita ukur modulus Young-nya berapa misalnya. Untuk tinggi – rendah, kita ukur panjangnya berapa meter. Untuk enak tak enak, kita mengukur…. Yah, ternyata tidak semua persepsi bisa dikuantitatifkan dengan fisika sekalipun.

Nah, kalau begitu apa maksud tulisan mengenai paradoks gundukan ini? Ya bahwa kebenaran kita hanyalah sekedar persepsi saja. Maksudnya, fakta sendiri adalah kebenaran mutlak, seperti ada n butir pasir di sana saat ini adalah kebenaran. Namun, "tangkapan" mengenai fakta adalah persepsi atau tafsiran masing-masing orang. Dalam sebagian hal, persepsi semua orang atas fakta yang sama juga seragam, dalam sebagian hal yang lain bisa berbeda-beda. Kita cenderung menghakimi kebenaran dan kesalahan sesuatu berdasarkan persepsi pribadi, padahal dikotomi itu semu. Sampai di mana pasir-pasir itu bisa dibilang gundukan? Sampai butir ke berapakah sistem itu tiba tiba memperoleh sifat gundukan? Sampai di manakah sesuatu itu disebut kebenaran? Sampai seperti apakah yang kita katakan bisa disebut kebenaran? Jadi kebenaran kita itu cuma sekedar persepsi? Wah, sudah seberapa sering Anda mengakimi diri sendiri dan yang lain hanya menggunakan persepsi? Well, alih-alih menggunakan kata “kebenaran”, saya lebih suka menggunakan “kecocokan”. Jadi sah-sah saja kita menggunakan dikotomi, terlebih dalam kehidupan sehari-hari. Yang penting adalah kita menyadari bahwa dikotomi bukanlah bagian dari sistem kebenaran dan oleh sebab itu tidak pantas untuk menghakimi suatu kebenaran. Lagi pula, dikotomi tidak bersifat universal, melainkan bergantung dari pemilihan sudut pandang permasalahan. Contohnya: lawannya haus adalah lapar, lawannya kenyang juga lapar. Jadi haus sama dengan kenyang?



Kuis: Ada berapa jumlah tanda tanya pada artikel ini?

Baca juga:

Ship of Theseus

Selengkapnya...

Minggu, 11 Maret 2012

Omnipotence Paradox: Tuhan Mahakuasa?


Suatu paradoks klasik, yang membuat beberapa orang gerah karena takut untuk mencari kebenaran tuhan[1]. Sebagian orang enggan berpikir mengenai eksistensi tuhan karena pemikiran umum bahwa tuhan tidak patut untuk dipertanyakan, melainkan harus diterima begitu saja sesuai ajaran agama. Menurut saya, tidak ada salahnya menjadikan tuhan sebagai objek berpikir, selagi dalam batas kemampuan kita, dan keyakinan bahwa kesimpulan kita bukanlah kebenaran universal melainkan suatu hipotesis yang sifatnya pribadi/personal. Orang umumnya beranggapan bahwa mempertanyakan tuhan merupakan makar dalam beragama. Jika Anda sepakat maka Anda tidak perlu melanjutkan membaca tulisan ini, tetapi jika Anda tidak sepakat dan merasa yakin mempertanyakan tuhan – sampai batas tertentu – justru dapat meningkatkan kualitas keimanan Anda karena tidak hanya sekedar meyakini tuhan secara buta tetapi juga karena Anda menyelaminya, silakan melanjutkan membaca.


Kita lanjut ke omnipotence paradox, omnipotence berasal dari kata bahasa Latin yakni omne yang berarti segalanya/semuanya dan potence yang berarti kemampuan atau kuasa. Dalam Bahasa Indonesia, dan dalam pemilihan makna yang sesuai jika kata itu melekat pada kata Tuhan, omnipotence setara dengan maha kuasa. Beginilah isi dari omnipotence paradox itu:

“Dapatkah Tuhan menciptakan suatu benda yang begitu beratnya hingga Ia sendiri pun tak dapat mengangkat benda itu?”

Analisis pertama mengenai jawaban yang mungkin ialah jika jawabannya ya, berarti Tuhan tidak maha-kuasa karena Ia tidak mampu mengangkat benda tadi, dan jika jawabannya tidak, berarti Tuhan tidak maha-kuasa karena Ia tidak mampu menciptakan benda seperti yang dimaksud. Bagi Anda yang memiliki pengetahuan fisika, saya akan menyesuaikan isi dari paradoks tadi mengingat berat itu bergantung tidak hanya pada massa benda, melainkan juga pada percepatan gravitasi yang ada. Ambillah revisi omnipotence paradox itu seperti berikut:

“Dapatkah Tuhan menciptakan dua benda yang sedemikian masifnya hingga tak dapat memisahkan kedua benda itu?”

Bagaimana? Apa jawaban Anda?

Secara personal, saya akan menyimpulkan bahwa Tuhan tidaklah maha-kuasa, karena memang apa pun jawaban dari paradoks itu menyiratkan bahwa Tuhan tidak maha-kuasa. Mengapa saya katakan demikian? Sebelumnya saya tuliskan sifat-sifat Tuhan yang sering kita tuliskan dan katakan.

Maha-kuasa, maha-baik.
Maha-adil, maha-pengasih.

Apakah Anda setuju yang disebutkan di atas merupakan sifat-sifat Tuhan? Apakah Anda merasa lumrah, tidak ada yang salah dengan kedua pasangan kata itu? Saya pribadi menemukan pertentangan pada kedua kata pada masing-masing pemerian di atas.

Maha-kuasa dan maha-baik, dapatkah kedua sifat itu dipenuhi oleh satu objek? Saya pikir tidak, jika Tuhan itu maha-kuasa, jelas ia tidak maha baik. Sebaliknya jika Ia maha-baik maka ia tidak maha-kuasa. Penting untuk saya pertegas kembali definisi dari maha itu ialah segalanya, tidak ada yang tidak, luar biasa, total, mutlak. Jika Anda kurang setuju dengan definisi kata ‘maha’ dari saya, ada baiknya Anda mempermaklumkan kesimpulan saya selanjutnya didasarkan dengan definisi di atas, sehingga jika saya menggunakan definisi ‘maha’ yang berbeda bisa saja kesimpulan saya atas paradoks ini juga berbeda.

Jika Tuhan maha-kuasa, maka ia berkuasa atas segalanya – juga atas kejahatan dan kezaliman. Mengapa tidak? Maha-kuasa berarti maha atas segalanya, mampu melakukan dan menciptakan kejahatan karena Ia berkuasa dan dapat merealisasikannya[2]. Tapi kemaha-kuasaan itu menjadikan ia tidak maha-baik. Sebaliknya jika Ia maha-baik, itu menjadikan-Nya tidak kuasa atas segala ketidakbaikan.

Jika Tuhan maha-adil, berarti Ia tidak maha-pengasih, karena keadilan tidak mengenal kasih dan kasih bukan persoalan keadilan. Hal ini tentunya tidak asing dalam realita, karena biasanya (tidak selalu memang) keadilan tidak dapat tegak setegak-tegaknya jika ada rasa kasih yang mengikutinya. Begitu pula kasih cenderung membuat kita tidak mampu bersikap adil. Tentunya ini tidak berarti tidak mungkin memunculkan adil dan kasih secara bersamaan, tapi bagaimana pun rasa adil akan mengurangi rasa kasih dan rasa kasih akan mengurangi rasa adil. Jadi dengan melekatnya kata maha di sana, jelaslah maha-kasih tidak mungkin melekat, berpasangan dengan maha adil, karena maha berarti mutlak. Tidak mungkin ada keadilan mutlak jika kasih yang mutlak juga hadir di sana. Jika Tuhan maha kasih terhadap ciptaannya, maka semua orang yang percaya dan menyembah maupun tidak kepada-Nya tentulah diberikan kebahagiaan yang melimpah, tapi itu tidak adil, dan memang itu tidak terjadi dalam kenyataan.

Kesimpulan saya, maha-baik dan maha-adil merupakan subsifat dari tuhan, sebaliknya maha-kuasa[3] dan maha-kasih bukanlah subsifat dari tuhan. Dengan kesimpulan saya yang menyatakan bahwa tuhan tidak maha-kuasa, maka omnipotence paradox terselesaikan dengan sendirinya.


[1] Tuhan sebagai kata sifat ditulis dengan huruf awal biasa, tidak seperti Tuhan yang menuju ke pribadi/zat-Nya ditulis dengan huruf awal kapital, bahkan keterangan nama yang menyertainya juga diberi huruf awal kapital, seperti Tuhan Yang Maha Esa.
[2] Berdalih ‘sebenarnya mampu’ tetapi tidak dapat merealisasikan saya anggap tidak berkuasa, dan ini memang interpretasi secara universal. Seperti halnya kita biasa sebenarnya mampu melakukan suatu hal, tapi dalam kondisi tertentu kita tidak kuasa melakukannya. Kita dapat berdalih diluar kondisi itu kita bisa melakukannya, tapi kondisi membuat sesuatu yang mampu menjadi tidak kuasa.
[3] Kuasa yang berarti dapat
Selengkapnya...

Pembuktian Bilangan Negatif Dikali Bilangan Negatif Sama Dengan Bilangan Positif

Hmm..., Mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa sembarang bilangan negatif jika dikalikan dengan bilangan negatif sama dengan bilangan positif (tepatnya sama dengan perkalian dari mutlak kedua bilangan). Oke, pertanyaan ini sebenarnya datang dari teman saya (sebut saja Bunga). Dari beberapa literatur online yang telah saya baca, ternyata tidak ada yang benar-benar membuktikannya. Beberapa menggunakan cara yang cukup masuk akal, yaitu membuktikan "jika sebaliknya benar maka terjadi ketidakkonsistenan". Itu merupakan metode reductio ad absurdum yang sahih untuk membuktikan kebalikannya itu salah, tapi dalam beberapa hal, membuktikan bahwa kebalikannya salah tidak berarti membuktikan hal itu benar. Beberapa literatur lain malah membuktikannya dari teorema-teorema yang justru menggunakan asas (-)(-)=(+) sebagai lemmanya, yang jelas-jelas bukanlah metode pembuktian yang bisa diterima. Nah, di sini saya akan membuktikannya hanya menggunakan aksioma-aksioma matematika, yang saya tunjukkan sebelumnya. Adapun mengenai penjumlahan dan pengurangan saya anggap pembaca sudah sangat paham, yaitu pergerakan nilai ke kanan dan ke kiri dari nilai awal sebesar nilai yang dijumlahkan pada baris bilangan.

Berita buruknya, dengan pembuktian menggunakan aksioma maupun teorema aritmatika-aljabar yang sangat dasar, mambuat pembuktian ini menjadi cukup panjang dan terlihat bertele-tele. Dengan equation yang cukup rumit (ngetiknya), maka saya tidak memposting pembuktiannya secara langsung, melainkan mengunggahnya melalui 4shared, silakan di unduh di sini. Maaf kalau cukup merepotkan, saya harap, minat Anda untuk mengetahuinya dapat mengesampingkan ketidaknyamanan ini.



Selengkapnya...

Sabtu, 25 Februari 2012

Hole: Partikel atau Bukan?

Sebelumnya saya masih bingung hole itu partikel atau bukan. Dosen saya mengatakan bahwa hole itu partikel (betul-betul partikel) pembawa muatan positif, tapi aku nggak percaya....

Tahu apa itu hole? Mari kita awali dengan sejarah lahirnya hole

Pemikiran orang-orang kuno menyukai hal-hal yang positif, sehingga dulu sekali fisikawan beranggapan listrik mengalir dari kutub positif ke kutub negatif, karena muatan elementer yang berperan dalam kelistrikan ialah muatan positif, dan arus listrik ialah perubahan muatan itu terhadap waktu. Setelah ditemukan bahwa muatan elementer itu ialah elektron, yang notabene bermuatan negatif, maka konsep harus diubah, listrik mengalir dari kutub negatif ke kutub positif. Tetapi fisikawan rupanya enggan melakukan perubahan secara radikal karena memang sulit mengubah pandangan yang sudah ada sejak dulu. Untuk itulah diciptakan konsep hole, yaitu keadaan kosong (empty state), suatu state yang dapat diisi oleh elektron (dalam konfigurasi atom netral) tetapi tidak terisi elektron karena ditinggal pergi. Jadi, arus listrik timbul karena adanya pergerakan elektron dari kutub negatif ke kutub positif dan pergerakan hole dari kutub positif ke kutub negatif. Meskipun logis (berdasarkan prinsip relatif), namun terdengar konyol bukan? Ini seperti menerangkan dua buah gelas, gelas A berisi air dan gelas B kosong. Jika air di gelas A dituangkan ke gelas B, bukankah kita cukup menyatakan “arus air” sebagai perpindahan air dari gelas A ke gelas B, tidak perlu sebagai perpindahan air dari gelas A ke gelas B dan perpindahan kekosongan dari gelas B ke gelas A. Lalu, ngapain konsep hole seperti itu masih digunakan?

Konsep hole sebagai pembawa muatan positif (lawannya elektron dalam gejala kelistrikan) memang digunakan untuk mempermudah penjelasan dalam hal tertentu, misalnya generasi dan rekombinasi, sifat semikonduktor bahan, dan lain-lain, tapi perlu diingat bahwa hole itu tidak ada. Namanya saja keadaan kosong, kosong ya mana ada. Seperti halnya dengan lubang (hole bila diterjemahkan secara bebas berarti lubang), yang mana sih bendanya lubang itu? Tidak ada kan? Kita hanya dapat mengamati lubang jika kita melihat ke sekeliling lubang: ada materi di sekitarnya tapi tidak di situ. Itulah yang namanya lubang, jadi lubang itu bukan entitas fisik.

Hole sebagai partikel pembawa muatan positif

Sebelumnya saya menyatakan posisi saya sebagai orang yang tidak sepakat bahwa hole itu partikel ataupun quasi-partikel. Kalau pseudo-partikel sih boleh. Kenapa? Ya seperti penjelasan saya tadi, hole itu bukan objek fisik, bukan quark, lepton, boson, maupun komposit dari ketiga kelas itu. Lalu bagaimana kita menerangkan gejala hole sebagai “pembawa” muatan positif? Marilah kita pandang suatu atom Lithium netral, . Atom Lithium memiliki tiga proton dan tiga elektron. Patut diingat muatan proton dan elektron tepat sama, hanya warnanya berlawanan, proton bermuatan |e| dan elektron bermuatan -|e|. Jadi pada atom Lithium tadi muatan totalnya adalah 3(|e|) + 3(-|e|) = 0. Jika satu elektronnya plesiran ke Bali bareng Gayus Tambunan nonton kejuaraan tenis, maka atom Lithium tadi tinggal memiliki tiga proton dan dua elektron sehingga muatan totalnya 3(|e|) + 2(-|e|) = |e|. Tarammm….! Tanpa perlu memperkenalkan dan menghadirkan hole kita bisa menjelaskan hadirnya muatan positif. Jadi muatan positif itu muncul dari proton yang dari tempo doeloe sudah ada di dalam atom itu, bukan karena munculnya hole ke pentas atom. Jadi konsep hole sebagai pembawa muatan positif itu hanyalah “bayangan” dari muatan proton yang muncul setelah ditinggal oleh elektron (jalan-jalan ke Bali).



Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.