Sabtu, 05 Mei 2012

Cerpen: Jagung dan Ubi

Hanya sekedar ingin berbagi cerita yang didasarkan dari kenyataan yang biasa terjadi, kadang nampak tak masuk akal karena dunia memang aneh. Begitulah kenyataan.


Jagung dan Ubi

Di suatu negeri antah berantah, hiduplah dua orang makhluk yang hidup di tempat yang terpisah (walaupun tidak begitu jauh) dan tidak saling mengenal. Mereka bernama Ubi dan Jagung. Nasib Ubi dan Jagung, entah hanya kebetulan, mirip sekali. Ubi dan Jagung adalah anak yatim, ayahnya sudah meninggal dunia dan mereka adalah anak tunggal. Selain mereka dan ibunya masing-masing, mereka tak punya siapa-siapa lagi. Ubi bekerja sebagai pemulung sampah sedangkan Jagung seorang tukang becak. Penghasilan mereka pas-pasan untuk sekedar makan. Mereka berdua belum menikah, maklum usianya baru menginjak dua puluh satu tahun.

Ubi adalah pekerja giat, biasanya delapan belas jam sehari ia bekerja memulung sampah dan menjualnya ke pengumpul. Penghasilannya rata-rata delapan ribu rupiah sehari. Dengan uang itu ia bisa makan cukup dengan ibunya, Bu Ubi. Ubi bukanlah seorang pemimpi, walaupun kadang agak jarang ia juga menghayalkan punya kehidupan yang lebih baik, namun ia tak punya obsesi besar untuk meraihnya. Maklum, ia sadar kemampuannya tidak ada. Ia bersekolah hanya sampai kelas tiga Sekolah Dasar Palawija. Walaupun hidupnya pas-pasan, ia tatap bersyukur pada Tuhan atas yang ia dapatkan tiap harinya, walaupun ia tidak pernah meminta lebih.

Sedikit berbeda dengan Jagung, ia adalah seorang tukang becak yang rajin dan ulet, namun ia saja yang memang selalu sial. Kadang ia narik penumpang, setelah tujuan dekat penumpangnya kabur lompat dari becak, ada yang pura-pura kencing dan tidak kembali, ada bayar kurang langsung kabur, ada pula yang membayar pakai golok. Penghasilannya rata-rata empat puluh ribu sehari, tapi itu belum setoran sama yang punya becak, lima puluh persen. Belum lagi uang ini itu, pajak ini itu, dan ini itu. Jagung adalah orang (orang tanaman, bukan manusia) yang taat dan sabar. Tapi walaupun sabar, ia memang tetap mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Sering ia berdoa pada Tuhan minta diberikan rezeki yang berlimpah, tapi tak kunjung juga rezeki itu datang. Jangankan berlimpah, tambahan secuil pun nyaris tidak ada, mungkin belum waktunya.

Suatu hari, kejadian serupa menimpa keduanya. Ibu mereka jatuh sakit. Sakitnya sangat parah dan harus segera dioperasi. Ubi dan Jagung kalang kabut tak kentut-kentut. Operasi kan biayanya mahal, dari mana mereka dapat uang, makan saja pas-pasan. Ubi dan jagung pusing sekali. Seraya memeras kain pel, mereka memeras otak bagaimana cara mendapat banyak uang sesegera mungkin.

Malamnya, saat mereka tertidur, Setan Terong Panjang masuk dalam mimpi mereka. Dalam mimpi Ubi dan Jagung, Terong Panjang berkata, “Hei, kamu mau dapat uang banyak kan, hahahaha....” “Curilah kerbau milik Pak Kencur, lalu jual biar bisa operasi ibumu. Curilah besok malam, karena besok malam ia akan keluar. Jangan takut, asalkan tidak tertangkap basah kamu pasti tidak akan di curigai, hahahaha....!”

Esok paginya, saat Ubi dan Jagung terbangun, mereka memikirkan mimpinya semalam. Jagung ingin sekali menolong ibunya. Ia ingin agar ibunya sembuh, ia tak mau kehilangan ibunya. Setelah pertimbangan panjang, ia akhirnya pergi ke rumah Pak Kencur, mencuri kerbau. Dilihatnya banyak kerbau di sana. Kalau dicuri satu pasti tidak ketahuan, pikir jagung. Lalu diambilnya kerbau yang bokongnya belang putih, lalu dijualnya. Kerbau itu dihargai sepuluh juta, cukup untuk biaya operasi. Namun secara tak sengaja, Jagungwati, pacarnya jagung melihat Jagung. Ia tahu Jagung tidak punya kerbau. Pasti ada yang tidak beres. Ia pun mengamati dan membuntuti Jagung. Setelah Jagung keluar pasar dan ke jalan setapak yang agak sepi, Jagungwati menghampiri Jagung. Jagung kaget, ia ketakutan.

“Kulihat tadi kamu jual kerbau, kerbau siapa itu, Gung?” Jagung hanya diam ketakutan, melihat tingkah Jagung, Jagungwati makin yakin. “Kenapa diam, Gung? Ayo jawab! Kerbau itu punya siapa?!”

Jagung manjawab gelagapan, “I, i, i.....tu kerbau......”

Jagungwati membentak, “Kerbau siapa! Kamu nyuri kan? Ayo jawab!”

Jagung yang sebelumnya belum pernah mencuri itu ketakutan dua pertiga mati. Ia tidak tahu harus bilang apa, lalu tiba-tiba Jagungwati kembali membentak, “Kamu nyuri kan?”

Dengan ragu Jagung mengiyakan. Jagungwati lalu berkhotbah, “Aku tahu ibumu sakit dan butuh biaya yang mahal. Tapi kamu harus tetap tabah, tidak boleh berbuat dosa. Kamu harus mencari uang yang halal untuk menolong ibu kamu. Ini hanya cobaan dari Tuhan, Gung. Jangan karena cobaan kamu malah berbuat dosa. Kalau kamu mau berusaha keras dan berdoa, aku yakin kamu dapat menolong ibu kamu. Aku akan membantu kamu mencari uang, kalau kita mau sabar, Tuhan pasti akan memberikan jalan keluarnya. Sekarang cepat kembalikan kerbau itu ke pemilikinya.”

Jagung sadar, yang diperbuatnya salah. Ia lalu memeluk Jagungwati dan berterima kasih. Mereka berdua tersenyum. Jagung lalu membeli kembali kerbau itu, dengan ongkos tambah, lalu diam-diam ia mengembalikan kerbau itu di umah Pak Kencur. Jagung bekerja giat mencari uang secara halal. Dua puluh empat jam sehari ia mengayuh becak, untuk menolong ibunya. Jagungwati kerja sambilan jadi tukang cuci di rumah orang, untuk membantu jagung mencari uang.

Di lain sisi lain sudut, Ubi masih terduduk berpikir. Kemudian ia kentut, kentutnya bau sekali, ia saja sampai mau muntah, tapi rasanya jadi lega kalau sudah keluar. Ubi lalu tersentak, kentut, bau, lega lalu bau hilang seolah membawa ilham baginya. Segera ia berpikir. Apakah ia betul-betul mencintai ibunya. Apakah dirinya tidak rela menanggung dosa demi menolong ibunya? Apakah dirinya lebih mementingkan amalnya daripada nyawa ibunya? Jika ia memang sangat mencintai ibunya, ia harus mendapatkan uang. Setidaknya jika ia mencuri kerbau, ibunya bisa sembuh dan ia bisa semangat bekerja lagi. Jika uangnya sudah cukup, ia akan mengganti kerbau yang dicurinya, dan dengan ikhlas menerima hinaan dari Pak Kencur, asal hal ini tidak diketahui ibunya, agar tidak menambah beban ibunya. Ataukah ini memang skenario Tuhan? Ya, pasti begitu, pikir Ubi.

Ubi pun membulatkan tekadnya, ia pergi mencuri kerbau di rumah Pak Kencur, diambilnya kerbau yang bokongnya belang putih, lalu dijual. Kemudian ia meminta pada pihak rumah sakit untuk segera mengoperasi ibunya. Nyawa ibunya tertolong. Di lain pihak, Jagung yang semangat mengumpulkan uang tiba-tiba kaget sewaktu menjenguk ibunya. Ia terlambat mencari uang, ibunya telah tiada. Ia menangis sejadi-jadinya. Besoknya terdengar kabar Jagungwati jadi gila setelah diperkosa ramai-ramai oleh anak-anak dan ponakan-ponakan majikannya. Ia tambah sedih, tambah stress. Ia hanya bisa menangis.

Setelah ibunya sembuh, Ubi bekerja giat mengumpulkan sampah. lalu tiba-tiba muncul ide membuat kerajinan dari batang-barang bekas. Akhirnya Ubi dan ibunya membuka usaha pembuatan kerajinan dari limbah. Usahanya sangat maju. Empat bulan kemudian, Ubi telah memiliki cukup uang untuk mengganti kerbau Pak Kencur. Dibelinya kerbau montok dan dibawa ke rumah Pak Kencur, ia siap menerima cacian dari Pak Kencur. Ternyata dugaannya salah, Pak Kencur tidak marah, ia justru menagis mendengar cerita Ubi. Ia menerima kerbau itu dengan senang hati dan memaafkan Ubi setulus hati. Ubi tersentuh, ternyata Pak Kencur orangnya baik. Ternyata jalan pikirannya dulu tidak salah, atau, memang benarkah ini skenario Tuhan? Ia bersyukur, begitu bersyukur, tak lupa juga ia berterima kasih pada Terong Panjang. Kini usaha Ubi semakin besar, ia telah mempekerjakan delapan orang, karena orderannya semakin besar. Ia telah menikah dengan seorang Ubi yang cantik yang bernama Miyubi. Ubi dan keluarganya hidup bahagia.

Di sana, Jagung terduduk sendiri.......



Skaga
Blitar, 29-08-2008



Mengapa kita sering terlalu menyalahkan pencuri? Lalu kapan kita menyalahkan diri kita sendiri, kok mau-maunya jadi korban pencurian? Pencuri kan biasanya mencuri karena "diundang"? Tidak perlu takut akan nasib buruk, tetapi selalulah takut melakukan sebab yang dapat memberikan akibat buruk. Kita tak akan mendapatkan apapun yang bukan nasib kita. Bukankah begitu?


Selengkapnya...

Paradoks Lampu

Lagi-lagi tentang entitas tak hingga. Oke, saya menulis artikel ini ada hubungannya dengan kuliah saya, jadi saya akan memulai dengan pendahuluan terlebih dahulu sebelum membahas paradoks lampu.

Tersebutlah suatu saat kuliah dosen saya mengatakan bahwa tak hingga jika dikalikan nol hasilnya adalah nol dengan dalih teorema:

"Semua bilangan jika dikalikan nol hasilnya adalah nol".

Dan dosen yang lain juga mengatakan bahwa 0 + 0 + 0 + 0 + ... sampai tak hingga sukunya hasilnya ialah nol. Well, tentu saja dosen juga bisa keliru. Tak hingga jika dikalikan dengan nol hasilnya mungkin berapa saja, mengingat tak hingga dikali nol adalah bentuk tak tentu. Demikian juga 0 + 0 + 0 + 0 + ... merupakan problem yang sama dengan ∞ × 0 hanya saja dalam penulisan yang berbeda. Untuk pembuktian bahwa ∞ × 0 hasilnya mungkin berapa saja, perhatikan pemaparan di bawah ini.

x = 0 + 0 + 0 + 0 + ...(1)
x = (1 – 1) + (1 – 1) + (1 – 1) + (1 – 1) + ...(2)
x = 1 – 1 + 1 – 1 + 1 – 1 + 1 – 1 + ...(3)
x = 1 – {(1 – 1) + (1 – 1) + (1 – 1) + (1 – 1) + ...}                                (4)
x = 1 - x(5)
x = 1/2(6)

Lihat? Ternyata ∞ × 0 mungkin saja sama dengan setengah (lengkapnya dapat dilihat pada postingan mengenai infinity series paradox). Jadi apa yang salah dengan teorema sebelumnya? Seingat saya saat SMA (dan dikukuhkan dengan penelusuran di buku), teorema itu sebenarnya berbunyi:

"Semua bilangan riil jika dikalikan dengan nol hasilnya sama dengan nol".

Ternyata itulah "ayat" lengkapnya (jadi jelas sekali memenggal-menggal ayat bisa menyesatkan, jangan pernah percaya pada pendapat seseorang yang memberikan argumen ayat-ayat yang sepotong-sepotong: berbahaya!). Setelah belajar mengenai bilangan kompleks, saya kira bilangan kompleks juga sahih dalam teorema itu. Saat mengajukan pembuktian ini kepada seorang teman, ia mencoba memberikan argumen yakni:

"jika polanya seperti kesamaan (3), bila operasi pertama ialah kurang, maka operasi terakhir haruslah juga kurang sehingga hasilnya sama dengan nol. Dengan mengeluarkan angka satu yang pertama dari kurung, maka operasi terakhir dalam tanda kurung [kesamaan (4)] adalah tambah, yang berarti nilai dalam kurung kurawal tidak sama dengan x".

Jadi teman saya berargumen pembuktian saya keliru mulai dari kesamaan (5). Lalu apakah pembuktian saya salah? Tentu saja tidak, sebab jumlah suku pada deret tadi ialah tak hingga, jadi apa yang menjamin pada deret tadi jika operasi pertama ialah kurang maka operasi yang terakhir pastilah kurang juga? Berikut pembuktian bahwa kita tidak mungkin tahu operasi apakah yang terakhir itu tak peduli operasi apa yang kita lakukan di awal.



Thompson's Lamp Paradox

Bayangkan terdapat lampu dalam suatu ruangan tertutup dengan sakelar untuk menyalakan/memadamkannya. Pada menit ke-0, lampu dalam keadaan padam, semenit kemudian lampu dinyalakan, seperempat menit berikutnya lampu dipadamkan lagi, seperdelapan menit berikutnya lampu dinyalakan lagi, dan seterusnya sakelar di-switch setiap selang setengah dari selang sebelumnya. Dengan sedikit pengetahuan deret geometri, dapat kita tuliskan waktu yang diperlukan dalam melakukan percobaan ini ialah:

yang limit jumlahnya sama dengan 2. Dengan kata lain 1 + 1/2 + 1/4 + 1/8 + 1/16 + ⋯ sampai berapa pun sukunya (asal berhingga) tidak mungkin lebih dari dua. Jika jumlah sukunya tak hingga, maka jumlah deret itu adalah 2. Jadi pada kasus tadi (asumsikan kondisi ideal), saat menit ke-dua apakah lampu dalam keadaan menyala ataukah padam? Atau jika kita mengulangnya dengan keadaan awal (menit ke-0) lampu menyala dan memberlakukan aturan yang sama dengan percobaan sebelumnya, apakah lampu dalam keadaan menyala ataukah padam? Apakah keadaan lampu saat menit ke-2 pada percobaan pertama dan percobaan ke-dua mestilah berbeda?

Tentu saja kita tak mampu menjawabnya. Dapat saja lampu menyala, tetapi ia juga padam, ataukah padam tetapi juga menyala, dengan kata lain lampu berada pada keadaan menyala sekaligus padam. Kecuali jika ditanya bagaimana kondisi ruangan saat menit ke-dua, dengan cukup yakin kita bisa menjawab kondisi ruangan terang. Ya, pasti terang, bukan karena lampu pasti dalam keadaan menyala, tetapi karena jika sumber cahaya berkedip-kedip dengan periode yang sangat cepat hingga diluar kemampuan "kecepatan mata", maka mata akan menangkapnya sebagai terang yang kontinyu. Jadi menanyakan apakah ruangan terang atau apakah lampu menyala pada menit ke-dua merupakan dua hal yang berbeda. Jika yang ditanyakan apakah lampu menyala, kita kembali ke jawaban dari paradoks ini: tidak tahu. Eh, ataukah tidak terbedakan?



Selengkapnya...

Problema Ujian Nasional

Ramai terdengar di acara berita beberapa minggu lalu (sampai sekarang juga masih ada) mengenai pelaksanaan ujian nasional alias UN. Tentu saja ini adalah problema yang terus muncul dari tahun ke tahun. Masalahnya ialah:

  1. Sulitnya (mungkin mustahil) menyelenggarakan ujian nasional yang jujur dan bersih di seluruh Indonesia.
  2. Ada siswa yang tergolong cerdas tetapi tidak lulus ujian nasional sedemikian sehingga ia tidak dapat lulus dari sekolah.

Masalah yang membuat masalah ini menjadi "masalah" ialah tidak mungkin mengatasi dua masalah tadi. Yang pertama, bagaimana mungkin membuat ujian nasional yang bersih baik pada pihak penyelenggara maupun pihak peserta dan pihak lain yang terlibat? Bagaimana cara mengatasi pihak pembuat atau penanggung jawab penyimpanan soal tak menjual soal demi mendapatkan duit agar bisa hidup lebih makmur? Bagaimana cara membuat seluruh siswa tidak panik dan tidak berupaya mencari kunci jawaban? Bagaimana cara menghentikan oknum jahil yang senang menerbitkan kunci jawaban palsu untuk dijual dengan harga murah atau sekedar iseng saja? Bagaimana caranya membuat semua guru kehilangan belas kasihannya kepada murid-muridnya dan kehilangan tanggung jawabnya kepada atasan untuk meningkatkan citra sekolah?

Kita bisa cukup yakin pembuat soal bisa bersikap jujur bila semesta kondisi mendukung, tetapi bagaimana misalnya seorang oknum pembuat soal anaknya tiba-tiba sakit dan memerlukan biaya pengobatan besar sehingga ia tergiur untuk menjual naskah soal? Ya! dalam mencari pemecahan suatu masalah kita tidak boleh mengutamakan berpikir ideal (orang-orang sering ngomong harus selalu berpikir ideal dalam konteks masalah kehidupan, sebenarnya itu palsu), tetapi kita harus berpikir realistis. Kita harus mempertimbangkan keadaan, emosi, dan kecenderungan psikis orang lain yang terlibat. Cukup sulit untuk menjamin pembuat soal tidak membocorkan soal kecuali dengan memberikan honor yang tinggi serta menjaga independensi dan kerahasiaan tim pembuat soal.

Nah, sekarang menurut perspektif siswa. Siapa yang mau tidak lulus? Siapa yang tidak berminat menambah peluang (meskipun ia sudah cukup berpeluang) untuk lulus ujian nasional mengingat ujian nasionallah yang menentukan lulus tidaknya kita dari jenjang pendidikan terkait? Saya pun dulu meskipun yakin 90% lulus ujian nasional, tapi kalau berpikir menggunakan kunci jawaban bisa meningkatkan peluang itu barang 5% tentu bakal saya lakukan (tentu saja asalkan bisa diminta gratis dari teman atau paling tidak seharga uang saku), mengingat ujian nasional merupakan syarat tunggal kelulusan (masa kita sekolah selama tiga tahun ditentukan dalam beberapa hari saja). Saya tidak sportif? Oke, saya terima, saya orang realistis, bukan orang idealis. Lulus UN dulu baru jadi idealis, jangan idealis dulu baru mau lulus UN, he..he... Saya kan cuma peserta, bukan pembuat soal atau pihak apa pun yang memikul tanggung jawab. Jika saya adalah pihak yang memikul tanggung jawab, tentu saja saya akan bersikap lebih jujur (meskipun saya tidak sangat yakin iman ini tidak goyah kalau berhadapan dengan uang satu milyar misalnya). Jadi, kita tidak perlu menyalahkan siswa jika mereka berusaha mencari kunci jawaban. Mereka kan cuma ingin lulus, apa sih salahnya? Kemampuan otak orang kan berbeda-beda, mungkin sebagian bisa menghapal pelajaran kelas satu sampai kelas tiga (untuk SMP dan SMA) tetapi sebagian lainnya kan tidak bisa. Ada tipe orang yang sebanyak apa pun mereka belajar tidak akan bisa masuk semuanya. Karena kemampuan otak yang memang terbatas dari sononya ataukah penyesalan yang datang terlambat, mereka lalu mencari kunci jawaban menurut saya sangat manusiawi. Mencari kunci jawaban itu juga usaha, ya tidak? Masa yang punya otak encer saja yang boleh lulus UN? Lagi pula saya kira jumlah siswa yang menjadikan kunci sebagai modal sampingan disamping tetap belajar sangat mungkin masih lebih banyak dibanding siswa yang semata-mata mengandalkan kunci jawaban dan enggan belajar. Malah mungkin pihak sekolah perlu mengadakan seminar tentang bagaimana cara menggunakan kunci jawaban dengan bijak (jangan lupa dibuatkan sertifikat). Cari versi kunci jawaban sebanyak-banyaknya sambil juga belajar keras. Saat ujian kerjakan dulu soal yang bisa dikerjakan, kalau sudah tidak ada cocokkanlah jawaban yang sudah dikerjakan dengan jawaban dari beragam versi kunci. Mana yang paling sesuai berarti itu yang cukup dapat diandalkan untuk mengisi soal-soal yang tak bisa dikerjakan.

Berikutnya dari sudut pandang pihak sekolah. Tentu banyak dari kita tahu bahwa sekolah yang lulusannya bagus-bagus akan mendapat rating yang juga bagus. Kepala sekolah tentunya akan berupaya agar semua muridnya lulus, kalau bisa dengan nilai bagus semuanya. Kalau banyak yang tidak lulus, bukan hanya rating sekolah yang bakal turun, jabatan juga bisa dicopot. Maka diberikanlah mandat kepada guru-guru. Mendapat mandat dari kepala sekolah, dan juga "kasih sayang" buta kepada murid-muridnya, diupayakanlah cara-cara kurang sportif demi kelulusan murid. Caranya tidak jujur memang, tetapi lagi-lagi itu kan manusiawi. Guru dituntut untuk tidak sekedar mengajar, tapi juga mendidik. Dan mendidik itu artinya jika memang tidak/belum mampu ya jangan diluluskan. Tetapi jika banyak yang tidak lulus jabatan mereka taruhannya. Apa sih, maunya dunia?

Begitu pula lembaga bimbingan belajar. Mereka juga berupaya menjaga nama baiknya, demi kelancaran uang masuk kantong. Itu kan juga manusiawi, mengingat pelaksanaan UN juga bukan tanggung jawab mereka. Orang bilang memang tidak ada tanggung jawab secara etis, tetapi ada tanggung jawab moril terhadap mental generasi muda Indonesia. Tetapi jangan lupa, mereka juga punya kewajiban dan tanggung jawab menjaga asap dapurnya tetap mengepul.

Sekarang poin ke-dua. Ada juga siswa yang pintar tetapi tidak lulus karena ketidakberuntungan. Mungkin kesalahan teknis pengerjaan, mungkin pensilnya pensil abal-abalan, atau mungkin prediksi soalnya meleset. Ya memang kita bisa katakan memang begitulah nasibnya, tetapi jika kita bisa menghindari kemungkinan itu dengan meniadakan saja ujian nasional, mengapa tidak dipertimbangkan metode penggantinya? Jika memang kecenderungan siswa-siswi mencari kunci jawaban yang notabene tak bisa dihindari dikecam, mengapa tidak cari syarat kelulusan lain? Syukurlah tahun ini katanya nilai rapor juga dipertimbangkan dalam kelulusan siswa-siswi selain nilai UN, meskipun memang mencegah lebih baik daripada mengobati.



Selengkapnya...

Minggu, 29 April 2012

Hukum II Termodinamika Versi Inflasi

Membahas hukum II termodinamika memang nggak ada habis-habisnya. Pun dengan inflasi, sebagai salah satu hal yang paling saya takuti di dunia ini. Bagaimana kita bisa menabung dengan tenang di bawah ancaman inflasi? Tabungan kita nggak lari ke mana, tetapi nilai tukarnya jadi anjlok. Jika tahun ini kita menyimpan uang di lemari katakanlah satu juta rupiah (yah, saat ini masih bisa dipakai beli external harddisc 512 Gb, atau ponsel kamera kualitas standar, atau buku Fisika-nya Giancoli lengkap dua seri) dan kita tidak mengganggu gugat tabungan itu sampai dua puluh tahun kemudian. Nah, dua puluh tahun kemudian Anda menengok uang satu juta itu, apa yang Anda pikirkan? Ah, paling juga hanya bisa beli beras 2 liter. Nggak percaya? Berikut penelitian kecil-kecilan akhir pekan yang saya lakukan tentang inflasi dengan membandingkan data harga barang-barang saat ini dengan dua puluh tahun yang lalu.

Nama barang
Harga 20 tahun lalu (dalam Rupiah)
Harga sekarang (dalam Rupiah)
Perbandingan harga dalam 20 tahun
beras 1 liter
350
7.000
20
Susu kental manis 1 kaleng
1.500
10.000
5,6
Gula pasir 1 kg
1.500
12.000
8
Emas 23 karat1 g
10.000
>400.000
40
Ongkos becak ± 1 k m
300 – 400
7.000
20
Tiket kapal laut MKS – SBY  (kelas ekonomi)
15.000
200.000
13
Indomie satu bungkus
150
1.500
10
Ikan ketambak 1 takaran
500
10.000
20
Kangkung 1 ikat
50
1.500
30
TV CRT 21”
1.500.000
∼14.000.000
33
Minyak goreng 1 L
1.500
10.000
5,6

Waw! Anda lihat? Oke, harga-harga di atas memang daftar harga secara kasar, tapi cukup mampu untuk menunjukkan besarnya inflasi dalam dua puluh tahun ini. Perbandingan rata-rata harga sekitar 15 kali lipat, atau naik 1600%.

Nah, sekarang mari kita kaitkan dengan hukum II termodinamika. Penting untuk mengetahui bahwa ini bukan sekedar dihubung-hubungkan, tetapi memang berhubungan. Anda dapat dengan mudah menemukannya jika membaca literatur tentang ekonofisika. Kembali ke hukum termodinamika, baiknya kita membahas terlebih dahuli hukum yang pertama yaitu

U adalah energi dalam sistem, yakni energi yang masih tersimpan dalam sistem. Q adalah kalor yang diberikan dari lingkungan ke sistem, semakin banyak kalor diberikan maka semakin besar pula energi dalam sistem (makanya diberi tanda [+] dalam persamaan). W adalah kerja yang dilakukan oleh sistem ke lingkungan, yang berarti kerja ialah pembuangan energi dari sistem. Makin banyak kerja yang dilakukan makin kecil pula energi dalam yang tersisa (makanya kerja diberi tanda [-]). Jadi U, Q, dan W semuanya ialah besaran energi, sehingga secara makroskopis energi sistem haruslah kekal. Tetapi terdapat perbedaan-perbedaan bentuk energi dalam sistem – lingkungan, yang saling berkait satu sama lainnya.

Kita lanjut ke hukum II termodinamika. Berikut beberapa definisi hukum tersebut yang paling terkenal.

  1. Tidak mungkin membuat suatu mesin yang efisiensinya mencapai 100% (Kelvin – Planck).
  2. Panas tidak mungkin merambat secara spontan dari tempat bersuhu rendah ke tempat dengan suhu lebih tinggi (Clausius – Clayperon).

Bayangkan sebuah kawat bersuhu 70 °C dibiarkan di ruang terbuka, maka tanpa memberikan energi apa pun suhu kawat pada akhirnya menjadi sama dengan suhu lingkungan. Tetapi kita tidak akan mungkin menemukan kalor akan berpindah secara spontan dari lingkungan ke kawat hingga suhunya kembali menjadi 70 °C. Diperlukan usaha tambahan dari manusia misalnya untuk memberikan kalor misalkan dengan membakar kawat itu atau memukul-mukulnya. Nah, jika tadi Anda tak perlu melakukan apa-apa untuk mendinginkin kawat, tetapi Anda memerlukan usaha untuk kembali menaikkan suhu kawat. Inilah yang dimaksud dengan efisiensi tidak akan mungkin menjadi 100%.

Nah, dengan menggunakan persamaan hukum II termodinamika, maka dapat kita tuliskan

Dengan Q harga barang, dan T nilai mata uang. Perubahan harga barang dengan nilai mata uang di dunia ini dalam rantang waktu yang cukup panjang hampir selalu (kalau tak mau dibilang selalu) bernilai positif, dengan demikian ‘inflasi’, S cenderung bertambah. Perubahan harga barang terhadap nilai mata uang biasa juga disebut perubahan nilai tukar mata uang. Jika lebih besar daripada 1 disebut inflasi, dan jika lebih kecil daripada 1 disebut deflasi (hanya mungkin terjadi dalam selang yang singkat).

Bagaimana cara menghantikan atau setidaknya menghambat laju inflasi? Well, mungkin para ekonom lebih tahu daripada fisikawan ^^. Tetapi sekiranya inflasi tak mungkin dihentikan. Mengapa? Berikut beberapa penyebab inflasi.

Kelangkaan barang, dapat dikarenakan karena kelangkaan faktor produksi (alam, modal, tenaga kerja, dan skill), penimbunan barang, pengendalian pasar secara monopoli, atau permainan kotor lain dari pengusaha busuk.

Meningkatnya jumlah uang yang beredar di masyarakat, menyebabkan penawaran yang makin tinggi sehingga harga semakin naik. Demikian pula perputaran uang dalam pasar berpengaruh terhadap signifikansi inflasi. Ekspektasi, kecemasan, atau trend yang berkembang dalam masyarakat terhadap mata uang dan barang produksi sedikit banyak juga berpengaruh terhadap inflasi.

Nah, jadi bagaimana cara agar dapat menghambat laju inflasi atau meminimalkan dampak inflasi? Salah satunya [mungkin] ialah dengan lebih memilih berinfestasi ketimbang menabung di bank. Bagaimanapun, baiknya kita bertanya pada ekonom yang dapat dipercaya ^^.

Selengkapnya...

Gagasan

Sebuah kisah untuk Anda..

Alkisah dua orang sahabat yang merantau, sebut A dan B pergi ke suatu desa mencari barang yang berharga. Saat mereka dalam perjalanan, mereka menemukan tumpukan rami yang telah dibuang (rami adalah jenis serat tumbuhan yang dapat dipintal menjadi benang rami, yang kemudian dapat dibuat menjadi tali atau kain). Si A berkata, “Ini adalah tumpukan rami, kau buat seikat dan aku buat seikat lalu kita akan membawanya pulang.” Jadilah mereka berdua membawa tumpukan rami itu. Kemudian saat mereka sampai ke jalan desa lain, mereka menemukan setumpuk besar benang rami yang teronggok begitu saja, maka berkatalah si A, “Benang rami ini adalah apa yang kita butuhkan dari tumpukan rami ini. Mari kita buang rami ini dan melanjutkan perjalanan dengan membawa benang rami ini.” Tetapi si B menjawab, “Aku sudah menempuh perjalanan jauh dengan rami ini, lagipula ia sudah terikat dengan rapi. Aku sudah cukup dengan rami ini, kau lakukan saja apa yang kau suka.” Maka si A membuang tumpukan raminya dan membawa tumpukan benang rami yang baru ditemukannya. Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanannya.

Nah, apa pendapat Anda mengenai si A dan si B? Pikirkanlah terlebih dahulu lalu melanjutkan membaca.

Sampai di jalan desa lain, mereka berdua menemukan lagi kain rami yang telah dibuang. Berkatalah lagi si A, “Kain rami ini adalah apa yang kita butuhkan dari rami dan benang rami ini, mari kita buang saja beban yang kita bawa lalu kita ambil kain rami ini.” Tetapi si B menjawab seperti jawabannya yang tadi. Setelah si A mengangkut kain rami itu, mereka melanjutkan perjalanannya. Di desa lain mereka menemukan tumpukan batang linen, di desa lainnya lagi benang linen, lalu kain linen, kapas, benang katun, kain katun, besi, tembaga, perak, dan terakhir emas. Seperti sebelum-sebelumnya si A pun berkata, “Tumpukan emas ini adalah apa yang kita perlukan dari rami, benang rami, kain rami, batang linen, benang linen, kain linen, kapas, benang katun, kain katun, besi, tembaga, dan perak. Kau buanglah tumpukan rami itu dan akan kubuang beban perak yang kubawa, lalu mari kita membawa tumpukan emas ini.” Demikian juga si B menjawab, seperti sebelum-sebelumnya, “Aku sudah menempuh perjalanan jauh dengan rami ini, lagipula ia sudah terikat dengan rapi. Aku sudah cukup dengan rami ini, kau lakukan saja apa yang kau suka.” Maka si A membuang tumpukan peraknya dan mengangkut tumpukan emas itu.

Kemudian mereka pulang ke desa mereka. Di sana, si B tidak membawa kesenangan bagi orang tua, istri, dan anak-anaknya. Tidak pula bagi dirinya sendiri. Tetapi si A pulang dengan membawa kesenangan bagi orang tua, istri, anak, dan bagi dirinya sendiri.

Bagaimana? Mungkin, sebagian dari Anda sebelum menyelesaikan membaca cerita ini malah memberikan apresiasi pada si A, entah perihal “oknum yang sudah cukup bersyukur”, ataukah “kesetiaan yang picik terhadap ‘gagasan pertama’”. Jikalau demikian, Anda tidak perlu merasa aneh, itu sikap yang cukup wajar dalam masyarakat umum, itu adalah sikap skeptisme dogmatis. Kita cenderung mempertahankan pandangan/dogma kita atas dasar cinta buta, enggan mempertimbangkan pandangan lain meski pandangan yang baru ini lebih benar dan lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kita. Kita menutup mata terhadap hal-hal lain yang lebih mencerahkan dan membahagiakan, enggan untuk sekedar menguji pandangan baru itu, hanya karena ingin mempertahankan keyakinan awal kita karena sudah merasa nyaman bahkan meskipun kita tahu bahwa itu keliru.

Ya, begitulah manusia pada umumnya, dan begitu pulalah para ilmuwan. Anda dapat dengan mudah menemukan teori-teori yang cenderung dipertahankan oleh para ilmuwan, mempertahankan gagasan-gagasan lama meskipun telah dibuktikan tidak sesuai dengan data dan fakta. Kita tidak benar-benar ingin berubah. Padahal, meskipun berubah tidak menjamin hasil yang lebih baik, tetapi hasil yang lebih baik hanya mungkin diperoleh dengan melakukan perubahan.



Catatan:
Judul sebenarnya dari artikel ini “Skeptisme Dogmatis”, kisah di atas saya sadur dari Digha Nikaya 23.29.

Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.