Kamis, 21 Juni 2012

Paradoks Tahanan

Waspadalah…! Waspadalah…!!
- Kata bang Napi.

Oke, ini nggak ada hubungannya dengan bang Napi, tapi ada hubungannya dengan Monty Hall Problem yang telah saya posting terlebih dahulu. Paradoks tahanan (Prisoner’s Paradox) menceritakan masalah peluang dalam konteks verbal, yang mana pemecahannya terlihat tidak sesuai dengan rasio kita pada umumnya.

Ada tiga orang tahanan (sebut Ambo, Bono, dan Charles) sedang menunggu putusan pengadilan terhadap nasib mereka. Saat itu putusan pengadilan ditunda tiga hari setelah persidangan karena para hakim perlu waktu lebih untuk berdiskusi mengenai putusan terhadap Ambo, Bono, dan Charles.


Bang Napi

Malamnya, seorang sipir lewat di depan ruang tahanan Ambo. Ambo pun bertanya, “Maaf pak, saya dengar putusannya telah selesai.” “Bagaimana hasilnya?”.

“Salah satu dari kalian akan divonis bebas, dua yang lain dihukum mati.”

“Siapa yang dihukum mati pak?”

“Wah, itu rahasia.” “Dengar saja langsung lusa.”

“Ayolah pak, bagaimana nasib saya?”

“Nanti juga Anda pasti tahu kok.”

Karena tak sabar dengan nasibnya, Ambo memelas agar diberi tahu nasibnya. Karena sipir bersikeras tidak memberitahu, Ambo pun meminta diberi klu saja.

“Kalau begitu pak, beri saja saya salah satu nama yang dihukum mati.”

Karena terus didesak, akhirnya pak sipir menyebutkan nama Bono akan divonis mati. Saat itu merasa senanglah Ambo karena merasa peluangnya bebas meningkat dari 1/3 menjadi 1/2. Pada jam makan malam, Ambo menceritakan pembicaraannya dengan sipir kepada Charles, dan Charles pun merasa senang. Tetapi Charles berkata, “Bodoh, jika memang begitu berarti peluangku bebas menjadi 2/3 dan peluangmu bebas tetap 1/3.”

Lho, mana yang benar? Menurut Ambo atau menurut Charles? Ternyata versi Charleslah yang benar. Dengan diketahuinya Bono pasti dihukum mati, peluang Ambo bebas tetap 1/3 dan peluang Charles bebas meningkat menjadi 2/3. Penjelasannya sebagai berikut:

Sipir tidak ingin memberitahukan siapa yang bebas secara langsung, dan dia hanya menyebutkan salah satu nama yang divonis mati kepada Ambo. Jika Ambo yang bebas, sipir dapat memilih untuk menyebutkan nama Bono atau Charles. Jika Bono yang bebas, sipir hanya mungkin menyebutkan nama Charles, karena dia tak ingin memberi tahu nasib Ambo secara langsung. Begitu pula jika Charles yang bebas, maka sipir hanya mungkin menyebutkan nama Bono. Jadi terdapat perbedaan perilaku sipir jika Ambo yang bebas dengan Bono atau Charles yang bebas. Ingat bahwa sebelum sipir mengatakan apa-apa, peluang Ambo, Bono, dan Charles untuk bebas masing-masing adalah 1/3.

nama yang bebasyang dikatakan sipirpeluang kejadian
AmboBono1/6
Charles1/6
BonoCharles1/3
CharlesBono1/3

Mengingat nama Bono disebut dihukum mati, maka ia tidak mungkin bebas sehingga peluangnya berubah menjadi:

nama yang bebasyang dikatakan sipirpeluang kejadian
AmboBono1/6
CharlesBono1/3

Lihat? Saat sipir menyebutkan nama Bono (divonis mati), maka peluang baru yang tercipta adalah Ambo bebas peluangnya 1/6 dan Charles bebas peluangnya 1/3 dari total peluang 1/6 + 1/3 = 1/2. Mengingat lazimnya semua peluang yang mungkin dinyatakan dengan satu, maka peluang Ambo bebas ialah 1/6 × 2 = 1/3 dan peluang Charles bebas adalah 1/3 × 2 = 2/3.

Q.E.D.

Selengkapnya...

Menkes dan Masalah Kondom

Belakangan ramai terdengar kabar bahwa Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang baru-baru ini dilantik mensosialisasikan penggunaan kondom bagi pelaku seks remaja atau yang bukan pasangan resminya untuk mengurangi tingkat penularan penyakit menular seksual (pms) dan maraknya praktik aborsi siswi/mahasiswi yang semestinya mengerjakan pr fisikanya. Sontak, ramai komentar yang bernada mengkritik sampai mencemooh dan menghujat ditumpahkan ke media, utamanya media online.


kondom: ada merah ada kuning ada hijau (kayak pelangi saja..)

Komentar-komentar yang bersifat menghujat itu semuanya kurang lebih berisikan:

Apa? Kok menteri melegalkan seks bebas?

Bukan begini cara mengurangi penyebaran pms.

Ibu itu bukan menkes, melainkan menkon (menteri urusan kondom).

Ueedannn!!!

dan

Astagfirullah!

Saya mencoba mengamati fenomena ini dengan kacamata saya sendiri dan, hei, apa sih yang Anda harapkan dari seorang menteri kesehatan? Memangnya siapa sih orang sehat yang mendukung seks bebas? Tentunya ibu menkes sudah memberikan keterangan, dan memang seks bebas itu adalah hal yang harus dihindari, apalagi bagi remaja yang masih usia sekolah. Tapi, itukan bukan tugas formal menteri kesehatan. Iya tidak? Ibu menteri dan juga saya tahu betapa sulitnya mengatasi pola hidup ala barat itu. Bukan saja melanggar etika sosial dan agama, tetapi juga dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan semisal HIV dan pms lainnya, serta kehamilan di luar nikah yang ujung-ujungnya aborsi. Nah, tugas menteri kesehatan itulah menangani dampak-dampak buruk terhadap kesehatan. Moral masyarakat memang urusan kita semua, demikian juga ibu menkes telah memberikan himbauan pencegahan utama penyebaran pms adalah dengan menghindari seks bebas. Tapi lebih jauh beliaukan bertanggung jawab formal pada urusan kesehatan, itu saja. Mau apa lagi?

Bagi teman-teman yang mengkritik (hati-hati, berita itu sangat mungkin sudah dilebih-lebihkan) dan mengatakan langkah menganjurkan penggunaan kondom saat sudah demikian sulitnya mengatasi seks bebas adalah tindakan gila, semestinya moral manusianya yang dibenahi, bukan kelaminnya yang diselimuti, ya mari kita lakukan sama-sama. Itu tanggung jawab kita semua, dan di tingkat kementrian itu urusan menteri pendidikan dan kebudayaan dan menteri agama, buka urusan menkes. Ibarat perilaku seks bebas dengan dampak buruk bagi kesehatannya itu berarti kecolongan tiga angka, ya kalau dampak buruk kesehatannya itu bisa dicegah (dengan kondom) berarti kecolongan dua angka. Kan lebih baik kecolongan dua angka daripada tiga angka. Bagaimana supaya tidak kecolongan sama sekali saya pikir itu langkah panjang yang butuh kerja keras yang bersinergi dari semua elemen masyarakat. Bukan cuma hujatan atau omongan astagfirullah tanpa melakukan langkah nyata meski sekecil apapun.

Saya setuju membagikan dan memberi akses kondom memang tidak akan menyelesaikan masalah moral di Indonesia, tapi setidaknya masih berdampak positif bagi kesehatan. Urus dulu moral sendiri, baru kita bergerak mengurus moral bangsa.



Selengkapnya...

Minggu, 17 Juni 2012

Serat Optik (Optical Fiber)

Serat Optik

Serat optik atau optical fiber merupakan suatu kabel yang berfungsi untuk mentransmisikan sinyal-sinyal digital dalam bentuk gelombang cahaya. Susunan utama serat optik ialah sebagai berikut:

  1. core, merupakan serabut kaca mikroskopis yang berdiameter sekitar 10 μm – 60 μm. Di bagian inilah cahaya ditransmisikan. core dibuat dari kaca murni untuk membuat daya serapnya menjadi sekecil mungkin dan ukurannya dibuat setipis mungkin agar tak mudah patah/retak.
  2. cladding, serat kaca yang membungkus core. Seperti halnya core, cladding juga terbuat dari kaca murni dan indeks biasnya lebih kecil daripada core agar dapat memantulkan kembali cahaya yang mengarah keluar dari core kembali kedalam core lagi.
  3. Buffer, terbuat dari resin atau plastik untuk menambah kekuatan untuk kabel serat optik, walaupun tidak memberikan peningkatan terhadap sifat gelombang pandu optik pada kabel tersebut. Namun lapisan resin ini dapat menyerap cahaya dan mencegah kemungkinan terjadinya kebocoran cahaya yang keluar dari selubung inti. Serta hal ini dapat juga mengurangi cross talk yang mungkin terjad.
  4. jacket atau pembungkus terluar, terbuat dari karet kuat yang membungkus buffer (bisa lebih dari satu) untuk melindungi serat optik dari kelembaban dan gangguan luar.

Pembagian serat optik dapat dilihat dari 2 macam perbedaan :

  1. Berdasarkan mode yang dirambatkan :
    1. Single mode : serat optik dengan inti (core) yang sangat kecil (biasanya sekitar 8 – 10 mikron), diameter intinya sangat sempit mendekati panjang gelombang cahaya yang masuk ke dalamnya tidak terpantul-pantul ke dinding selongsong (cladding). Bahagian inti serat optik single-mode terbuat dari bahan kaca silika (SiO2) dengan sejumlah kecil kaca Germania(GeO2) untuk meningkatkan indeks biasnya. Untuk mendapatkan performa yang baik pada kabel ini, biasanya untuk ukuran selongsongnya adalah sekitar 15 kali dari ukuran inti (sekitar 125 mikron). Kabel untuk jenis ini paling mahal, tetapi memiliki pelemahan (kurang dari 0.35 dB per kilometer), sehingga memungkinkan kecepatan yang sangat tinggi dari jarak yang sangat jauh. Jenis single mode digunakan untuk mentransmisikan sinar laser (1.300 nm – 1.550 nm)
    2. Multi mode : serat optik dengan diameter core yang agak besar (sekitar 62,5 mikron) yang membuat laser di dalamnya akan terpantul-pantul di dinding cladding yang dapat menyebabkan berkurangnya bandwidth dari serat optik jenis ini. Multi mode dapat mentransmisikan sinar inframerah dari LED dengan panjang gelombang 850 nm hingga 1.300 nm.
  2. Berdasarkan indeks bias core
    1. Step indeks : pada serat optik step indeks, core memiliki indeks bias yang homogen.
    2. Graded indeks : indeks bias core semakin mendekat ke arah cladding semakin kecil. Jadi pada graded indeks, pusat core memiliki nilai indeks bias yang paling besar. Serat graded indeks memungkinkan untuk membawa bandwidth yang lebih besar, karena pelebaran pulsa yang terjadi dapat diminimalkan.



Prinsip Kerja

Serat optik tersusun dari core yang merupakan lintasan bagi impuls cahaya yang diselubungi oleh cladding, buffer dan jacket. Agar dapat mentransmisikan data-data digital untuk komunikasi dan sebagainya diperlukan setidaknya dua core, satu sebagai transmitter (pengirim) dan satu sebagai receiver (penerima). Data yang ingin ditransmisikan dikodekan (encoding) menjadi data digital yang kemudian dibangkitkan dalam bentuk impuls-impuls sinar sebagai fungsi waktu. Sinar dikirimkan dalam bentuk impuls dari suatu pembangkit impuls seperti laser atau LED yang kemudian dijalarkan melalui serat optik (kabel transmitter). Setelah sampai pada penerima, impuls-impuls tadi diterjemahkan kembali (decoding) dalam data digital yang kemudian ditampilkan oleh instrumen digital. encoding dan dan decoding dapat dibangun dalam sistem biner (on-off) yang dikirimkan melalui impuls dengan periode tertentu.



Transmisi Cahaya dengan Refleksi

Menggunakan rumus pembiasan cahaya yang merambat pada medium yang berbeda di mana n ialah indeks bias medium


Agar cahaya dibiaskan kearah dalam maka θ2 harus lebih besar daripada θ1, sehingga n1 > n2. Untuk mengurangi cahaya keluar dari core, maka θ2 haruslah lebih besar daripada 90º sehingga didapatkan sudut minimal bagi θ1 yaitu:



Jadi agar tidak ada cahaya yang lolos dari core maka sudut cahaya terhadap garis normal θ harus lebih besar dari sin-1 (n2/n1), atau jika sudut datang diukur dari bidang pantul α = 90º - θ.

Persoalan kemudian ialah apakah cahaya bisa lolos dari core sehingga menyebabkan energy loss melalui pemantulan ini? Jika sudut awal sinar, θ1 > θC, maka sinar akan dipantulkan dengan sudut

Karena n1/n2 > 1 dan nilai sin x semaikin besar jika x semakin besar dalam rentang 0º – 90º maka:

Untuk 0° < θ < 90°. Jika dilakukan kalkulasi arcus sinus terlihat pada suatu nilai θ2 akan mencapai maksimum dan mengecil lagi hingga tak terlihat efek pemantulan. Dengan pengamatan sederhana, diperoleh bahwa rumus ini berlaku untuk sudut lebih besar daripada 90° karena nilai sin(90° – x ) = sin(90° + x), dan yang terjadi ialah sin(90 + x). Mengingat hubungan yang nampak pada gambar diketahui α1 = 90° – θ1 dan α2 = 90° – θ2 sehingga

Jadi didapatkan sudut pantul (diukur dari garis normal) selalu lebih besar daripada sudut datang, sehingga jika pulsa cahaya terus terefleksi berkali-kali, sudut datangnya akan semakin besar sehingga akan selalu lebih besar dari critical angle. Dengan kata lain sudut pantul diukur dari bidang pantul (α) semakin melandai. Jadi asalkan sudut awal dari cahaya lebih besar dari critical angle dan serat optik dalam keadaan lurus, cahaya tidak akan mungkin keluar dari core yang biasa disebut total internal reflection. Namun demikian, dimungkinkan munculnya sudut θ yang lebih kecil daripada θC yakni ketika serat optik dalam keadaan bengkok (bending).



Pelemahan Intensitas (attenuation)

Dalam perambatannya melalui serat optik, cahaya mengalami pelemahan intensitas akibat adanya cahaya yang “kabur" ke luar selama perjalanan (loss energy). Penyebab pelemahan intensitas ini dapat digolongkan menjadi dua, yakni faktor intrinsik dari serat optik dan faktor ekstrinsik (misalnya pada instalasi).

Pelemahan akibat faktor intrinsik dapat disebabkan oleh adsorbsi cahaya oleh pengotor dalam material core. Pengotor paling utama yang menyebabkan serapan ini adalah ion OH-, yang menyerap cahaya paling banyak pada panjang gelombang sekitar 1.250 nm dan sekitar 1.380 nm. Oleh karena itu, panjang gelombang cahaya yang digunakan (disebut daerah kerja) harus menghindari daerah sekitar situ. Selain adsorbsi, faktor internal lain yang berpengaruh adalah hamburan Rayleigh (Rayleigh scattering). Hamburan Rayleigh ialah hamburan yang disebabkan oleh partikel yang ukuran linearnya jauh lebih kecil daripada panjang gelombang cahaya. Besarnya pelemahan oleh hamburan Rayleigh berbanding terbalik dengan λ4. Dengan demikian daerah kerja serat optik harus menghindari panjang gelombang pendek, karena memiliki pelemahan akibat hamburan yang besar. Berdasarkan faktor adsorbsi dan hamburan, daerah kerja yang digunakan pada serat optik pada umumnya berada di 1.300 nm atau 1.550 nm. Faktor intrinsik lain adalah microbend ng, variasi diameter core, dan cacat pabrik lainnya.

Sekarang giliran faktor eksternal. Faktor eksternal yang dapat menyebabkan hilangnya energi cahaya antara lain bengkokan (bending) dan penyambungan, baik penyambungan antar kabel maupun penyambungan ke konektor. Bengkokan dapat menyebabkan hilangnya energi karena bengkokan berarti mengubah sudut kritis serat optik menjadi lebih besar. Akibatnya, makin sedikit berkas cahaya yang dapat direfleksi, selebihnya keluar menembus cladding. Adapun sambungan menyebabkan hilangnya energi karena sambungan yang tidak presisi (tidak pas, agak meleset) atau perbedaan indeks bias antara dua serat yang disambungkan karena adanya pengotor yang terperangkap antara sambungan (biasanya air atau udara).

Untuk mengukur pelemahan energi ini digunakan suatu fraksi yang menyatakan perbandingan intensitas cahaya yang diteruskan serat optik ke ujung lain (output) dibanding intensitas cahaya yang masuk ke serat optik (input), yang biasanya ditulis sebagai koefisien pelemahan, α.

Dengan x adalah panjang serat optik, I(x) adalah intensitas cahaya yang tersisa dalam serat sepanjang x, I0 adalah intensitas awal (sumber) dan α adalah koefisien pelemahan. Perhatikan bahwa nilai dari α selalu negatif. Selain itu, juga dapat α dinyatakan dalam satuan dB/km, yakni:

Dari kedua hubungan di atas diperoleh α(dB/km) = 4,343 α.



Selengkapnya...

Kamis, 07 Juni 2012

Pengamatan Transit Venus 2012

Rencananya tulisan ini mau diposting kemaren malam, tapi karena capek dan ngantuk sekali akhirnya postingnya baru sekarang. Yup, ini tentang transit Venus yang terjadi 6 Juni 2012 dari pukul 06.10 sampai 12.45 Wita. Fenomena yang terjadi setiap 105 tahun sekali ini berbentuk pasang-pasangan dengan selisih 8 tahun. Jika transit Venus terjadi 8 tahun lalu dan tahun ini, maka transit berikutnya akan terjadi 105,5 tahun lagi, lalu 8 tahun berikutnya, lalu 121,5 tahun berikutnya, dan seterusnya berulang setiap 243 tahun. Periode transit ini tidak terjadi setiap siklus sinodis karena perbedaan sudut bidang orbit Bumi dan Venus (seperti halnya gerhana), sehingga transit hanya dapat terjadi jika Venus berada di simpul pada konfigurasi konjungsi inferior.

Pengamatan yang dilakukan di pelataran MKU Kampus Tamalanrea Universitas Hasanuddin ini berlangsung lumayan ramai jika dibandingkan dengan persiapannya. Observasi sporadis yang cuma melibatkan seorang dosen (Ibu Nurhasanah) dan empat mahasiswa (Nurhidayat, Aldy, Djunaiddin, dan admin) ini nyaris tanpa persiapan, bahkan pamflet pun nggak ada karena berlangsung saat masa-masa ujian akhir semester (mahasiswa pada sibuk). Tapi ternyata peminat yang berdatangan lebih dari 200 mahasiswa dari berbagai fakultas, dosen-dosen, bahkan ketua jurusan fisika, Prof. Halmar Halide, Wakil Dekan II FMIPA Dr. Nurlaela Rauf, sampai rektor Unhas Prof. Idrus Paturusi sempat membidik Matahari menggunakan refraktor 70 mm dan galileoskop yang dilengkapi dengan filter. Selain itu simpatisan yang datang juga bisa mengamati transit secara langsung dengan menggunakan kacamata Matahari.

Galileoskop didatangkan atas bantuan Unawe Indonesia (terima kasih banyak), dan filter buatan sendiri cukup mumpuni untuk mengamati piringan Matahari. Sayang, kami tidak memiliki kamera yang bisa mengabadikan tangkapan teleskop itu dengan kualitas baik.

Berikut beberapa foto-foto pengamatan transit Venus kemarin.

Venus melintas di piringan Matahari 07.43 Wita

Venus teramati berbentuk bulat kecil pukul 07.53 Wita

Wakil Dekan II Ibu Nurlaela mengamati transit secara langsung menggunakan Sun glasses.

Ketua Himafi Unhas nggak ketinggalan pasang gaya...

Massa yang datangnya bergelombang-gelombang.

Meski panas tetap semangat!

Nurhidayat (kemeja cokelat) dinobatkan sebagai operator tersibuk.

Djunaiddin siap bertransformasi ^^.

Ibu Nurhasanah, Prof. Halmar, dan admin yang tengah diwawanca***.

Ibu Nurhasanah, Pak Dahlang dan para panitia (kecuali Aldy yang pegang kamera).

Pak rektor juga nggak ketinggalan menyaksikan peristiwa langka ini.

Djun, situ betul membidik atau cuma gaya sih?

Saudara aldytia yang bertugas sebagai juru kamera (copot kamera dulu, gantian jadi target kamera)

Bonus foto admin dalam pose yang sangat natural (ha..ha...).


Selengkapnya...

Sabtu, 02 Juni 2012

Toricelli's Trumpet dan Painter's Paradox


Toricelli's Trumpet (sumber: en.wikipedia.org)

Toricelli’s Trumpet atau Gabriel’s Horn adalah bentuk geometri yang dibentuk dengan memutar kurva y = 1/x dengan batas x = 1 hingga x menuju tak hingga.


Hasil pemutaran itu akan membentuk permukaan dua dimensi dalam dimensi tiga. Dengan menggunakan kalkulus, dapat diperoleh volume dan luas permukaan dari terompet Toricelli.




Nah, jika diambil nilai b → ∞, diperoleh volume dan luas permukaan dari Terompet Toricelli



Ternyata diperoleh volume dari Terompet Toricelli berhingga, yakni π, tetapi luas permukaannya tak hingga. Lho, kok bisa?


Painter’s Paradox

Seandainya Terompet Toricelli itu eksis, maka terompet itu hanya bisa menampung cat sebanyak π satuan volume, padahal panjang(dalam)-nya tak hingga! Kira-kira jika tetes-tetes cat dituang ke dalam terompet dengan kelajuan v, kapan ia sampai ke dasar? Kapan terompet akan penuh — mengingat kedalaman Terompet Toricelli tak hingga? Tapi bagaimanapun kita bisa pastikan terompet akan penuh mengingat volumenya berhingga.

Berikutnya lagi adalah, Terompet Toricelli hanya mampu menampung cat sebanyak π satuan volume, tetapi karana luasnya tak hingga, apakah kita perlu tak hingga banyaknya cat untuk mengecat permukaannya?

Yup, itulah Painter’s Paradox. Penjelasannya sederhana, yakni konsep “permukaan”. Permukaan adalah manifestasi dari geometri dua dimensi yang sesungguhnya, hanya ada dua dimensi panjang. Namun tidak ada bentuk dua dimensi yang bisa eksis secara independen dalam dunia tiga dimensi. Ya, benda dua dimensi itu hanya bisa menjadi permukaan dari benda tiga dimensi (malah mungkin benda dua dimensi yang independen adalah mustahil). Bayangkanlah seperti ini: Andai saja benda dua dimensi yang independen itu ada, dan dibentangkan kemudian Anda menjatuhkan diri di atasnya. Apakah Anda akan tertahan oleh benda itu atau bakal nembus saja?

Saya memilih untuk mengatakan bahwa Anda akan menembus benda itu, karena benda itu tidak memiliki ketebalan sama sekali. Nah, jadi seperti itulah konsep geometri dua dimensi secara matematis, begitu pula halnya dengan permukaan. Cat, bagaimanapun adalah benda tiga dimensi. Lapisan cat tetap memiliki ketebalan. Lalu bagaimana kaitan benda dua dimensi dengan benda tiga dimensi? Asumsikanlah sebuah kubus dengan panjang rusuk (r) tertentu dibelah-belah hingga manghasilkan lembaran yang sangat tipis. Andaikata pembelahan itu terus dilakukan sampai tak hingga banyaknya, maka akan diperoleh benda dua dimensi dengan luas r2 yang jumlahnya tak hingga. Jadi benda tiga dimensi dapat dikata tersusun dari tak hingga benda dua dimensi!

Dengan demikian, seandainya kita dapat membuat lapisan cat tanpa ketebalan (ketebalannya betul-betul nol), tentu saja tidak diperlukan banyak cat untuk melapisi Terompet Toricelli. Dengan demikian paradoks ini terselesaikan dengan caranya sendiri.



Hal lain yang dapat dikaji dari problem ini:

Volum adalah produk dari luas alas dan panjang (tinggi). Ternyata pada Terompet Toricelli, meskipun panjangnya tak hingga tetapi volumenya berhingga. Dengan demikian terdapat suatu bilangan (atau entitas lainnya) jika dikalikan tak hingga akan menjadi nilai tertentu. Dengan ini pula saya berusaha membuktikan pada teman saya saudara Aldytia bahwa bentuk 0 × ∞ adalah bentuk tak tentu, yang hasilnya bisa saja (sembarang) bilangan riil, tidak harus 0.



Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.