Processing math: 0%

Jumat, 31 Desember 2010

Bunga Salju Koch, keliling tak hingga?

Bunga salju Koch (Koch snowflake) merupakan suatu fraktal (fractal). Apa itu fraktal? Kata fraktal pertama kali diperkenalkan oleh Benoit Mandelbrot yang berasal dari kata fractus (latin) yang berarti patah, rusak, pecah, tidak teratur. Secara sederhana fractal  merupakan bentuk geometri yang menampakkan keserupaan diri pada tingkat perbesaran yang berbeda-beda. Berdasarkan keserupaan dirinya, fraktal dibagi menjadi tiga, yaitu keserupaan diri kuat(persis), keserupaan diri lemah dan keserupaan diri statistik (paling lemah). Keserupaan diri kuat mungkin hanya ada dalam teori matematika, namun keserupaan diri yang lebih lemah dapat dengan mudah ditemukan di alam. Misalkan saja pohon, jika Anda mematahkan dahannya dan menegakkannya, dahan itu akan terlihat mirip dengan pohonnya. Jika rantingnya Anda patahkan lagi, hasilnya masih mirip dengan pohon. Bahkan jika Anda memperhatikan struktur tulang daun, masih akan terlihat mirip dengan percabangan batang pohon. Contoh fraktal lain di alam ialah brokoli, batik, dan lainnya.


Bunga salju Koch
Bunga salju Koch dapat digambarkan dengan segitiga yang memotong segitiga lainnya 180º hingga terbentuk enam segitiga kecil. Kemudian segitiga-segitiga kecil ini ditumpuk lagi hingga menghasilkan segitiga yang lebih kecil, begitu seterusnya. Berikut gambar bunga salju Koch dari iterasi pertama sampai ke empat:

Nah, jika kita terus mengulangi iterasinya sampai tak hingga, berapakah dimensi dari segitiga terkecilnya? Kita tahu dimensi geometris dari segitiga ialah 2, namun dalam fraktal, dimensi bisa saja berbentuk pecahan. Dimensi geometris dari fraktal diberikan dalam rumus

D = - log N/log ε

Dimana N kelipatan objek tiap iterasi dan ε perbandingan ukuran linear tiap iterasi. Perhatikan tiap iterasi jumlah segitiga menjadi enam kali semula dan panjang sisinya menjadi sepertiga kali semula, maka dimensinya ialah:

D = - log 6 / log (1/3) = 1,631

Ah, sepertinya saya agak melenceng, oke, sekarang kita akan membuktikan keliling bunga salju Koch sempurna (iterasi sampai tak hingga) ialah tak hingga. Yang diperlukan hanyalah pemahaman mengenai deret geometri dan kekonvergen/divergenan.

Perhatikan gambar pada iterasi pertama, jika panjang rusuknya ialah r, maka kelilingnya ialah:
K1 = 3r

Sekarang pada iterasi kedua, rusuknya menjadi 12 dengan panjang rusuknya r/3, kelilingnya ialah:
K2 = 6 × 2 × r/3 = 4r

Pada iterasi ketiga, jumlah rusuknya 6 × 8 = 48 dengan panjang rusuk r/9, kelilingnya
K3 = 6 × 8 × r/9 = 16r/3

Nah, pada iterasi keempat mulai sulit hitungannya, jika Anda teliti maka jumlah rusuknya 96 dengan panjang rusuk r/27, kelilingnya
K4 = 6 × 16 × r/27 = 64r/9

Silahkan lanjutkan terus jika mau, dan akan bersesuaian dengan rumus

Kn = 6 × 2n-1 × r/3n-1

Rumus ini berlaku umum selain dari iterasi pertama ke iterasi kedua. Jika kita nyatakan dalam deret, jadinya:

Dengan membagi suku ke-2 dengan suku ke-1, suku ke-3 dengan suku ke-2, dan seterusnya diperoleh rasio yang tetap, r = 4/3. Menurut teorema… (saya lupa), jika rasionya lebih besar daripada 1, maka deret itu merupakan  deret divergen (jumlahnya tak hingga). Jadi tebukti jika keliling bunga salju Koch adalah tak hingga.

Bagaimana dengan luasnya? Jika mengangap luas segitiga pada iterasi pertama = 1, maka luas bunga salju Koch dapat dinyatakan dalam deret

Deret diatas konvergen, artinya luasnya berhingga (jelas). ada yang tahu berapa nilai eksaknya?


sumber gambar: wikipedia
Selengkapnya...

Kamis, 30 Desember 2010

0/0 = -1?


Bentuk 0/0 disebut bentuk tak tentu dan dalam limit bentuk ini diselesaikan dengan aturan l’Hopital yang, hasilnya bisa saja bilangan real.  Nah, bisakah 0/0 menghasilkan -1? Coba kita simak..
Dari pelajaran SMP telah kita pelajari gradien garis yang sejajar ialah sama dan perkalian gradien garis yang tegak lurus ialah -1. Yang pertama tentu sangat mudah dipahami dan yang kedua akan saya buktikan. Ingat definisi dari gradien garis, m = Δy/Δx.

Karena keduanya saling tegak lurus, maka:

θb = θa + 90º
tan θb = tan(θa + 90º)
tan θb = sin(θa + 90º)/cos(θa + 90º)
tan θb = (sin θa . cos 90º + cos θa . sin 90º)/(cos θa . cos 90º – sin θa . sin 90º)
tan θb = -1/tan θa

Mengingat tan θ = y/x, maka m = tan θ
ma × mb = -1


Nah, sekarang anggap ada dua buah vektor dengan besar yang sama, R, yang arahnya θ1 = 0º  dan   θ2 = 90º.
m1 × m2 = -1
0/R × R/0 = -1
0/0 = -1
Ya kan? Apa ada yang salah??
Selengkapnya...

Proper Motion (Gerak Diri Bintang)

Bila diamati, bintang selalu bergerak di langit malam, baik itu tiap jam maupun tiap hari akibat pergerakan Bumi relatif terhadap bintang (rotasi dan revolusi Bumi). Walaupun begitu, bintang sebenarnya benar-benar bergerak; sebagian besar karena mengitari pusat galaksi. Gerak ini disebut gerak sejati (proper motion) bintang. Mengingat jauhnya jarak bintang-bintang dari Bumi, gerak sejati bintang nampak sangat kecil sehingga hanya dapat dilihat dalam pengamatan berabad-abad.

Gerak sejati bintang dipecah menjadi dua komponen berdasarkan arah geraknya, yaitu:

  1. Kecepatan radial: kecepatan bintang menjauhi atau mendekati pengamat (pada arah garis pandang).
  2. Kecepatan tangensial : kecepatan bintang bergerak di bola langit (pada bidang pandang, tegak lurus garis pandang).

Kecepatan Radial

Kecepatan radial, seperti telah dijelaskan sebelumnya, adalah kecepatan bintang menjauhi atau mendekati pengamat. Oleh karena arahnya sejajar garis pandang, kita tak dapat melihat komponen kecepatan ini secara langsung. Untuk itu, kita memanfaatkan efek Doppler untuk mengukur besarnya kecepatan radial suatu bintang. Berdasarkan efek Doppler, jika suatu benda yang memancarkan gelombang (mekanik ataupun cahaya) bergerak relatif terhadap pengamat, panjang gelombang yang dipancarkannya akan memanjang atau memendek daripada panjang gelombangnya andaikata benda tadi diam (relatif terhadap pengamat). Secara kuantitatif, kecepatan radial bintang (v_r) dapat dinyatakan sebagai,

\begin{align} \frac{\Delta \lambda}{\lambda_0}=\sqrt{\frac{c+v_r}{c-v_r}} -1 \label{vr1} \end{align}

dengan \lambda' adalah panjang gelombang teramati, \lambda_0 panjang gelombang diam terkait, dan c=299.792.458 \: \mathrm{km/s} kelajuan cahaya dalam vakum.

Semua bintang-bintang yang dapat diamati gerak dirinya tentu saja merupakan bintang bintang yang berada dalam galaksi Bimasakti. Kelajuan bintang-bintang ini jauh di bawah kelajuan cahaya sehingga kita dapat menggunakan hampiran persamaan (\ref{vr1}) untuk limit nonrelativistik (v\ll c).

\begin{align} v_r = \frac{\Delta \lambda}{\lambda_0} c \label{vr2} \end{align}

Kecepatan bintang umumnya dinyatakan dalam km/s.


Kecepatan Tangensial

Kecepatan tangensial adalah kecepatan gerak bintang pada bidang pandang. Misalkan pada suatu waktu, bintang tersebut berada pada koordinat (\alpha,\delta), namun pada beberapa tahun berikutnya posisinya berubah menjadi (\alpha',\delta'). Perubahan koordinat dalam tiap tahun ini disebut proper motion, \mu yang merupakan kecepatan sudut bintang (perubahan sudut per satuan waktu) pada bola langit. Kecepatan linear terkait dengan gerak pada bola langit inilah yang dikatakan kecepatan tangensial. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut.



Misal perubahan posisi bintang dari x ke x’, yaitu sebesar \mu'' setiap tahunnya. Jika sudut paralaks bintang diketahui maka jaraknya dapat ditentukan dengan jalinan d = 1/p dengan p dalam detik busur ('') dan d dalam parsec. Jika kita teruskan lintasan bintang berupa lingkaran berjejari d dari Bumi maka tiap menempuh sudut 360^\circ (1.296.000'') bintang bergerak sejauh 2\pi d = 2\pi/p. Dengan demikian, didapatkan kecepatan tangensial bintang,

\begin{align} v_t &= \frac{\mu(''/\mathrm{tahun})}{1.296.000} \times \mathrm{keliling} \nonumber \\ &= \frac{\mu}{1296000} \frac{2\pi}{p} \mathrm{parsec/tahun} \nonumber \\ &= \frac{\mu}{1296000} \frac{2\pi}{p} \frac{(3,086\cdot10^13) \mathrm{km}}{(365,25\cdot 24\cdot 60 \cdot 60) \mathrm{s}} \nonumber \\ v_t &= \frac{4,74 \mu}{p} \: \mathrm{km/s} \label{vt} \end{align}

Kecepatan Total

Di atas kita telah membahas kecepatan bintang dalam arah radial dan tangensial, sekarang kita akan mencari kecepatan total bintang, v. Karena arah sumbu radial dan tangensial tegak lurus maka dengan mudah kita dapat menyelesaikannya menggunakan dalil Pythagoras atau trigonometri. Sudut yang dibentuk antara sumbu radial dan vektor kecepatan bintang kita namakan \beta.

\begin{align} v_r &= v \cos \beta \label{vr3} \\ v_t &= v \sin \beta \label{vt3} \\ v &= v_{r}^{2} + v_{t}^{2} \label{vtot} \end{align}

Contoh

Diketahui proper motion sebuah bintang 0'',348 dan paralaksnya 0'',214. Jika spektrum Hα deret Balmer bintang tersebut teramati pada panjang gelombang 6.562 Å (1 Angstrom, Å = 10^-{10} m). Tentukanlah kecepatan total bintang itu!

Penyelesaian:

Cari terlebih dahulu \lambda_0 menggunakan formula Rydberg, untuk deret Balmer m = 2 dan garis alphanya n = 3.

\begin{align} \frac{1}{\lambda_0} &= R \left ( \frac{1}{n^2} - \frac{1}{m^2} \right ) \nonumber \\ &= 109.737 \left ( \frac{1}{2^2} - \frac{1}{3^2} \right ) \nonumber\\ \lambda_0 &= 6,5611\cdot 10^{-5} = 6.561,1 \: \mathrm{A} \nonumber \end{align}

Didapatkan \Delta \lambda = 0,9 Å . Dengan menggunakan persamaan (\ref{vr2}) diperoleh,

v_r = \frac{0,9}{6.562}\cdot 299.792 = 47,1 \: \mathrm{ km/s}

Selanjutnya, menyulihkan nilai \mu dan p ke dalam persamaan (\ref{vt}) didapatkan kecepatan tangensial, vt = 7,71 km/s.

v_t = \frac{4,74\cdot 0'',438}{0'',214} = 7,71 \: \mathrm{ km/s}

Kecepatan totalnya dapat dicari dengan persamaan (\ref{vtot}), yang memberikan v = 47,7 \: \mathrm{ km/s}.


Selengkapnya...

Selasa, 28 Desember 2010

Aritmatika vs Diferensial

Siapa tak kenal yang namanya diferensial? Menyebut namanya saja sudah membuat pelajar pada umumnya takut. Kita belajar matematika sejak kelas satu SD dan berkenalan dengan yang namanya aritmatika yakni tambah, kurang, kali, dan bagi kemudian pangkat, akar dan logaritma. Begitu kalkulus diferensial muncul, si tiga bersaudara (siapa tahu lebih) limit, turunan dan integral mulai hadir dalam catatan kita, lantas kita bertanya, “Apa sih, gunanya diferensial itu?” Berhubung saya bukan ahli matematika, maka jawaban tidak memuaskan yang dapat saya tuliskan: “Mana saya tahu?”

Tapi setidaknya, diferensial sangat berguna dalam menyederhanakan bentuk-bentuk persamaan matematis yang sulit atau hampir mustahil dijabarkan dengan aritmatika biasa. Contohnya saja dari postingan saya terdahulu yang berjudul Rumus Dasar dalam GLBB, di situ saya menurunkan beberapa rumus dasar GLBB dengan aritmatika murni. Nah, ternyata persamaan-persamaan itu dapat pula diselesaikan dengan diferensial.
Ingat rumus dasar yang kita pelajari di SD:
 




Dan yang kita dapatkan lagi di SMP (saya betulan dapatnya dulu di SMP, jadi jangan tertawakan saya jika Anda telah mendapatkannya saat SD)




Kita selesaikan persamaan yang kedua dahulu

dv = ∫ a dt

dv = at

Ingat bahwa dv dalam diferensial identik dengan Δv, sehingga kecepatan saat t detik ialah:

v = v0 + dv = v0 + at

Sekarang selesaikan persamaan pertama

ds = v dt = ∫ (v0 + at) dt

ds = v0t + (1/2)at2

s = s0 + v0t + (1/2)at2

Bagaimana, sama kan hasilnya?

Selengkapnya...

Model Alam Semesta



1.      Tinjauan Hubble

Berdasarkan pengamatan Edwin Hubble, alam semesta ini mengembang ke segala arah secara homogen, tak berpusat dan besarnya kelajuan objek sebanding dengan jarak antara benda dengan pengamat. Konsekuensi dari ekspansi alam semesta ini adalah, jika ditilik ke belakang, alam semesta ini akan lebih kecil hingga pada suatu waktu yang lampau, alam semesta ini hanya berupa titik. Hal ini berarti alam semesta lahir dari pengembangan titik awal tersebut, namun ini bertentangan dengan pengamatan, yaitu tidak ada titik istimewa di alam semesta yang teramati sebagai pusat. Semua objek angkasa bergerak menjauh satu sama lain secara seragam, persis seperti noktah pada permukaan balon karet yang saling menjauh jika balon ditiup. Kesimpulan dari fakta ini, alam semesta analog dengan balon.

Pada balon, pergerakan yang kita tinjau adalah pergerakan menjauh dari noktah-noktah pada permukaan balon. Ini berarti segala kejadian yang teramati adalah yang terdapat pada ‘permukaan’ balon (kita sebut semesta kejadian), di mana pusat pengembangan balon berada di tengah-tengah ruang balon. Jadi pusat ekspansi balon tidak terdapat pada semesta kejadian balon, melainkan pada ruang balon, yang mana merupakan dimensi yang lebih besar tempat semesta kejadian itu berada. Jika laju ekspansi sama ke segala arah, maka bentuk semesta kejadian, yang notabene permukaan balon, merupakan dimensi malaran terhadap dimensi ruang balon, di mana terdapat pusat ekspansi.
Dengan berpandangan bahwa alam semesta kita analog dengan semesta balon tadi, maka pusat ekspansi alam semesta, yang merupakan cikal bakal alam semesta, yang kita sebut dengan Big Bang, tidaklah terdapat pada semesta kejadian kita, melainkan pada dimensi yang lebih besar tempat semesta kejadian kita melengkung. Bagaimanakah ‘dimensi yang lebih besar’ itu? Mari kita beranalogi dengan semesta kejadian berdimensi satu yang berbentuk keliling lingkaran. Pusat dari lingkaran itu tidak berada pada keliling lingkaran itu sendiri, melainkan pada luas lingkaran berdimensi dua (berdimensi lebih besar). Jika model ini kita integralkan lagi terhadap dimensi panjang, kita dapatkan semesta kejadian berupa luas permukaan bola yang berdimensi dua, yang melengkung terhadap volum bola yang berdimensi tiga. Pusat dari semesta kejadian model ini berada pada dimensi tiganya, bukan berada pada dimensi dua—dimensi semesta itu sendiri.
Sampailah kita pada tahap akhir jika model kedua tadi diintegralkan sekali lagi terhadap dimensi panjang. Akan kita dapatkan semesta kejadian berdimensi tiga (ruang), yang identik dengan semesta kejadian kita. Di manakah pusatnya? Tentu di dimensi empat tempat melengkungnya semesta kejadian berdimensi tiga ini. Jari-jari jagat raya ini, yang diukur dari semesta kita ke pusatnya disebut radius/ruji (S). Membayangkan benda berdimensi empat tentu mustahil, karena kita hanya dapat mengindera paling tinggi dimensi tiga – karena kita adalah makhluk berdimensi tiga.
Kita tinjau ulang model semesta kita yang kedua, luas permukaan bola. Jika bola yang kita jadikan model adalah bola pejal dengan lapisan-lapisan yang jelas, maka kita dapatkan bahwa bola berdimensi tiga itu tersusun dari lapisan-lapisan luas permukaan bola yang berdimensi dua. Tiap lapisan memiliki jarak tertentu terhadap pusat bola. Jadi tiap kejadian yang berlangsung pada permukaan yang kita pilih, dimana pun itu (silahkan menggunakan tata koordinat bola), berjarak sama terhadap pusat bola, yakni R. Kejadian serupa terjadi pada balon, dimanapun noktah-noktah itu diletakkan pada permukaan balon, jarak kesemua noktah itu sama terhadap pusatnya[1], maka jika terjadi ekspansi semua kejadian pada permukaan balon akan mengalami perubahan yang sama dan seragam.
Kembali ke model alam semesta kita: segala perubahan yang timbul akibat ekspansi jagat raya akan sama dan seragam terhadap semua kejadian (objek) di semesta yang sama, karena semua kejadian, di mana pun letaknya (asalkan masih berada dalam semesta yang ditinjau), memiliki jarak yang sama terhadap pusat ekspansi. Konsekuensi dari hal ini adalah, kelajuan ekspansi tampak (kelajuan menjauh objek dari pengamat pada semesta yang sama), rapat massa alam semesta, suhu rerata alam semesta, radiasi latar sisa Big Bang, dan faktor lainnya yang timbul sebagai manifestasi dari ekspansi ini, haruslah sama dan seragam (dalam skala makro). Eksistensi alam semesta  ternyata mengikuti model ini, sehingga dapat kita pandang:
“Alam semesta kita, tempat segala kejadian teramati hanyalah salah satu lapisan dari banyak alam semesta yang melengkung menyususun jagat raya, dan mengembang berdasarkan radiusnya(jejari) terhadap pusat jagat raya.”
Meskipun demikian masih ada model kosmos lima dimensi, namun untuk sementara penjelasan ini saya rasa sudah cukup.


 
2.      Laju Ekspansi Alam Semesta

Pernah dengar Hukum Hubble? Yup, sebagian mungkin pernah dan mengingatnya sebagai "galaksi - galaksi non-lokal bergerak saling menjauh dengan kelajuan yang sebanding dengan jaraknya". Kok bisa makin jauh jaraknya makin cepat pula kelajuan menjauhnya? Berbekal pendahuluan di atas  saya akan menjelaskan mengapa hal ini bisa terjadi dengan bahasa yang sesederhana mungkin. Pengembangan alam semesta dapat dimodelkan dengan pengembangan keliling lingkaran akibat ekspansi dari radius lingkaran. Kecepatan semua titik pada keliling lingkaran menjauh dari pusat lingkaran kita sebut kecepatan ekspansi nyata, sedangkan kelajuan menjauh antara tiap titik pada keliling lingkaran kita sebut kecepatan ekspansi teramati. Mari kita perhatikan model proyeksi ekspansi lingkaran berikut ini.


Dari gambar di atas diperlihatkan suatu lingkaran dengan pusatnya P, mengalami ekspansi dari pusatnya dengan pertambahan jari-jari dari r menjadi r’ sehingga kelilingnya berubah dari S menjadi S’. Jika kita mengamati kejadian dari titik A, maka kita beranggapan bahwa titik A diam, dan memandang titik B bergerak sejauh 

 






Kecepatan ekspansi B teramati oleh A

 




 




Dengan beranggapan bahwa kecepatan ekspansi nyata v konstan (meskipun sebenarnya melambat, namun begitu kecil dalam jangka waktu yang sangat  panjang jadi dalam hal ini dapat abaikan), maka didapatkan Δrt = konstan, sehingga didapatkan hubungan




Perhatikan bahwa besarnya θ bergantung pada jarak awal B terhadap A, yakni x. Jadi makin jauh jarak B terhadap A, makin besar θ, makin besar pula v, sehingga dapat ditarik kesimpulan:

“Kelajuan ekspansi teramati suatu objek berbanding lurus terhadap jaraknya. Makin jauh suatu objek yang diamati, makin besar kelajuannya menjauh.”

Kelajuan ekspansi teramati suatu objek kembali diberikan dalam hubungan





Mengingat θ = (x/2πr)×360º, maka didapatkan

 



Perhatikan bahwa Δr/(Δt r) merupakan besaran kecepatan per jarak, dan x adalah jarak objek. Dengan mengganti simbol x menjadi d, Hubble mendapatkan persamaan berdasarkan pengamatan yakni




Dengan H merupakan konstanta Hubble (kecepatan per jarak) yang saat ini bernilai rata-rata sekitar 75 km s-1 Mpc-1 dan d merupakan jarak objek dalam megaparsec.

Perkiraan usia maksimum alam semesta saat ini dapat kita hitung dari pertambahan radius total sampai saat ini, yakni Δr = r dan Δt = t sehingga

 


 
 







atau sekitar 13 milyar tahun.

Misalkan suatu objek teramati berjarak d mengalami ekspansi dengan kecepatav = H d. Saat selang waktu Δt sehingga waktu t', jaraknya menjadi d', yang tentunya lebih jauh daripada d. Apakah setelah menjauh, maka kelajuan ekspansi teramatinya menjadi lebih besar lagi? Jawabannya tidak, karena laju ekspansi teramati sebenarnya tidak bergantung terhadap jarak, melainkan hanya bergantung pada kecepatan ekspansi nyata v dan sudut pengembangan θ, yang telah dinyatakan dengan persamaan:





 Karena sudut θ selalu konstan, dan v nyaris tidak berubah dalam rentang waktu yang sangat panjang, maka v juga konstan. Hal ini tidak akan bertentangan dengan Hukum Hubble, karena saat waktu t', konstanta Hubble juga akan berubah. Telah dibahas sebelumnya bahwa konstanta Hubble didapatkan dari persamaan H = Δr/(Δt r), atau dengan mengganti r menjadi S,





Karena ΔS/ Δt = v, maka:
 





Saat waktu mencapai t', maka radius S akan bertambah besar menjadi





Dan didapatkan

 




Dimana         v       =   0,85 c = 2,55.105 km s-1
                            S0      =   3 374 Mpc
                     v Δt   dalam satuan Mpc

Jadi dalam kurun waktu yang panjang, nilai H akan semakin mengecil sebanding dengan d yang semakin membesar.




[1] Anggap balon berbentuk bola sempurna.


Baca juga:
Ekspansi Alam Semesta Dopercepat!
Persamaan Friedmann, Rapat Kritis dan Radius Alam Semesta
Selengkapnya...

Selasa, 14 Desember 2010

Pembahasan Soal Essai OSN Astronomi 2010


Berikut saya membahas soal Essai OSN Astronomi 2010. Untuk soal lengkapnya dapat Anda unduh di laman sebelah. Jika ada yang kurang dimengerti, jangan ragu untuk bertanya..


  1. Andaikan sebuah supernova mengembang dengan kecepatan 1.000 km/detik, dan jarak supernova tersebut adalah 10.000 parsek. Berapa perubahan diameter sudutnya dalam 1 tahun ?

Penyelesaian:
Kuncinya gunakan trigonometri
D/d = sin δ, dengan D diameter objek, d jarak objek dan δ diameter sudutnya.
d = 10000 pc
ingat 1 pc = 206265 AU dan 1 AU = 1,496 × 108 km
v = 1000 km/s = 3,16 × 1010 km/tahun = 1,023 × 10-3 pc/tahun
Jadi dalam 1 tahun radiusnyanya menjadi R = 1,023×10-3 pc atau diameternya D = 2,,046×10-3 pc
δ = sin-1 (D/d)
δ = (1,172 × 10-5)º = 0,042

* simbol (") artinya detik busur. Satu derajat = 60 menit busur = 3600 detik busur.


  1. Nebula kepiting yang mempunyai radius sebesar 1 pc, mengembang dengan kecepatan 1.400 km/detik. Hitung umur nebula tersebut !
Penyelesaian:

R = 1 pc = 3,09 × 1013 km
v = 1400 km/s
t = R/v = 2,2 × 1010 s = 698,4 tahun



  1. Kecepatan yang diamati dari sebuah galaksi yang jauh (Vteramati) adalah gabungan dari kecepatan akibat ekspansi alam semesta (Vekspansi) dan kecepatan pekuliar (Vpek), yaitu (Vteramati = Vekspansi + Vpek). Kecepatan pekuliar adalah kecepatan diri galaksi terhadap kecepatan rata-rata galaksi lain disekitarnya. Kecepatan ekspansi bergantung pada hukum Hubble, sedangkan kecepatan pekuliar sebuah galaksi nilainya acak, sekitar ratusan km/s. Misalkan kita mengamati dua galaksi, satu pada jarak 35 juta tahun cahaya dengan kecepatan radial 580 km/s, dan yang lain pada jarak 1.100 juta tahun cahaya dengan kecepatan radial 25.400 km/s.
a)      Hitung konstanta Hubble dari masing-masing hasil pengamatan diatas dalam satuan km/s /juta tahun cahaya.
b)      Manakah di antara dua perhitungan yang akan Anda anggap lebih dapat dipercaya? Mengapa?
c)      Estimasikan kecepatan pekuliar dari galaksi dekat.
d)     Jika galaksi yang lebih jauh diketahui punya kecepatan diri yang sama dengan galaksi dekat, hitung konstanta Hubble yang lebih akurat!

Penyelesaian:
Kuncinya, untuk kecepatan ekspansi, ve, gunakan Hukum Hubble ve = H d, dimana H konstanta Hubble dan d jarak dalam Mpc (1 Mpc = 106 pc) dengan ve dalam km/s.
a)      d1  = 35.000.000 ly = 1,0736×107 pc = 10,736 Mpc
ve1 = 580 km/s
v = H dH1 = ve1/d1 = 54 (km/s)/Mpc …….. (1)

d1  = 1.100.000.000 ly = 337,42 Mpc
ve1 = 25.400 km/s
H2 = ve2/d2 = 75,3 (km/s)/Mpc …………….… (2)

b)       (2), karena jarak yang jauh mengakibatkan kecepatan ekspansi besar sehingga persentase kecepatan pekuliar menjadi lebih kecil (nilai H semakin akurat)

c)      Ve1 = H dgunakan H yang lebih akurat
ve1 = 75 (km/s)/Mpc × 10,736 Mpc = 808,42 km/s
vtot = ve + vpvp1 = 580 – 808,42 = -228,42 km/s

d)     ve = vtot - vp
ve = 25400 – (-228,42) = 25628,42 km/s
H2 = ve2/d2 = (25628,42)/(337,42) = 75,95 (km/s)/Mpc


  1. Andaikan kita mengamati sebuah galaksi yang jaraknya 500 Mpc, dan galaksi tersebut bergerak menjauhi kita dengan kecepatan 30.000 km/detik. Jika kecepatannya konstan, kapan Big Bang terjadi ?
Penyelesaian:
d = 500 Mpc = 1,543 × 1027 km
v = 30000 km/s
t = d/v = 5,143 × 1017 tahun = 16,3 milyar tahun


  1. Massa Bulan adalah 7,1 x 1022 kg, orbit Bulan mengelilingi Bumi dianggap lingkaran dengan radius 384.400 km dan periode 27⅓ hari. Apabila pada suatu saat bulan bertabrakan dengan sebuah astroid besar bermassa 3,2 x 1018 kg, dengan arah tumbukan sentral, asteroid menghujam permukaan Bulan secara tegak lurus dengan kecepatan relatif 30 km/s terhadap bulan. Vektor kecepatan asteroid tepat berlawanan dengan vektor kecepatan Bulan dalam orbitnya mengelilingi Bumi. Berubah menjadi berapa lama periode orbit bulan ?
Penyelesaian:
rB = 384400000 m
TB = 27⅓ hari = 2,362×106 s
vB = (2πrB)/TB = 1021,7 m/s
mB = 7,1×1022 kg
vA = -30000 m/s (berlawanan, tandanya negatif)
mA = 3,2×1018 kg

Perhatikan setelah tumbukan terjadi, Bulan dan asteroid akan menyatu dan bergerak bersama-sama kearah vektor kecepatan Bulan dengan kecepatan yang berubah. Dengan menggunakan hukum kekekalan momentum linier

Momentum sebelum tumbukan = momentum setelah tumbukan
mBvB + mAvA = (mB + mA)v’
(7,1×1022)(1021,7) + (3,2×1018)(-30000) = (7,1×1022 + 3,2×1018)v’
v’ = 1020,6 m/s

Periode revolusi Bulan setelah tumbukan, TB:
TB = (2πrB)/v’ = 2,366×106 s = 27,38 hari (lebih lambat)


Selengkapnya...

Selasa, 07 Desember 2010

Paradoks Schrödinger



Paradoks Schrödinger ini dimulai dari eksperimen angan-angannya Edwin Rudolf Josef Alexander Schrödinger (1887 – 1961) yang merupakan fisikawan asal Austria yang aktif menyumbangkan idenya dalam mekanika kuantum. Ia menemukan persamaan fungsi gelombang dan menolak adanya probabilitas dalam  peristiwa fisis, sebagaimana fungsi gelombang. Tentu di sini saya tidak membahas mengenai Schrödinger kecuali paradoks kucing yang dikemukakannya.


Schrödinger melakukan percobaan imajinasinya seperti ini: Seekor kucing(malang) dimasukkan ke dalam suatu kotak tertutup yang di dalamnya telah dipenuhi dengan berbagai kebutuhan kucing, kotaknya sangat nyaman kecuali dilengkapi oleh senjata pembunuh mematikan. Di dalam kotak diletakkan sampel radioaktif yang probabilitas peluruhannya 50% dan cebuah pencacah Geiger, jika sampel radioaktif melewati ambang, mesin akan menjatuhkan palu yang akan memecahkan botol gas beracun, yang sebaiknya demi kelancaran eksperimen cukup untuk mematikan kucing dalam kotak. Tentunya peluang botol racun pecah sama dengan probabilitas peluruhan radioaktif, 50:50. Nah, setelah beberapa jam kemudian, apakah kucing hidup atau mati? Tentunya kita hanya akan mengetahuinya jika kotaknya di buka, namun jika kotaknya masih tertutup, kita tidak akan tahu kucing itu masih hidup atau sudah mati. Jadi, apakah kucing berada dalam keadaan setengah hidup dan setengah mati? Keadaan ini disebut superposisi, tetapi, apakah mungkin kucing berada dalam keadaan superposisi seperti itu, karena ketika pintu dibuka kucing hanya akan hidup saja atau mati saja (jangan mengada-ada dengan keadaan sekarat, kita anggap sekarat itu masih hidup).

Kenyataan ini kelihatannya meruntuhkan hipotesis dari keadaan superposisi pada kucing, tapi kita hanya bisa meruntuhkan keadaan superposisi itu jika kotak telah terbuka dan kita melihat langsung keadaan kucing, jika tidak? Ya, kita boleh menganggap kucing itu antara hidup dan mati.

Pandangan lain yang muncul dari paradoks ini ialah many world interpretation (MWI), atau interpretasi semesta jamak. Many worl interpretation menyatakan terdapat banyak semesta kuantum yang eksis di jagat raya ini.  Semesta kuantum sendiri merupakan semesta yang memiliki ruang-waktu yang berbeda dari semesta kuantum lainnya. Jika kita berada dalam satu semesta kuantum (sebut A) dan sedang menunggu apa yang terjadi dengan si kucing, maka segera masa depan semesta A bercabang dua, yaitu B1 (yang mana di semesta B1 kucing hidup) dan B2 (kucing mati). Jika setelah kita membuka kotak kucing dan menemukan ternyata kucing hidup, maka bagi semesta A semesta B1-lah lanjutannya, sedangkan B2 runtuh. Sebaliknya jika setelah kotak dibuka ternyata kucing telah almarhum, berarti semesta B2-lah yang merupakan masa depan bagi semesta A, sedangkan B1 runtuh. Adapun pengamat lain di semesta A mendapati ternyata kucing hidup, mungkin saja pengamat di semesta lain, sebut A’, mendapati kucing mati. Jadi menurut MWI, semesta-semesta kuantum tempat peristiwa berlangsung menghadapi banyak kemungkinan masa depan, yang dapat digambarkan bercabang-cabang, dengan demikian dapat dibayangkan betapa banyaknya semesta kuantum yang eksis.

Nah, misalkan suatu peristiwa “ saya ingin minum kopi” di semesta ini, maka segera semesta membentuk cabang-cabang kuantum yang antaranya: saya tidak jadi minum kopi dan saya jadi minum kopi. Kemungkinan saya tidak jadi minum kopi bercabang lagi saya tidak jadi minum kopi karena kopi habis, karena ngantuk, karena ada tamu, dll. Di kemungkinan saya minum kopi pun bercabang lagi saya minum kopi tanpa gula dan susu, tanpa gula dengan susu, dengan gula tanpa susu, atau dengan gula dan susu.

Jadi, setelah membaca postingan ini, bagaimana pandangan Anda mengenai dunia?

Selengkapnya...

Minggu, 05 Desember 2010

Download Soal Olimpiade Astronomi

Berikut beberapa soal Olimpiade Astronomi Nasional (OSN Astronomi) yang dapat Anda unduh melalui Uploading:

Soal Olimpiade Astronomi 2004
Soal Olimpiade Astronomi 2005
Soal Olimpiade Astronomi 2006
Soal Olimpiade Astronomi 2007

Free kok, Anda cukup sign in terlebih dahulu, caranya sangat mudah.
Yang lainnya akan admin upayakan segera posting..


Semoga bisa lancar dalam mengikuti Olimpiade Sains Nasional
^_~

Selengkapnya di sini. Selengkapnya...

Radiasi Benda Hitam


Menurut hukum Stefan-Boltzmann, jumlah energi yang dipancarkan tiap detik oleh sebuah benda hitam sempurna berbanding lurus dengan luas permukaan benda dan pangkat empat suhu mutlaknya. Secara matematis dapat dituliis dengan 


E = σ T4

Di mana σ = konstanta Stefan-Boltzmann (5,67.10-8  W/m4 K4) dan T = temperatur efektif dalam Kelvin. Jika benda tersebut bukan benda hitam, maka ditambahkan koefisien pembanding emitivitas bahan, e di ruas kanan. Nilai e berkisar dari 0 sampai satu, jelas benda hitam sempurna memiliki koefisien e = 1. Bintang umumnya memiliki sifat mendekati benda hitam, terutama bintang biru yang memiliki nilai emitivitas benda itu.
Adapun daya (luminositas) bintang, L merupakan takaran kemampuan suatu bintang memancarkan energi dalam luasan 4π steradian (segala arah), dinyatakan dengan

L = 4π d² e  σ T4

Atau

L = E A

Dari penghitungan satelit, Energi matahari yang sampai ke Bumi dalam luasan satu meter persegi tiap detiknya ialah 1368 W. Nilai 1368 W m-2 s-1 ini disebut konstanta Matahari. Karena jarak Bumi-Matahari, d = 1,496 . 1011 m, maka Luminositas matahari:

L = (1368)(4π)( 1,496 . 1011

L = 3,86 . 1026 W

Temperatur efektif (permukaan) Matahari dapat dihitung dengan persamaan pertama, yaitu:

T4 = L/ (4π d²σ)

Karena yang akan dihitung temperatur permukaan Matahari, makan gunakan d = radius Matahari = 6,9 . 108 m, maka didapatkan:

T = 5800 K

Perhitungan modern memberikan nilai sekitar 5778 K.

Adapun dalam kaitannya dengan panjang gelombang (frekuensi), dinyatakan dalam persamaan Wien

λ = C/T

Dengan λ panjang gelombang efektif (sebagian besar energy radiasi dipancarkan pada panjang gelombang ini), C konstanta Wien (2,898 . 10-3 m K) dan T temperatur. Dengan memasukkan nilai T = 5778 K, didapatkan panjang gelombang efektif, λ = 5,01 . 10-7 meter = 5010 Angstrom.

Jika dinyatakan dalam frekuensi, gunakan hubungan

f λ = c

dengan c kelajuan cahaya dalam hampa, 299 795 458 m/s dan f dalam Hz.



Selengkapnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Perhatian! Semua tulisan pada blog ini merupakan karya intelektual admin baik dengan atau tanpa literatur, kecuali disebutkan lain. Admin berterima kasih jika ada yang bersedia menyebarkan tulisan-tulisan atau unggahan lain di blog ini dengan tetap mencantumkan sumber artikel. Pemuatan ulang di media online mohon untuk diberikan tautan/link sumber. Segala bentuk plagiasi merupakan pelanggaran hak cipta.